DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: 12/12/11

Senin, 12 Desember 2011

TINDAK PIDANA PERBANKAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuandan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut KUHP. Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama . 
Kejahatan berkembang seiring perkembangan IPTEK. Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai. Akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat tertentu. 
Praktik money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri. Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat internasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara Berarti Money laundering berhubungan dengan dan dicapai dengan kemajuan teknologi melalui system cyberspace (internet), pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)
 1.2. Tujuan
Dalam karya tulis ini permasalahan yang akan di bahas yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut :
  1. Tindak pidana perbankan :
1.a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang  perbankan :
            1.b.a)  Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
            1.b.b) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
            1.b.c) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
            1.b.d)  Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
3. Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang :
                  3.a)  Tindak Pidana Perbankan
                  3.b)  Tindak Pidana Pencucian Uang :
                              3.b.a) peranan PPATK
                              3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
1.3. Rumusan Masalah
  1. sebutkan pengertian dan jenis-jenis tindak pidana perbankan ?
  2. jelaskan pengertian dan  permasalahan yang timbul dalam tindak pidana pencucian uang ?
  3. sebutkan dan jelaskan pencegahan dalam menanggulangi tindak pidana perbankan ?
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan karyatulis ini adalah :
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah ,tujuan, dan rumusan masalah
Bab II pembahasan , yang akan dibahas mengenai :
1. Tindak pidana perbankan :
1.a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang  perbankan :
            1.b.a)  Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
            1.b.b) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
            1.b.c) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
            1.b.d)  Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
3. Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang :
                  3.a)  Tindak Pidana Perbankan
                  3.b)  Tindak Pidana Pencucian Uang :
                              3.b.a) peranan PPATK
                              3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
Bab III Penutup, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan.



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Tindak pidana perbankan
1.a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan
Terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan  kedua,  “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”.
Tindak pidana perbankan mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan tindak pidana di bidang perbankan tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank .[1]
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang  perbankan
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang  Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) terdapat  tiga belas macam tindak pidana yang diatur  mulai dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam:
1.      Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
2.       Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 47 A.
3.        Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank diatur dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
4.       Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal 49 ayat (1) huruf a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A
1.b.a)  Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal 46 ayat (1) menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan   pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal ini satu-satunya pasal dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
1.b.b) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris,  Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
1.b.c) Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 ayat (1) UU Perbankan  menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
            Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai  memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
1.b.d)  Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja : 
a)      membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; 
b)       menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; 
c)       mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. \5.000.000.000,00 (lima miliar  rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Suatu pertanyaan yang sering timbul adalah apakah tindak pidana yang diatur dalam UU Perbankan merupakan tindak pidana umum atau khusus. Hal ini berkaitan dengan tugas penyidikan terhadap tindak pidana ini. Terdapat kesan, bahwa pihak Kepolisian menganggapnya sebagai tindak pidana umum, karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetaADEDIDIKITRAWANpi UU Perbankan tidak mengatur Hukum Acara khusus mengenai tindak pidana perbankan. Ada pihak lain yang menyebut sebagai tindak pidana khusus, karena diatur di luar KUHP, ancaman hukum berat dan kumulatif dengan minimum hukuman dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam Pasal 42 yang berkaitan dengan permintaan keterangan yag bersifat rahasia bank dalam proses peradilan perkara pidana.
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal  4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari Pasal 284 KUHAP)
Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu :
1)      Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian), dll.
2)      Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.
3)      UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak  terafiliasi dengan bank (“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
            Tindak Pidana Pencucian Uang ( money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime  maupun individu yang melakukan  tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan  tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan illegal.[2]
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang  dapat berupa:  
a)      Penyimpanan uang hasil kejahatan  dengan nama palsu atau dalam safe  deposit box;
b)       Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
c)       Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d)      Pengajuan permohonan kredit  dengan jaminan uang yang  disimpan pada bank yang bersangkutan;
e)        Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;
f)         Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang  bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan
g)        pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu[3]  :
1)      Placement (penempatan) ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang yang membawa uang tunai  ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah seratus juta ruliah atau lebih  untuk melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kemudian Direktorat Jenderal Bea Cukai melaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2002).
2)      Layering, diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud agar  sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan.  (pembukaan sebanyak mungkin  rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif)
3)      Integration, yaitu suatu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah dicuci di investasikan kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry.
3. Pencegahan Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang
3.a)  Tindak Pidana Perbankan pencegahan dengan :
                        3.a.1) pengawasan internal :pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris
                        3.a.2)pengawasan eksternal : pemerintah maupun pihak BI melakukan audit kepada bank yang bersangkutan
           3.b) Tindak Pidana Pencucian Uang :
                        3.b.a) peranan PPATK(pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan)
                        PPATK memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 26 dan 27 UU-TPPU (undang-undang tindak pidana pencucian uang No.25 Tahun 2003 ) antara lain:
a.       Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh.
b.       Memberikan nasihat dan bantuan keADEADIDIKIRAWANpada instansi yang berwenang.
c.        Melaporkan hasil anilisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
d.      Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK).
e.       Melakukan audit terhadap PJK mengenai kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam UU-TPPU dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan.
f.        Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
                        Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut, PPATK bersifat independen sebagaimana yang  dimuat dalam UU-TPPU yaitu :
a)      Bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b)       Tidak diperkenankannya setiap pihak untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
c)      Diwajibkannya kepala dan wakil kepala PPATK untuk menolak setiap campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
            3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
Menurut Peraturan Bank Indonesia, yang dimaksud dengan Prinsip KYC adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
Dalam menerapkan Prinsip KYC dimaksud bank diwajibkan :
a)      Menetapkan kebijakan mengenai penerimaan nasabah, prosedur identifikasi nasabah, dan  prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah, serta prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan KYC.
b)       Melaporkan transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) kepada BI  selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah diyakini  oleh bank.
c)      Menerapkan prinsip KYC yang berlaku di suatu negara bagi kantor cabang bank yang berada di luar negeri, sepanjang standar KYCnya sama atau lebih ketat dari yang diatur dalam PBI, dan jika ketentuan setempat lebih longgar wajib diterapkan PBI KYC. Dalam hal penerapan PBI KYC mengakibatkan pelanggaran ketentuan negara setempat, wajib dilaporkan kepada kantor pusatnya dan BI.
d)      Bank wajib menerapkan prinsip KYC dan melakukan pengkinian data base nasabah yang telah ada (existing customer) selambat-lambatnya tanggal 13 Juni 2002.
e)      Bank wajib melaksanakan program pelatihan kepada karyawan bank mengenai prinsip KYC selambat-lambatnya tanggal 13 Februari 2002.
f)       Penerapan sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank sudah harus siap selambat-lambatnya tanggal 13 Juni 2002.
Adapun sanksi apabila apabila bank tidak  melaporkan perubahan Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut serta tidak melaporkan kepada BI transaksi yang mencurigakan yang terjadi di bank yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak transaksi tersebut diketahui oleh bank, dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp.1 juta per hari kelambatan dan setinggi-tingginya Rp.30 juta.
Sedangkan sanksi apabila bank tidak melaksanakan kewajiban lainnya adalah dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, c, e, f atau  g Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 yaitu berupa :
a)      teguran tertulis; 
b)      penurunan tingkat kesehatan bank;
c)      pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
d)     pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan BI, atau;
e)       pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan.
Kendala yang dihadapi bank dalam melaksanakan prinsip KYC berupa:  
a)      Takut kehilangan nasabah
 Bank merasa khawatir kehilangan nasabah apabila menerapkan  sepenuhnya prinsip KYC baik terhadap nasabah lama (existing customer) maupun terhadap nasabah baru (new customer). Hal tersebut karena   tidak serentaknya bank-bank dalam menerapkan  prinsip KYC pada nasabah.  Kondisi ini memberikan peluang bagi  nasabah untuk  menolak  memberikan informasi dan memindahkan dananya ke bank yang belum menerapkan prinsip KYC.
b)       Skala usaha bank
Bagi bank yang tergolong dalam skala besar (sebagai contoh memiliki karyawan lebih dari 21.000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di seluruh Indonesia) cenderung lebih sulit  menerapkan prinsip KYC sepenuhnya,  seperti pendataan profil  nasabah, pelatihan bagi karyawan, dan pengadaan sistem informasi, yang untuk itu  dibutuhkan  waktu yang panjang, biaya yang besar dan keahlian yang memadai.
c)      Ketidakpercayaan perbankan  terhadap  penegakan hukum  
Walaupun UU-TPPU telah memberikan kepastian akan jaminan keamanan bagi bank dalam pelaksanaan penyampaian laporan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15, dan  Pasal 40 – Pasal 42 UU-TPPU namun bank masih meragukan pelaksanaannya khususnya terhadap aparat penegak hukum.
Disamping itu kurangnya perhatian masyarakat terhadap ketentuan KYC merupakan kendala utama yang dihadapi oleh seluruh  bank dalam menerapkan prinsip  KYC.  Hal tersebut karena:
a)            pengisian formulir KYC menyusahkan nasabah dan dirasa terlalu berlebihan (misal pengisian jabatan, nama ibu kandung, hobi, pinjaman dari bank lain) dan  tidak nyaman;
b)            takut rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain misalnya perpajakan;
c)            tidak merasa memperoleh manfaat dari pengisian KYC dan menganggap bank terlalu ingin tahu masalah internal nasabah.
Selain itu, dampak yang dihadapi bank pada saat menerapkan prinsip KYC antara lain  :
a)      nasabah menolak  mengisi formulir KYC yang sudah dikirimkan dan akan menarik dananya apabila tetap diharuskan mengisi;
b)       nasabah  cenderung tidak jujur  dalam mengisi  data penghasilan dan sulit ditemui;
c)       nasabah penyimpan dana berkeberatan memberikan slip gaji karena  beranggapan bukan sebagai peminjam dana.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari uaraian yang telah di jelaskan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa UU No.25 Tahun 2003 memiliki kekurangan antara lain :
a)      Adanya batasan “hasil tindak pidana” (proceed of crime) minimal Rp 500 juta. Adanya batasan ini, selain ia tidak lazim juga terdapat celah yang dapat dimanfaatkan bagi para pencuci uang untuk memecah-mecah hasil kejahatannya dalam jumlah yang lebih kecil. 
b)      Batasan waktu penyampaian laporan transaksi tunai. Dalam Pasal 13 ayat (3), penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana  dimaksud dalam ayat 1 huruf b dilakukan paling lambat 14 hari kerja setelah transaksi dilakukan.Batasan waktu ini dinilai terlalu lama, diusulkan batasan waktu  penyampaian dapat dipersingkat.
c)      Tidak dimasukkannya klausul “anti  tipping off” yaitu larangan bagi Penyedia Jasa Keuangan untuk memberitahukan kepada nasabahnya berkaitan dengan laporan Transaksi Keuangan Mencurikagakan yang terkait dengan nasabah tersebut. Larangan ini sangat penting karena apabila pemilik rekening tersebut mengetahui bahwa dirinya dilaporkan, dikhawatirkan yang  bersangkutan dapat menghambat jalannya penyidikan, atau bahkan menarik simpanannya.
d)      Pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan perlu diperluas dengan menambahkan unsur  “transaksi yang berkaitan dengan hasil tindak pidana.





