BAB II
MENGUAK REALITA ASAS RETROAKTIF TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
DAN HAM DI TINJAU DARI SEGI HUKUM NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL DALAM STUDI
KASUS HAM PERKEMBANGAN ZAMAN
A.
Dianutnya Asas Rektroaktif
Asas Rektroaktif menurut ketentuan Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang No.26 tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan
diputus oleh pengadilan Ham ad hoc. Ini
berarti, undang-undang pengadilan HAM berlaku juga bagi pelanggaran HAM berat
yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut dalam arti adanya
ketentuan berlaku surut atau menganut asas retroaktif dan penerapannya pun
diawasi secara ketat oleh rakyat, yaitu melalui keharusan adanya persetujuan
dari DPR apabila pemerintah ingin melanggar peradiilan ad hoc.[1]
Romli atasasmita mengatakan, pemberlakuan asas retroaktif
dalam pelanggaran HAM berat masih dilematis karena beberapa sebab pertama, pelanggaran hak asasi manusia
merupakan peristiwa baru dalam sejarah bangsa Indonesia dan tidak atau belum
ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Kedua, pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat tidak identik dengan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan pidana yang berlaku, dan untuk itu larangan penafsiran
analogi masih tetap berlaku. Ketiga pemberlakuan
surut undag-undang pengadilan HAM dengan muatan materi mengenai ketentuan
pidana disatu sisi melanggar asas hukum tidak berlaku surut, tetapi disisi
lain, jika asas hukum tidak berlaku surut diabaikan berarti KUHP diberlakukan
terhadap pelanggaran HAM berat. Hal ini berarti pelanggaran HAM berat dianggap
sama dengan kejahatan biasa (ordonary
crime). Cara demikian sudah tentu akan berdampak kurang menguntungkan,
yaitu dapat mengundang pembentukan ad hoc
tribunal Internasional untuk Timuor Timur. Statuta Mahkamah ad hoc Rwanda dan bekas Yugoslavia
menegaskan bahwa jika pengadilan HAM nasional memandang pelanggaran HAM sebagai
makalah adedidikirawankejahatan biasa, maka pengadilan Internasioonal akan menggantikan pengadilan
nasional sekallipun Statuta Roma tidak mengakui ketentuan sepert itu. Keempat , pemberlakuan asas retroaktif
memerlukan justifikasi-justifikasi yang sangat kuat, baik dari sisi
pertimbangan filosofis, yuridis, maupun sosiologis.[2]
Terlepas dari dilema pemberlakuan asas retroaktif dalam
pelanggaran HAM, perlu diketahui bahwa istilah asas rektroaktif mengandung dua
kata pokok yaitu “asas” dan “retroaktif” secara etimologi, kata asas berasal
dari Bahasa arab asas salah satu artinya adalah dasar yang siatasnya dibangun
suatu (groudword) atau bagian pokok
dan penting dari suatu sistem atau objek (fundamental).[3]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan
bahwa diantara arti “asas” adalah hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi
tumpuan berpikir atau berpendapat ).[4]
Sedangkan kata “retroaktif” beraasal dari bahasa latin “rectroactus” yang artinya adalah “to drive back”. Dengan
merujuk pada bentuk katanya, retroaktif adalah sebuah kata sifat yang berarti
“bersifat surut berlakunya”. Kamus Besar Bahasa Indonesia retroaktif adalah
bersifat berlaku surutmakalah adedidikirawan tanggal diundangkannya.[5]
Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar
yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak
tanggal diundangkannya.
Dari segi epistimologi asas retroaktif tidak sederhana
artinya secara etimologis. Karena dalam ilmu hukum dikenal istilah “asas
hukum”, yang menurut Moedjiono adalah peraturan-peraturan pokok/induk yang
tidak mungkin ditingkatkan lagi.[6]
Agar bisa disebut asas hukum, menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip
Sudarto, haruslah merupakan suatu ungkapan-ungkapan hukum (algemene rechtoordelen) yang melembaga sebagai
kecenderungan-kecenderungan (tendensen)
yang dituntut oleh rasa susila yang dapat ditemukan dengan menunjukan hal-hal
yang sama dari peraturan-peraturan yang berjauhan satu sama lain, atau
merupakan anggapan-anggapan yang memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum.[7]
Hukum pidana asas retroaktif menimbulkan suatu
kontroversi karena eksistensinya jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Secara prinsip sebagai konsekuensi diakuinya asas legalitas, aturan hukum
pidana tidaklah boleh diberlakukan secara surut. Pasal 1 Ayat (1) KUHP secara
secara ekplisit menegaskan bahwa asas legalitas merupakan sendi utama hukum
pidana sehingga asas retroaktif tidak mendapat tempat sama sekali.
Usaha untuk menempatkan asas retroaktif dalam hukum
pidana malah mendapat kecaman dan penolakan dari banyak ahli hukum pidana. Andi
Hamzah, misalnya berpandangan bahwa dari tinjauan histrois, penerapan asas
retroaktif hanyalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi dari asas lex tatlionisn (pembalasan).[8]
Pendapat lain dikemukakan oleh Baharudin Lopa. Dia
mengatakan bahwa penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana secara nyata
melanggar hak asasi manusia.[9] Hak
disini, tentu saja hak tersangka atau terdakwa keberadaan asas retroaktif
dianggap menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi kepastian hukum.
Rupert Cross dan Philip Jones, ketika menjelaskan
larangan berlaku surutnya ketentuan hukum pidana, menyatakan “theres the further danger that the creation
of new crimes under the guise of developing old law will promote uncrtainty
concerning the extent of the legal rule”.[10]penentuan
kapan seseorang dianggap telah melanggar hukum dan kapan ia tidak melanggar
hukum dan kapan ia tidak melanggar hukum tidak akan pernah dapat bersifat
pasti, bila hukumnya dapat dibuat kemudian, setelah perbuatan terjadi. Dengan
demikian asas retroaktif dianggap tidak sejalan dengan konsep rule of
law yang salah satu prinsipnya makalah adedidikirawanadalah kepastian hukum (cretainty of law). Asas retroaktif dianggap akan menciptakan
ketidakpastian hukum dan karenanya akan mereduksi konsep rule of law.[11]
Penolakan penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana juga didasarkan pada
alasan bahwa asas retroaktif sesungguhnya bertentangan dengan keadilan dan
membuka potensi kesewenang-wenangan dari penguasa. Tanpa berpikir terlalu jauh,
setiap orang tentu akan dapat bertanya, apakah bisa dikatakan adil, jika
seseorang melakukan perbuatan yang pada saat perbuatan itu dilakukan masih
dianggap legal atau tidak melanggar huukum dan dijatuhi hukuman berdasarkan
peraturan yang keluar setelah perbuatan tersebut dilakukan.
Berdasarkan penerapan asas retroaktif dianggap sama
sekkali tidak menyediakan kemungkinan bagi orang untuk mengetahui apa yang
harus ia lakukan atau apa yang tak boleh dilakukan. Dengan penerapan asas
retroaktif. Hal iini tampak dengan jelas bila merujuk kepada fakta sejarah,
yang telah menunjukan beberapa praktik kesewenang-wenangan inilah yang kemudian
melahirkan empat persoalan yang telah diuraikan di atas, yaitu mencerminkan
asas lex talionis, pelanggaran makalah adedidikirawanhak
asasi manusia, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.[12]
Itulah alasan-alasan yang dikemukakan oleh mereka yang
menolak penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana. Namun, kalau pun asas ini
mau diterapkan dalam hukum pidana, penerapannya haruslah memenuhi kriteria rigid dan limitatif antara lain:[13]
1.
adanya korelasi
antara Hukum Tata Negara Darurat (staatsnoodrecht)
dengan hukum pidana. Asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila
negara dalam keadaan darurat (abnormal) dengan prinsip-prinsip hukum darurat (abnormal recht), karenanya sifat
penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang
limitatif, dengan diberikan suatu kriteria yang jelas masa berlakunya dan sifat
penanganan kasusnya berdasarkan case by
case (kasuitis);
2.
asas retroaktif
tidak diperkenankan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2) KUHP yang imperatif
sifatnya, artinya sifat darurat keberlakuan asas retroakitf yang dibenarkan
perundang-undangan dengan alasan eksepsionalitas ini tidak berada dalam keadaan
yang merugikan seorang tersangka/terdakwa dan
3.
substasnsi dari
aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substansial
suatu aturan secara tegas dan tidak makalah adedidikirawanmenimbulkan multi interpretatif, sehingga
tidak dijadikan sebagai sarana penguasa melakukan suatu perbuatan yang
dikategorikan abuse of power.
