BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum humaniter internasional memiliki
sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Baru pada pertengahan abad XIX,
Negara-Negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional
untuk menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang. Peraturan-peraturan
dalam suatu Konvensi yang mereka setujui sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat
itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern
menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi
panjang yang membutuhkan kesabaran. [1]
Lembar Fakta ini
menelusuri perkembangan hukum humaniter internasional dan memberi gambaran
terkini tentang ruang lingkup dan pengertian hukum humaniter internasional bagi
tentara maupun masyarakat sipil yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.[2]
Pertama-tama,
dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka
hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasanmakalah adedidikirawan
terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata.[3]
Tujuannya adalah
: [4]
a.
memberi perlindungan
pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam
pertikaiann – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
b.
membatasi dampak
kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.
Perkembangan
hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan
dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan hak asasi manusia. Penetapan instrumen internasional yang penting
dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang
Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan makalah adedidikirawanInternasional tentang Hak Sipil dan
Politik (1966) memberikan sumbangan untuk
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum humaniter internasional memiliki
sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Baru pada pertengahan abad XIX,
Negara-Negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional
untuk menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang. Peraturan-peraturan
dalam suatu Konvensi yang mereka setujui sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat
itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern
menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi
panjang yang membutuhkan kesabaran. [1]
Lembar Fakta ini
menelusuri perkembangan hukum humaniter internasionalmakalah adedidikirawan dan memberi gambaran
terkini tentang ruang lingkup dan pengertian hukum humaniter internasional bagi
tentara maupun masyarakat sipil yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.[2]
Pertama-tama,
dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka
hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan
terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata.[3]
Tujuannya adalah
: [4]
a.
memberi perlindungan
pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam
pertikaiann – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
b.
membatasi dampak
kekerasan dalam pertempuran demi makalah adedidikirawanmencapai tujuan perang.
Perkembangan
hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan
dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum
perlindungan hak asasi manusia. Penetapan instrumen internasional yang penting
dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang
Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan makalah adedidikirawan bahwa semua
orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun
perang.[5]
Pasal 3
dari Konvensi Jenewa tentang hukum
humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian bersenjata seseorang yang
dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi, tanpa
pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan,
jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria sejenis makalah adedidikirawan lainnya.” maka dalam hal ini kelompok kami
membuat judul makalah SENGKETA BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER,
yang akan disajikan di bawah ini.[6]
B. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1.
Apakah penyebab terjadinya sengketa bersenjata antar
negara ?
2.
Bagaimana bentuk dan prosedur
pelaksanaan penyelesaian sengketa bersenjata dan pemberlakuan hukum humaniter
oleh badan peradilan Internasional berdasarkan yuridiksi universal?
C. Maksud dan
Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui kenapa terjadinya sengketa bersenjata.
2. Untuk
mengetahui prosedur penyelsaian sengketa bersenjata
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Sejarah
Lahirnya Humaniter
Hampir tidak mungkin
menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturan aturan hukum humaniter itu timbul.
Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter
internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam
rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang
dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat
usaha-usahamakalah adedidikirawan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman
perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam.
Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter
sebagai berikut :[7]
1.
Zaman
Kuno
Sebelum perang dimulai,
maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka
yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera
setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15
hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit
dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini
pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh
yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil
musuh, dan padamakalah adedidikirawan waktu penghentian permusuhan, maka pihak makalah adedidikirawan pihak yang berperang
biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.[8]
2. Abad
Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan.
Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang
adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat
dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at
Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana
makalah adedidikirawan pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang
berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya
pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.[9]
3. Zaman
Modern
Hukum humaniter
mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu
ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata
baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara
mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa
yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara
menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia.
Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian
Palang Merah Internasional makalah adedidikirawan dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk
Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi
ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang
terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.[10]
B.
Arti
Kejahatan Perang
Menurut salah satu definisi kejahatan perang adalah
tindakan-tindakan bermusuhan dan tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh
orang-orang militer atau sipil yang jika pelakunya tertangkap oleh pihak musuh
dapat dihukum. Tindakan-tindakan ini meliputi perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengn hukum internasional dan dilaksanakan dengan melanggar hukum
nasional di negara si pelaku sendiri seperti, membunuh, merampok demi
keuntungan atau uuntuk memuaskan nafsu pribadi dan perbuatan-perbuatan pidana
yang bertentangan dengan hukum makalah adedidikirawan perang
yang dilakukan atas perintah dan makalah adedidikirawan demi kepentingan negara musuh.[11]
C. Jenis-jenis kejahatan
perang
Ada 3 jenis perbuatan yang dapat digolongkan sebagai
kejahatan perang, yaitu:[12]
a) Pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan perang yang berlaku (diakui) yang dilakukan oleh
anggota anngkatan bersenjata
b) Permusuhan
bersenjata yang dilakukan individu yang bukan merupakan anggota pasukan musuh
c) Spionase
dan pengkhianatan perang
Ad. a. Pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan perang
Yang di maksud dengan pelanggaran ketentuan perang
yang diakui antara lain adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut:[13]
·
Menggunakan senjata beracun atau
senjata-senjata lain yang dilarang
·
Membunuh atau melukai serdadu-serdadu
yang tak bedanya akibat penyakit atau luka, atau yang telah melletakan senjata
dan menyerah
·
Memperlakukan tawanan perang dengan
sewenang-wenang
·
Membunuh atau menyerang penduduk sipil
musuh yang tak bersenjata
·
Memperlakukan secaara hina zenazah di
medan perang
·
Memiliki dan merusak barang-barang
musium, rumah sakit, gereja , sekolah dan badan-badan serupa.
·
Penyerangan, peengepungan dan pemboman
terhadap kota terbuuka yang tak dipertahankan. Pemboman atas kota-kota dengan
maksud hanya untuk membunuh penduduk sipil
·
Pemboman atas monumen-monumen sejarah
·
Pelanggaran-pelanggaran lain terhadap
ketentuan kkonvensi Den Haag (Hague Convention) dan konvensi jenewa (Geneva
Convention)
Ad. b. Permusuhan
Bersenjata orang-orang Sipil
Orang-orang sipil yang mengangkat senjata dan
melakukkan permusuhan terhadap pihak musuh tidak akan memiliki hak-hak yang
diberikan kepada anggota angkatan bersenjata. Sesuai dengan Huukum Kebiasaan
Internasional, pihak musuh dapat memperlaakukan makalah adedidikirawanorang-orang in sebgai penjahat
perang. Akan tetapi mereka tidak lagi berstatus penduduk sipil jika mereka
menorganisasikan diri sedemikian rupa yang menurut konvensi Den Haag,
memberikan kepada mereka status sebagai pasukan reguler.