DAFTAR PUSTAKA

ü  Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch  Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch Anwar,  Tindak Pidana di  Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 1986). LihaADEDIDIKIRAWANt juga Marjono Reksodiputro,  Kemajuan  Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan  Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 74
ü  UU No.15 Tahun 2002  PENCUCIAN UANG di ubah menjadi UU NO.25 Tahum 2003
ü   Undang-undang No.10 tahun 1998  PERBANKAN
ü  UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002. Tindak Pidana Korupsi
ü  Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal  4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
ü  Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22 No.3, 2003), hal.26.
ü  Guy Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press, First Published 2000, hal.9



[1] Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs. HAK Moch  Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch Anwar,  Tindak Pidana di  Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 1986). Lihat juga Marjono Reksodiputro,  Kemajuan  Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, (Jakarta: Pusat Pelayanan  Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 74
[2] Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas Tindak Pidana
Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22 No.3, 2003), hal.26.
[3] Guy Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model, Cambridge
University Press, First Published 2000, hal.9

SISTEM HUKUM


PERBEDAAN SISTEM ANGLO SAXSON DAN EROPA KONTINENTAL
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukun Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukun continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman)
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.

SISTEM ANGLOSAXON
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara
Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.
Sejarah Anglo-Saxon ini, oleh Theresa Tomlinson, diangkat menjadi latar cerita dalam novel Gadis Serigala, sebuah fiksi remaja tentang seorang gadis pemberani bernama Wulfrun. Wulfrun anak seorang penenun, Cwen. Mereka tinggal di wilayah kekuasaan Biara Whitby yang dikepalai oleh Suster Hild. Setiap hari, Wulfrun bertugas menggembalakan angsa-angsa mereka bersama sahabatnya, Cadmon, seorang penggembala sapi. Cwen anak-beranak hidup sangat miskin. Saking miskinnya, dia terpaksa menjual putra sulungnya, Sebbi, sebagai budak. Pada masa tersebut, perbudakan masih menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Barangkali akibat perang yang terus berlangsung antara daerah-daerah yang saling berseteru. Rakyat di sana terbagi menjadi dua: kaum bebas dan kaum tak bebas.
Sejarah Eropa dan Amerika Utara menjadi acuan bagi studi kasus bangkitnya lapisan menengah, yang lebih dikenal sebagai perjuangan kelas menengah selama abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Dua model yang diajukan Francois Raillon, yakni model Anglo-Saxon dan model Eropa Kontinental, menarik untuk disimak. Model Anglo-Saxon, yang menurut Raillon terlalu mengandalkan pengalaman sejarah kaum borjuis Inggris dan Amerika Serikat, tak selamanya relevan untuk menjelaskan kemungkinan tumbuhnya demokratisasi politik dan ekonomi di negara berkembang. Terlalu banyak menekanan diberikan pada model “masyarakat” berhadapan dengan “negara”. Raillon mengisahkan bahwa lapisan menengah dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh kehidupan negara, karena keterkaitan antara pejabat negara dan mitranya di kalangan swasta. Model ini, katanya, lebih cocok untuk menggambarkan tumbuhnya lapisan menengah, terutama di negara bekas jajahan Prancis, termasuk di Indocina.
Perdebatan tentang model Anglo-Saxon atau model Eropa Kontinental sesungguhnya tak bermakna terlalu besar. Bagaimanapun, kedua model itu dikembangkan atas dasar struktur dan sifat perekonomian dunia yang jauh berbeda dari perkembangan ekonomi 30 tahun terakhir. Perekonomian dunia 30 tahun terakhir (1966-1996) jauh berbeda dengan perekonomian masa sebelumnya, tatkala revolusi informasi belum berkembang pesat. Karena lingkungan berbeda maka berbeda pula lintasan peran lapisan menengah mancanegara.
Perbedaan paling utama ialah lapisan menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal pada ekonomi informasi atau ekonomi pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak ekonomi di dunia sekarang lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa, teknologi) daripada perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti pendorong perekonomian lebih banyak dilakukan oleh kecepatan dan ketepatan pengolahan ilmu pengetahuan daripada pemroses produksi barang dan distribusi. Setiap hari sekitar US$ 1,6 trilyun diolah dalam transaksi valuta asing, sedangkan perdagangan barang manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan) “hanya” sekitar US$ 600 milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara sebagian terbesar adalah ahli pengolah otak daripada pengolah otot. Maka lapisan menengah masa kini bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an atau 1950-an yang menjadi pemilik tanah, modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia kini makin terdiri atas pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang pasar modal, dokter spesialis). Kesetiaan mereka adalah pada keahlian profesinya, bukan terhadap
perusahaan tertentu.
Di sisi lain, Friedman tidak menganalisis lebih jauh bahwa pada dasarnya demokrasi bukan sebuah sistem praktis untuk setiap negara dengan resep yang sama, yang hal ini terlihat dari tradisi Kontinental dan Anglo-Saxon. Bahkan kini Nicholas Syarkozi ingin agar Prancis lebih menyerupai demokrasi Amerika. Maksudnya, pengembangan demokrasi lebih dekat dengan kecenderungan yang nisbi atau sesuatu yang to come dan tertunda sebagaimana diungkap filsuf Derrida. Ketidakmampuan melihat tabiat dan kondisi Timur Tengah-lah yang menyebabkan kegagalan misi Amerika. Pada dasarnya masyarakat Timur Tengah menolak proyek peradaban yang prestisius menuju demokrasi, dan kebebasan bukan karena nilai-nilai itu bertentangan, melainkan lebih disebabkan oleh perbuatan Amerika yang permisif. Pada prinsipnya, masyarakat Arab tidak lebih heterofobia dibandingkan dengan Amerika.
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

System hukum kontinental

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem hukum yang juga dikenal dengan nama Civil Law ini berasal dari Romawi yang kemudian berkembang ke Prancis. Perkembangannya diawali dengan pendudukan Romawi atas Prancis. Pada masa itu sistem ini dipraktekkan dalam interaksi antara kedua bangsa untuk mengatur kepentingan mereka. Proses ini berlangsung bertahun-tahun, sampai-sampai negara Prancis sendiri mengadopsi sistem hukum ini untuk diterapkan pada bangsanya sendiri.Bangsa Prancis membawa sistem ini ke Negeri Belanda, dengan proses yang sama dengan masuknya ke Prancis. Selanjutnya sistem ini berkembang keItalia, Jerman, Portugal, Spanyol, dansebagainya. Sistem ini pun berkembangke seluruh daratan benua Eropa.Ketika bangsa-bangsa Eropa mulaimencari koloni di Asia, Afrika, danAmerika Latin, sistem hukum ini digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa tersebut untuk mengatur masyarakat pribumi di daerah jajahannya. MisalnyaBelanda menjajah Indonesia. Pemerintah penjajah menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental untuk mengatur masyarakat di negeri jajahannya.Apabila terdapat suatu peristiwahukum yang melibatkan orang Belandaatau keturunannyadenganorang pribumi, sistem hukum ini yang menjadi dasar pengaturannya.  Dengan demikian berarti sistem hukum Eropa Kontinental yang diberlakukan Indonesia tetap berlaku. Hal yang membedakan sistem Civil Law dengan sistem Common Law (yang juga disebut sistem Anglo-Saxon) adalah, pertama, pada Civil Law dikenal apa yang dinamakan “kodifikasi hukum”.Artinya pembukuan jenis-jenis hukum
tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum,dan kesatuan hukum. Contoh hukumyang sudah dikodifikasi dalam kitabundang-undang adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata(KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Ktab-kitab di atas ditulis dan disusunoleh pemerintah kolonial Belanda dandiberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Kedua, sistem hukum Eropa Koninental tidak mengenal adanya juri dipengadilan. Hakim yang memeriksa,mengadili, dan memutuskan suatu perkara selalu adalah majelis hakim (panel),ang terdiri dari tiga orang. Kecuali untuk kasus-kasus ringan dan kasusperdata, yang menangani bisa hakimtunggal.

