DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: 05/31/12

Kamis, 31 Mei 2012

SENGKETA BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
      Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Baru pada pertengahan abad XIX, Negara-Negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional untuk menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang. Peraturan-peraturan dalam suatu Konvensi yang mereka setujui sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran. [1]
Lembar Fakta ini menelusuri perkembangan hukum humaniter internasional dan memberi gambaran terkini tentang ruang lingkup dan pengertian hukum humaniter internasional bagi tentara maupun masyarakat sipil yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.[2]
Pertama-tama, dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasanmakalah adedidikirawan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata.[3]
Tujuannya adalah : [4]
a.     memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaiann – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
b.     membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi mencapai tujuan perang.
Perkembangan hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan hak asasi manusia. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan makalah adedidikirawanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
      Hukum humaniter internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Baru pada pertengahan abad XIX, Negara-Negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional untuk menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang. Peraturan-peraturan dalam suatu Konvensi yang mereka setujui sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran. [1]
Lembar Fakta ini menelusuri perkembangan hukum humaniter internasionalmakalah adedidikirawan dan memberi gambaran terkini tentang ruang lingkup dan pengertian hukum humaniter internasional bagi tentara maupun masyarakat sipil yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.[2]
Pertama-tama, dibutuhkan suatu definisi. Apa arti hukum humaniter internasional? Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada saat pertikaian bersenjata.[3]
Tujuannya adalah : [4]
a.     memberi perlindungan pada seseorang yang tidak, atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaiann – orang yang terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
b.     membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi makalah adedidikirawanmencapai tujuan perang.
Perkembangan hukum internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan dengan hukum tentang perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan hak asasi manusia. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan makalah adedidikirawan bahwa semua orang berhak menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.[5]
Pasal 3 dari  Konvensi Jenewa tentang hukum humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian bersenjata seseorang yang dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria sejenis makalah adedidikirawan lainnya.” maka dalam hal ini kelompok kami membuat judul makalah SENGKETA BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER, yang akan disajikan di bawah ini.[6]
B.  Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah sebagai  berikut :
1.    Apakah penyebab terjadinya sengketa bersenjata antar negara ?
2.    Bagaimana bentuk dan prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketa bersenjata dan pemberlakuan hukum humaniter oleh badan peradilan Internasional berdasarkan yuridiksi universal?

C.   Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui kenapa terjadinya sengketa bersenjata.
2.      Untuk mengetahui prosedur penyelsaian sengketa bersenjata
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Sejarah Lahirnya Humaniter
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturan aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usahamakalah adedidikirawan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter sebagai berikut :[7]
1.    Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan padamakalah adedidikirawan waktu penghentian permusuhan, maka pihak makalah adedidikirawan pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.[8]

2.      Abad Pertengahan
     Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana makalah adedidikirawan pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.[9]
3.      Zaman Modern
Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional makalah adedidikirawan dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.[10]



B.       Arti Kejahatan Perang
Menurut salah satu definisi kejahatan perang adalah tindakan-tindakan bermusuhan dan tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang militer atau sipil yang jika pelakunya tertangkap oleh pihak musuh dapat dihukum. Tindakan-tindakan ini meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengn hukum internasional dan dilaksanakan dengan melanggar hukum nasional di negara si pelaku sendiri seperti, membunuh, merampok demi keuntungan atau uuntuk memuaskan nafsu pribadi dan perbuatan-perbuatan pidana yang bertentangan dengan hukum makalah adedidikirawan perang yang dilakukan atas perintah dan makalah adedidikirawan demi kepentingan negara musuh.[11]
C.      Jenis-jenis kejahatan perang
Ada 3 jenis perbuatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang, yaitu:[12]
a)      Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perang yang berlaku (diakui) yang dilakukan oleh anggota anngkatan bersenjata
b)      Permusuhan bersenjata yang dilakukan individu yang bukan merupakan anggota pasukan musuh
c)      Spionase dan pengkhianatan perang
Ad. a. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan perang
Yang di maksud dengan pelanggaran ketentuan perang yang diakui antara lain adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut:[13]
·         Menggunakan senjata beracun atau senjata-senjata lain yang dilarang
·         Membunuh atau melukai serdadu-serdadu yang tak bedanya akibat penyakit atau luka, atau yang telah melletakan senjata dan menyerah
·         Memperlakukan tawanan perang dengan sewenang-wenang
·         Membunuh atau menyerang penduduk sipil musuh yang tak bersenjata
·         Memperlakukan secaara hina zenazah di medan perang
·         Memiliki dan merusak barang-barang musium, rumah sakit, gereja , sekolah dan badan-badan serupa.
·         Penyerangan, peengepungan dan pemboman terhadap kota terbuuka yang tak dipertahankan. Pemboman atas kota-kota dengan maksud hanya untuk membunuh penduduk sipil
·         Pemboman atas monumen-monumen sejarah
·         Pelanggaran-pelanggaran lain terhadap ketentuan kkonvensi Den Haag (Hague Convention) dan konvensi jenewa (Geneva Convention)
Ad. b. Permusuhan Bersenjata orang-orang Sipil
Orang-orang sipil yang mengangkat senjata dan melakukkan permusuhan terhadap pihak musuh tidak akan memiliki hak-hak yang diberikan kepada anggota angkatan bersenjata. Sesuai dengan Huukum Kebiasaan Internasional, pihak musuh dapat memperlaakukan makalah adedidikirawanorang-orang in sebgai penjahat perang. Akan tetapi mereka tidak lagi berstatus penduduk sipil jika mereka menorganisasikan diri sedemikian rupa yang menurut konvensi Den Haag, memberikan kepada mereka status sebagai pasukan reguler.
Misalnya pada bulan Januari 1944 kelompok-kelompok perlawanan perancis dinyatakan sebagai pasukan kombatan yang di kepalai dan diperinttah langsung makalah adedidikirawan oleh seorang perwira tinggi militer perancis. Mereka diakuui oleh komando tertinggi pasukan sekutu sebagai bagian integral dari pasukan tersebut.