Misalnya pada bulan Januari 1944 kelompok-kelompok
perlawanan perancis dinyatakan sebagai pasukan kombatan yang di kepalai dan
diperinttah langsung makalah adedidikirawan oleh seorang perwira tinggi militer perancis. Mereka
diakuui oleh komando tertinggi pasukan sekutu sebagai bagian integral dari
pasukan tersebut.
Ad. c. Spionase
dan Pengkhianatan Perang
Peperangan tidak dapat dilakukan tanpa diperolehnya
segala macam informasi tentang kekuatan dan maksud-maksud pihak lawan, dan
tentang karakteristik negara yang berbeda dalam daerah operasi militer. Untuk
mendapatkan informasi ini, maka pihak-pihak selalu menganggap sah penggunaan
tenaga mata-mata, ataumakalah adedidikirawan memanfaatkan pengkhiantan dari serdadu atau orang-orang
sipil dipihak musuh, baik lewat penyuapan ataupun tanpa imbalan apa-apa karena
timbul dari kesadaran sendiri.
D. Perang dan Hukum Perang
Secara sederhana perang adalah tindakan
kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan
syarat-syarat penyelsaian secara paksa. Konsepsi seperti ini sejalan dengan
pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan
dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan
lawannya guna memenuhhi kehendaknya.[14]
Meskipun mengakui adanya kesulitan
didalam membuat pembedaan antara perang dengan konflik bersenjata bukan perang,
Starke mencoba makalah adedidikirawan mengemukakan indikator-indikator untuk membedakkan perang dari
konflik bersenjata bukan perang. Menurut starke, ada tidaknya perang tergantung
pada tiga hal yaitu:[15]
a)
Dimensi dari konflik
b)
Maksud-maksud para kontestan
c)
Sikap dan reaksi pihak yang bukan
kontestan
Meskipun bisa dibedakan, namun perang
maupun knflik senjata bukan perang tetap memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama
melibatkan penggunaan kekuatan senjata, sehingga berpotensi untuk menimbulkan
korban jiwa maupun kerusakan. Oleh karena itulah, didalam filsafat moral
(etika) hukum telah timbul upaya-upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
penggunaan kekerasan dan untuk mengurangi timbulnya korban dan kerugian (casualties) kalau pun penggunaan
kekerasan harus terjadi. Upaya- upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
penggunaan kekerasan (terutama dalam bentuk perang) terlihat dari berkembangnya
konsep-konsepmakalah adedidikirawan yang membuat kategori antara perang makalah adedidikirawan yang adil (just war) dan perang tidak adil (unjust war). Penggolongan perang menjadi
dua kategori itu diharapkan akan memberikan standar tentang dalam keadaaan apa
perang boleh dilancarkan. Standar ini diharapkan akan dipertimbangkan oleh
negara-negara sebelum melancarkan perang , sehingga negara tidak gegabah
memulai perang. Keseluruhan aturan hukum internasional yang mengatur tentang kapan
dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan disebut sebagai jus ad bellum.[16]
a. Jus
ad bellum
Dalam lapangan hukum internasional pun
sempat muncul aturan-aturan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang
boleh dilancarkan. Bahkan lebih jauh dari itu, didalam hukum internasional
pernah dikenal adanya konvensi-konvensi yang tidak sekedar membatasi perang,
melainkan berusaha menghapuskan perang. Upaya-upaya untuk menghapuskan perang
antara lain terdapatmakalah adedidikirawan didalam preamble konvenan Liga Bangsa-Bangsa
yang antara lain menyatakan, bahwa “untuk makalah adedidikirawan menjamin perdamaian dan keamanan,
maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang. Upaya
yang sama tampak pula dari ditandatanganinya kellog-Briand (paris fact) tahun
1928. Namun upaya untuk menghapuskan perang secara de facto ternyata gagal,
karena setelah itu Perang Dunia II meletus. Pada masa pasca Perang Dunia II
negara-naegara melalui piagam PBB juga kembali menolak perang, bahkan melarang
setiap penggunan kekerasan. Namun kenyataannya beberapa penggunaan kekerasan antar
negara dalam skala yang cukup besar pun tetap terjadi, seperti perang Vietnam, Perang Irak-Iran, perang flaksalnd,
perang teluk I, perang balkan, perang
afghanistasn, dan perang teluk II. Kesepakatan untuk menolak perang secara umum
makalah adedidikirawan pun tidak berarti menghapuskan hak negara untuk berperang. Dalam keadaan
tertentu hak negara untuk melancarkan perang masih tetap diakui.[17]
b.
jus in bello
Sementara itu, aturan-aturan tentang bagaimana
perang harus dilakukan juga telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Jus in bello inilah yang secara
tradisiional dikenal sebagaI hukum perang (the
law in war) , yang dimaksudkan untuk
memanusiawikan perang melalui pengaturan cara berperang dan sarana yang
diperbolehkan dalam peperangan (conduct
of war and permissible means of war), serta menjamin kondisi korban perang (conditions of war victims) belakangan, jus in bello ini semakin memiliki
karakteristik humanisasi perang, makalah adedidikirawan sehingga kemudian dikenal dengan nama hukum
humaniter internasinal (international
humanitarian law). Istilah hukum humaniter ini secara praktis lni lebih
makalah adedidikirawanmenguntungkan ketimbang istilah hukum perang, karena ia dapat dibuat untuk
mencakup baik kondisi perang (dalam arti teknis hukum internasional) maupun
pengggunaan kekerasan bukan perang yang keduanya lantas dimasukan dalam
kategori konflik bersenjata (armed
conflict).[18]
E. Sumber-sumber Hukum Perang
1.