Namun perlu juga
diketahui bahwa dalam presfektif kebijakan kriminal (criminal policy), persoalan penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana tidak boleh didekati dari satu sisi semata, apalagi
jika satu sudut pandang tersebut hanya berpijak dari kepentingan individu
pelaku kejahtan. Mestinya, penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana harus
dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi individual dan dari sisi masyarakat.
Dari sisi individual yang menjadi objek adalah keharusan untuk melindungi
setiap individu terhadap kemungkinan menjadi korban pemidanaan yang
sewenang-wenang oleh negara. Untuk hal ini, hukum pidana menegaskannya dalam
doktrin nullum delictum nulla poena sine
pravea lega ( asas legalitas). Sedangkan dari sisi masyarakat, yang menjadi
objek adalah keharusan untuk melindungi masyarakat luas terhadap makalah adedidikirawankemungkinan
menjadi korban kejahatan. Untuk sisi ini, hhukum pidana mengajarkan asas nullum crimen sine poena (kejahatan
tidak boleh berlaku tanpa ada pemidanaan terhadap pelakunya dalam rangka untuk
memberikan perlindungan publik ke depan).[14]
Dua pendekatan yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan kejahatan di atas pada hakikatnya merupakan pendekatan baru atas
dasar hubungan pelaku korban (doer-victiim
realtionship), yang menggamtikan pendekatan lama, yakni perbuatan pelaku (daad dader strafrecht). Pendekatan lain
yang perlu juga diperhatikan adalah pendekatan interaksi antara “perbuatan
pelaku korban” atau “crimes-criminal and
victims relationship”. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, ukuran untuk
menentukan ada tidaknya kepastian hukum dan keadilan berdasarkan makalah adedidikirawanpendekatan “crimes criminal and victims relationship”
dapat ditentukan melalui formula sebagai berikut:[15]
1.
nilai keadilan
tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian, melainkan dari keseimbangan
perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan;
2.
semakin serius
suatu kejahatan, maka semakin besar nilai keadilan yang harus dipertahankan
melebihi nilai kepastian hukum.
Formula tersebut dapat dijadikan sebagai justifikasi
akademis untuk memberlakukan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM berat dengan
dilandaskan pada suatu keyakinan, bahwa pelanggaran HAM berat berbeda dengan
kejahatan biasa dalam hal:[16]
1.
pelanggaran HAM
berat bersifat universal sedangkan dalam kejahatan biasa lebih dominan “local content”.
2.
Pelanggaran HAM
berat memiliki sifat sistematis, meluas dan kolektif, sedangkan kejahatan biasa
bersifat spontanitas, berancana dan kasuistik dengan korban pada umumnya
bersifat individual;
3.
Terhadap
pelanggaran HAM berat dapat dituntut dan diadili di negara mana pun, sedangkan
terhadap kejahatan biasa dituntut dan dipidanamakalah adedidikirawan di negara tempat tindak pidana (locus delicti) terdakwa dituntut dan
diadili di negara lain sangat bergantung dari perjanjian bilateral yang
disepakati masing-masing negara pihak;
4.
Terhadap
pelanggaran HAM berat prinsip “ne bis in
idem” atau “double joupardy”
dapat disimpangi, sedangkan terhadap kejahatan biasa prinsip tersebut dan asas
hukum tidak berlaku surut, berlaku mutlak;
5.
Pelanggaran HAM
berat merupakan kejahatan internasional sedangkan kejahatan biasa merupakan
“kejahatan lokal” atau “kejahatan nasional” dan tidak diakui secara universal
6.
Terhadap
pelanggaran HAM berat berlaku selain standar-standar internasional, sedangkan
terhadap kejahatan biasa hanya berlaku standar-standar hukum nasiona.
Selain hal diatas, pemberlakuan asas retroaktif dalam
pelanggaran HAM berat harus dapat menjamin bahwa keadilan dapat ditegakan,
kepentingan korban dilindungi secara utuh, dan tersangka atau terdakwa
memperoleh jaminan minimum atas hak-haknya segera dan terinci mengen ai sifat,
sebab dan isi dari tuduhan dan berkomunikasi secara bebas dengan penasihat
hukumnya yang dipercaya untuk mempersiapkan pembelaannya, untuk diadili tanpa
adanya penangguhan, makalah adedidikirawantanpa adanya batas waktu, hadir dipersidangan dan
didampingi penasihat hukumnya, memeriksa saksi-saksi yang memberatkan dirinya
atau meminta kehadiran saksi-saksi yang menguntungkan dirinya dengan fasilitas
yang sama, memperoleh pembebasan biaya untuk membayar penerjemah bagi
kepentingan pembelaannya, tidak booleh dipaksa berbicara, berhak untuk membuat
pernyataan dalam pembelaaannya tanpa disumpah, tidak diperbolehkan diberikan
kewajiban untuk membuktikan kesalahannya(pembalikan beban pembuktian).[17]
Praktik penegakan hukum atas pelanggaran hak asasi
manusia yang berat terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, terdapat beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang berat
diadili, seperti pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor Timur pasca
jajak pendapat tahun 1999, kasus Abepura Papua, peristiwa Tanjung Priuk,[18]
dan penembakan mahasiswa trisakti.[19]
Walaupun harus diakui bahwa makalah adedidikirawanproses peradilan terhadap kasus-kasus tersebut jauh
dari harapan masyarakat karena tidak menyentuh pelaku utama, vonis hukum yang
terlalu ringan, dan tidak ada reparasi bagi korban.
B.
Asas Non Rektroaktif dalam Hukum Internasional
1.
Pendekatan Yuridis-Formal Normatif
Hukum
internasional, khususnya dalam hukuperjanjian internasional asas non
rektroaktif ini sudah diterima secara luas. Konvensi Wina 1969 dan konvensi
wina 1986 yang merupakan dua konvensi hasil dari pengkodifikasian dan
pengembangan secara progresif kaidah-kaidah hukum pperjanjian internasional
yang semula berbentuk kebiasaan hukum iinternasional, secara tegas mengukuhkan
eksistensi dari asas non rektroaktif ini dalam Pasal 4 Konvensi Wina 1969 dan
Pasal 4 Konvensi Wina 1986. Tegasnya, Pasal 4
Konvensi 1969 tersebut menyatakan sebagai berikut:[20]
With out
prejudice to the application of any rules set forth in the present convention
to which treaties to be subject under international law independenly of the
convention, the convention applies only to treaties which are conculded by
states after the entry into force of the present convention with regard to such
states.
Sedangkan
Pasal 4 Konvensi 1986 dengan rumusan yang agak berbeda tetapi dengan isi dan
jiwa yang persis sama, menyatakan sebagai berikut:[21]
Without prejudice to the application of any rules set forth in the present
convention to which treaties to be subject under international law
independently of the convention, the convention applies only to treaties which
are concluded by states and or more internatiional organisatiion would be
subject under international law independently of the convention, the convention
applies only to such treaties concluded after the entry into force of the
present convention which regard to those states and those organisatiions.