Sistem Hukum Islam

Sistem Hukum (at-Tasyri`) di sini, aspek yang mensinkronisasikan antara prilaku hidup dengan ketentuan hukum yang ditetapkan Allah swt.
Definisi ‘Syari`at’ ‘Syari`at’secara bahasa, berarti : ‘jalan yang lurus’ atau ‘sumber mata air’. Secara terminologi, artinya : "Semua yang ditetapkan Allah atas hambaNya berupa agama (dien) dari berbagai hukum".
Karakteristik ‘Syari`at’

1. Sumbernya Allah Swt. Konsekuensinya :

- Hukum Syari`at bersih dari segala bentuk kecurangan, kelemahan, dan unsur-unsur kepentingan. Karena legislatornya Allah swt. Berbeda dengan Hukum Positif yang tak lepas dari faktor-faktor di atas, karena legislatornya manusia.
Umpamanya, Syari`at meletakkan prinsip "PERSAMAAN DI MATA HUKUM" (al-Musawah Baynan-Nas) yang pertama sekali dikenal adalah di dalam Islam. Syari`at tidak membeda-bedakan orang atas dasar warna kulit, etnis atau bahasa. (Surat al-Hujurat 13), dan Hadits ‘Perempuan dari Bani Makhzum’. Prinsip itu lahir di tengah masyarakat yang diskriminatif oleh faktor etnis dan kabilah. Tetapi Islam berhasil menghapus diskriminasi itu dengan semboyan Hadits Nabi saw : " Tidak ada kelebihan orang Arab dari orang Non-Arab, selain dalam ketakwaan".
Sementara Di AS, hingga sekarang, warga negara dibedakan atas dasar warna kulit. Kulit Putih adalah warga negara kelas satu. Hingga dalam pemukiman pun, kulit putih dan Hitam dipisahkan di AS. Ada kota-kota tertentu terpisah antara orang kulit hitam dengan kulit putih.
Sebagian negara bagian di AS konstitusinya menetapkan perkawinan antara seorang kulit putih dengan kulit merah, tidak sah.
Usaha-usaha yang mengarah pada tuntutan persamaan hak-hak sosial dan perkawinan antara kulit putih dan hitam -baik melalui selebaran, brosur, walau sekadar menyampaikan saran- merupakan perbuatan kriminal dan dapat diancam dengan hukuman denda $ 500 dan penjara enam bulan.
- Syari`at mempunyai wibawa hukum dan penghargaan di mata orang beriman. Contoh : Proses pelarangan miras di Madinah pada masa Nabi Saw, cukup dengan kata "Fajtanibuh" (hindari kamulah!), lorong-lorong kota Madinah menjadi banjir miras. Padahal bangsa Arab terkenal sebagai masyarakat yang sangat suka minuman keras.
Sementara di AS, larangan mengkonsumsi alkohol berakhir dengan kegagalan. Pemerintah AS pernah mengeluarkan UU Pelarangan Miras tahun 1930. Larangan memproduksi, menjual, membeli, mengekspor dan mengimpor miras. Kampanye anti Miras dan iklan di media massa dilakukan secara gencar dengan biaya $ 65 juta US. Berdasarkan statistik, dalam tempo 3 tahun (1930-1933), telah terbunuh 200 jiwa, 500.000 orang ditangkap, denda jutaan dolar. Akhirnya, pemerintah AS mencabut kembali UU tsb akhir 1933.
2. Karakteristik Kedua : Sanksi Hukum Syari`at bersifat duniawi dan ukhrawi
Hukuman asli bagi suatu kejahatan bersifat ukhrawi yaitu siksaan atas orang yang berdosa di hari Akhirat. Tetapi, karena tuntutan keamanan dan ketenteraman masyarakat, syari`at menetapkan hukuman duniawi, baik berbentuk hukuman pidana, ataupun perdata. (Surat an-Nisa’ 13, 14, Al-Ma’idah 33, An-Nisa’ 10).
-Konsekuensinya, setiap muslim patuh dan tunduk pada hukum secara sukarela, tanpa paksaan. Karena, sekalipun ia lepas dari hukuman dunia, tapi ia tidak akan lepas dari hukuman akhirat.
-Kesadaran (Disiplin) Hukum yang Tinggi. Seseorang yang sudah terlanjur berbuat kesalahan, tetapi karena kesadaran hukum yang tinggi ia menyerah pada kekuasaan agar dihukum. Contohnya, kasus Ma`iz yang meminta agar dirinya dijatuhi hadd zina.
3. Karakteristik Ketiga : Berlaku Umum
Syari`at Islam berlaku umum untuk semua orang di semua tempat. Firman Allah Swt : "Katakanlah, wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian semuanya." (Al-A`raf 158), (Saba’ 28).
Konsekuensinya, hukum-hukum syari`at berikut kaedahnya harus mampu mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia, kapan dan di mana saja. Dan mampu mengantarkan masyarakat ke derajat yang paling tinggi (masyarakat ideal). Syari`at Islam memiliki perangkat-perangkat untuk itu.
Alasannya adalah sbb:
1. Syari`at dibangun atas landasan "Demi Mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerugian" (Jalbu al-Mashalih wa Dar’u al-Mafasid). Ketentuan hukum syari`at di bidang apa saja, semuanya mengacu pada kemaslahatan umat manusia.
Prinsip ini didasarkan pada :
1. Firman Allah yang menerangkan alasan diutusnya Rasul Saw : "Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Al-Anbiya’ 107).
2. Setiap hukum dilandasi oleh alasan (`illat) "merealisasi kemaslahatan" (tahqiq al-Mashalih). Umpamanya, kenapa Allah mewajibkan hukum Qishash dalam pembunuhan? Alasannya adalah demi menjamin kelangsungan hidup manusia. (Al-Baqarah 18). Pelaksanaan Qishash akan meredam kejahatan terhadap jiwa manusia. Allah mengharamkan khamar (miras) dan judi, untuk menghindarkan masyarakat dari permusuhan dan perkelahian. (Al-Ma’idah 91)
3. Dibukanya pintu ‘rukhshah’ dalam kondisi sulit menetapkan hukum.
4. Dengan penelitian, terbukti bahwa maslahat manusia tidak terlepas dari 3 kategori (primer, sekunder dan tertier). Hukum-hukum Syari`at bertujuan mewujudkan dan melindungi ketiga faktor tsb.
2. Prinsip-prinsip syari`at dan kandungannya

Hukum syari`at dapat dibagi atas 2 klassifikasi :
1. Hukum Yang Terperinci
2. Kaedah Umum

1. Hukum-hukum yang terperinci dan bernilai universal, menyangkut :
• `Aqidah dan rukun Iman
• Persoalan Ibadah
• Akhlaq
• Sebagian masalah yang menyangkut hubungan antarsesama manusia, seperti: Hukum Keluarga, Tata cara Perkawinan, Pemeliharaan anak, Hukum Waris, Pelarangan Riba, Ketentuan pidana untuk kejahatan tertentu seperti kejahatan murtad, zina, menuduh orang lain berzina, pencurian, perampokan, minum khamar, dan Qishash.

1. Kaedah Umum yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Seperti, prinsip ‘Musyawarah’, ‘Persamaan’, ‘Keadilan’, penetapan kaedah ‘Tidak boleh menimpakan kumudaratan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain’ (La Dharar Wa la Dhirar).
2. Sumber-sumber Hukum Syari`at yang fleksibel, seperti Ijtihad yang merupakan dasar bagi Ijma`, Qiyas, Istihsan, Mashlahat dsb.

4. Karakteristik Keempat : UNIVERSAL
Syari`at dapat dibagi atas 3 kelompok besar :
1. Hukum tentang `Aqidah.
2. Hukum tentang Akhlaq.
3. Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh).