Hukum Den Haag
Perkembangan cabang humaniter
internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai hukum Den Haag dimulai pada tahun
1863, ketika presiden Amerika Serikat
mengeluarkan Instruksi Lieber sebagai panduan lapangan bagi pasukan
Amerika Serikat yang ketika itu sedang terlibat dalam perang saudara (the civil war). Instruksi ini antara
lain berisi tentang perilaku berperang serta juga standar perlakuan bagi tawanan perang, mereka yang mengalami
luka-luka dalam peperangan serta penduduk sipil. Meski intruksi Lieber
semata-mata merupakan dokumen domestik,
ia memiliki arti penting dalam perkembanganmakalah adedidikirawan hukum humaniter internasional,
karena dokumen itu kemudian menjadi model bagi upaya internasional untuk
mengkkodifikasikan hukum dan kebiasaan perang.[19]
2.Hukum
Jenewa
Perkembangan hukum jenewa yang lebih
menitikberatkan pada kondisi para korban perang (conditions of war victims) tidak dapat dilepaskan dari. J.Henry Dunant seorang pengusaha jenewa dan
karyanya yang diberi judul Un Souvenir de
Selferino yang diterbitkan pada tahun 1862. Pada masanya, Un Souvenir de selferino yang memuat
kesaksian Dunant atas kondisi buruk yang dialami oleh ribuan korban perang
antara prancis –austria di solferino (Italia utara) segera menyadarkan banyak
kalangan untuk mengubah kondisi buruk tersebut. Gagasan yang dikemukakan
makalah adedidikirawan didalam karaya Dunant mengenai perlunya dibuat perjanjian internasional untuk
memperbaiki kondisi korban perang pada akhirnya menampilkan wujud yang nyata,
ketika pada tahun 1864 di Jenewa diselenggarakan Konfrensi internasional, yang
kemudian menghasilkan convention on the
amelioration of the condition of the wounded in armies in the field.[20]
3.
Aliran
New York
Sebagain besar penulis pada umumnya
hanya membuat ktegori hukum Den Haag dan hukum Jenewa sebagai substansi hukum
humaniter internasional. Namun, selain dua kategori diatas Kalshoven &
Zegveld mengintroduksi satu kategori norma lagi yang mereka sebut sebagai
Aliran New York (the current of new york)
yang menitikberatkan pada aspek HAM dalam pertikaian bersenjata.[21]
Pada awalnya, PBB selaku organisasi
internasional yang mentabukan perang tidak terlalu banyak menaruh perhatian
pada pengembangan huukum humaniter internasional. Hal ini antara lain tampak
jelas dari tidak dimuatnya hukum perang didalam agenda ILC (international Law Commission). Meski demikian, Kalshoven & zegveld
mencatat bahwa ada dua isu yang menarik perhatian PBB, yang kemudian meletakan
dasar bagi perkembangan Aliran New York. makalah adedidikirawan Isu yang pertama menyangkut
penghukuman penjahat-penjahat perang Dunia II, sedangkan isu yang kedua
menyangkut persoalan senjata atom.[22]
F.
Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter
atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war),
yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict),
dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum
humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah makalah adedidikirawanyang
relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference
of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict
pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka
terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:[23]
Mochtar Kusumaatmadja:
mengatakan hukum humaniter adalah hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang
iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi mengatakan
hukum humaniter adalah“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa
bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa,
walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
G. Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak
dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang
menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan
untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk
membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan
alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan
tentang perang berperikemanusiaan”.makalah adedidikirawan Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar
suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum
humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan
hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum
humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum
humaniter tersebut, yaitu :[24]
1.
Memberikan perlindungan terhadap
kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary
suffering).
2.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat
fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke
tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang.
3.
Mencegah dilakukannya perang secara
kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
BAB
III
SENGKETA
BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER
A. Penyebab Terjadinya Sengketa (konflik) Bersenjata
Terjadinya suatu konflik dapat disebabkan
beberapa faktor sebagaimana diuraikan dibawah ini:[25]
a.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor makalah adedidikirawanpenyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di makalah adedidikirawan lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran
dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan
individu yang dapat memicu konflik.
c.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok makalah adedidikirawanmemiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petanimakalah adedidikirawan menbang pohon-pohon karena dianggap
sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu,
pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan
membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan
ini makalah adedidikirawan dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat
terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik
antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan
kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai,
sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri
dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai makalah adedidikirawan lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Akibat konflik
Akibat dari
sebuah konflik adalah sebagai berikut :[26]
a.
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup)
yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
c.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya
timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
d.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang
terlibat dalam konflik.
B. Bentuk dan Prosedur Pelaksanaan
Penyelesaian Sengketa Bersenjata dan Pemberlakuan Hukum Humaniter oleh Badan
Peradilan Internasional Berdasarkan Yuridiksi Universal
1. Bentuk-bentuk
Penyelsaian Sengketa Bersenjata
Adapun
bentuk-bentuk penyelsaian sengketa adalah sebagai berikut :[27]
a.
Secara damai
b.
Secara Paksa/Kekerasan
2. Prosedur Pelaksanaan
Penyelsaian Sengketa Bersenjata
Adapun prosedur pelaksanaan penyelsaian sengketa
bersenjata yang disajikan adalah sebagai berikut:[28]
a.
Prosedur
Penyelesaian Sengketa Internasional
secara damai
1)
Arbitrasi
(arbitration)
Biasanya,
arbitrase menunjukan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasionanal,
yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan para
arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, mereka itulah yang
makalah adedidikirawan memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbanngan-pertimbangan hukum. Namun,
pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukan bahwa
beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum yang diserahkan kepada
para arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum. Lebih lanjut, dalam
berbagai macam traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketa harus diajukan
kepada arbitrase, seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan
menurut dasar keadilan atau ex aequo et
bono, pengadilan-pengadilan arbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk
menerapkan hukum internasional.
Arbitrasi
pada hakikatnya adalah suatu prosedur
makalah adedidikirawan konsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa kemuka arbitrasi,
kecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, makalah adedidikirawanbaik secara umum
dan sebelumnya maupun adhoc berkenan dengan suatu sengketa tertentu.
Kesepakatan negara-negara itupun mencakup penentuan karakter dari pengadilan
yang akan dibentuk.
2)
Penyelesaian
yudisial (judicial settlement)
Penyelesaian
yudisial berarti suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu pengadilan
yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan memberlakukan
kaidah-kaidah hukum.