Sesuai
dengan bunyi kedua pasal yang telah dikutip di atas, secara mudah dapat
disimpulkan, bahwa kedua konvensi hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian
internasional yang dibuat setelah masing-masing konvensi tidak berlaku terhadap
perjannjian-perjanjian internasional yang sudah menjadi hukum positif sebelum mulai berlakunya kedua konvensi
tersebut. makalah adedidikirawanJadi jika dua negara atau lebih ataupun dua atau lebih negara dan
atau dua organisasi internasional atau lebih, membuat perjanjian internasional
sebelum berlakunya salah satu atau kedua konvensi, maka kedua kkonvensi itu
tidak bisa diterapkan, sebab jika diterapkan, maka sama artinya dengan
memberlakukannya secara surut, dan ini jelas sangat bertentangan dengan kedua
Pasal 4 dari kedua konvensi yang telah dikutip diatas.[22]
Masing-masing
konvensi baru bisa diterapkan jika dua atau lebih negara atau dua atau lebih
organisasi internasional membuat perjanjian internasional setelah mulai
berlakunya masing-masing konvensi tersebut namun patut ditekankan disini,
masing-masing konvensi ini pun hanya bisa diterapkan terhadap negara-negara
atau organisasi internasional yang sama-sama telah meratifikasi masing-masing
konvensi tersebut. Jika salah satu atau semua negara peserta pada perjanjian
itu belum meratifikasinya, maka konvensi ini pun tidak dapat diterapkan
terhadap perjanjjian itu, meskipun pembuatannya berlangsung setelah konvensi
mulai berlaku. Lalu timbul pertanyaan, hukum perjanjian internasional yang
manakah yang mengatur perjanjian tersebut, jawabannya adalah, hukum makalah adedidikirawanperjanjian
internasional yang kaidah-kaidah hukumnya berbentuk hukum kebiasaan
internasional.[23]
Ketentuan
lain dari kedua kkonvensi yang juga mengatuur tentang asas non rektroaktif
adalah Pasal 28 Konvensi 1969 dan Pasal 28 Konvensi 1986. Hanya perbedaannya
dengan ketentuan Pasal 4 adalah, jika Pasal 4 mengatur tentang pemberlakuan
dari masing-masing konvensi itu sendiri, Pasal 28 dari kedua konvensi mengatur
tentang perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat atau yang lahhir berdasarkan
atas penerapan kaidah-kaidah hukum dari kedua konvensi. Ditegaskan dalam Pasal
28, bahwa suatu perjanjian internasional tidak mengikat salah satu pihak dalam
hubungannya dengan suatu tindakan atau perbuatan atau suatu fakta atau suatu
situasi yang terjadi sebelum tanggal mulai berlakunya perjanjian tersebut
terhadap para pihak yang bersangkutan untuk lebih jelasnya baiklah dikutip
secara makalah adedidikirawanlengkap ketentuan Pasal 28 dari kedua konvensi yang rumusannya persis
sama, sebagai berikut:[24]
Unless a different intention appers from the treaty or is otherwise
estabilished, its provision do not blind a party in relation to any act or fact
which took place or any situation which ceased to exsist before the date of the
entry into force of the treaty with respect to that party.
Jadi
jika negara-negara dan atau organisasi internasiional membuat perjanjian inter
nasional, maka perjanjian yang dibuatnya itu hanya mengikat atau berlaku
terhadap parra pihak setelah perjanjian itu mulai berlaku. Sedangkan
terhadap perbuatan, fakta, ataupun
situasi yang ada atau terjadi sebelum berlakunya perjanjian itu, maka
perjanjian itu tidak bisa makalah adedidikirawanditerapkan. Dengan kata lain, perjanjian itu tidak
berlaku surut.[25]
Akan tetapi larangan untuk tidak memberlakukan surut
suatu perjanjian internasiional itupun dapat dikesampingkan atau dikecualikan
pengecualian itu sendiri memang dibenarkan oleh Pasal 28 dari kedua konvensi,
sebagaimana secara tegas dinyatakan pada awal rumusan Pasal itu yakni,.... unless a different intention appers from the
treaty or is otherwise estabilshed,.... pertanyaan sekarang adalah, apakah
yang dimaksud dengan pertanyaan tersebut, bagaimana dapat diketahui adanya
maksud yang berbeda yang tampak dari perjanjian itu ataupun ditentukan
sebaliknya, yang pertama, a different
intention appers from treaty, dapat dipandang sebagai pembenaran untuk
memberlakukan surut suatu perjanjian internasional secara tersimpul atau secara
diam-diam, yakni jika dapat disimpulkan tentang adanya maksud berbeda yang
tampak dari perjanjian itu sendiri.
Sedangkan yang kedua, is otherwise
established, dapat dipandang sebagai pemberlakuan surut suatu perjanjian
makalah adedidikirawaninternasional secara tegas. Yang pertama tentu saja harus ditelaah secara
mendalam dari ketentuan perjanjian itu sendiri, jadi harus dilakukan atau
tidak. Sedangkan untuk yang kedua (is
otherwise established), tentulah akan lebih mudah dapat diketahui, yakni,
jika perjanjian itu di dalam salah satu ketentuannya secara tegas menyatakan bahwa perjanjian itu berlaku
surut.[26]
Masih dalam hubungannya dengan hukum perjanjian
internasional, sebagaimana diatur dalam kedua koonvensi tersebut di atas, sisi
lain dari berlaku surutnya suautu kaidah hukum internasioonal yang masih berkaitan
dengan eksistensi suatu perjanian internasional adalah munculnya kaidah hukum
yang tergolong jus cogne. Tegasnya,
dalam Pasal 64 Konvensi Wina 1986, yang formulasinya juga persis sama
dinyatakan:[27]
If new peremproty
norm of general international law emerges, any exsiting treaty which is in
conflict with that norm becomes void and terminates.
Tentang apa yang dimaksud dengan jus cognes, ditegaskan dalam Pasal 53
kalimat kedua sebagai berikut :[28]
For purpose of the
present convention, a peremproty norm of general international law is a norm
accepted and recognized by the international community of states as a whole as
a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by
a subsquent norm of general international law having the same character.
Pasal 64 ini tampak lebih mengutamakan penerapan jus cogens ketimbang perjanian-perjanian
internasional yang memberikan hak dan membani kewajiban kepada para pihak yang
terikat didalamnya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 53 tersebut, jus cogens atau a peremptory norm of general international law, merupakan kaidah
hukum yang sifatnya kuat dan imperatif yang dicirikan oleh adanya penerimaaan
dan pengakuan dari masyarakat internasiional atau negara-negara secara
keseluruhan sebagai kaidah hukum yang tidak makalah adedidikirawanboleh dikesampingkan, dan hanya
dapat dikesampingkan oleh munculnya kaidah hukum internasional umum atau jus cogens yang baru yang memiliki
kharakter yang sama.[29]
Menurut Pasal 64, jika suatu perjanjian internasional
yang sudah ada atau sudah berlaku sebelumnya kemudian ternyata bertentangan
dengan jus cogens yang neskipun
munculnya belakangan dari perjanjian itu, maka perjanjian yang sudah berlaku
sebelumnya menjadi batal dan harus diakhiri berlakunya. Ini menunjukan, bahwa jus cogens itu berlaku surut, yang juga
berarti, bahwa asas non rektroaktif tampak dikesampingkan.[30]
Penyimpangan atau pengecualian lain atas asas non
retroaktif ini di dalam hukum internasional positif, misalnya dapat ditunjukan
pada Pasal 103 PBB yang menyatakan bahwa :[31]
In the event of
conflict betwen the obligations of the members of the united nations under the
present charter and their obligations under any other international agreement,
their obligations under the present charter shall prevail.
Dalam pasal ini tidak dibedakan secara ekplisit antara
kewajiban negara-negara anggota PBB yang bersumber pada perjanjian-perjanjian
yang sudah berlaku sebelum berlakunya piagam dan yang bersumber pada
perjanjian-perjanjian yang berlaku sesudahnya. Karena tidak adanya penegasan
yang ekplisit tersebut, maka dapat dipandang, bahwa ketentuan piagam ini harus
diprioritaskan dalam penerapannya jika makalah adedidikirawanbertentangan baik dengan kewajiban yang
bersumber pada perjanjian yang berlaku sebelum ataupun sesudahnya. Oleh karena
itu secara mudah dapat disimpulkan, bahwa piagam PBB ini diberlakukan surut
yakni negara-negara anggota PBB harus mengutamakan penerapan kewajiban yang
bersumber dari piagam ketimbang kewajiban yang bersumber dari
perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum lahirnya piagam. Bahkan pemberlakuan
surut piagam ini dapat dikatakan tanpa batas waktu yang pasti. Kapanpun
perjanjian itu dibuat oleh negara-negara anggota PBB tersebut, sepanjang
kewajiban yang bersumber dari perjanjian itu bertentangan dengan kewajiban yang
bersumber dari piagam, maka kewajiban yang belakangan ini harus diprioritaskan
dalam penerapannya inilah yang oleh para sarjana dipandang sebagai
pengesampingan atau pengecualian dari asas non rektroaktif.[32]
Setelah perang dunia ke II, instrumen hukum internasional
dalam bidang hak asasi manusia dan hukum pidana internasional yang secara tegas
mencantumkan asas non retroaktif adalah Universal Declaration of Human Right
1948 yang didalam Pasal 11 Ayat 2 dinyatakan:[33]
No one shall be
held guily of any penal offence on account of any act or ommission which did
not constitute a penal offence, under national or international law, at the
time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one
that was applicable at the time the penal offrnce was commited.