Ad. c. Spionase dan Pengkhianatan Perang
Peperangan tidak dapat dilakukan tanpa diperolehnya segala macam informasi tentang kekuatan dan maksud-maksud pihak lawan, dan tentang karakteristik negara yang berbeda dalam daerah operasi militer. Untuk mendapatkan informasi ini, maka pihak-pihak selalu menganggap sah penggunaan tenaga mata-mata, ataumakalah adedidikirawan memanfaatkan pengkhiantan dari serdadu atau orang-orang sipil dipihak musuh, baik lewat penyuapan ataupun tanpa imbalan apa-apa karena timbul dari kesadaran sendiri.
  D.   Perang dan Hukum Perang
Secara sederhana perang adalah tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelsaian secara paksa. Konsepsi seperti ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhhi kehendaknya.[14]
Meskipun mengakui adanya kesulitan didalam membuat pembedaan antara perang dengan konflik bersenjata bukan perang, Starke mencoba makalah adedidikirawan mengemukakan indikator-indikator untuk membedakkan perang dari konflik bersenjata bukan perang. Menurut starke, ada tidaknya perang tergantung pada tiga hal yaitu:[15]
a)                       Dimensi dari konflik
b)                       Maksud-maksud para kontestan
c)                       Sikap dan reaksi pihak yang bukan kontestan
Meskipun bisa dibedakan, namun perang maupun knflik senjata bukan perang tetap memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama melibatkan penggunaan kekuatan senjata, sehingga berpotensi untuk menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan. Oleh karena itulah, didalam filsafat moral (etika) hukum telah timbul upaya-upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan kekerasan dan untuk mengurangi timbulnya korban dan kerugian (casualties) kalau pun penggunaan kekerasan harus terjadi. Upaya- upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan kekerasan (terutama dalam bentuk perang) terlihat dari berkembangnya konsep-konsepmakalah adedidikirawan yang membuat kategori antara perang makalah adedidikirawan yang adil (just war) dan perang tidak adil (unjust war). Penggolongan perang menjadi dua kategori itu diharapkan akan memberikan standar tentang dalam keadaaan apa perang boleh dilancarkan. Standar ini diharapkan akan dipertimbangkan oleh negara-negara sebelum melancarkan perang , sehingga negara tidak gegabah memulai perang. Keseluruhan aturan hukum internasional yang mengatur tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan disebut sebagai jus ad bellum.[16]
a.      Jus ad bellum
Dalam lapangan hukum internasional pun sempat muncul aturan-aturan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan. Bahkan lebih jauh dari itu, didalam hukum internasional pernah dikenal adanya konvensi-konvensi yang tidak sekedar membatasi perang, melainkan berusaha menghapuskan perang. Upaya-upaya untuk menghapuskan perang antara lain terdapatmakalah adedidikirawan  didalam preamble konvenan Liga Bangsa-Bangsa yang antara lain menyatakan, bahwa “untuk makalah adedidikirawan menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang. Upaya yang sama tampak pula dari ditandatanganinya kellog-Briand (paris fact) tahun 1928. Namun upaya untuk menghapuskan perang secara de facto  ternyata gagal, karena setelah itu Perang Dunia II meletus. Pada masa pasca Perang Dunia II negara-naegara melalui piagam PBB juga kembali menolak perang, bahkan melarang setiap penggunan kekerasan. Namun kenyataannya beberapa penggunaan kekerasan antar negara dalam skala yang cukup besar pun tetap terjadi, seperti perang  Vietnam, Perang Irak-Iran, perang flaksalnd, perang  teluk I, perang balkan, perang afghanistasn, dan perang teluk II. Kesepakatan untuk menolak perang secara umum makalah adedidikirawan pun tidak berarti menghapuskan hak negara untuk berperang. Dalam keadaan tertentu hak negara untuk melancarkan perang masih tetap diakui.[17]
b. jus in bello
 Sementara itu, aturan-aturan tentang bagaimana perang harus dilakukan juga telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Jus in bello inilah yang secara tradisiional dikenal sebagaI hukum perang (the law in war) ,  yang dimaksudkan untuk memanusiawikan perang melalui pengaturan cara berperang dan sarana yang diperbolehkan dalam peperangan (conduct of war and permissible means of war),  serta menjamin kondisi korban perang (conditions of war victims) belakangan, jus in bello ini semakin memiliki karakteristik humanisasi perang, makalah adedidikirawan sehingga kemudian dikenal dengan nama hukum humaniter internasinal (international humanitarian law). Istilah hukum humaniter ini secara praktis lni lebih makalah adedidikirawanmenguntungkan ketimbang istilah hukum perang, karena ia dapat dibuat untuk mencakup baik kondisi perang (dalam arti teknis hukum internasional) maupun pengggunaan kekerasan bukan perang yang keduanya lantas dimasukan dalam kategori konflik bersenjata (armed conflict).[18]


E. Sumber-sumber Hukum Perang
1. Hukum Den Haag
Perkembangan cabang humaniter internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai hukum Den Haag  dimulai pada tahun 1863, ketika presiden Amerika Serikat  mengeluarkan Instruksi Lieber sebagai panduan lapangan bagi pasukan Amerika Serikat yang ketika itu sedang terlibat dalam perang saudara (the civil war). Instruksi ini antara lain berisi tentang perilaku berperang serta juga standar perlakuan  bagi tawanan perang, mereka yang mengalami luka-luka dalam peperangan serta penduduk sipil. Meski intruksi Lieber semata-mata  merupakan dokumen domestik, ia memiliki arti penting dalam perkembanganmakalah adedidikirawan hukum humaniter internasional, karena dokumen itu kemudian menjadi model bagi upaya internasional untuk mengkkodifikasikan hukum dan kebiasaan perang.[19]
2.Hukum Jenewa
Perkembangan hukum jenewa yang lebih menitikberatkan pada kondisi para korban perang (conditions of war victims) tidak dapat dilepaskan dari.  J.Henry Dunant seorang pengusaha jenewa dan karyanya yang diberi judul Un Souvenir de Selferino yang diterbitkan pada tahun 1862. Pada masanya, Un Souvenir de selferino yang memuat kesaksian Dunant atas kondisi buruk yang dialami oleh ribuan korban perang antara prancis –austria di solferino (Italia utara) segera menyadarkan banyak kalangan untuk mengubah kondisi buruk tersebut. Gagasan yang dikemukakan makalah adedidikirawan didalam karaya Dunant mengenai perlunya dibuat perjanjian internasional untuk memperbaiki kondisi korban perang pada akhirnya menampilkan wujud yang nyata, ketika pada tahun 1864 di Jenewa diselenggarakan Konfrensi internasional, yang kemudian menghasilkan convention on the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field.[20]