Hukum `Amaliyah dapat dibagi dua :
1 `Ibadat (dimensi vertikal)
2 Mu`amalat (dimensi Horizontal), dapat dibagi atas :
-Hukum Keluarga (Family Law)
-Hukum Finansial dan Transaksi
-Peradilan
-Hukum tentang warganegara asing (Musta’min) dalam Negara Islam
-Hukum Antar Bangsa (International Law)
-Hukum Tata Negara
-Hukum tentang Sumber-sumber Pendapatan Negara
-Hukum Pidana.
Tujuan Hukum Islam
1. Hubungan antar sesama manusia didasarkan atas prinsip ‘KEADILAN’. Tidak membeda-bedakan antara kaya-miskin, kuat-lemah, Arab-Ajam, putih-hitam, melainkan atas dasar ketakwaan. (Al-Hadid 25)
2. Menjalin "PERSAUDARAAN", saling percaya, dan saling pengertian di satu sisi, serta menghindari bibit-bibit permusuhan dan pertikaian. Contohnya penentuan hak dan kewajiban, larangan berlaku curang, zalim, dan penipuan dalam bisnis dan transaksi.
3. Memelihara 3 Pokok Kepentingan manusia : Primer (Pokok), Sekunder (Penting) dan Tertier (Pelengkap).
4. Konsentrasi dalam menjalankan tugas manusia - ‘Ibadah, Membangun Bumi, Wakil Allah di atas bumi, dan Menyeru dunia untuk bergabung dalam missi Islam’ (`IBADAH, `IMAROH, KHILAFAH, DAK`WAH).
Sebuah Missi yang tujuannya : ‘Kebenaran, Kebaikan, Etika yang Mulia’.
Metodenya : ‘Beriman, Amal Shaleh, dan Saling Berpesan untuk komitmen dalam kebenaran dan Kesabaran’. (Surat al-`Ashr 1-3).
System hukum adat

Berbicara tentang hukum Adat dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Beberapa problem itu antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era kekinian sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa Adat tidak mengenal pemisahan antara pidana dan perdata. Dan keempat, pemisahan horizontal tentang hukum tanah.
Tulisan ini dengan tanpa berpretensi, tidak bermaksud untuk menjawab semua persoalan di atas. Namun hanya mengupayakan pembahasan secara sederhana tentang persoalan hukum Adat dan interrelasinya dengan perubahan sosial. Pembahasan dimulai dengan mendefinisikan hukum Adat secara ontologis dan epistemologis. Bagian kedua, menjelaskan tentang urgensi hukum Adat dalam konteks keIndonesiaan. Selanjutnya, dibicarakan tentang masyarakat dan perubahan sosial dan hubungannya dengan hukum Adat. Pembahasan ditutup dengan kesimpulan.

Hukum Adat: Kajian Ontologis dan Epistemologis
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan emosional dan ideologis.[1] Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara lain:
1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi: a) Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat.
Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian.[2]
Urgensi Hukum Adat
1. Indonesia: Negara Multi Kultural
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, etnis, klan, agama. Hukum Adat muncul salah satunya adalah untuk menjaga dan mengakomodasi kekayaan kultural bangsa Indonesia yang semakin terpendam sehingga tetap dikenal dan menjadi elemen penting dalam perumusan hukum nasional yang adaptif dan mempunyai daya akseptabilitas yang tinggi untuk masyarakat.
2. Hukum Adat dalam Tata Hukum Nasional Indonesia
Kedudukan hukum Adat dalam konstelasi tata hukum nasional Indonesia senyampang ia tidak menghambat segera tercapainya masyarakat Sosialis Pancasila yang nota bene dari dulu sampai sekarang menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat kita, harus menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional kita yang baru. Hal ini terdapat pada salah satu point dalam rumusan Dasar-dasar dan Asas-asas Tata Hukum Nasional oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.
Konstruksi Hukum Adat
1. Sejarah Hukum Adat
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum Adat, yaitu:
a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum Adat itu sendiri.
Peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra Hindu. Adat istiadat tersebut merupakan adat Melayu. Lambat laun datang di kepulauan kita ini kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.
b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sebelum zaman Kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum Adat. Dalam zaman Kompeni itulah baru bangsa Asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.
c. Sejarah kedudukan hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Pada periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) masa menjelang tahun 1848, 2) pada tahun 1848 dan seterusnya, dan 3) sejak tahun 1927, yaitu hukum Adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke ‘kodifikasi’.[3]
2. Faktor Yang Mempengaruhi
Di samping faktor astronomis–iklim–dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah:
a. Magis dan animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. Faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut: 1) pemujaan roh-roh leluhur, 2) percaya adanya roh-roh jahat dan baik, 3) takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan 4) dijumpainya orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut.
b. Agama
1) Agama Hindu. Agama ini pada lebih kurang abad ke-8 dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia. Pengaruh terbesar agama ini terdapat di Bali meskipun pengaruh dalam hukum Adatnya sedikit sekali.
2) Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan, yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam lembaga wakaf.
3) Agama Kristen. Di sini juga nampak dengan jelas, bahwa di kalangan masyarakat yang sudah memeluk agama Kristen, hukum perkawinan Kristen diresepsi dalam hukum Adatnya.
c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum Adat.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain sebagainya.
d. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum Adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan Belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang Perdata material saja.[4]
Masyarakat dan Perubahan Sosial
1. Interaksi Sosial dan Stratifikasi Sosial
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi[5] menyatakan bahwa salah satu unsur obyek kajian sosiologi adalah proses sosial. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.[6] Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Adapun syarat-syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontrak sosial dan komunikasi.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat. Penghargaan itu akan menempatkan sesorang pada kedudukan yang lebih tinggi. Gejala ini menimbulkan adanya stratifikasi sosial (lapisan masyarakat), pembedaan masyarakat secara vertikal. Ukuran yang bisa dipakai untuk mengklasifikasi anggota masyarakat antara lain, ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Ketika pola interaksi sosial serta sistem stratifikasi masyarakat bergeser maka hukum Adat sebagai norma dasar yang lebih dekat kepada masyarakat akan berubah juga.
2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu dapat terjadi pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, lapisan masyarakat, lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan sosial itu terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.
Para pakar sering mempersoalkan tentang hubungan antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebagian mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, karena kebudayaan mencakup semua aspek kehidupan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan, yaitu: a) jumlah penduduk yang berubah, b) penemuan baru, c) pertentangan masyarakat (conflict) dan d) terjadinya pemberontakan atau revolusi.[7]
Catatan Penutup
Sudah sekian lama pembahasan tentang hukum Adat belum diadakan pembaharuan dan reobservasi ulang. Masyarakat tidaklah statis, ia akan selalu berubah dan mengalami proses dinamisasi. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya, akan berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pada pandangan yang sepintas, kurang mendalam, dan hanya berhenti pada satu titik. Karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada satu titik tertentu sepanjang masa. Apalagi perubahan yang terjadi di masyarakat dewasa ini berjalan normal dan menjalar dengan cepat berkat adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk segera dilakukan rekonstruksi dan reresearch terhadap konsep hukum Adat di Indonesia.

Sistem hukum kanonik

Salah satu karya besar para ahli hukum Romawi adalah Kitab Hukum  Justinianus.Kita juga mengetahui bahwa pada abad kedua pemerintahan Romawi telah berkembang ajaran Kristen. Pengaruh Kristen ini makin lama makin kuat, tidak hanya terbatas pada aspek teologinya melainkan juga pada dimensi politiknya melalui organisasi Gereja. Organisasi agama ini mengembangkan tradisi sendiri, termasuk ajaran  hukum baru yang disebut hukum kanonik. Sekolah-sekolah biara (skolastik) didirikan di sejumlah tempat. Pendek kata, kekuasaan politik Gereja sangat efektif, sehingga akhirnya (tahun 380 Masehi) berhasil memaksakan penguasa Romawi menerima Kristen sebagai agama resmi di seluruh imperium Romawi yang telah tercobik-cabik oleh berbagai pemberontakan itu. Demikianlah, kekuasaan Gereja ini akhirnya berhasil mendominasi perjalanan filsafat dan ilmu-ilmu, termasuk ilmu hukum.Periode dominasi kekuasaan Gereja dikenal dengan sebutan Abad Pertengahan, yang kurang lebih berlangsung dari 400 Masehi–1500. Pada periode ini universitas-universitas berdiri di berbagai kota besar di Eropa. Pembangunannya biasanya diprakarsai oleh penguasa politik, tetapi kurikulum harus direstui oleh Gereja.Sampai sekarang tidak jelas sejarah universitas tertua yang dibangun pada Abad Pertenggahan. Dokumen sejarah konon telah mencatat pada tahun 433 Masehi sudah berdiri Universitas Oxford (oleh Raja Alfred), Universitas Paris (oleh Charlemagne), dan Universitas Bologna (oleh Theodesius II). Pada periode berikutnya berdiri universitas-
universitas lain, yang sampai tahun 1500 (akhir Abad Pertengahan) sudah berjumlah 79 buah universitas diseluruh Eropa. Sekalipun sudah ada sejumlah perguruan tinggi, pengaruh universitas-universitas ini tidakterlalu besar dalam menarik minat pelajar-pelajar Eropa sampai lima abad pertama. Barulah pada Abad ke-11 dan 12, motivasi untuk belajar ini tumbuh di tiga kota pendidikan utama di Eropa. Bagi yang berminat mendalami kedokteran, mereka menuju ke Salerno; sementara untuk yang ingin belajar teologi, Paris-lah tempatnya; lalu untuk yang berminat belajar hukum, mereka menuju ke Bologna.Pengajaran hukum mulai menarik minat besar karena kondisi sosial politik di Eropa sangat kondusif. Selepas kejayaan Romawi, negara-negara bangsa (nation states) mulai bertumbuhan di Eropa. Penguasa negara-negara baru ini adalah penguasa politik yang terbukti paling mampu mempertahankan ketertiban dan keamanan di wilayahnya. Untuk itu penguasa tadi perlu bekerja sama dengan penguasa di daerah-daerah yang biasanya terdiri dari kaum bangsawan setempat. Agar loyalitas kepada penguasa pusat taditerpelihara, kaum bangsawan ini diberi otoritas untuk membangun sistem hukum sendiri. Dengan demikian pada saat bersamaan, di negara-negara itu terdapat berbagai sistem yang berlaku sekaligus. Ada sistem hukum kanonik (dari Gereja) dan sistem hukumsekular (dari penguasa pusat dan daerah). Di samping itu ada pula sistem hukum lainyang berlaku untuk kalangan pedagang.Pemahaman terhadap kemajemukan (pluralisme) hukum ini membutuhkan orang-orang yang dididik secara khusus. Oleh sebab itu, para penguasa politik dan pemilikmodal tersebut lalu menyewa guru-guru untuk mengajarkan pengetahuan hukum dan kemahiran berpikir yuridis bagi penerus kekuasaan mereka masing-masing. Makin pandai dan menarik guru tersebut membagi pengetahuannya, maka makin tinggi bayarannya.Salah seorang guru tersebut adalah Irnerius (nama lainnya adalah Garnerius), yang pada awalnya mengajar di keluarga bangsawan Putri (Countess) Matilda dari Tuscany.Konon sebelum itu, yakni pada usia baru sekitar 20 tahunan, Irnerius sudah berprofesi sebagai dosen di Universitas Bologna untuk bidang didaktika dan retorika. Di keluarga Matilda ini Irnerius diminta mengajar hukum, dan untuk itu ia memakai bahan-bahan dari Kitab Hukum Justinianus.Walaupun yang digunakan adalah bahan-bahan hukum Romawi yang sudah tidak berlaku, Irnerius tetap dianggap berhasil mengambil saripati Kitab Hukum Justinianus itu, yaitu berupa prinsip-prinsip hukum umum, yang pada gilirannya dapat diterapkan oleh siapa saja di negara manapun. Irnerius mengajar ilmu hukum dengan pendekatan tadi tidak hanya di Bologna, tetapi juga di Roma. Sekembali dari Roma, pada tahun 1084 ia mendirikan sekolah hukumnya sendiri, yang langsung menyedot perhatian pemuda-pemuda dari seluruh penjuru Eropa (sampai 14.000 siswa). Metode pengajaran ala Irnerius ini (disebut studium civile; yang berarti studi ilmiah tentang hukum [the scientific study of law]) lalu diikuti oleh berbagai universitas di Eropa. Jadi, dapat dikatakan Irnerius adalah orang pertama yang berhasil mendesain pengajaran hukum sepertidiajarkan oleh ilmu-ilmu modern sekarang ini.