Dianutnya asas ini
dalam UDHR 1948 sebenarnya dapat dipandang sebagai penegasan kembali atas suatu
kenyataan, bahwa asas ini sebenarnya jauh sebelumnya sudah dianut dan
dipraktekan secara luas, baik pada tataran internasiional maupun nasional,
terutama dikalangan negara-negara di Benua Eropa dan Amerika yang pada masa
sebelum Perang Dunia IImakalah adedidikirawan merupakan negara-negara kolonial. Bahkan asas ini pun
juga diberlakukan di wilayah-wilayah jajahan negara-negara tersebut. Tidaklah
berkelebihan untuk dikatakan, bahwa asas ini sudah merupakan asas yang berlaku secara universal.
Akan tetapi dalam prakteknya, asas ini pun juga mengalami penyimpangan, baik penyimpangan
itu didasarkan atas peraturan hukum positif, yang dapat dipandang sebagai
penyimpangan yang legal ataupun penyimpangan melalui pembenaran oleh badan
peradilan.[34]
Asas non rektroaktif seperti tercantum dalam Pasal 11
Ayat 2 UDHR 1948, kemudian diadopsi kedalam International Covenant on Civil and
Political Right 1966. Sebagaimana dapat dijumpai didalam Pasal 15 Ayat 1, hanya
dengan penambahan kalimat terakhir yang berbunyi:[35]
.......if, subquent
to the commision of the offence, provision is made by law for the lighter
penalty, the offender shall benefit there by
Dengan adanya penegasan ini, maka Pasal 15 Ayat 1 menjadi
dikesampingkan dengan kata lain, asas tidak berlaku surut atau asas
kejahatannya atau perbuatannya digolongkan sebagai tindak pidana atau kejahatan
berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan itu sebagai kejahatan,
tetapi karena kejahatan itu digolongkan sebagai kejahatan berdasarkan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, maka
pelakunya itu dapat diadili dan jika makalah adedidikirawanterbukti bersalah, dapat dijatuhi hukuman
pidana.[36]
Tampaknya, dicantumkannya ketentuan seperti di dalam
Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966 ini, tidak terlepas dari pengaruh putusan Mahkamah Militer
Internasional di Nerenberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili para pelaku
kejahatan perang pada waktu perang Dunia II. Dalam persidangan Mahkamah, para
terdakwa dituduh telah melakukan pelanggaran-pelanggaran atas prinsip-prinsip,
kaidah-kaidah hukum internasional dan kejahatannya digolongkan sebagai
kejahatan berdasarkan hukum internasional (crime
under internatiional law, crime jure gentium) yang dipandang makalah adedidikirawansebagai musuh
umat manusia (hostis humani generis). Atau
yang menurut Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966, kejahatan itu merupakan kejahatan
menurut prinsip-prinsip hhukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.[37]
Namun oleh para pembela terdakwa, Mahkamah dituding telah
melanggar asas non rektroaktif sebab prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukumnya
ditetapkan belakangan yakni sesudah terjadinya perbuatan atau peristiwa.
Peristiwanya sendiri terjadi antara tahun 1939-1945, sedangkan badan peradilan
dan hukumnya sendiri ditetapkan pada tanggal 8 Agustus tahun 1945, berupa
perjanjian London 1945, jadi sesudah terjadinya peristiwa. Dalam perjanjian
London ini, yang merupakan landasan hukum bagi berdirinya Mahkamah Militer
Internasional dan juga sekaligus ditetapkan yuridiksi Mahkamah untukmakalah adedidikirawan mengadili
para pelaku kejahatan dengan dakwaan telah melakukan kejahatan yang dituduhkan
kepadanya yakni (Pasal 6 dari lampiran perjanjian London 1945):[38]
a)
Crime Against peace
b)
War Crimes, and
c)
Crimes against humanity
Terhadap tuduhan bahwa Mahkamah telah melakukan
pelanggaran atas non retroaktif, karena telah menerapkan hukum yang dibuat
belakangan dari terjadinya peristiwa (ex
post facto law), Mahkamah menyatakan sebagai berikut: kejahatan-kejahatan
yang dituduhkan terhadap para pelakunya adalah suatu kejahtan dan pelakunya
pantas untuk dihukum. Bahwa kemudian apa yang dikatakan sebagai kejahatan
dirumuskan dalam bentuk hukum tertulis, hal ini hanyalah masalah pemindahan
atau pentramformasian saja dari bentuknya yang tidak tertulis menjadi tertulis,
sehingga menjadi lebih jelas dapat diketahui.[39]
Berdasarkan uraian diatas, terbukti bahwa asas non
rektroaktif secara makalah adedidikirawanyuridis normatif, bukanlah suatu asas yang bersifat absolut.
Disana sini ternyata mengalami penyimpangan atau pengecualian-pengecualian ini
menjadikan asas non rektroaktif ini dalam beberapa hal bersifat relatif.
2.
Suatu Pendekatan Yuridis-substansial
Kalau paparan di atas, pendekatannya adalah yuridis
formal normatif, sekarang marilah asas nonretroaktif ini didekati dari segi
sifat dan substansi kaidah hukum yang diberlakukan surut. Kalau dilihat dan
ditelaah secara lebih mendalam substansi dari instrumen-instrumen hukum
internasional seperti perjanjian-perjanjian internasiional sebagaimana telah
diuarikan di atas, yang diberlakukan surut baik secara tegas ataupun secara
tersimpul, tampaklah bahwa substansinya itu tergolong sebagai kaidah hukum yang
kuat dan imperatif. Sebagai contoh adalah kaidah hukum yang kuat dan imperatif.
Sebagai contohmakalah adedidikirawan adalah kaidah hukum yang tergolong jus
cogens, demikian juga perjanjian-perjanjian internasional yang mengandung
prinsip-prinsip hukum (internasional) umum, yang harus diutamakan penerapannya
jika dibandingkan dengan kaidah-kaidah hukum yang sifatnya kontraktual yang
lahir dari perjanjian-perjanjian anatara para pihak. Sebenarnya persoalannya bukanlah
terletak pada kaidah hukum mana yang duluan dan mana yang belakangan, tetapi
terletak pada kaidah hukum manakah yang lebih kuat dan imperatif ketimbang yang
duluan, dan ternyata keduanya itu substansinya saling bertentangan sehingga
tidak mungkin diterapkan pada waktu dan tempat maupun terhadap obyek yang sama,
maka salah satu harus dikesampingkan atau dikalahkan. Sudah tentu dalam hal
ini, kaidah hukum yang sifat dan substansinya lebih kuat dan makalah adedidikirawanimperatif yang
harus diutamakan sedangkan yang lebih lemah harus dikesampingkan, meskipun
kaidah hukum yang substansinya lebih kuat dan imperatif itu ternyata munculnya
belakangan.[40]
Hubungan dengan Pasal 103 piagam PBB seperti telah
dikemukakan di atas, yang mewajibkan negara-negara anggotanya untuk mengutamakan di atas, yang
mewajibkan negara-negara anggotanya untuk mengutamakan penerapan ketentuan
piagam jika ada perjanjian-perjanjjian antara negara-negara anggotannya yang
bertentangan dengan ketentuan piagam PBB, bukanlah semata-mata soal memberlakukan
surut piagam PBB tersebut sebagai suatu perjanjian internasional, melainkan
karena sifat dan substansi dari kaidah hukum yang terkandung didalam piagam PBB
itu sendiri. Sulit untuk dibantah, bahwa piagam PBB meskipun tergolong sebagai
sebuah perjanjian internasional tetapi substansinya merupakan kaidah-kaidah
makalah adedidikirawanhukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban secara
kontraktual, seperti perjanjian-perjanjian internasional bilateral ataupun
multilateral, yang derajat, sifat, dan substansinya tentu saja lebih rendah
ketimbang sifat dan subtansi dari piagam PBB, bahkan yang mungkin bertentangan
dengan piagam, maka substansi piagamlah yang harus diprioritaskan penerapannya.[41]
Demikian juga hanya dengan asas tidak berlaku surut dalam
hukum hak asasi manusia dan hukum pidana internasional dengan mengambil
ketentuan UDHR 1948 dan ICCPR 1966 sebagai suatu referensinya, menunjukan bahwa
kaidah hukum yang tergolong jus cogens
ataupun prinsip-prinsip hukum umum yang sudah diakui oleh masyarakat
internasional atau masyarakat bangsa-bangsa harus diprioritaskan penerapannya.