3.      Aliran New York
Sebagain besar penulis pada umumnya hanya membuat ktegori hukum Den Haag dan hukum Jenewa sebagai substansi hukum humaniter internasional. Namun, selain dua kategori diatas Kalshoven & Zegveld mengintroduksi satu kategori norma lagi yang mereka sebut sebagai Aliran New York (the current of new york) yang menitikberatkan pada aspek HAM dalam pertikaian bersenjata.[21]
Pada awalnya, PBB selaku organisasi internasional yang mentabukan perang tidak terlalu banyak menaruh perhatian pada pengembangan huukum humaniter internasional. Hal ini antara lain tampak jelas dari tidak dimuatnya hukum perang didalam agenda ILC (international Law Commission).  Meski demikian, Kalshoven & zegveld mencatat bahwa ada dua isu yang menarik perhatian PBB, yang kemudian meletakan dasar bagi perkembangan Aliran New York. makalah adedidikirawan Isu yang pertama menyangkut penghukuman penjahat-penjahat perang Dunia II, sedangkan isu yang kedua menyangkut persoalan senjata atom.[22]
F. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war),
yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah makalah adedidikirawanyang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:[23]
Mochtar Kusumaatmadja: mengatakan hukum humaniter adalah hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi mengatakan hukum humaniter adalah“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
G.  Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”.makalah adedidikirawan Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :[24]
1.         Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.          Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.         Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.

BAB III
SENGKETA BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER
A.  Penyebab Terjadinya Sengketa  (konflik) Bersenjata
    Terjadinya suatu konflik dapat disebabkan beberapa faktor sebagaimana diuraikan dibawah ini:[25]
a.         Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor makalah adedidikirawanpenyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di makalah adedidikirawan lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b.        Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.         Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok makalah adedidikirawanmemiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petanimakalah adedidikirawan menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini makalah adedidikirawan dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d.        Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai makalah adedidikirawan lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
 Akibat konflik
    Akibat dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :[26]
a.         meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.        keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
c.         perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
d.        kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e.         dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.



B.  Bentuk dan Prosedur Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa Bersenjata dan Pemberlakuan Hukum Humaniter oleh Badan Peradilan Internasional Berdasarkan Yuridiksi Universal
1.    Bentuk-bentuk Penyelsaian Sengketa Bersenjata
       Adapun bentuk-bentuk penyelsaian sengketa adalah sebagai berikut :[27]
a.       Secara damai
b.      Secara Paksa/Kekerasan
2.    Prosedur Pelaksanaan Penyelsaian Sengketa Bersenjata
 Adapun prosedur pelaksanaan penyelsaian sengketa bersenjata yang disajikan adalah sebagai berikut:[28]
a.                        Prosedur Penyelesaian Sengketa Internasional secara damai
1)          Arbitrasi (arbitration)
Biasanya, arbitrase menunjukan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasionanal, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, mereka itulah yang makalah adedidikirawan memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbanngan-pertimbangan hukum. Namun, pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukan bahwa beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum yang diserahkan kepada para arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum. Lebih lanjut, dalam berbagai macam traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketa harus diajukan kepada arbitrase, seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan menurut dasar keadilan atau ex aequo et bono, pengadilan-pengadilan arbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk menerapkan hukum internasional.
Arbitrasi pada hakikatnya  adalah suatu prosedur makalah adedidikirawan konsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa kemuka arbitrasi, kecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, makalah adedidikirawanbaik secara umum dan sebelumnya maupun adhoc berkenan dengan suatu sengketa tertentu. Kesepakatan negara-negara itupun mencakup penentuan karakter dari pengadilan yang akan dibentuk.
2)         Penyelesaian yudisial (judicial settlement)
Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian dihasilkan melalui suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
Satu-satunya organ umum untuk penyelesaian yudisial yang pada saat ini tersedia dalam masyarakat internasional adalah International Court of Justice  di The Hague , yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas permanent court of international Justice. Pengukuhan kedudukanmakalah adedidikirawan dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal itu juga pendahulunya yaitu permanent Court of international Justice, di bubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang makalah adedidikirawanterakhirnya. Perbedaan pokok antara mahkamah, disatu pihak, dan suatu pengadilan arbitrasi, dilain pihak, dapat dilihat dengan merujuk kepada hal-hal berikut ini :
a)                  Mahkamah secara permanen merupakan sebuah pengadilan, yang diatur dengan statuta dan serangkaian ketentuan prosedurnya yang mengikat terhadap semua pihak yang berhubungan dengan Mahkamah.
b)                  Mahkamah memiliki panitera (register) tetap, yang menjalankan semua fungsi yang diperlukan dalam menerima dokumen-dpkumen untuk arsip, dilakukan pencatatan dan pengesahan, pelayanan umum mahkamah dan bertindak sebagai saluran komunikasi tetap dengan pemerintah dan badan-badan lain.
c)                   Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sementara, pembelaan-pembelaan dan catatan-catatan dengar pendapat serta keputusan-keputusannya dipublikasikan.