HUKUM KREDIT PERBANKAN

KREDIT PERBANKAN  
A.    Pengertian Kredit

Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian.
Kata ‘kredit’ berasal dari bahasa Latin creditur yang merupakan bentuk past participle dari kata credere (lihat pula credo dan creditum, yang berarti to trust atau faith). Kata trust berarti ‘kepercayaan’. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazim bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan.
Dalam KBBI, kata kredit antara lain diartikan : pertama, pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur, dan kedua, pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan  oleh bank atau badan lain.
Secara yuridis Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama, kata ‘kredit’, istilah yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan kedua, kata ‘pembiayaan’ berdasarkan Prinsip Syariah, istilah yang digunakan pada bank syariah.
   Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan riil yang dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing).
 Pengertian kredit disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang berbunyi :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berddasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi :
“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 PBI No.9/19/PBI/2007, dan juga dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Dari rumusan kedua istilah kredit dan pembiayaan tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontraprestasi yang akan diberikan nasabah peminjam dana (debitur) kepada bank (kreditur) atas pemberian kredit atau pembiayaan. Pada bank konvensional, kontraprestasinya berupa bunga sebagai keuntungan, sedangkan pada bank syariah, kontraprestasinya dapat berupa imbalan ujrah, bagi hasil, atau bahkan tanpa imbalan sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama bank syariah dengan debiturnya. Baik kredit maupun pembiayaan, sama-sama merupakan penyediaan dana atau tagihan / piutang yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya persetujuan atau kesepakatan bersama antara pihak bank (kreditur) dan pihak lain nasabah peminjam dana (debitur), dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit itu mencakup kewajiban nasabah peminjam dana atau pihak yang dibiayai melunasi utangnya atau mengembalikan pinjamannya beserta dengan bunga, imbalan, atau bagi hasil dalam tenggang waktu yang disepakati bersama.
Dalam perbankan konvensional penyaluran dana kepada nasabah selalu dalam bentuk uang yang kemudian terserah bagi nasabah debitur untuk memakainya. Sedangkan dalam perbankan syariah biasanya bank menyediakan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang nyata (asset) baik yang didasarkan pada konsep jual-beli, sewa-menyewa, ataupun bagi hasil.
 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam makna kredit, yaitu :
  1. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.
  2. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan pelunasan kreditnya,
  3. Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakan pengikatan jaminan (agunan).


B.     Fungsi Kredit

Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari.
Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang lebih baik. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi :
  1. Meningkatkan daya guna uang.
  2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
  3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang.
  4. Salah satu alat stabilitas ekonomi.
  5. Meningkatkan kegairahan berusaha.
  6. Meningkatkan emerataan pendapatan.
  7. Meningkatkan hubungan internasional.



C.    Jenis-Jenis Kredit
Jenis-jenis kredit berdasarkan klasifikasinya terdiri atas :
1.      Jenis kredit menurut kelembagaan;
2.      Jenis kredit menurut jangka waktu;
3.      Jenis kredit menurut penggunaannya;
4.      Jenis kredit menurut kelengkapan dan keterikatannya dengan dokumen yang dibutuhkannya;
5.      Jenis kredit menurut aktivitas perputaran usaha;
6.      Jenis kredit menurut jaminannya;
7.      Jenis kredit dari berbagai kriteria lainnya.

1.   Jenis Kredit Menurut Kelembagaan
Jenis kredit menurut kelembagaan terdiri atas :
a.       Kredit perbankan;
b.      Kredit likuiditas;
c.       Kredit langsung;
d.      Kredit pinjaman antarbank.
Kredit perbankan adalah kredit yang diberikan oleh bank milik negara atau bank swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi.
Kredit likuiditas adalah kredit yang diberikan oleh bank sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya.
Kredit langsung adalah kredit yang diberikan oleh BI kepada lembaga pemerintah atau semipemerintah (kredit program). Adapun kredit program adalah kredit atau pembiayaan yang disalurkan bank pelaksana dengan dukungan Kredit Likuiditas BI (KLBI) dalam rangka mendukung program pemerintah.
Kredit pinjaman antarbank adalah kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. Bilateral loan adalah transaksi pinjaman dua pihak secara langsung antara bank yang meminjamkan dan bank peminjam, sedangkan kredit sindikasi adalah pinjaman yang diberikan sekelompok. Kredit konsorsium adalah pembiayaan secara bersama-sama, maksudnya beberapa bank secara bersama-sama berdasarkan perjanjian terentu memberikan kredit kepada suatu perusahaan.

2.   Jenis Kredit Menurut Jangka Waktu
Dari segi jangka waktunya jenis kredit meliputi :
a.       Kredit jangka pendek (short term loan);
b.      Kredit jangka menengah (medium term loan);
c.       Kredit jangka panjang.
Kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, dan kredit wesel, serta kredit modal kerja.
Kredit jangka menengah adalah kredit berjangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun. Bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
Kredit jangka panjang adalah kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun. Bentuknya pada umumnya berupa kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.
Jangka waktu kredit kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam PP 54 / 2005 tentang Pinjaman Daerah, yang terdiri atas :
a.       Pinjaman jangka pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahu anggaran yang bersangkutan.
b.      Pinjaman jangka menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
c.       Pinjaman jangka panjang, merupakan suatu pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

3.   Jenis Kredit Menurut Penggunaannya
Dari segi tujuan kredit, jenis kredit terdiri atas :
a.       Kredit konsumtif;
b.      Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi;
c.       Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif.
Kredit konsumtif adalah kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau swasta yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari.
Kredit investasi adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung, dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek, atau pendirian proyek baru, sedangkan jangka waktunya dapat berjangka waktu menengah atau berjangka waktu panjang. Adapun kredit eksploitasi adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi, serta piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku pendek.

4.   Jenis Kredit Menurut Keterikatannya dengan Dokumen
Jenis kredit ini terdiri atas :
a.       Kredit ekspor;
b.      Kredit impor.
Kredit ekspor adalah semua kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. DPL, kredit ekspor adalah kredit untuk membiayai kegiatan investasi dan modal kerja yang diberikan dalam rupiah dan atau valuta asing kepada eksportir dan atau pemasok.

  1. Jenis Kredit Menurut Aktivitas Perputaran Usaha
Jenis kredit ini terdiri atas :
a.       Kredit kecil;
b.      Kredit menengah;
c.       Kredit besar.

Kredit kecil adalah kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil. Kredit Usaha Kecil (KUK) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja, yang diberikan dalam rupiah atau valuta asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit keseluruhan maksimum Rp.350.000.000,00 untuk membiayai usaha yang produktif.
Kredit menengah adalah kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih dari daripada pengusaha kecil.
Kredit besar pada dasarnya ditinjau dari segi jumlah kredit yang diterima oleh debitur.