Ditegaskan bahwa Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966, asas non retroaktif dalam Ayat 1, tidak mengahalang-halangi atau
menghambat hak untuk melakukan penututan danmakalah adedidikirawan penghukuman atas seseorang yang
telah melakukan perbuatan yang tergolong sebagai oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Ini berarti, Ayat 2 ini mengesampingkan atau mengecualikan penerapan Ayat 1
Pasal 15 ICCPR 1966. Dengan demikian, suatu kejahatan yang tergolong sebagai
kejahatan berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa (comunity of nations),
pelakunya tetap dapat diadili dan di pidana kapanpun terjadinya kejahatan
tersebut.[42]
Tampaknya, ketentuan dalam Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966 ini
diilhami oleh perjanjian London 8 Agustus 1945 dan Putusan Mahkamah Miiliter
Internasional di Nurenberg 1946 dan di Tokyo 1948. Dengan adanya tiga sumebr
hukum iini, yakni perjanjian London 1945, putusan Mahkamah Militer
Internasional 1946 dan 1948, dan Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966 kiranya
penyimpangan, atau pengecualian atas asas non retroaktif dapat dibenarkan.[43]
C.
Azas Non Retroaktif dalam Hukum Nasional Indonesia
Sebenarnya asas non retroaktif di dalam hukum nasionall
Indonesia sudah lama diakui dan diterapkan, misalnya seperti yang terdapat di
dalam KUHPidana Belanda. Akan tetapi ternyata asas non retroaktif inipun dapat
dikesampingkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Ayat 2, yang menyatakan,
apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan jika memang peraturan
Perundang-undangan pidana yang baru atau yang belakanganlah yang akan diterapkan
jika memang perbuatan perundang-undanngan yang baru atau yang belakangan itu
lebih atau paling menguntungkan baginya. Dalam hal ini, peraturan
perundang-undangan pidana yang baru atau yang belakangan yang akan diterapkan
jika memang peraturan perundang-undangan yang baru makalah adedidikirawanatau yang belakangan itu
lebih atau paling menguntungkan baginya. Ini berarti sama dengan menyatakan
berlaku surut peraturan perundang-undangan tersebut, jadi menyimpang dari asas
non retroaktif, meskipun penyimpangan ini memang dapat dibenarkan karena
merupakan penyimpangan yang menguntungkan bagi orang yang bersangkutan.[44]
Peraturan perundang-undangan Indonesia yang lainnya, yang
menetapkan hak asasi manusia adalah ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang
Hak-hak Asasi Manusia, tetapi di dalamnya tidak ada penegasan tentang asas non
retroaktif ini muncul di dalam Pasal 28 I yang makalah adedidikirawanpengaturannya digabungkan dengan
hak-hak asasi manusia yang lainnya, yang selengkapnya adalah sebagai berikut:[45]
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan fikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak di perbudak
hak untuk diakui secra pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam bentuk apapun”.
Rumusan persis sama seperti Pasal 28 I ini, jadi
merupakan pengulangan dari Pasal 28 I ini, tetapi dengan beberapa perbedaannya
makalah adedidikirawandapat dijumpai lagi dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak-hak asasi Manusia, yang menyatakan:[46]
“Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebsan
pribadi fikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikueangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Selanjutnya Pasal 18 Ayat 2 dari Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tersebut secara lebih spesifik menegaskan lagi tentang asas non
retroaktif ini yang khusus berhubungan dengan hukum pidana yang berbunyi
sebagai berikut:[47]
“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau
dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang
sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya”.
Melihat dan membaca rumusan pasal Amandemen keempat UUD
1945 dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tersebut, dengan tidak seperti dirinci
dalam Pasal 28 I, tampak bahwa asas non retroaktif ini menjadi amat absolut.
Ini dapat ditunjukanmakalah adedidikirawan pada kata-kata :.....yang
tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Atau seperti rumusan dalam Pasal
4 Undang-Undang No.39 Tahun1999:
......yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Secara gramatika, kedua anak kalimat tersebut mengandung sustansi yang kuat dan
imperatif. Tidak boleh ada pengurangan dalam bentuk apapun, dalam keadaan
apapun, dan oleh siapapun.[48]
Berkenaan dengan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut, disinilah mulai timbul dilema berkenaan dengan penerapan
undang-undang HAM (Undang-Undang Nomor 39 Tahhun 1999) dan Undang-Undang
Pengadilan HAM (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006), kedua undang-undang ini
ditetapkan dan diundangkan atau mulai berlaku, makalah adedidikirawanmasing-masing pada tanggal 23
September 1999 dan tanggal 23 November 2000. Selanjutnya dibentuklah Pengadilan
HAM ad hoc dengan menerapkan undang-undang tersebut terhadap mereka yang
didakwa sebagai pelaku kejahatan hak asasi manusia yang berat dalam kasus Timor
Timur yang terjadi pada waktu sebelumnya. Dilihat dari waktu mulai berlaku dan
penerapannya, justru diberlakukan atas perbuatan atau peristiwa yang terjadi
sebelum mulai berlakunya kedua undang-undang ini.[49]
Inilah yang dipersoalkan oleh para pembela terdakwa yang
diadili oleh Pengadilan HAM Indonesia. Para pembela menempuh upaya hukum
meminta fatwa kepada Mahkamah Agung tmakalah adedidikirawanentang masalah ini. Namun dikeluarkan
nanti, baiklah dibawah ini dibahas secara lebih mendalam hakekat dari asas non
rektroaktif dengan mendasarkan pada paparan pada butir B di atas.[50]
Apabila berpegang pada Pasal 28 I Amandemen Kedua dari
UUD 1945 maupun Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dengann menggunakan
penafsiran gramitikal atas ketentuan tersebut jelaslah, bahwa sudah tertutup
bagi penerapan secara berlaku surut atas kedua undang-undang itu. Apalagi jika
substansi dari phrase “tidak dapat
dikurangi dalam bentuk apapun juga” atau seperti Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999, “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun”
ditafsirkan sebagai imperatif dan kuat, maka tidak ada alasan lagi untuk
menerapkan secara berlaku surut atas kedua undang-undang tersebut terhadap
peristiwa yang sedang diadili oleh Pengadilan HAM ad hoc. Berdasarkan hal
tersebut secara tegas dapat disimpulkan, bahwa penerapan keduamakalah adedidikirawan
undang-undang tersebut terhadap individu
yang didakwa sebagai pelaku kejahatan hak asasi manusia yang berat dalam kasus
Timor Timur adalah tidak sah dan harus dihentikan.[51]
Namun ada ketentuan yang agak aneh dan menimbulkan tanda
tanya atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini yang memungkinkan adanya
pengecualian terhadap asas non retroaktif, tetapi kemungkinan itu ditempatkan
di dalam penjelasaan atas Pasal 4 kalimat ketiga menyatakan :[52]
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar makalah adedidikirawanhukum yang berlaku
surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Persoalannya adalah, bagaimana sifat mengikat dari
penjelasan tersebut? Sejauhmanakah penjelasan suatu undang-undang dapat
mengesampingkan atau mengecualikan ketentuan atau Pasal undang-undang itu
sendiri yang justru mempunyai kekuatan hukum positif mengikat. Seharusnya,
substansi seperti dalam penjelasan ini
tidak boleh dimasukan di dalam makalah adedidikirawanpenjelasan undang-undang tetapi harus dimasukkan
ke dalam atau dijadikan salah satu Pasal ataupun ayat dari pasal yang
bersangkutan.[53]
Disamping itu, digunakannya istilah pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan, juga menimbulkan persoalan. Ketentuan iini dapat ditafsirkan
mengelompokan kejahatan atau pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia ke
dalam dua kelompok atau golongan. Pertama adalah pelanggaran berat terhadap
kemanusiaan. makalah adedidikirawanSedangkan golongan yang kedua, yakni, pelanggaran berat terhadap
hak asasi manusia yang tidak tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak
dapat dikecualikan dari asas non retroaktif. Akan tetapi undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 ini sama sekali tidak menentukan kriteria atas perbedaan anatara
kedua golongan tersebut. Demikian juga tidak ditemukan adanya doktrin atau
pendapat sarjana mengenai perbedaan antara kedua golongan kejahatan hak asasi
manusia sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan atas Pasal 103 Ayat 4
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.[54]
Namun jika penjelasan tersebut dihubungkan dengan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
persoalan diatas akan terjawab,
setidak-tidaknya untuk sementara waktu. Tegasnya Pasal 7 menyatakan sebagai
berikut:[55]
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:[56]
1.