d)                  Pada prinsipnya mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara untuk makalah adedidikirawan proses penyelsaian yudisial segala kasus yang dapat diserahkan oleh negara-negara itu kepadanya dan semua masalah khususnya yang diatur dalam traktat dan konvensi yang berlaku.
e)                  Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus mnetapkan bentuk hukum yang berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah dalam perkara-perkara dan masalah-masalah yang diajukan kehadapannya, tanpa menyampingkan kewenangan Mahkamah untuk memutuskan suatu perkara ex aequo et bono apabila para pihak setuju terhadap cara tersebut (meskipun bukan ex aequo et bono dalam pengertian yang kaku, prinsip-prinsip kepantasan diterapkan oleh Mahkamah dalam sejumlah besar perkara beberapa waktu iini yang diajukanmakalah adedidikirawan kepadanya yang berkenaan dengan penetapan batas-batas maritim dan teritorial).
f)                    Keanggotaan Mahkamah adalah berupa wakil-wakil dari bagian terbesar masyarakat internasional dan mewakili sistem hukum utama, sejauhmakalah adedidikirawan hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain (saat ini enam orang hakim Mahkamah berasal dari negara-negara Afrika dan makalah adedidikirawanAsia, sedangkan semula hanya dua orang hakim dari bagian dunia itu).
g)                  Yang terakhir, dimungkinkan bagi mahkamah untuk mengembangkan suatu praktek yang kkonsisten dalam proses-proses peradilannya dan memeliharamakalah adedidikirawan kesinambungan wawsan terhadap suatu hal yang tidak sesuai jika dilakuakn pengadilan-pengadilan ad hoc .
3)        Negosiasi, jasa-jasa baik (good office) , mediasi, konsiliasi dan penyelidikan.
Negosiasi, jasa-jasa baik, konsiliasi dan penyelidikan adalah metode-metode penyelesaian yang kurang begitu formal dibanding dengan penyelesaian yudisial atau arbitrasi, Sedikit yang perlu dikemukakan mengenai negoisasi selain bahwa metode ini sering diadakan makalah adedidikirawandalam hubungan jasa-jasa baik (good office) atau mediasi, meskipun perlu dikemukakan juga mengenai kecendurungan yang berkembang dewasa ini pada pengaturan, dengan instrumen atau persetujuan internasional, kerangkamakalah adedidikirawan kerja hukum    untuk dua proses yaitu konsultasi, baik konsultasi sebelum atau sesudah terjadinya peristiwa, dan komunikasi tanpa kedua media ini dalam hal beberapa negoisasi tidak dapat berjalan.
Baik jasa-jasa maupun mediasi merupakan metode-metode penyelesaian dengan mana, biasanya, negaramakalah adedidikirawan ketiga yang bersahabat memberikan bantuannya untuk mengadakan penyelesaian sengketa secara damai. Tetapi pihak yang menawarkan jasa-jasa baik atau mediasi dapat juga, dalam beberapa kasus, individu atau suatu organisasi internasional. Perbedaan antara jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk  syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa ia  sendiri secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Karena para pihak makalah adedidikirawantelah dipertemukan untuk mencari penyelesaian atas perselisihan-perselisihan mereka maka, sesungguhnya negara atau pihak yang menyelenggarakan jasa-jasa baiknya tidak lagi mempunyai tugas aktif untuk menyelesaikan. Adakalanya dalam kasus mediasi, sebaliknya  pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut makalah adedidikirawan serta dalam negoisasi-negoisasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedimikian rupa sehingga jalan penyelesaian dapat tercapai.
Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode dimana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite nasihat yang tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak bersifat mengikat. Menurut pendapat Hakim Manly O. Hudson:
“konsiliasi.....adalah suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelsaian makalah adedidikirawan setelah diadakan suatu penyelidikan mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu dari pendirian-pendirian yang Saling bertentangan, para pihak dalam sengketa itu tetap bebas untuk menerima atau menolak proposal-proposal yang dirumuskan tersebut”.
Fakta bahwa para pihak sama sekali memiliki makalah adedidikirawan kebebasan untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak syarat-syarat penyelsaian yang diusulkan itu membedakan konsiliasi dari arbitrsi dan sebagai konsekuensinya konsiliasi dapat dipakai untuk penyelesaian segala jenis sengketa atau keadaan.
Tujuan dari suatu penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang sepesifik, adalah untuk menetapkan fakta, yang mungkin diselesaikan, dan dengan cara demikian memperlancar suatu penyelssaian yang dirundingkan.
4)      Penyelesaian dibawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dibentuk tahun 1945, yang telah mengambil alih sebagian besar tanggung jawab untuk  menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Salah satu dari tujuan-tujuan organisasi itu adalah penyelesaian perselisihan antara negara-negara, dan melalui Pasal 2 Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, anggota-anggota organisasi harus berusaha untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara damai dan untukmakalah adedidikirawan menghindarkan ancaman-ancaman perang atau penggunaan kekerasan.
Dalam kaitan ini, tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, sesuai dengan wewenang luas yang dipercayakan kepada kedua badan tersebut. Majelis Umum diberi wewenang, tunduk pada wewenang penyelenggaraan perdamaian dari Dewan Keamanan, untuk merekomendasi tindakan-tindakan untuk penyelsaian damaimakalah adedidikirawan atas suatu keadaan yang kemungkinan mengganggu kesejahteraan umum atau hubungan-hubungan bersahabat antar bangsa-bangsa (lihat Pasal 14 Charter).