Satu-satunya
organ umum untuk penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia dalam
masyarakat internasional adalah International
Court of Justice di The Hague , yang menggantikan dan
melanjutkan kontinuitas permanent court of international Justice. Pengukuhan
kedudukanmakalah adedidikirawan dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal itu juga
pendahulunya yaitu permanent Court of
international Justice, di bubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada
waktu sidang makalah adedidikirawanterakhirnya. Perbedaan pokok antara mahkamah, disatu pihak, dan
suatu pengadilan arbitrasi, dilain pihak, dapat dilihat dengan merujuk kepada
hal-hal berikut ini :
a)
Mahkamah secara permanen merupakan
sebuah pengadilan, yang diatur dengan statuta dan serangkaian ketentuan
prosedurnya yang mengikat terhadap semua pihak yang berhubungan dengan
Mahkamah.
b)
Mahkamah memiliki panitera (register)
tetap, yang menjalankan semua fungsi yang diperlukan dalam menerima
dokumen-dpkumen untuk arsip, dilakukan pencatatan dan pengesahan, pelayanan
umum mahkamah dan bertindak sebagai saluran komunikasi tetap dengan pemerintah
dan badan-badan lain.
c)
Proses peradilan dilakukan secara
terbuka, sementara, pembelaan-pembelaan dan catatan-catatan dengar pendapat
serta keputusan-keputusannya dipublikasikan.
d)
Pada prinsipnya mahkamah dapat dimasuki
oleh semua negara untuk makalah adedidikirawan proses penyelsaian yudisial segala kasus yang dapat
diserahkan oleh negara-negara itu kepadanya dan semua masalah khususnya yang
diatur dalam traktat dan konvensi yang berlaku.
e)
Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus
mnetapkan bentuk hukum yang berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah dalam
perkara-perkara dan masalah-masalah yang diajukan kehadapannya, tanpa
menyampingkan kewenangan Mahkamah untuk memutuskan suatu perkara ex aequo et bono apabila para pihak
setuju terhadap cara tersebut (meskipun bukan ex aequo et bono dalam pengertian yang kaku, prinsip-prinsip
kepantasan diterapkan oleh Mahkamah dalam sejumlah besar perkara beberapa waktu
iini yang diajukanmakalah adedidikirawan kepadanya yang berkenaan dengan penetapan batas-batas
maritim dan teritorial).
f)
Keanggotaan Mahkamah adalah berupa
wakil-wakil dari bagian terbesar masyarakat internasional dan mewakili sistem
hukum utama, sejauhmakalah adedidikirawan hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain (saat ini
enam orang hakim Mahkamah berasal dari negara-negara Afrika dan makalah adedidikirawanAsia, sedangkan
semula hanya dua orang hakim dari bagian dunia itu).
g)
Yang terakhir, dimungkinkan bagi
mahkamah untuk mengembangkan suatu praktek yang kkonsisten dalam proses-proses peradilannya
dan memeliharamakalah adedidikirawan kesinambungan wawsan terhadap suatu hal yang tidak sesuai jika
dilakuakn pengadilan-pengadilan ad hoc .
3)
Negosiasi,
jasa-jasa baik (good office) ,
mediasi, konsiliasi dan penyelidikan.
Negosiasi, jasa-jasa baik, konsiliasi
dan penyelidikan adalah metode-metode penyelesaian yang kurang begitu formal
dibanding dengan penyelesaian yudisial atau arbitrasi, Sedikit yang perlu
dikemukakan mengenai negoisasi selain bahwa metode ini sering diadakan makalah adedidikirawandalam
hubungan jasa-jasa baik (good office)
atau mediasi, meskipun perlu dikemukakan juga mengenai kecendurungan yang
berkembang dewasa ini pada pengaturan, dengan instrumen atau persetujuan
internasional, kerangkamakalah adedidikirawan kerja hukum untuk dua proses yaitu konsultasi, baik konsultasi
sebelum atau sesudah terjadinya peristiwa, dan komunikasi tanpa kedua media ini
dalam hal beberapa negoisasi tidak dapat berjalan.
Baik jasa-jasa maupun mediasi merupakan
metode-metode penyelesaian dengan mana, biasanya, negaramakalah adedidikirawan ketiga yang bersahabat
memberikan bantuannya untuk mengadakan penyelesaian sengketa secara damai.
Tetapi pihak yang menawarkan jasa-jasa baik atau mediasi dapat juga, dalam
beberapa kasus, individu atau suatu organisasi internasional. Perbedaan antara
jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak
yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk
syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa ia sendiri secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi
atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari
sengketa tersebut. Karena para pihak makalah adedidikirawantelah dipertemukan untuk mencari penyelesaian
atas perselisihan-perselisihan mereka maka, sesungguhnya negara atau pihak yang
menyelenggarakan jasa-jasa baiknya tidak lagi mempunyai tugas aktif untuk
menyelesaikan. Adakalanya dalam kasus mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu
peran yang lebih aktif dan ikut makalah adedidikirawan serta dalam negoisasi-negoisasi serta
mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedimikian rupa sehingga jalan penyelesaian
dapat tercapai.
Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam pengertian
luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode dimana suatu sengketa diselesaikan
secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite
nasihat yang tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti
penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat
laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa
tersebut, usulan itu tidak bersifat mengikat. Menurut pendapat Hakim Manly O.
Hudson:
“konsiliasi.....adalah suatu proses
penyusunan usulan-usulan penyelsaian makalah adedidikirawan setelah diadakan suatu penyelidikan
mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu dari
pendirian-pendirian yang Saling bertentangan, para pihak dalam sengketa itu
tetap bebas untuk menerima atau menolak proposal-proposal yang dirumuskan
tersebut”.
Fakta bahwa para pihak sama sekali
memiliki makalah adedidikirawan kebebasan untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak
syarat-syarat penyelsaian yang diusulkan itu membedakan konsiliasi dari
arbitrsi dan sebagai konsekuensinya konsiliasi dapat dipakai untuk penyelesaian
segala jenis sengketa atau keadaan.
Tujuan dari suatu penyelidikan, tanpa
membuat rekomendasi-rekomendasi yang sepesifik, adalah untuk menetapkan fakta,
yang mungkin diselesaikan, dan dengan cara demikian memperlancar suatu
penyelssaian yang dirundingkan.
4)
Penyelesaian
dibawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa,
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dibentuk tahun 1945, yang telah
mengambil alih sebagian besar tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
internasional. Salah satu dari tujuan-tujuan organisasi itu adalah penyelesaian
perselisihan antara negara-negara, dan melalui Pasal 2 Charter Perserikatan
Bangsa-Bangsa, anggota-anggota organisasi harus berusaha untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa mereka melalui cara damai dan untukmakalah adedidikirawan menghindarkan
ancaman-ancaman perang atau penggunaan kekerasan.
Dalam kaitan ini, tanggung jawab penting
beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, sesuai dengan wewenang luas
yang dipercayakan kepada kedua badan tersebut. Majelis Umum diberi wewenang,
tunduk pada wewenang penyelenggaraan perdamaian dari Dewan Keamanan, untuk
merekomendasi tindakan-tindakan untuk penyelsaian damaimakalah adedidikirawan atas suatu keadaan yang
kemungkinan mengganggu kesejahteraan umum atau hubungan-hubungan bersahabat
antar bangsa-bangsa (lihat Pasal 14 Charter).