Kejahatan genosida
2.
Kejahatan tehadap
kemanusiaan
Kutipan di atas Pasal 7 ini dapat disimpulkan, bahwa
hanya kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pada Pasal 7 butir b yang
rinciannya dinyatakan di dalam Pasal 8 saja
yang termasuk kedalam pengecualian tersebut. Sedangkan kejahatan
genosida tidak termasuk kejahtan yang dikeculikan dari asas non retroaktif. Hal
ini akan dapat memunculkan masalah praktis, misalnya pada suatu peristiwa pelanggaran
hak asasi manusia makalah adedidikirawanyang dilakukan oleh seseorang atau lebih di dalamnya dapat
terkait secara erat kedua golongan kejahatan tersebut (kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan).[57]
Instrumen-instrumen yang dapat membantu hukum
internasional, seperti Pasal 6 dari perjanjian London 1945 sebagaimana telah
dikemukakan di atas, yang membedakan antara kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap
kemannusiaan (crime against humanity).
Instrumen makalah adedidikirawanhukum internasional yang lain adalah Statuta Roma 1998 yang
mengklasifikasikan empat jenis kejahatan yang menjadi yuridiksi Mahkamah Pidana
Internasional, yakni, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan kejahatan agresi.[58]
Mengacu kepada instrumen hukum internasional ini,
pertanyaan selanjutnya muncul, apakah pengecualian sebagaimana ditegaskan dalam
penjelasan tersebut di atas hanya terbatas pada pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang tergolong kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan saja, bagaimana dengan kejahatan hak asasi manusia
yang berat yang tergolong ke dalam kejahatan genosida, kejahatan perang,
ataupun kejahatan agresi, jika ini yang dimaksudkan, makalah adedidikirawanmaka bagaimana dengan
kejahatan hak asasi manusia yang berat lainnya selain dari pada kejahatan yang
tidak tergolong ke dalam pengecualian tersebut, jika jawaban ya, maka hal ini
akan menimbulkan kesulitan praktis dalam proses peradilannya, sebab dalam suatu
peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, boleh jadi terkait lebih dari satu
jenis kejahatan hak asasi manusia terssebut yang ternyata sukar untuk
dipisah-pisahkan. Misalnya, peristiwa di Yoguslavia dan Rwanda, ataupun kasus
Timor Timur, semua jenis atau golongan kejahatan tersebut terkait di dalamnya,
baik pelakunya orang yang sama ataupun berbeda.[59]
Tampaknya, yang dimaksudkan oleh perancang undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 ini dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
tergolong ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dalam
penjelasannya itu, adalah semua golongan kejahatan yang terdapat di dalam
instrumen-instrumen hukum internasional seperti telah dikemukakan di atas. Jika
memang ini yang dimaksudkan, maka anak kalimat dalam penjelasan tersebut
sebaiknya dihapuskan dan diganti dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang
berat” saja, jadi tercakup didalamnya semuua golongan atau jenis kejahatan
makalah adedidikirawantersebut. Namun yang lebih baik adalah, penjelasan atas Pasal 4 tersebut harus
dihapuskan dan subtansinya dimasukan kedalam Pasal 4 itu sendiri, sebagai Ayat
2 yang mengecualikan Ayat 1 nya (ketentuan Pasal 4 yang semula), atau
alternatif lain adalah dengan mengadopsi Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966 ke dalam
amandemen kedua UUD 1945 dengan menempatkannya sebagai Ayat 2 dari Pasal 28 I.
Selanjutnya Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966 itu dapat pula diadopsi dan dicantumkan
lagi sebagai Ayat 2 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jika alternatif
terakhir ini yang ditempuh maka penjelasan atas Ayat 4 tersebut tidak
dibutuhkan lagi, dan oleh karena itu harus dihapuskan.[60]
Penjelasan atas Paasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 ini lebih membingungkan lagi jika dihubungkan dengan Pasal 104 Ayat 3 nya
yang menyatakan:[61]
“sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2, maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 (pelanggaran hak asasi manusia yang
berat) diadili oleh pengadilan yang berwenang”.
Pengadilan manakah yang dimaksud dengan pengadilan yang
berwenang dalam ketentuan tersebut kalau anak kalimat ini ditafsirkan dalam
kerangka asas non retroaktif, maka yang dimaksudkan adalah Pengadilan umum
(pengadilan negeri, makalah adedidikirawanpengadilan tinggi, dari mahkamah agung) yang memeang sudah
ada jauh sebelumnya. Kalau terintrepretasi ini dapat disetujui, maka Pasal 104
Ayat 3 ini secara implisit merupakan penegasan atas tidak berlaku surutnya
undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000) maupun undang-undang hak asasi manusia (Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999), diadilinya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum
terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh pengadilan yang berwenang, sudah
tentu pula dengan menerapkan hukum atau undang-undang pidana yang sudah ada
sebelumnya, bukan menerapkan undang-undang hak asasi manusia yang pada waktu
itu memang belum ada.[62]
Tetapi Pasal 104 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
ini harus dihubungkan dengan Pasal 43 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak asasi Manusia, yang menyatakan:[63]
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannyya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad
hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu
dengan keputusan presiden.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 ini, maka pengadilan yang berwenang dalam hal ini adalah
pengadilan HAM ad hoc itu sendiri, yang pembentukannya baru bisa dilakukan
setelah mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia ini. Hal ini berarti, pengadilan HAM ad hoc itu sendiri yang
dibentuk makalah adedidikirawandengan keputusan Presiden juga diberlakukan surut. Demikian juga
undang-undang yang diterapkan tentulah undang-undang hak asasi manusia
(Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999), bukan peraturan perundang-undangan pidana,
yang berarti juga undang-undang tersebut diberlakukan surut.[64]
Akan tetapi jika ditinjau dari sisi lain, yakni dengan
meninjau instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia maupun
putusan badan-badan peraadilan internasional seperti mahkamah militer
internasional, mahkamah kejahatanmakalah adedidikirawan perang dalam kasus ex yugoslavia dan Rwanda,
kiranya akan dapat memperjelas penerapan secara berlaku surut atas kedua
undang- undang tersebut.[65]
Pendekatan historis dan yuridis normatif, seperti telah
dipaparkan pada butir di atas, tampaklah
pemberlakuan surut suatu instrumen hukum internasional sudah terjadi semenjak
berakhirnya perang Dunia II melalui pembentukan Mahkamah Militer Internasional.
Dengan menekankan, bahwa suatu perbuatan atau tindakan itu merupakan kejahatan
berdasarkan hati sanubari umat manusia, yang meskipun tidak ada aturan hukum
positif yang mengatur sebelumnya, tetapi berdasarkan ukuran hati nurani dan
perasaan keadilan dan kepatutan, dan masalah pengaturannya dalam makalah adedidikirawanbentuk
tertulis hanyalah merupakan transformasi dari aturan hukum yang dimaksudkan
itu, mahkamah tampak sudah mengesampingkan asas non retroaktif ini. Dalam hal
ini, mahkamah tampak seperti menurunkan kembali ajaran hukum alam (natural law) yang telah lama
ditinggalkan terutama karena semakin kuatnya pengaruh ajaran hukum positif.
Dalam putusan mahkamah ini, tersirat suatu pandangan bahwa untuk menyatakan
suatu perbuatan itu sebagai kejahatan tertentu dan pelakunya dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, tidaklah mutlak harus terlebih dahulu ada atuaran
hukum tertulisnya.[66]
Hal yang sama juga muncul dalam mahkamah kejahatan perang
dalam kasus ex. Yugoslavia dan mahkamah kejahatan perang dalam kasus Rwanda.