Namun kekuasaan yang lebih luas telah diserahkan kepada Dewan Keamanan sehingga badan ini akan menyelenggarakan kebijaksanaan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara cepat dan tegas. Dewan pada umumnya bertindak terhadap dua jenis sengketa : (i) sengketa-sengketa yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, (ii) kasus-kasus yang mengancam perdamaian, atau melanggar perdamaian, atau tindakan-tindakan agresi. Dalam kasus-kasus yang disebut pertama, mahkamah jika dipandang perlu boleh meminta para pihak untuk menyelsaikan sengketa-sengketa mereka dengan metode-metode yang disebutkan diatas yaitu, arbitrasi, penyelsaian yudisial, negoisasi, penyelidikan, mediasi dan konsilias. Juga dewan pada setiap makalah adedidikirawan tahap boleh merekomendasikan prosedur-prosedur atau metode-metode penyelsaian yang tepat untuk menyelsaikan sengketa-sengketa demikian. Dalammakalah adedidikirawan kasus-kasus yang disebut belakangan, (ii) diatas, Dewan diberi wewenang untuk membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan apa yang harus diambil untuk memelihara dan memperbaiaki perdamaian dan keamanan internasional dan badan ini dapat meminta para pihak yang terikat untuk mematuhi beberapa ketentuan tertentu. Tidak ada pembatasan atau kualifikasi tentang rekomendasi-rekomendasi yang boleh dibuat oleh dewan, atau mengenai tindakan-tindakan, baik yang sifatnya final maupun sementara, yang boleh diputuskaan apabila diperlukan. Dewan dapat mengajukan suatu dasar penyelsaian, dapat mengangkat sebuah komisi penyelidik, dapat memberikan izin penyerahan perkara kepada International Court of Justice dan sebagainya. Menurut Pasal 21 sampai 47 Charter, Dewan Keamanan dapat memiliki hak untuk memberlakukan keputusan-keputusannya tidak saja melalui tindakan-tindakan pemaksaan seperti sanksi-sanksi ekonomi, melainkan juga dengan penggunaan kekuatan senjata terhadap negara-negara yang menolak untuk terikat oleh keputusan-keputusan ini.
Dengan kekecualian sengketa-sengketa yang benar-benar memiliki karakter hukum yang biasanya diajukan kepada arbitrasi atau penyelsaian sengketa, makamakalah adedidikirawan hal itu semata-mata merupakan masalah kebijaksanaan dengan metode-metode yang berbeda diatas untuk dipakai bagi pemecahan suatu perselisihan tertentu antara negara-negara. Beberapa traktat telah berusaha untukmakalah adedidikirawan menentukan jenis-jenis sengketa yang harus diajukan kepada arbitrasi, penyelsaian yudisial atau konsiliasi, atau perintah untuk metode-metode ini, tetapi pengalaman memperlihatkan diragukannya manfaat dari suatu definisi atau prosedur yang belum  mapan demikian. Setiap metode kemungkinan sesuai dan semakin besar fleksibilitas yang diberikan maka semakin besar pula kesempatan untuk dilakukan penyelsaian secara bersahabat.
General Act for Pacific Settlement of International Disputes yang disahkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 merupakan suatu bentuk instrumen dimana suatu flesibilitas dan kebebasan memilih yang maksimum makalah adedidikirawandiusahakan untuk dapat dicapai. Ketentuan itu mengatur prosedur-prosedur tersendiri, suatu prosedur konsiliasi (dihadapan komisi-komisi konsiliasi) untuk segala sengketa , suatu prosedur penyelsaian yudisial atau arbitrasi untuk segala sengketa yang berkarakter hukum dan suatu prosedur arbitrasi untuk sengketa-sengketa lainnya. Negara-negara dapat mengaksesi General Act tersebut dengan menerima semua atau beberapa prosedur dan juga dibolehkan untuk membuat beberapa reservasi tertentu (misalnya mengenai sengketa-sengketa terdahulu, mengenai persoalan-persoalan yang tunduk pada yuridiksi domestik dan laian-lain). General Act tersebut telah diaksesi oleh 23 negara, hanya dua dari mereka yang mengaksesi sebagian dari instrumen itu, tetapi syangnyamakalah adedidikirawan aksesi pada General act secara keseluruhan dengan tunduk pada reservasi-reservasi penting. Sebagai akibatnya, pengaruh prraktis instrumen tersebut menjadi tidak berarti. Sebuah General Act yang telah direvisi telah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 28 April 1949, tetapi tidak pernah diaksesi oleh banyak negara sebagaimana yang iharapkan.
Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan persoalan perubahan atau revisi traktat-traktat secara damai dan status quo  yang menylitkan para penulis kebanyakan sesudah perang dunia kedua. Banyak penulis menyatakan bhawa tidak ada satupun dari metode-metode  diatas yang sesuai untuk makalah adedidikirawanmenyelsaikan sengketa-sengketa revisionis dan diusulkan pembentukan suatu international equity tribunal yang akan memutus klaim-klaim untuk perubahan secara damai atas dasar kepatutan dan keadilan. Wewenang yang akan diberikan kepada pengadilan tersebut sekarang tampaknya ditetapkan, meskipun tidak dengan cara spesifik atau konkret, di Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan demikian Pasal 14 Charter Perserikatanmakalah adedidikirawan Bangsa-Bangsa tentang peninjauan kembali traktat-traktat, yang memberi kuasa kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk merekomendasikan tindakan-tindakan penyelsaian secaara damai terhadap suatu keadaan yang kemungkinan mengganggu kesejahteraan makalah adedidikirawanumum atau hubungan-hubungan bersahabat diantara bangsa-bangsa, termasuk keadaan-keadaan yang timbbul dari pelanggaran Charter.
Karena pertimbangan ruangan dalam buku ini, hanya dapat dikemukakan secara singkat mengenai penyelsaaian sengketa-sengketa internasional oleh badan-badan atau kelompok-kelompok regional. Hal ini merujuk kepada ayat 2 Pasal52 Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pokok makalah adedidikirawanpermasalahan itu telah dibahas secara rinci dalam literatur-literatur yang relevan. Pada tahun 1983-1988, upaya-upaya dari tiiga kelompok regional di Amerika Tengah dan Amerika Selatan ditujukan untuk mencapai penyelsaian-penyelsaian secara damai di bagian dunia yang banyak menarik perhatian ini. Kelompok-kelompok regional tersebut adalah kelompok Contadora (Mentri-Mentri Luar Negeri dari kolambia, meksiko, Panama dan Venazuela), kelompok Amerika Tengah (mentri-mentri luar makalah adedidikirawan negeri Costa Rica, Honduras, Guate, ala, El Salvador dan Nikaragua) dan apa yang disebut sebagai kelompok pendukung (support Grup) (menteri-menteri luar negeri Argantina, Uruguay, Brazill dan Peru).
b.    Prosedur Penyelesaian Paksa atau Kekerasan[29]
1)      Perang dan tindakan bersenjata non perang
Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelsaian  negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.