6.   Jenis Kredit Menurut Jaminannya
Dari segi jaminanya, kredit dapat dibedakan antara lain :
a.       Kredit tanpa jaminan atau kredit blanko (unsecured loan);
b.      Kredit dengan jaminan (secured loan).
Kredit tanpa jaminan adalah pemberian kredit tanpa jaminan materiil (agunan fisik), pemberiannya sangat selektif dan ditujukan kepada nasabah besar yang telah teruji bonafiditas, kejujuran, dan ketaatannya, baik dalam traksaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.
Kredit dengan jaminan adalah kredit yang diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan pada adanya agunan atau jaminan ang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan.
D.    Perkreditan yang Dijalankan Bank Indonesia (BI)

Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 Pasal 29,  BI betugas untuk memajukan perkembangan yang sehat mengenai urusan kredit, sekaligus bertindak mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit tersebut. Dengan demikian, BI mempunyai wewenang untuk menetapkan batas-batas kuantitatif dan kualitatif di bidang perkreditan bagi perbankan.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 32 ayat (2)-nya, bahwa BI dalam pemberian kredit likuditas bertindak dengan cara menerima penggadaian ulang, menerima sebagai jaminan surat-surat berharga; dan menerima aksep dengan syarat yang ditetapkan BI.
Ketentuan di atas sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Pasal 11, di mana dalam fungsinya sebagai bankers bank atau sebagai lender of de last resort, BI dapat bertindak memberikan kredit dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.
Menurut jenisnya, kredit likuiditas darurat dibedakan dalam dua jenis, yaitu :
1.      Kredit Likuiditas Umum, yaitu kredit yang disediakan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas sebagai akibat dari perubahan yang mendadak di luar kekuasaan bank dan bersifat jangka pendek. Melihat karakteristik dari Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari BI kepada bank, yang kiranya dapat dikelompokkan pada kredit likuiditas umum.
2.      Kredit Likuiditas Darurat Khusus, yaitu kredit yang diberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan di dalam faktor-faktor intern. Istilah kredit likuiditas darurat, saat ini dikenal dengan Fasilitas Pembiayaan Darurat yang selanjutnya disebut FPD adalah fasilitas pembiayaan dari BI kepada bank bermasalah yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat solvabilitas yang ditetapkan BI, serta berdampak sistemik yang pemberiannya didasarkan pada keputusan rapat Menkeu dan Gubernur BI dan pendanaannya menjadi beban pemerintah.
Sejalan dengan perkembangan zaman serta perubahan perundang-undangan di bidang perbankan, khususnya peraturan mengenai bank sentral maka kebijakan pengetatan pemberian kredit likuiditas dan pembiayaan dari BI kepada perbankan nasional merupakan bagian dari upaya BI untuk menyehatkan perbankan nasional. Namun begitu, BI dalam memberikan bantuan likuiditas tersebut hanya tertuju pada bank yang memenuhi persyaratan.  
E.     Perjanjian Kredit
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata Pasal 1754 – 1769. Namun, dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya. Dalam bentuk yang campuran demikian maka selalu tampil adanya suatu jalinan di antara perjanjian yang terkait tersebut. Akan tetapi, dalam praktik perbankan pada dasarnya bentuk dan pelaksanaan perjanjian pinjam-meminjam yang ada dalam KUHPerdata tidaklah sepenuhnya identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan, di antar keduanya ada perbedaan-perbedaan yang gradual, bahkan dapat pula merupakan perbedaan yang pokok.
Sesuai dengan asas yang utama dari suau perikatan atau perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUHPerdata, tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama.
Dalam perkembangannya kebebasan berkontrak ini mendapat pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat memaksa, yang ditujukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembagunan nasional yang berdasarkan asas pemerataan.
Dalam praktik, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dan bank yang lainnya tidaklah sama. Hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing.  Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum, hanya saja dalam praktik ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dlaam perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini (terutama dalam perjanjian kredit dengn pihak asing / loan agreement), jumlah dan batas waktu peminjaman, pembayaran kembali pinjaman (repayment) apakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih cepat dari ketentuan yang ada, penetapan bunga pinjaman dan dendanya jika debitur lalai membayar bunga, dan dicantumkannya berbagai klausul.
Dalam praktiknya perjanjian kredit sering kali mengakomodasi hal-hal seperti di atas sehingga semuanya dilakukan dan akhirnya terbentuklah perjanjian baku untuk perjanjian kredit tersebut. Rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan unsur-unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan dan terjadi suatu pemaksaan kaaena adanya ketidakseimbangan kekuatan para pihak, juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak, atau risiko yang hanya dibebankan kepada sepihak pula, serta pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.
Larangan demikian tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu bahwa pelaku usaha dilarang memcantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Apabila ternyata perjanjian tersebut memuat klausul-klausul atau rumusannya kabur atau tidak mudah dimengerti serta tidak jelas arti rumusannya, berlaku asas the promise to vague to be enforce dan a contract meaningless, sehingga selanjutnya perjanjian demikian tidak mempunyai daya mengikat, bahkan menurut Pasal 18 ayat (3)-nya, perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Dalam ruang lingkup pembahasan perjanjian kredit ini, sering pula dalam praktiknya peminjam diminta memberikan representations, warranties, dan covenants. Adapun yang dimaksud dengan representations adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian kredit. Sedangkan yang dimaksud dengan warranties adalah suatu janji, misalnya, janji bahwa debitur akan melindungi kekayaan perusahaannya atau aset yang telah dijadikan jaminan untuk mendapatkan kredit tersebut. Sementara yang dimaksud dengan covenants adalah janji untuk tidak melakukan sesuatu.
Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, di antaranya :
  1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok.
  2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
  3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, di antaranya :
  1. Klausul mengenai syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause).
  2. Klausul mengenai maksimum kredit (amount clause).
  3. Klausul mengenai jangka waktu kredit.
  4. Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause).
  5. Klausul mengenai barang agunan kredit.
  6. Klausul mengenai asuransi (insurance clause).
  7. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause).
  8. Klausul mengenai hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir (tigger clause / opeisbaar clause).
  9. Klausul mengenai denda (penalty clause).
  10. Klausul mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit (expence clause).
  11. Klausul mengenai pendebetan rekening pinjaman debitur harus dengan seizin debitur (debet authorization clause).
  12. Klausul mengenai debitur menjanjikan dan menjamin bahwa semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan (representation an warranties clause / materiil adverse change clause).
  13. Klausul mengenai ketaatan pada ketentuan bank.
  14. Klausul mengenai pasal-pasal tambahan (miscellaneous / boiler plate provision clause).
  15. Klausul mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dan debitur, jika terjadi (dispute settlement / alternatif dispute resolution clause).
  16. Pasal penutup.


F.     Jaminan  dan Agunan Kredit

Dalam memberikan kreditnya bank wajib melakukan analisis terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank perlu melakukan pemantauan terhadap penggunaan kredit serta kemampuan dan kepatuhan debitur dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu, bank juga dituntut untuk melakukan peninjauan, penilaian, dan pengikatan terhadap agunan yang disodorkan oleh debitur sehingga agunan yang diterima dapat memenuhi persyaratan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut harus ditaati karena telah dijadikan asas dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Dari ketentuan tersebut di atas yang paling penting, yaitu bahwa bank dalam menyalurkan dana untuk kredit harus didasarkan pada adanya suatu jaminan. Adapun yang dimaksud dengan jaminan dalam pemberian kredit, yaitu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. (Pasal 2 ayat (1) SK Dir BI No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit). Sedangkan guna memperoleh keyakinan tersebut maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha tersebut.
Menurut Subekti, jaminan yang ideal adalah jaminan yang :
  1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang membutuhnya.
  2. Tidak melemahkan posisi (kekuatan) si penerima kredit untuk meneruskan usahanya.
  3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa apabila perlu, mudah diuangkan untuk melunasi utang debitur.

Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal pemberian fasilitas kredit. Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Menurut Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bentuk agunan dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.
Meskipun adanya kemudahan, agunan tersebut harus tetap ideal karena agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, yaitu dengan memnberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang yang diagunkan tersebut apabila debitur wanprestasi.
Dalam pemberian fasilits kredit ini pada praktiknya agunan bahkan lebih dominan atau diutamakan, sehingga agunan lebih dipentingkan daripada hanya sekedar jaminan yang berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk melunasi utangnya.
Dalam rangka menambah keyakinan atas watak dan kemampuan debitur, bank selalu meminta jaminan pemberian kredit dari pihak lain, seperti jaminan pribadi, garansi dari bank lain, atau jaminan dari induk perusahaan. Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.  
Avalist, pada praktik yang sebenarnya jaminan kebendaan (persoonlijke en zekerheid) yang lebih banyak dipraktikkan. Jaminan kebendaan merupakan suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya ataupun antara kreditur dan seseorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.
Dalam konteks perkreditan istilah jaminan sangat sering bertukar dengan istilah agunan. Menurut Pasal 2 ayat (1) SK Dir BI No. 23/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
G.    Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit
Bisnis bank merupakan bisnis konservatif. Kecenderungan kepada sifat yang konservatif tersebut, maka bank harus hati-hati dalam menjalankan usahanya. Bank dalam memberikan kredit harus melakukannya berdasarkan analisis pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit yang diberikan oleh bank itu merupakan kredit-kredit yang tidak mudah menjadi kredit-kredit macet. 
Berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan atas kemampuan  dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh karena itu, sebelum memberikan kredit, bank harus mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam hal ini bank harus melakukan penelitian secara saksama terhadap berbagai aspek. Selain itu bank juga diwajibkan untuk memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
Keyakinan bank didapat setelah dilakukan analisis yang mendalam  terhadap apa yang disebut dengan Prinsip 5C, 5P, dan 3R.
Penilaian terhadap Prinsip 5C ini meliputi atas :
3.      Character (watak / kepribadian). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan iktikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari.
4.      Capacity (kemampuan). Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
5.      Capital (modal). Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debiutr yang bersangkutan.
6.      Collateral (agunan). Bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat meluansi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembangan kredit atau pembiayaan yang tersisa.
7.      Condition of economy (prospek usaha nasabah debitur). Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri, baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai dapat pula diketahui.
 Adapun  penilaian terhadap Prinsip 5P meliputi atas :
  1. Personality (kepribadian). Dalam hal ini bank perlu mengumpulkan data-data mengenai calon debitur.
  2. Purpose (tujuan). Bank wajib menyoroti tujuan penggunaan dari kredit tersebut.
  3. Payment (pembayaran). Bank wajib memperhatikan kelancaran aliran dana (cash flow).
  4. Prospect (masa depan). Bank wajib memperhatikan masa depan kegiatan yang mendapatkan pembiayaan kredit tersebut.
  5. Protection (perlindungan). Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur.
Sementara penilaian terhadap Prinsip 3R meliputi atas :
  1. Return (balikan). Maksudnya hasil yang akan dicapai dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan tersebut.
  2. Repayment (pembayaran kembali).
  3. Risk Bearing Ability (kemampuan menanggung risiko).
Di samping rinsip-prinsip di aas, beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang harus diperhatikan oleh suatu bank, yaitu :
  1. Prinsip macthing, maksudnya harus match antara pinjaman dengan aset perseroan.
  2. Prinsip kesamaan valuta, maksudnya penggunaan dana yang didapat dari sutu kredit sedapat-dapatnya harus digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama, sehingga risiko nilai valuta dapat dihindari.
  3. Prinsip perbandingan antara pinjaman dan modal, maksudnya harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal.
  4. Prinsip perbandingan antara pinjaman dan aset.
Di samping dengan menggunakan prinsip penilaian dalam pemberian kredit, prinsip penilaian kredit dapat pula dengan studi kelayakan, yang meliputi :
  1. Aspek Hukum. Merupakan aspek untuk menilai keabsahan dan keaslian dokumen-dokumen atau surat-surat yang dimiliki oleh calon debitur.
  2. Aspek Pasar dan Pemasaran. Merupakan aspek untuk menilai prospek usaha nasabah sekarang dan di masa yang akan datang.
  3. Aspek Keuangan. Merupakan aspek untuk menilai kemampuan calon nasabahnya dalam membiayai dan mengelola usahanya.
  4. Aspek Operasi / Teknis. Merupakan aspek untuk menilai tata letak ruangan, lokasi usaha dan kapasitas produksi suatu usaha yang tercermin dari sarana dan prasarana yang dimilikinya.
  5. Aspek Manajemen. Merupakan aspek untuk menilai sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan, baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas.
  6. Aspek Ekonomi / Sosial. Merupakan aspek untuk menilai dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dengan adanya usaha terutama terhadap masyarakat.
  7. Aspek AMDAL. Merupakan aspek yang menilai dampak lingkungan yang akan timbul dengan adanya suatu usaha, kemudian cara pencegahan terhadap dampak tersebut.
H.    Asuransi Kredit
Sesuai dengan tujuan perbankan Indonesia yang tercantum dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan kredit, yaitu berupa ketentuan yang secara otomatis terutama bagi kredit kecil yang disalurkan akan mendapat perlindungan asuransi. Asuransi ini merupakan asuransi wajib (compulsory insurance) yang ditangani oleh PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang didirikan pada tanggal 6 April 1971. Pendirian perusahaan tersebut dilandasi pertimbangan perlunya usaha untuk mengarahkan dan mengamankan kebijakan dalam bidang perkreditan.
Dalam menutup asuransi terhadap suatu pinjaman, PT Askrindo menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh bank, di antaranya membayar premi asuransi yang jumlahnya ditentukan berdasarkan perjanjian. Sewaktu masih ada program kredit investasi kecil, dan kredit kerja modal permanen  (KIK/KMKP), maka PT Askrindo secara langsung mengamankannya dengan asuransi dan preminya yang besarnya 3% dibayar oleh bank pelaksana serta BI.
Ada dua tata cara pertanggungan yaitu secara kasus demi kasus dan penutupan pertanggungan secara otomatis, yang langkah-langkahnya sebagai berikut :
1)      Penutupan Pertanggungan Secara Kasus demi Kasus
a)      Pengusaha mengajukan permintaan kredit kepada bank.
b)      Bank mempelajari dan mempertimbangkan permintaan kredit tersebut.
c)      Dalam hal (tidak selalu) bank memerlukan jasa penutupan pertanggungan atas kredit-kredit yang akan diberikan kepada pengusaha yang bersangkutan, bank mengajukan permintaan penutupan pertanggungan kepada PT Askrindo.
d)     PT Askrindo mempelajari dan mempertimbangkan permintaan bank.
e)      Bila PT Askrindo dapat menutup pertanggungan, ia mengajukan penawaran penutupan pertanggungan kepada bank.
f)       Jika bank menyetujui penawaran penutupan.
g)      Pertanggungan dari PT Askrindo. Kemudian, PT Askrindo menerbitkan nota penutupan pertanggungan untuk bank. Dengan demikian, terjadi penutupan poertanggungan dan bank dapat merealiasi fasilitas kredit kepada pengusaha yang bersangkutan.
2)      Penutupan Pertanggungan secara Otomatis
a)      Pengusaha mengajukan permintaan kredit kepada bank.
b)      Bank mempelajari dan mempertimbangkan permintaan kredit tersebut.
c)      Untuk memberikan fasilitas kepada pengusaha tersebut, jika bank memerlukan jasa pertanggungan PT Askrindo, bank dapat langsung memberikan fasilitas kredit kepada pengusaha tanpa terlebih dahulu mengajukan permintaan penutupan pertanggungan kepada PT Askrindo.
d)     Pada waktu-waktu tertentu, bank menyampaikan Deklarasi Jumlah Pertanggungan kepada PT Askrindo yang memuat fasilitas yang telah diberikan selama jangka waktu deklarasi.
e)      Deklarasi jumlah pertanggungan diteliti oleh PT Askrindo. Jika fasilitas di dalam deklarasi sesuai dengan ketentuan klausula penutupan secara otomatis, PT Askrindo kemudian segera menerbitkan nota penutupan pertanggungan untuk Deklarasi Jumlah Pertanggungan yang bersangkutan.
I.       Penanganan Kredit Bermasalah
Bank tidak mungkin terhindar dari kredit bermasalah. Kredit yang bermasalah merupakan penyebab kesulitan terhadap bank itu sendiri, yaitu berupa kesulitan terutama yang menyangkut tingkat kesehatan bank. Karenanya, bank wajib menghindarkan diri dari kredit bermasalah.
Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal yang harus diperhatikan di antaranya : administrasi kredit, kredit yang tunggakan bunganya dikapitalisasi (kredit plafondering), prosedur penyelesaian kredit bermasalah, dan prosedur menghapusbukukan kredit macet, serta tata cara pelaporan kredit macet dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang telah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit.  Dari kebijakan di atas, yang paling penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya itu sendiri
  1. Penggolongan Kredit Bermasalah
Pengaturan penggolongan kolektibilitas kredit terakhir terdapat dalam Peraturan BI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang telah diubah oleh PBI No.8/2/PBI/2006.
Berdasarkan Pasal 10 PBI No.7/2/PBI/2005, maka kualitas kredit ditetapka menurut faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar. Dengan memperhatikan ketiga faktor penilaian tersebut, berdasarkan Pasal 12 ayat (3) PBI No.7/2/PBI/2005, maka kualitas kredit ditetapkan menjadi :
a.       lancar;
b.      dalam perhatian khusus;
c.       kurang lancar;
d.      diragukan; aau
e.       macet. 
  1. Penyelesaian Kredit Bermasalah Secara Administrasi Perkreditan
Secara operasional penanganan penyelesaian kredit bermasalah dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu :
a.       Penjadwalan kembali (reschedulling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak.
b.      Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank.
c.       Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan daam perusahaan.
Penyelesaian di atas merupakan langkah yang merupakan alternatif sebelum dilakukan penyelesaian melalui lembaga yang lebih bersifat yudisial.
Pengaturan bentuk penanganan dan penyelesaian masalah perkreditan tersebut ditetapkan dengan melihat jenis pembiayaan. Beberapa aturan yang memuat materi ketentuan penanganan dan penyelesaian masalah kredit, di antaranya :
a.       PBI No. 6/18/PBI/2004 tentang Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
b.      PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, diubah oleh PBI No.8/2/PBI/2006.
Pengertian restrukturisasi diatur dalam Pasal 1 angka 25 PBI No. 7/2/PBI/2005, yang berbunyi :
“Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya yang dilakukan, antara lain, melalui :
a.       penurunan suku bunga kredit;
b.      perpanjangan jangka waktu kredit;
c.       pengurangan tunggakan bunga kredit;
d.      pengurangan tunggakan pokok kredit;
e.       penambahan fasilitas kredit; dan atau
f.       konvensi kredit menjadi penyertaan modal sementara.”
Konsep restrukturisasi dapat juga diterapkan untuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) KepDir BI No. 31/150/KEP/DIR tentang Restrukturisasi Kredit, yaitu bentuknya berupa penurunan imbalan atau bagi hasil, pengurangan tunggakan imbalan atau bagi hasil, pengurangan pokok pembiayaan, perpanjangan jangka waktu pembiayaan, penambahan fasilitas pembiayaan, pengambilalihan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau dengan konversi pembiayaan menjadi penyertaan pada perusahaan debitur.
Menurut Pasal 57 PBI No.7/2/PBI/2005, proses selanjutnya dari langkah-langkah yang telah ditempuh suatu bank dalam rangka restrukturisasi kredit, yaitu penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi. Kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi dapat ditetapkan sebagai berikut :
b.      Setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan restruktirisasi tergolong diragukan atau macet.
c.       Kualitas tidak berubah untuk  kredit yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong lancar, dalam perhatian khusus, atau kurang lancar.
 Penggolongan kualitas kredit dapat berubah :
a.      Menjadi lancar apabila tidak terdapat tunggakan selama tiga kali periode pembayaran angsuran pokok dan atau bunga secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian restrukturisasi kredit; atau
b.      Kembali sesuai dengan kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi kredit atau kualitas yang sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar.
Restrukturtisasi kredit dapat pula dilakukan melalui penyertaan modal sementara yang ketentuan dan tahapannya sebagai berikut :
a.       Penyertaan modal sementara hanya dapat dilalkukan untuk kredit yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet.
b.      Penyertaan modal  sementara wajib ditarik kembali apabila :
1)      telah melampaui jangka waktu paling lama lima tahun; atau
2)      perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif.
c.   Penyertaan modal sementara wajib dihapusbukukan dari neraca bank apabila telah melampaui jangka waktu lima tahun.
Dalam penyelesaian kredit bermasalah dalam lingkup administrasi tidak berlebihan pula apabila difungsikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa karena melalui lembaga tersebut dimungkinkan perbedaan pendapat dapat direduksi sedemikian rupa sehingga mendapatkan jalan keluar yang saling menguntungkan (win win solution). Langkah-langkah tersebut dapat dicapai melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Langkah ini dilakukan apabila para pihak mendasarkan ada iktikad baik.
  1. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum
Beberapa upaya penanganan penyelesaian kredit bermasalah yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum, di antaranya :
a.       Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara (PUPN dan BUPN).
b.      Melalui badan peradilan.
c.       Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Selain melalui lembaga sebagaimana tersebut di atas, penanganan kredit macet yang dimiliki oleh bank dalam kondisi penyehatan ditangani langsung oleh lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (selanjutnya disingkat BPPN), di antaranya melalui penyertaan modal sementara.
BPPN dalam menangani kredit bank dalam penyehatan sesuai dengan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, dilakukan melalui antara lain : tindakan pemantauan kredit, peninjauan ulang, poengubahan, pembatalan, pengakhiran, dan penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan, restrukturisasi kredit, penagihan utang, penyertaan modal pada debitur, memberikan jaminan atau penanggungan, pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan, dan atau penghapusbukuan piutang.