Dalam kasus ini, kedua mahkamah merupakan produk dari penerapan huukum secara
berlaku surut, sebab keduanya dibentuk berdasarkan resolusi dewan kemanan PBB
nomor 955/49 tahun 1994 dan nomor 827/48 tahun 1993 untuk makalah adedidikirawanmengadili pelaku
kejahatan perang dikedua negara yang terjadi sebelumnya.[67]
Landasan hukum
yang cukup kuat untuk membenarkan pengesampingan atau pengecualian asas non
retroaktif adalah Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966 yang seperti telah dikutip di
atas, telah mengesampingkan penerapan asas non retroaktif atas
kejahatan-kejahatan yang diakui dan diterima sebagai kejahatan berdasarkan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Sedangkan
secara substansial kejahatan-kejahatan yang dapat digolongkan kedalam kejahatan
hak asasi manusia yang makalah adedidikirawanberat, seperti kejahtan kemanusiaan, kejahatan agresi,
kejahatan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap perdamaian, adalah
merupakan kejahatan-kejahatan berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kejahatan inilah yang dituduhkan oleh
Mahkamah Militer makalah adedidikirawanInternasional di Nuremberg dan Tokyo maupun oleh mahkamah
kejahatan perang dalam kasus ex Yugoslavia dan Rwanda. Apalagi prinsip-prinsip
perjanjian London 1945 deperti telah dikemukakan di atas sudah dilakukan oleh
Resolusi Majelis Umum PBB pada tanggal 11 Desember 1946 (U.N.G.A. Resolution
95/1), resolusi ini hingga kini masih tetap berlaku. Bahkan dengan semakin
banyaknya bermunculan konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan
kejahatan-kejahatan tersebut sehingga kini banyak terdapat konvensi-konvensi
yang tergolong umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, justru
memperkuat kedudukan prinsip-prinsip hukum umum tersebut.[68]
Disamping itu PBB sebagai organisasi internasional dengan
ruang lingkup global yang kini negara-negara anggotanya terdiri dari hampir
sebagian besar dari seluruh negara didunia dan keputusan-keputusan yang
diambilnya meskipun didalam beberapa hal sangatmakalah adedidikirawan kuat dengan nuansa politik
dapat dipandang sebagai mencerminkan kehendak masyarakat internasional atau
masyarakat bangsa-bangsa.[69]
Jadi dengan semua rujukan diatas, dapat dipandang bahwa
pengecualian atas asas non retroaktif dalam penerapan hukum atas
kejahatan-kejahatan tersebut, dapat dipandang sebagai sesuatu yang sudah diakui
dan diterima secara luas dan umum oleh masyarakaat bangsa-bangsa meskipun semua
itu memang secara yuridis formal normatif maupun yuridis substansial adalah
pada tataran internasional.[70]
Sekarang marilah persoalannya dikembalikan kepada huukum
nasional Indonesia, khususnya tentang penerapan secara berlaku surut atas kedua
undang-undang yang berkenaan dengan kejahatan hak asasi manusia seperti telah
dikemukakan di atas. Sepeti telah disimpulkan di atas Pasal 28 I dari Amandemen
Kedua UUD 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tampaknya seperti
telah menutup ppintu dari kemungkinan pemberlakuan surutnya kedua undang-undang
makalah adedidikirawantersebut. Pertanyaannya, sejauh manakah norma-norma hukum internasional dapat
dijadikan sebagai pertimabngan oleh pengadilan nasional termasuk pengadilan hak
asasi manusia (Indonesia) dalam memperkuat argumentasinya untuk mematahkan
pendapat yang menyatakan bahwa penerapan kedua undang-undang tersebut telah
melanggar asas non retroaktif yang notabene juga berarti pelanggaran hak asasi
manusia.[71]
Para penentang dari penerapan memberlakukan surut atas
kedua undang-undang tersebut akan menggunakan alasan, bahwa suatu norma hukum
yang baik dan tepat pada tataran internasiional belum tentu baik dan tepat pada
tataran nasiional, sebab setruktur dari masyarakat dan hukum internasional amat
berbeda dengan struktur dari masyarakat
hukum nasional. makalah adedidikirawanYang pertama adalah koordinatif dan subyeknya yang utama adalah
negara-negara berdaulat sedangkan yang kedua adalah sub ordinatif dan subyeknya
yang utama adalah individu.[72]
Namun jika dicermati perkembangan masyarakat
internasional maupun nasional serta hukum internasional dan hukum nasionanl
sekarang ini maupun kecenderungannya pada masa yang akan datang, antara kedua
bidang hukum itu dalam beberapa hal sudah tidak lagi terpisah oleh tembok
pemisah yang tebal yang disebut kedaulatan negara melainkan sudah mencair dan
semakin lama semakin transparan. Salah satu faktor penyebab terjadinya
pencairan tersebut adalah semakin berkembangnya nilai-nilai makalah adedidikirawankemanusiaan
universal yang menyatu dan merata dalam hati sanubari manusia, tanpa dibatasi
atau dihalangi oleh berbagai faktor baik faktor phisik dan phiskis setiap
manusia maupun faktor lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya yang
berbeda-beda. Phisik dan phiskis manusia boleh saja berbeda-beda, demikian juga
lingkungan sosial budaya dan lingkungan alamnya pun berbeda-beda, tetapi nilai
kemanusiaan universal yang terdapat dalam kalbu dan hati nurani setiap umat
manusia tidak akan dipisahkan tetapi justru memperstukan umat manusia dimuka
bumi ini.[73]
Salah satu nilai kemanusiaan universal itu adalah sikap
dan pandangan dari umat manusia terhadap suatu perbuatan, fakta ataupun
situasi, yang meskipun tidak ada kaidah hukum positif yang secara tegas
mengaturnya sebagai suatu kejahtan, tetapi yang boleh setiap umat manusia yang
mengaku dirinya sebagai manusia beradab dan berbudaya. Akan memandangnya
sebagai kejahatan dan pelakunya pantas mendapat hukuman yang setimpal.
perbuatan-perbuatanmakalah adedidikirawan itulah yang dalam perjanjian London 1945, yang kemudian
dikukuhkan dan diakui dalam Resolusi Majelis PBB Nomor 95 /1 yang
meliputi:kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan terhadap
perdamaian. Kemudian Pengadilan Kejahatan Perang dalam kasus ex Yugoslavia dan
Rwanda ditambah lagi dengan kejahtan agresi dan kejahatan genosida. Sedangkan
dalam statuta Roma 1998 tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional,
semua itu dibagi menjadi empat kategori kejahatan yang menjadi yuridiksinya
yakni kejahatan perang, kejahatan hak asasi manusia yang berat, kejhatan
terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.[74]
Kembli kepada pemberlakuan surut atas kedua undang-undang
indonesia tersebut di atas, maka persoalan yang harus dijawab lebih dahulu
adalah, apakah kejahatan –kejahatan yang dituduhkan kepada terdakwa tersebut
tergolong sebagai kejahatan dalam kategori tersebut di atas ataukah tidak,
dengan membandingkan kasus Timor Timur dengan Yugoslavia maupun Rwanda dan
dengan melihat fakta yang telah berbicara secara gamblang di Timor Timur yang
sudah mengetahui yakni beruupa kematian manusia yang jumlahnya rastusan bahkan
mungkin lebih, hancurnya kota-kota dan desa-desa makalah adedidikirawandisekitarnya, pengungsian
secara besar-besaran, hancurnya kerugian harta benda yang tak terbilang,
tampaknya sukar untuk dibantah, bahwa apa yang telah terjadi itu merupakan
salah satu atau lebih kejahtan yang dipandang sebagai kejahatan yang
bertenntangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa ( Pasal 15 Ayat 2 ICCPR 1966) atau secara lebih konkritnya kejahatan
yang tergolong kedalam salah satu atau lebih seperti yang tercantum dalam
perjanjian London 1945, atau dalam ruang lingkup yuridiksi Mahkamah Kejahatan
Perang dalam kasus Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994. Bahkan boleh jadi dapat
digolongkan sebagai kejahtan yang menjadi yuridiksi Mahkamah makalah adedidikirawanPidana
Internasiional sebagaimana ditegaskan di dalam Pasl 5 statutanya.[75]
Meskipun Indonesia belum meratifikasi ICCPR 1966,
sehinngga secara yuridis formal tidak terikat, namun melihat keseluruhan
substansial sendiri juga sulit dibantah tentang sifatnya sebagai kaidah hukum
yang jus cogens. Disamping itu karena kejahatan yang dituduhkan itu merupakan
kejahatan berdasarkan priinsip-prinsip hukuum yang diakui masyarakat
bangsa-bangsa, maka adaatau tidak adanya atau belum adanya kaidah hukum
tertulis yang menegaskannya sebagai kejahatan kiranya setiap orang, termasuk
dalam hal ini para pelaku yang kini menjadi tersangka atau terdakwa sesuai
dengan posisinya masing-masing sepatutnya mengetahui perbuatan itu sebagai kejahatan
tetapi tetap melakukannya (sesuai dengan kadar keterlibatannya) dan karena
itulah mereka harus dimintakan pertanggung jwabannya, jadi apa yang dipaparkan
diatas memang berada dalam makalah adedidikirawanruang lingkup hukum internasional, namun karena
dalam hal ini terkait nilai-nilai kemanusiaan universal yang transparan dan
menembus batas-batas kedaulatan-kedaulatan negara maka tidak ada alasan untuk
menolaknya dalam kaitannya dengan keabsahan pemberlakuan surut undang-undang
indonesia tersebut.[76]
Oleh karena itu, pemberlakuan surut atas kedua
undang-undang tersebut ditinjau dari segi-segi hukum seperti dipaparkan di atas
, sudah memiliki landasan yuridis yang kuat. Dengan kata lain, pengesampingan
atau pengecualian atas asas non retroaktif dalam Pasal 28 I Amandemen ke empat
UUD 1945 ataupun Pasal 4 juncto Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang No.39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia dapat
dibenarkan sebab sudah ditunjang oleh hukum internasionlmakalah adedidikirawan positif, baik yang
berbentuk perjanjian internasional maupun praktek dan putusan-putusan badan
peradilan internasional.[77
BAB III
MENGUAK TABIR PENEGAKAN HUKUM HAM BERAT DALAM STUDI KASUS
PERKEMBANGAN ZAMAN
A.