2)      Retorasi
Retorasi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yanng  tidak bersahabat  didalam konferensi negara kehormaatannya dihina; misalnya merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan privilege-privilege diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.
Penggunaan retorsi secara sah oleh negara-negara anggota perserikatan Bangsa-Bangsa mungkin dipengaruhi oleh satu atau dua ketentuan dalam Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa. Misalnya menurut, Pasal 3 Ayat 2, negara-negara anggota harus menyelsaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga tidak “membahayakan makalah adedidikirawan perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilaan”. Kemungkinan bahwa suatu tindakan bahwa suatu makalah adedidikirawantindakan retorsi yang sah dalam keadaan-keadaan tertentu menjadi sesuatu yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan, dalam hal demikian retorsi tampaknya tidak dibenarkan menurut Charter.
3)      Tindakan-tindakan pembalasan
Pembalasan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Dahulu istilah tersebut dibatasi pada penyitaan harta benda atau penahanan orang-orang, tetapi dalam konotasi modern makalah adedidikirawanistilah ini menunjuk kepada tindakan pemaksaan yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain bertujuan untuk menyelsaikan sengketa yang disebabkan oleh tindakan ilegal atau tindakan yang tidak sah oleh negara lain tersebut. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah bahwa pembalasan mencakup tindakan, yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatanmakalah adedidikirawan ilegal sedangkan retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya, pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo, suatu demonstrasi angkatan laut, atau pemboman. Beberapa topik praktek internasional  adalah lebih kontroversial dibanding tindakan pembalasan dan hal inni secara tepat diperlihatkan pada tahun 1973-1974 ketika  negara-negara arab makalah adedidikirawanpenghasil minyak memperkenalkan suatu embargo ekspor minyaknya terhadap negara-negara tujuan tertentu, pendapat-pendapat yang dikemukakan tentang sah atau tidak sahnya embargo ini tidak mencapai titik temu dan merupakan indikasi tidak dapat, ditentukannya keluasaan hukumnya dalam kaitan masalah ini.
4)      Blokade secara damai
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu  negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Namun, blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati makalah adedidikirawanpermintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade. Beberapa penulis telah meragukan legalitas dari tindakan ini. Selain tindakan blokade ini sudah usang, juga diperboleehkannya tindakan sepihak ini masih dipertanyakan dipandang dari segi Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa.
5)      Intervensi
Intervensi dapat diartikan  sebagai  turut  campurnya sebuah Negara dalam urusan
dalam negeri makalah adedidikirawan Negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukakan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan Negara tersebut
Selain itu, DR. Wirjono Prodjodikoro, SH. Memberi pengertian intervensi sebagai berikut :
“Dalam hukum internasional intervention tidak berarti luas sebagai segala bentuk campur tangan Negara asing dalam urusan satu negara, melainkan berarti sempit, yaitu
suatu campur tangan negara asing yang bersifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan, apabila keinginannya tidak terpenuhi.”
Sementara itu Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.20
Menurut J.G. Starke, ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi Negara terhadap Negara lain, yaitu:
a)      Intervensi Internal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain.
b)       Intervensi Eksternal, yaitu intervensi yang dilakukan sebuah Negara dalam urusan luar negeri sebuah Negara dengan makalah adedidikirawan Negara lain. Contoh: keterlibatan Italia dalam mendukung Jerman pada Perang Dunia Kedua.
c)       Intervensi Punitive, yaitu intervensi sebuah Negara terhadap Negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh Negara tersebut.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
Simpulan
1.      Pertikaian bersenjata  adalah kenyataan yang paling kejam; walaupun telah dilakukan berbagai upaya untuk mendahulukan negosiasi damai ketimbang pertikaian bersenjata, ternyata besarnya penderitaan manusia, kematian dan kerusakan yang diakibatkan oleh peperangan terus meningkat .
Pencegahan pertikaian bersenjata tetap menjadi tujuan pertama dari kerja sama Internasional. Tujuan kedua adalah melindungi kemanusiaan di tengah kenyataan perang. Itulah maksud hukum Humaniter Internasional.

2.      Seperangkat hukum makalah adedidikirawanperjanjian humaniter Internasional telah dibentuk. Walaupun demikian, ternyata perjanjian dan konvensi  secara sungguh-sungguh telah diratifikasi – tidak dapat menyelamatkan nyawa, mencegah rasa sakit, atau melindungi hak milik masyarakat yang tidak berdosa, kecuali ada keinginan untuk melaksanakan perjanjian perdamaian. Perjanjian dan konvensi-konvensi tersebut juga tidak akan efektif kecuali apabila semua orang yang terlibat langsung – baik pasukan perang maupun penduduk sipil – menyadari bahwa masalah pokok adalah masalah penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dasar.
Saran.