Namun kekuasaan yang lebih luas telah
diserahkan kepada Dewan Keamanan sehingga badan ini akan menyelenggarakan
kebijaksanaan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara cepat dan tegas. Dewan pada
umumnya bertindak terhadap dua jenis sengketa : (i) sengketa-sengketa yang
dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, (ii) kasus-kasus yang
mengancam perdamaian, atau melanggar perdamaian, atau tindakan-tindakan agresi.
Dalam kasus-kasus yang disebut pertama, mahkamah jika dipandang perlu boleh
meminta para pihak untuk menyelsaikan sengketa-sengketa mereka dengan
metode-metode yang disebutkan diatas yaitu, arbitrasi, penyelsaian yudisial,
negoisasi, penyelidikan, mediasi dan konsilias. Juga dewan pada setiap makalah adedidikirawan tahap
boleh merekomendasikan prosedur-prosedur atau metode-metode penyelsaian yang
tepat untuk menyelsaikan sengketa-sengketa demikian. Dalammakalah adedidikirawan kasus-kasus yang
disebut belakangan, (ii) diatas, Dewan diberi wewenang untuk membuat
rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan apa yang harus
diambil untuk memelihara dan memperbaiaki perdamaian dan keamanan internasional
dan badan ini dapat meminta para pihak yang terikat untuk mematuhi beberapa
ketentuan tertentu. Tidak ada pembatasan atau kualifikasi tentang
rekomendasi-rekomendasi yang boleh dibuat oleh dewan, atau mengenai
tindakan-tindakan, baik yang sifatnya final maupun sementara, yang boleh
diputuskaan apabila diperlukan. Dewan dapat mengajukan suatu dasar penyelsaian,
dapat mengangkat sebuah komisi penyelidik, dapat memberikan izin penyerahan
perkara kepada International Court of Justice dan sebagainya. Menurut Pasal 21
sampai 47 Charter, Dewan Keamanan dapat memiliki hak untuk memberlakukan
keputusan-keputusannya tidak saja melalui tindakan-tindakan pemaksaan seperti
sanksi-sanksi ekonomi, melainkan juga dengan penggunaan kekuatan senjata terhadap
negara-negara yang menolak untuk terikat oleh keputusan-keputusan ini.
Dengan kekecualian sengketa-sengketa
yang benar-benar memiliki karakter hukum yang biasanya diajukan kepada
arbitrasi atau penyelsaian sengketa, makamakalah adedidikirawan hal itu semata-mata merupakan masalah
kebijaksanaan dengan metode-metode yang berbeda diatas untuk dipakai bagi
pemecahan suatu perselisihan tertentu antara negara-negara. Beberapa traktat
telah berusaha untukmakalah adedidikirawan menentukan jenis-jenis sengketa yang harus diajukan kepada
arbitrasi, penyelsaian yudisial atau konsiliasi, atau perintah untuk
metode-metode ini, tetapi pengalaman memperlihatkan diragukannya manfaat dari
suatu definisi atau prosedur yang belum
mapan demikian. Setiap metode kemungkinan sesuai dan semakin besar
fleksibilitas yang diberikan maka semakin besar pula kesempatan untuk dilakukan
penyelsaian secara bersahabat.
General
Act for Pacific Settlement of International Disputes yang
disahkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 merupakan suatu bentuk
instrumen dimana suatu flesibilitas dan kebebasan memilih yang maksimum
makalah adedidikirawandiusahakan untuk dapat dicapai. Ketentuan itu mengatur prosedur-prosedur
tersendiri, suatu prosedur konsiliasi (dihadapan komisi-komisi konsiliasi)
untuk segala sengketa , suatu prosedur penyelsaian yudisial atau arbitrasi
untuk segala sengketa yang berkarakter hukum dan suatu prosedur arbitrasi untuk
sengketa-sengketa lainnya. Negara-negara dapat mengaksesi General Act tersebut
dengan menerima semua atau beberapa prosedur dan juga dibolehkan untuk membuat
beberapa reservasi tertentu (misalnya mengenai sengketa-sengketa terdahulu,
mengenai persoalan-persoalan yang tunduk pada yuridiksi domestik dan
laian-lain). General Act tersebut telah diaksesi oleh 23 negara, hanya dua dari
mereka yang mengaksesi sebagian dari instrumen itu, tetapi syangnyamakalah adedidikirawan aksesi pada
General act secara keseluruhan dengan tunduk pada reservasi-reservasi penting.
Sebagai akibatnya, pengaruh prraktis instrumen tersebut menjadi tidak berarti.
Sebuah General Act yang telah direvisi telah disahkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 28 April 1949, tetapi tidak pernah
diaksesi oleh banyak negara sebagaimana yang iharapkan.
Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan
persoalan perubahan atau revisi traktat-traktat secara damai dan status quo yang menylitkan para penulis kebanyakan
sesudah perang dunia kedua. Banyak penulis menyatakan bhawa tidak ada satupun
dari metode-metode diatas yang sesuai
untuk makalah adedidikirawanmenyelsaikan sengketa-sengketa revisionis dan diusulkan pembentukan suatu
international equity tribunal yang akan memutus klaim-klaim untuk perubahan
secara damai atas dasar kepatutan dan keadilan. Wewenang yang akan diberikan
kepada pengadilan tersebut sekarang tampaknya ditetapkan, meskipun tidak dengan
cara spesifik atau konkret, di Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan demikian
Pasal 14 Charter Perserikatanmakalah adedidikirawan Bangsa-Bangsa tentang peninjauan kembali
traktat-traktat, yang memberi kuasa kepada Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk merekomendasikan tindakan-tindakan penyelsaian secaara
damai terhadap suatu keadaan yang kemungkinan mengganggu kesejahteraan makalah adedidikirawanumum
atau hubungan-hubungan bersahabat diantara bangsa-bangsa, termasuk
keadaan-keadaan yang timbbul dari pelanggaran Charter.
Karena
pertimbangan ruangan dalam buku ini, hanya dapat dikemukakan secara singkat
mengenai penyelsaaian sengketa-sengketa internasional oleh badan-badan atau
kelompok-kelompok regional. Hal ini merujuk kepada ayat 2 Pasal52 Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pokok makalah adedidikirawanpermasalahan itu telah dibahas secara rinci
dalam literatur-literatur yang relevan. Pada tahun 1983-1988, upaya-upaya dari
tiiga kelompok regional di Amerika Tengah dan Amerika Selatan ditujukan untuk
mencapai penyelsaian-penyelsaian secara damai di bagian dunia yang banyak
menarik perhatian ini. Kelompok-kelompok regional tersebut adalah kelompok
Contadora (Mentri-Mentri Luar Negeri dari kolambia, meksiko, Panama dan
Venazuela), kelompok Amerika Tengah (mentri-mentri luar makalah adedidikirawan negeri Costa Rica,
Honduras, Guate, ala, El Salvador dan Nikaragua) dan apa yang disebut sebagai
kelompok pendukung (support Grup) (menteri-menteri
luar negeri Argantina, Uruguay, Brazill dan Peru).
b. Prosedur Penyelesaian Paksa atau
Kekerasan[29]
1) Perang dan tindakan bersenjata non
perang
Keseluruhan
tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat
penyelsaian negara yang ditaklukan itu
tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.