a.   Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara (PUPN dan BUPN)
Sesuai dengan Pasal  12 PERPU No. 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, penyelesaian kredit bank milik negara dapat diusahakan melalui PUPN. Panitia ini merupakan suatu panitia interdepartemental, yang anggotanya tediri atas wakil dari Depkeu, Dep Hankam, Kejagung, dan dari BI. Sedangkan struktur organisasinya terdiri atas PUPN pusat, wilayah, dan cabang,
Dalam menjalankan tugasnya, PUPN berpedoman pada ketentuan Pasal 2 Keppres No. 11 Tahun 1976 tentang PUPN dan BUPN. Adapun tugas PUPN sebagai berikut :
1)      Membahas pengurusan piutang negara, yaitu  utang kepada negara yang harus dibayar kepada negara, yakni instansi-instansi pemerintah/badan-badan negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik di pusat maupun di daerah.
2)      Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang, kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah/badan-badan usaha negara, baik di pusat maupun di daerah. 
Dalam masalah piutang negara ini selain penanganan secara interdepartemental oleh PUPN, juga dilakukan oleh suatu badan yang khusus di bawah Departemen Keuangan, yaitu BUPN yang diganti nama dan fungsinya dengan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) sebagaimana diatur dalam Keppres No. 21 Tahun 1991 tentang BUPLN. Adapun tugasnya adalah sebagai pelaksana teknis, operasional dari keputusan-keputusan yang diambil oleh PUPN sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (5) Kepmenkeu No. 294/KMK.09/1993 tentang PUPN. BUPLN sebagai badan dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai kedudukan setingkat dengan dirjen.
Menurut Pasal 2 Keppres No. 21 Tahun 1991, BUPLN adalah suatu badan yang mempunyai tugas menyelenggarakan pengurusan piutang negara dan lelang, baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas PUPN mapun pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menkeu dan peraturan perundang-udnangan yang berlaku.
Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet kepada BUPLN selambat-lambat tiga bulan setelah tanggal jatuh tempo yang tercantu, dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu pelunasan kredit macet. Pengurusan penyelesaian kredit ini dapat juga karena inisiatif BUPLN sendiri, atas dasar pemikiran bahwa sifat pengurusan dan penagihan piutang macet adalah untuk maksud mengamankan keuangan atau kekayaan negara, maka BUPLN wajar untuk mengurus dan menagih piutang tersebut. Sebagai akibat dari pola pemikiran  tersebut, maka dalam menghadapi debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang yang bersifat hukum publik. Oleh karena itu, kedudukan debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat hukum perdata.
Dalam hal si penanggung utang mempunyai kekayaan yang tersimpan pada bank, maka BUPLN berwenang untuk melakukan pemblokiran atas kekayaan tersebut. Dalam pelaksanaan pemblokiran BUPLN harus membuat berita acara pemblokiran yang disaksikan oleh pimpinan bank atau pejabat yang berwenang dan tindakan dari berita acara dimaksud disampaikan pula kepada pimpinan bank yang bersangkutan. Pemblokiran dapat dicabut dan untuk itu perlu dituangkan pula dalam berita acara. BUPLN dalam menjalankan kewenangan untuk pemblokiran ini tetap harus memerhatikan kerahasiaan bank. Namun, untuk pelaksanaan kewenangannya diberikan pengecualian, yaitu bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan keapda BUPLN, kerahasiaan bank tersebut dikecualikan.
b.   Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Peradilan
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan.  Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah, yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan.
Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur tetap tidak melunasi utangnya, pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan atas dasar perintah dan denagan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan-ketentuan Pasal 195 HIR, dan selanjutnya. Atas dasar perintah ketua pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantara kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya.
c.       Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase (perwasitan) dahulu didasarkan pada ketentuan Pasal 615 R.v (Reglement op de Rechtsvordering). Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang telah mempunyai landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dilakukan apabila dalam perjanjian kredit sebelum timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit bermasalah) telah dimuat klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut.
Hal-hal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa arbitrase, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, di antaranya :
1)      Penyelesaian sengketa melalui arbitrse dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrease nasional atau internasional berdasarkan keseakatan para pihak dan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga tersebut, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak (Pasal 34).
2)      Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan apabila disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 36).
3)      Arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (1)).
4)      Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk, tetapi dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak (Pasal 48).
5)      Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, nama singkat sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian para pihak, nama lengkap dan alamat arbiter, pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa, pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase, amar putusan,tempat dan tanggal putusan, dan tanda tangan arbiter atau mejelis arbitrase (Pasal 54 ayat (1)).
6)      Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan (Pasal 54 ayat (1)).
7)      Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase (Pasal 55) dan diucapkan dalam waktu paling lama tiga puluh hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57).
8)      Dalam waktu paling lama empat belas hari setelah putusan diterima, para pihak dapat  mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan (Pasal 58).
d.      Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Penanganan piutang negara oleh BPPN terbatas pada piutang yang terjadi karena proses penyehatan perbankan.
BPPN dalam menanganai piutang negara dapat melakukan penagihan piutang yang sudah pasti yang berasal dari bank dalam penyehatan.  Yang dimaksud piutang bank dalam penyehatan termasuk juga piutang yang sudah dialihkan kepada BPPN, piutang yang timbul sehubungan dengan penanggungan utang, atau penyerahan kekayaan oleh pihak lain kepada bank dalam penyehatan dan atau BPPN. Pelaksanaan penagihan melalui cara-cara sebgai berikut :
1)   Penerbitan surat paksa;
2)   Penyitaan;
3)   Pelelangan.
 Kewenangan yang dimiliki oleh BPPN seperti dalam penanganan kredit bermasalah ini merupakan sesuatu yang bersifat lex specialis terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, maka penerapannya perlu dilandasi dengan kehati-hatian serta menjunjung asas keterbukaan.