Setiap pihak yang berkonflik agar sedapat mungkin  menyelesaikan konflik tersebut melalui penyelesaian secara damai, untuk menghindari korban-korban yang tidak bersalah serta sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Sejarah Lahirnya Humaniter
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturan aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak pihak yang terlibat dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter sebagai berikut :[7]
1.    Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari keduamakalah adedidikirawan pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihak pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.[8]

2.      Abad Pertengahan
     Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan inimakalah adedidikirawan misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.[9]
3.      Zaman Modern
Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan makalah adedidikirawantergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.[10]



B.       Arti Kejahatan Perang
Menurut salah satu definisi kejahatan perang adalah tindakan-tindakan bermusuhan dan tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang militer atau sipil yang jika pelakunya tertangkap oleh pihak musuh dapat dihukum. Tindakan-tindakan ini meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengn hukum internasional dan dilaksanakan dengan melanggar hukum nasional di negara si pelaku sendiri seperti, membunuh, makalah adedidikirawanmerampok demi keuntungan atau uuntuk memuaskan nafsu pribadi dan perbuatan-perbuatan pidana yang bertentangan dengan hukum  perang yang dilakukan atas perintah dan demi kepentingan negara musuh.[11]
C.      Jenis-jenis kejahatan perang
Ada 3 jenis perbuatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang, yaitu:[12]
a)      Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perang yang berlaku (diakui) yang dilakukan oleh anggota anngkatan bersenjata
b)      Permusuhan bersenjata yang dilakukan individu yang bukan merupakan anggota pasukan musuh
c)      Spionase dan pengkhianatan perang
Ad. a. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan perang
Yang di maksud dengan pelanggaran ketentuan perang yang diakui antara lain adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut:[13]
·         Menggunakan senjata beracun atau senjata-senjata lain yang dilarang
·         Membunuh atau melukai serdadu-serdadu yang tak bedanya akibat penyakit atau luka, atau yang telah melletakan senjata dan menyerah
·         Memperlakukan tawanan perang dengan sewenang-wenang
·         Membunuh atau menyerang penduduk sipil musuh yang tak bersenjata
·         Memperlakukan secaara hina zenazah di medan perang
·         Memiliki dan merusak barang-barang musium, rumah sakit, gereja , sekolah dan badan-badan serupa.
·         Penyerangan, peengepungan dan pemboman terhadap kota terbuuka yang tak dipertahankan. Pemboman atas kota-kota dengan maksud makalah adedidikirawanhanya untuk membunuh penduduk sipil
·         Pemboman atas monumen-monumen sejarah
·         Pelanggaran-pelanggaran lain terhadap ketentuan kkonvensi Den Haag (Hague Convention) dan konvensi jenewa (Geneva Convention)
Ad. b. Permusuhan Bersenjata orang-orang Sipil
Orang-orang sipil yang mengangkat senjata dan melakukkan permusuhan terhadap pihak musuh tidak akan memiliki hak-hak yang diberikan kepada anggota angkatan bersenjata. Sesuai dengan Huukum Kebiasaan Internasional, pihak musuh dapatmakalah adedidikirawan memperlaakukan orang-orang in sebgai penjahat perang. Akan tetapi mereka tidak lagi berstatus penduduk sipil jika mereka menorganisasikan diri sedemikian rupa yang menurut konvensi Den Haag, memberikan kepada mereka status sebagai pasukan reguler.
Misalnya pada bulan Januari 1944 kelompok-kelompok perlawanan perancis dinyatakan sebagai pasukan kombatan yang di kepalai dan diperinttah langsung oleh seorang perwira tinggi militer perancis. Mereka diakuui oleh komando tertinggi pasukan sekutu sebagai bagian integral dari pasukan tersebut.


Ad. c. Spionase dan Pengkhianatan Perang
Peperangan tidak dapat dilakukan tanpa diperolehnya segala macam informasi tentang kekuatan dan maksud-maksud pihak lawan, dan tentang karakteristik negara yang berbeda dalam daerah operasi militer. Untuk mendapatkan informasi ini, maka pihak-pihak selalu menganggap sah penggunaan tenaga mata-mata, atau makalah adedidikirawanmemanfaatkan pengkhiantan dari serdadu atau orang-orang sipil dipihak musuh, baik lewat penyuapan ataupun tanpa imbalan apa-apa karena timbul dari kesadaran sendiri.
  D.   Perang dan Hukum Perang
Secara sederhana perang adalah tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelsaian secara paksa.makalah adedidikirawan Konsepsi seperti ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhhi kehendaknya.[14]
Meskipun mengakui adanya kesulitan didalam membuat pembedaan antara perang dengan konflik bersenjata bukan perang, Starke mencoba mengemukakan indikator-indikator untuk makalah adedidikirawanmembedakkan perang dari konflik bersenjata bukan perang. Menurut starke, ada tidaknya perang tergantung pada tiga hal yaitu:[15]
a)                       Dimensi dari konflik
b)                       Maksud-maksud para kontestan
c)                       Sikap dan reaksi pihak yang bukan kontestan
Meskipun bisa dibedakan, namun perang maupun knflik senjata bukan perang tetap memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama melibatkan penggunaan kekuatan senjata, sehingga berpotensi untuk menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan. Oleh karena itulah, didalam filsafat moral (etika) hukum telah timbul upaya-upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan kekerasan dan untuk mengurangi timbulnya korban makalah adedidikirawandan kerugian (casualties) kalau pun penggunaan kekerasan harus terjadi. Upaya- upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan kekerasan (terutama dalam bentuk perang) terlihat dari berkembangnya konsep-konsep yang membuat kategori antara perang yang adil (just war) dan perang tidak adil (unjust war). Penggolongan perang menjadi dua kategori itu diharapkan makalah adedidikirawanakan memberikan standar tentang dalam keadaaan apa perang boleh dilancarkan. Standar ini diharapkan akan dipertimbangkan oleh negara-negara sebelum melancarkan perang , sehingga negara tidak gegabah memulai perang. Keseluruhan aturan hukum internasional yang mengatur tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan disebut sebagai jus ad bellum.[16]
a.      Jus ad bellum