2) Retorasi
Retorasi
adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam
tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yanng tidak bersahabat didalam konferensi negara kehormaatannya
dihina; misalnya merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan
privilege-privilege diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal
dan bea.
Penggunaan
retorsi secara sah oleh negara-negara anggota perserikatan Bangsa-Bangsa
mungkin dipengaruhi oleh satu atau dua ketentuan dalam Charter Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Misalnya menurut, Pasal 3 Ayat 2, negara-negara anggota harus
menyelsaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa
sehingga tidak “membahayakan makalah adedidikirawan perdamaian dan keamanan internasional, serta
keadilaan”. Kemungkinan bahwa suatu tindakan bahwa suatu makalah adedidikirawantindakan retorsi yang
sah dalam keadaan-keadaan tertentu menjadi sesuatu yang membahayakan perdamaian
dan keamanan internasional, serta keadilan, dalam hal demikian retorsi
tampaknya tidak dibenarkan menurut Charter.
3) Tindakan-tindakan pembalasan
Pembalasan
adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan
diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan
tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Dahulu istilah tersebut dibatasi
pada penyitaan harta benda atau penahanan orang-orang, tetapi dalam konotasi
modern makalah adedidikirawanistilah ini menunjuk kepada tindakan pemaksaan yang dilakukan suatu
negara terhadap negara lain bertujuan untuk menyelsaikan sengketa yang disebabkan
oleh tindakan ilegal atau tindakan yang tidak sah oleh negara lain tersebut.
Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah bahwa pembalasan
mencakup tindakan, yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatanmakalah adedidikirawan ilegal
sedangkan retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dibenarkan
oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya,
pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo, suatu
demonstrasi angkatan laut, atau pemboman. Beberapa topik praktek
internasional adalah lebih kontroversial
dibanding tindakan pembalasan dan hal inni secara tepat diperlihatkan pada
tahun 1973-1974 ketika negara-negara
arab makalah adedidikirawanpenghasil minyak memperkenalkan suatu embargo ekspor minyaknya terhadap
negara-negara tujuan tertentu, pendapat-pendapat yang dikemukakan tentang sah
atau tidak sahnya embargo ini tidak mencapai titik temu dan merupakan indikasi
tidak dapat, ditentukannya keluasaan hukumnya dalam kaitan masalah ini.
4) Blokade secara damai
Pada
waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu
negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut.
Namun, blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu
damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada
umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk
menaati makalah adedidikirawanpermintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang
memblokade. Beberapa penulis telah meragukan legalitas dari tindakan ini.
Selain tindakan blokade ini sudah usang, juga diperboleehkannya tindakan
sepihak ini masih dipertanyakan dipandang dari segi Charter Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
5) Intervensi
Intervensi
dapat diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam urusan
dalam negeri makalah adedidikirawan Negara lain
dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi
kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukakan oleh komunitas
internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah
Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut
Selain itu,
DR. Wirjono Prodjodikoro, SH. Memberi pengertian intervensi sebagai berikut :
“Dalam hukum internasional intervention
tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam
urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu
suatu
campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force)
atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.”
Sementara
itu Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi sebagai campur tangan
secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan
maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di
negeri tersebut.20
Menurut
J.G. Starke, ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi Negara terhadap
Negara lain, yaitu:
a) Intervensi
Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan dalam
negeri Negara lain.
b) Intervensi Eksternal, yaitu intervensi yang
dilakukan sebuah Negara dalam urusan luar negeri sebuah Negara dengan makalah adedidikirawan Negara
lain. Contoh: keterlibatan Italia dalam mendukung Jerman pada Perang Dunia
Kedua.
c) Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah
Negara terhadap Negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh
Negara tersebut.
BAB
IV
Kesimpulan
dan Saran
Simpulan
1.
Pertikaian
bersenjata adalah kenyataan yang paling
kejam; walaupun telah dilakukan berbagai upaya untuk mendahulukan negosiasi
damai ketimbang pertikaian bersenjata, ternyata besarnya penderitaan manusia,
kematian dan kerusakan yang diakibatkan oleh peperangan terus meningkat .
Pencegahan
pertikaian bersenjata tetap menjadi tujuan pertama dari kerja sama Internasional.
Tujuan kedua adalah melindungi kemanusiaan di tengah kenyataan perang. Itulah
maksud hukum Humaniter Internasional.
2.
Seperangkat
hukum makalah adedidikirawanperjanjian humaniter Internasional telah dibentuk. Walaupun demikian,
ternyata perjanjian dan konvensi secara
sungguh-sungguh telah diratifikasi – tidak dapat menyelamatkan nyawa, mencegah
rasa sakit, atau melindungi hak milik masyarakat yang tidak berdosa, kecuali
ada keinginan untuk melaksanakan perjanjian perdamaian. Perjanjian dan
konvensi-konvensi tersebut juga tidak akan efektif kecuali apabila semua orang
yang terlibat langsung – baik pasukan perang maupun penduduk sipil – menyadari
bahwa masalah pokok adalah masalah penghormatan terhadap hak asasi manusia yang
dasar.
Saran.
Setiap
pihak yang berkonflik agar sedapat mungkin
menyelesaikan konflik tersebut melalui penyelesaian secara damai, untuk
menghindari korban-korban yang tidak bersalah serta sekaligus sebagai bentuk
penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Sejarah
Lahirnya Humaniter
Hampir tidak mungkin
menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturan aturan hukum humaniter itu timbul.
Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter
internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam
rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang
dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat
usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman
perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam.
Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter
sebagai berikut :[7]
1.
Zaman
Kuno
Sebelum perang dimulai,
maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka
yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera
setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15
hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit
dari keduamakalah adedidikirawan pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini
pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh
yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil
musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihak pihak yang berperang
biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.[8]
2. Abad
Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan.
Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang
adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat
dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at
Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana
pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang
berkembang pada abad pertengahan inimakalah adedidikirawan misalnya mengajarkan tentang pentingnya
pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.[9]
3. Zaman
Modern
Hukum humaniter
mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu
ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata
baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara
mengerikan makalah adedidikirawantergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa
yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara
menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia.
Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian
Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk
Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi
ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang
terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.[10]
B.
Arti
Kejahatan Perang
Menurut salah satu definisi kejahatan perang adalah
tindakan-tindakan bermusuhan dan tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh
orang-orang militer atau sipil yang jika pelakunya tertangkap oleh pihak musuh
dapat dihukum. Tindakan-tindakan ini meliputi perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengn hukum internasional dan dilaksanakan dengan melanggar hukum
nasional di negara si pelaku sendiri seperti, membunuh, makalah adedidikirawanmerampok demi
keuntungan atau uuntuk memuaskan nafsu pribadi dan perbuatan-perbuatan pidana
yang bertentangan dengan hukum perang
yang dilakukan atas perintah dan demi kepentingan negara musuh.[11]
C. Jenis-jenis kejahatan
perang
Ada 3 jenis perbuatan yang dapat digolongkan sebagai
kejahatan perang, yaitu:[12]
a) Pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan perang yang berlaku (diakui) yang dilakukan oleh
anggota anngkatan bersenjata
b) Permusuhan
bersenjata yang dilakukan individu yang bukan merupakan anggota pasukan musuh
c) Spionase
dan pengkhianatan perang
Ad. a. Pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan perang
Yang di maksud dengan pelanggaran ketentuan perang
yang diakui antara lain adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut:[13]
·
Menggunakan senjata beracun atau
senjata-senjata lain yang dilarang
·
Membunuh atau melukai serdadu-serdadu
yang tak bedanya akibat penyakit atau luka, atau yang telah melletakan senjata
dan menyerah
·
Memperlakukan tawanan perang dengan
sewenang-wenang
·
Membunuh atau menyerang penduduk sipil
musuh yang tak bersenjata
·
Memperlakukan secaara hina zenazah di
medan perang
·
Memiliki dan merusak barang-barang
musium, rumah sakit, gereja , sekolah dan badan-badan serupa.
·
Penyerangan, peengepungan dan pemboman
terhadap kota terbuuka yang tak dipertahankan. Pemboman atas kota-kota dengan
maksud makalah adedidikirawanhanya untuk membunuh penduduk sipil
·
Pemboman atas monumen-monumen sejarah
·
Pelanggaran-pelanggaran lain terhadap
ketentuan kkonvensi Den Haag (Hague Convention) dan konvensi jenewa (Geneva
Convention)
Ad. b. Permusuhan
Bersenjata orang-orang Sipil
Orang-orang sipil yang mengangkat senjata dan
melakukkan permusuhan terhadap pihak musuh tidak akan memiliki hak-hak yang
diberikan kepada anggota angkatan bersenjata. Sesuai dengan Huukum Kebiasaan
Internasional, pihak musuh dapatmakalah adedidikirawan memperlaakukan orang-orang in sebgai penjahat
perang. Akan tetapi mereka tidak lagi berstatus penduduk sipil jika mereka
menorganisasikan diri sedemikian rupa yang menurut konvensi Den Haag,
memberikan kepada mereka status sebagai pasukan reguler.
Misalnya pada bulan Januari 1944 kelompok-kelompok
perlawanan perancis dinyatakan sebagai pasukan kombatan yang di kepalai dan
diperinttah langsung oleh seorang perwira tinggi militer perancis. Mereka
diakuui oleh komando tertinggi pasukan sekutu sebagai bagian integral dari
pasukan tersebut.
Ad. c. Spionase
dan Pengkhianatan Perang
Peperangan tidak dapat dilakukan tanpa diperolehnya
segala macam informasi tentang kekuatan dan maksud-maksud pihak lawan, dan
tentang karakteristik negara yang berbeda dalam daerah operasi militer. Untuk
mendapatkan informasi ini, maka pihak-pihak selalu menganggap sah penggunaan
tenaga mata-mata, atau makalah adedidikirawanmemanfaatkan pengkhiantan dari serdadu atau orang-orang
sipil dipihak musuh, baik lewat penyuapan ataupun tanpa imbalan apa-apa karena
timbul dari kesadaran sendiri.
D. Perang dan Hukum Perang
Secara sederhana perang adalah tindakan
kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan
syarat-syarat penyelsaian secara paksa.makalah adedidikirawan Konsepsi seperti ini sejalan dengan
pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan
dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan
lawannya guna memenuhhi kehendaknya.[14]
Meskipun mengakui adanya kesulitan
didalam membuat pembedaan antara perang dengan konflik bersenjata bukan perang,
Starke mencoba mengemukakan indikator-indikator untuk makalah adedidikirawanmembedakkan perang dari
konflik bersenjata bukan perang. Menurut starke, ada tidaknya perang tergantung
pada tiga hal yaitu:[15]
a)
Dimensi dari konflik
b)
Maksud-maksud para kontestan
c)
Sikap dan reaksi pihak yang bukan
kontestan
Meskipun bisa dibedakan, namun perang
maupun knflik senjata bukan perang tetap memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama
melibatkan penggunaan kekuatan senjata, sehingga berpotensi untuk menimbulkan
korban jiwa maupun kerusakan. Oleh karena itulah, didalam filsafat moral
(etika) hukum telah timbul upaya-upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
penggunaan kekerasan dan untuk mengurangi timbulnya korban makalah adedidikirawandan kerugian (casualties) kalau pun penggunaan
kekerasan harus terjadi. Upaya- upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
penggunaan kekerasan (terutama dalam bentuk perang) terlihat dari berkembangnya
konsep-konsep yang membuat kategori antara perang yang adil (just war) dan perang tidak adil (unjust war). Penggolongan perang menjadi
dua kategori itu diharapkan makalah adedidikirawanakan memberikan standar tentang dalam keadaaan apa
perang boleh dilancarkan. Standar ini diharapkan akan dipertimbangkan oleh
negara-negara sebelum melancarkan perang , sehingga negara tidak gegabah
memulai perang. Keseluruhan aturan hukum internasional yang mengatur tentang kapan
dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan disebut sebagai jus ad bellum.[16]
a. Jus
ad bellum
Dalam lapangan hukum internasional pun
sempat muncul aturan-aturan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang
boleh dilancarkan. Bahkan lebih jauh dari itu, didalam hukum internasional
pernah dikenal adanya konvensi-konvensi yang tidak sekedar membatasi perang,
makalah adedidikirawanmelainkan berusaha menghapuskan perang. Upaya-upaya untuk menghapuskan perang
antara lain terdapat didalam preamble konvenan Liga Bangsa-Bangsa
yang antara lain menyatakan, bahwa “untuk menjamin perdamaian dan keamanan,
maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang. Upaya
yang sama tampak pula dari ditandatanganinya kellog-Briand (paris fact) tahun
1928. Namun upaya untuk menghapuskan perang secara de facto ternyata gagal,
karena setelah itu Perang Dunia II meletus. Pada masa pasca Perang Dunia II
negara-naegara melalui piagam PBB juga kembali menolak perang, bahkan melarang
setiap penggunan kekerasan. Namun kenyataannya beberapa penggunaan kekerasan antar
negara dalam skala yang cukup besar pun tetap terjadi, seperti perang Vietnam, Perang Irak-Iran, perang flaksalnd,
perang teluk I, perang balkan, perang
afghanistasn, dan perang teluk II. Kesepakatan untuk menolak perang secara umum
pun tidak berarti menghapuskan hak negara untuk berperang. Dalam keadaan
tertentu hak negara untuk melancarkan perang masih tetap diakui.[17]
b.