Dalam lapangan hukum internasional pun sempat muncul aturan-aturan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan. Bahkan lebih jauh dari itu, didalam hukum internasional pernah dikenal adanya konvensi-konvensi yang tidak sekedar membatasi perang, makalah adedidikirawanmelainkan berusaha menghapuskan perang. Upaya-upaya untuk menghapuskan perang antara lain terdapat  didalam preamble konvenan Liga Bangsa-Bangsa yang antara lain menyatakan, bahwa “untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang. Upaya yang sama tampak pula dari ditandatanganinya kellog-Briand (paris fact) tahun 1928. Namun upaya untuk menghapuskan perang secara de facto  ternyata gagal, karena setelah itu Perang Dunia II meletus. Pada masa pasca Perang Dunia II negara-naegara melalui piagam PBB juga kembali menolak perang, bahkan melarang setiap penggunan kekerasan. Namun kenyataannya beberapa penggunaan kekerasan antar negara dalam skala yang cukup besar pun tetap terjadi, seperti perang  Vietnam, Perang Irak-Iran, perang flaksalnd, perang  teluk I, perang balkan, perang afghanistasn, dan perang teluk II. Kesepakatan untuk menolak perang secara umum pun tidak berarti menghapuskan hak negara untuk berperang. Dalam keadaan tertentu hak negara untuk melancarkan perang masih tetap diakui.[17]
b. jus in bello
 Sementara itu, aturan-aturan tentang bagaimana perang harus dilakukan juga telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Jus in bello inilah yang secara tradisiional dikenal sebagaI hukum perang (the law in war) ,  yangmakalah adedidikirawan dimaksudkan untuk memanusiawikan perang melalui pengaturan cara berperang dan sarana yang diperbolehkan dalam peperangan (conduct of war and permissible means of war),  serta menjamin kondisi korban perang (conditions of war victims) belakangan, jus in bello ini semakin memiliki makalah adedidikirawankarakteristik humanisasi perang, sehingga kemudian dikenal dengan nama hukum humaniter internasinal (international humanitarian law). Istilah hukum humaniter ini secara praktis lni lebih menguntungkan ketimbang istilah hukum perang, karena ia dapat dibuat untuk mencakup baik kondisi perang (dalam arti teknis hukum internasional) maupun pengggunaan kekerasan bukan perang yang keduanya lantas dimasukan dalam kategori konflik bersenjata (armed conflict).[18]


E. Sumber-sumber Hukum Perang
1. Hukum Den Haag
Perkembangan cabang humaniter internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai hukum Den Haag  dimulai pada tahun 1863, ketika presiden Amerika Serikat  mengeluarkan Instruksi Lieber sebagai panduan lapangan bagi pasukan Amerika Serikat yang ketika itu sedang terlibat dalam perang saudara (the civil war). Instruksi ini antara lain berisi tentang perilaku berperangmakalah adedidikirawan serta juga standar perlakuan  bagi tawanan perang, mereka yang mengalami luka-luka dalam peperangan serta penduduk sipil. Meski intruksi Lieber semata-mata  merupakan dokumen domestik, ia memiliki arti penting dalam perkembangan hukum humaniter internasional, karena dokumen itu kemudian menjadi model bagi upaya internasional untuk mengkkodifikasikan hukum dan kebiasaan perang.[19]
2.Hukum Jenewa
Perkembangan hukum jenewa yang lebih menitikberatkan pada kondisi para korban perang (conditions of war victims) tidak dapat dilepaskan dari.  J.Henry Dunant seorang pengusaha jenewa dan karyanya yang diberi judul Un Souvenir de Selferino yang diterbitkan pada tahun 1862. makalah adedidikirawanPada masanya, Un Souvenir de selferino yang memuat kesaksian Dunant atas kondisi buruk yang dialami oleh ribuan korban perang antara prancis –austria di solferino (Italia utara) segera menyadarkan banyak kalangan untuk mengubah kondisi buruk tersebut. Gagasan yang dikemukakan didalam karaya Dunant mengenai perlunya dibuat perjanjian internasional untuk memperbaiki kondisi korban perang pada akhirnya menampilkan wujud yang nyata, ketika pada tahun 1864 di Jenewa diselenggarakan Konfrensi internasional, yang kemudian menghasilkan convention on the amelioration of the condition of the wounded in armies in the field.[20]
3.      Aliran New York
Sebagain besar penulis pada umumnya hanya membuat ktegori hukum Den Haag dan hukum Jenewa sebagai substansi hukum humaniter internasional. Namun, selain dua kategori diatas Kalshoven & Zegveld mengintroduksi satu kategori norma lagimakalah adedidikirawan yang mereka sebut sebagai Aliran New York (the current of new york) yang menitikberatkan pada aspek HAM dalam pertikaian bersenjata.[21]
Pada awalnya, PBB selaku organisasi internasional yang mentabukan perang tidak terlalu banyak menaruh perhatian pada pengembangan huukum humaniter internasional. Hal ini antara lain tampak jelas dari tidak dimuatnya hukum perang didalam agenda ILC (international Law Commission).  Meski demikian, Kalshoven & zegveld mencatat bahwa ada dua isu yang menarik perhatian PBB, yang kemudian meletakan dasar bagi perkembangan Aliran New York. Isu yang pertama menyangkut penghukuman penjahat-penjahat perang Dunia II, sedangkan isu yang makalah adedidikirawankedua menyangkut persoalan senjata atom.[22]
F. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war),
yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an makalah adedidikirawandengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:[23]
Mochtar Kusumaatmadja: mengatakan hukum humaniter adalah hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi mengatakan hukum humaniter adalah“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
G.  Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukanmakalah adedidikirawan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, makalah adedidikirawanperkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :[24]
1.         Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.          Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.         Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan
 BAB III
SENGKETA BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUKUM HUMANITER
A.  Penyebab Terjadinya Sengketa  (konflik) Bersenjata
    Terjadinya suatu konflik dapat disebabkan beberapa faktor sebagaimana diuraikan dibawah ini:[25]
a.         Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor makalah adedidikirawanpenyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b.        Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.         Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompokmakalah adedidikirawan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka makalah adedidikirawanuntuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d.        Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. makalah adedidikirawanHubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
 Akibat konflik
    Akibat dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :[26]
a.         meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.        keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.