jus in bello
Sementara itu, aturan-aturan tentang bagaimana
perang harus dilakukan juga telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Jus in bello inilah yang secara
tradisiional dikenal sebagaI hukum perang (the
law in war) , yangmakalah adedidikirawan dimaksudkan untuk
memanusiawikan perang melalui pengaturan cara berperang dan sarana yang
diperbolehkan dalam peperangan (conduct
of war and permissible means of war), serta menjamin kondisi korban perang (conditions of war victims) belakangan, jus in bello ini semakin memiliki
makalah adedidikirawankarakteristik humanisasi perang, sehingga kemudian dikenal dengan nama hukum
humaniter internasinal (international
humanitarian law). Istilah hukum humaniter ini secara praktis lni lebih
menguntungkan ketimbang istilah hukum perang, karena ia dapat dibuat untuk
mencakup baik kondisi perang (dalam arti teknis hukum internasional) maupun
pengggunaan kekerasan bukan perang yang keduanya lantas dimasukan dalam
kategori konflik bersenjata (armed
conflict).[18]
E. Sumber-sumber Hukum Perang
1.
Hukum Den Haag
Perkembangan cabang humaniter
internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai hukum Den Haag dimulai pada tahun
1863, ketika presiden Amerika Serikat
mengeluarkan Instruksi Lieber sebagai panduan lapangan bagi pasukan
Amerika Serikat yang ketika itu sedang terlibat dalam perang saudara (the civil war). Instruksi ini antara
lain berisi tentang perilaku berperangmakalah adedidikirawan serta juga standar perlakuan bagi tawanan perang, mereka yang mengalami
luka-luka dalam peperangan serta penduduk sipil. Meski intruksi Lieber
semata-mata merupakan dokumen domestik,
ia memiliki arti penting dalam perkembangan hukum humaniter internasional,
karena dokumen itu kemudian menjadi model bagi upaya internasional untuk
mengkkodifikasikan hukum dan kebiasaan perang.[19]
2.Hukum
Jenewa
Perkembangan hukum jenewa yang lebih
menitikberatkan pada kondisi para korban perang (conditions of war victims) tidak dapat dilepaskan dari. J.Henry Dunant seorang pengusaha jenewa dan
karyanya yang diberi judul Un Souvenir de
Selferino yang diterbitkan pada tahun 1862. makalah adedidikirawanPada masanya, Un Souvenir de selferino yang memuat
kesaksian Dunant atas kondisi buruk yang dialami oleh ribuan korban perang
antara prancis –austria di solferino (Italia utara) segera menyadarkan banyak
kalangan untuk mengubah kondisi buruk tersebut. Gagasan yang dikemukakan
didalam karaya Dunant mengenai perlunya dibuat perjanjian internasional untuk
memperbaiki kondisi korban perang pada akhirnya menampilkan wujud yang nyata,
ketika pada tahun 1864 di Jenewa diselenggarakan Konfrensi internasional, yang
kemudian menghasilkan convention on the
amelioration of the condition of the wounded in armies in the field.[20]
3.
Aliran
New York
Sebagain besar penulis pada umumnya
hanya membuat ktegori hukum Den Haag dan hukum Jenewa sebagai substansi hukum
humaniter internasional. Namun, selain dua kategori diatas Kalshoven &
Zegveld mengintroduksi satu kategori norma lagimakalah adedidikirawan yang mereka sebut sebagai
Aliran New York (the current of new york)
yang menitikberatkan pada aspek HAM dalam pertikaian bersenjata.[21]
Pada awalnya, PBB selaku organisasi
internasional yang mentabukan perang tidak terlalu banyak menaruh perhatian
pada pengembangan huukum humaniter internasional. Hal ini antara lain tampak
jelas dari tidak dimuatnya hukum perang didalam agenda ILC (international Law Commission). Meski demikian, Kalshoven & zegveld
mencatat bahwa ada dua isu yang menarik perhatian PBB, yang kemudian meletakan
dasar bagi perkembangan Aliran New York. Isu yang pertama menyangkut
penghukuman penjahat-penjahat perang Dunia II, sedangkan isu yang makalah adedidikirawankedua
menyangkut persoalan senjata atom.[22]
F.
Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter
atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war),
yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict),
dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum
humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang
relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an makalah adedidikirawandengan diadakannya Conference
of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict
pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka
terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:[23]
Mochtar Kusumaatmadja:
mengatakan hukum humaniter adalah hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang
iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi mengatakan
hukum humaniter adalah“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa
bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa,
walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
G. Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak
dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang
menentukanmakalah adedidikirawan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan
untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk
membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan
alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan
tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar
suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum
humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, makalah adedidikirawanperkembangan
hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum
humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum
humaniter tersebut, yaitu :[24]
1.
Memberikan perlindungan terhadap
kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary
suffering).
2.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat
fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke
tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang.
3.
Mencegah dilakukannya perang secara
kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan
BAB
III
SENGKETA
BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER
A. Penyebab Terjadinya Sengketa (konflik) Bersenjata
Terjadinya suatu konflik dapat disebabkan
beberapa faktor sebagaimana diuraikan dibawah ini:[25]
a.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor makalah adedidikirawanpenyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran
dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan
individu yang dapat memicu konflik.
c.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompokmakalah adedidikirawan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap
hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap
sebagai penghalang bagi mereka makalah adedidikirawanuntuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu,
pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan
membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan
ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat
terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik
antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan
kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai,
sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri
dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. makalah adedidikirawanHubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu
yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri.
Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat
kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Akibat konflik
Akibat dari
sebuah konflik adalah sebagai berikut :[26]
a.
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup)
yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.