Nuremberg
International Military Tribunal
1.
Kasus : Nazi Jerman[78]
Tahun : Desember 1992
Konteks : Sebuah
dokumen yang dibeberkan pada tanggal 2 Januari 2006 dari Kabinet
Perang Inggris (War Cabinet) di London menunjukkan
bahwa pada awal bulan Desember 1942, kabinet telah merundingkan kebijakan
mereka untuk hukuman dari para pemimpin Nazi apabila mereka
tertangkap. Perdana Menteri Inggris (Prime Minister
of the United Kingdom) Winston
Churchill lalu menganjurkan suatu kebijakan dari eksekusi musim panas [1]
dengan menerapkan Undang-undang Pembatalan Hak Sipil (Act of Attainder) guna
menghindari rintangan hukum, dan hanya ini cara yang bisa dilakukan guna
menghindari tekanan Amerika kelak dalam peperangan. Pada akhir tahun
1943 selama berlangsungnya pertemuan tripartit saat jamuan makan malam (Tripartite
Dinner Meeting) pada Konferensi Teheran, pemimpin Soviet, Joseph
Stalin, mengusulkan untuk mengeksekusi 50.000-100.000 perwira
Jerman. Tanpa menyadari bahwa Stalin serius dalam hal ini, Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt bercanda
bahwa mungkin 49,000 dapat dilakukan. Churchill mencela ide dari "eksekusi
berdarah dingin dari tentara yang berperang bagi negaranya" . Namun, ia
juga menyatakan bahwa para penjahat perang harus membayar kejahatannya, dan
untuk itu sesuai dengan Deklarasi Moskow [2]
yang mana ditulisnya sendiri, mereka harus diadili ditempat dimana kejahatan
itu dilakukan. Churchill sangat bersemangat untuk menentang eksekusi
"berdasarkan kepentingan politik."
Menteri Keuangan Amerika (United
States Secretary of the Treasury), Henry Morgenthau Jr.,
menyarankan suatumakalah adedidikirawan rencana untuk denazifikasi total atas
Jerman yang dikenal dengan nama Rencana Morgenthau (Morgenthau
Plan). Churchill dan Roosevelt keduanya mendukung rencana ini , dan
menggunakan otorisasinya pada Konferensi Quebec pada
bulan September 1944. Namun demikian, Uni Soviet
mengumumkan preferensinya untuk suatu proses hukum. Kelak, rinciannya bocor
kepada publik dan menuai protes keras yang meluas. Roosevelt, melihat ketidak
setujuan publik yang kuat, maka iapun membatalkan rencana tersebut, namun tidak
meneruskan dukungan bagi langkah-langkah lain untuk masalah tersebut. Kematian
"Rencana Morgenthau" menimbulkan kebutuhan atas metode alternatif
guna memperlakukan pimpinan Nazi. Rencana untuk "Pengadilan Kriminal
Perang Eropa" (Trial of European War Criminals) dikonsep oleh Sekretaris
Perang Henry L. Stimson dan Departemen
Perang. Roosevelt meninggal dunia pada bulan April 1945. Presiden yang baru
Harry
S. Truman, memberikan persetujuan tegas guna dilakukannya proses hukum.
Setelah serangkaian negosiasi dilakukan antara Amerika,
Inggris, Uni Soviet
, dan Perancis,makalah adedidikirawan
maka proses pemeriksaan pengadilan tersebut dicoba untuk dilaksanakan. Proses
pemeriksaan tersebut dimulai pada tanggal 20 November
1945, di kota Nürnberg.
Penyelesaian
: Nurenberg
International Military Tribunal 20 November
1945 sampai 1 Oktober 1946.
Korban :
6.000.000 Jiwa[79]
Permasalahan : Melalui
persidangan, khususnya antara bulan Januari dan Juli 1946, para tersangka dan
saksi telah diwawancarai oleh psikiater Amerika, Leon Goldensohn.
Catatannya memuat secara terinci tentang sikap, cara bertindak dan kepribadian
dari para tersangka yang selamat. Keputusan hukuman mati dilaksanakan pada
tanggal 16 Oktober 1946 dengan cara digantung di tiang gantungan dengan
menggunakan cara yang standar. Hakim Perancis menyarankan untuk menggunakan
regu tembak dari militer bagi para terhukum yang berasal dari militer,
sebagaimana smakalah adedidikirawantandar yang diberlakukan pada peradilan militer, tetapi hal ini
ditentang oleh Biddle dan hakim dari Uni Soviet. Mereka mengajukan argumentasi
bahwa perwira militer tersebut vtelah melanggar etos militer mereka dan tidak
berharga untuk diperhadapkan kehadapan regu tembak yang hanya akan menaikkan
derajat mereja saja. Para terdakwa yang dijatuhi hukuman penjara dikirm ke Penjara Spandau (Spandau
Prison) pada tahun 1947.
Definisi dari perbuatan yang digolongkan kedalam kejahatan perang
diatur dalam Prinsip Nürnberg (Nuremberg Principles), yautu suatu
dokumen yang dibuat sebagai hasil dari persidangan. Eksperimen medis yang
dilakukan oleh para dokter Jerman tersebut yang dituntut hukuman disebut Peradilan
Dokter (Doctors' Trial) yang dilakukan berdasarkan Nuremberg Code sebagai
acuan untuk mengatur persidangan dikemudian hari yang melibatkan umat manusia
B.
International
Military Tribunal fot the Far East (Tokyo)
1.
Kasus : perang Jepang[80]
Tahun : 1937
Konteks :
mengadili
para pemimpin kekaisaran
Jepang atas tiga kategori kejahatan:
"Kelas A" (kejahatan
terhadap perdamaian), "Kelas B"
(kejahatan perang),
dan "Kelas C" (kejahatan terhadap kemanusiaan),
yang dilakukan selama Perang
Dunia II. Kelas yang pertama merujuk pada
konspirasi bersama mereka untuk memulai dan menjalankan perang, dan dua yang
terakhir merujuk pada kekejaman, makalah adedidikirawansalah
satunya yang paling terkenal adalah Pembantaian Nanking.
Penyelesaian :
International Military Tribunal fot the
Far East (Tokyo) Tahun1947 berakhir 12
November 1948
Korban : 5000 orang
Permasalahan :
Kaisar
Jepang Hirohito,
dan semua anggota keluarga kerajaan, seperti Pangeran Asaka,
tidak dituntut atas keterlibatan mereka dalam salah satu dari tiga kategori
kejahatan tersebut. Sebanyak 50 orang tersangka, seperti Nobusuke Kishi,
yang kemudian menjadi Perdana Menteri; dan Yoshisuke Aikawa,
kepala zaibatsu
Nissan
dan pemimpin masa depan Chuseiren; didakwa tetapi dibebaskan tanpa pernah
diadili pada tahun 1947 dan 1948. Shiro Ishii
menerima imunitas karenamakalah adedidikirawan memberikan data yang dikumpulkan dari eksperimennya
pada tahanan hidup.
C.
International
Criminal Tribunal for Former Yugoslavia
(ICTY)
Tahun : Srebrenica
1995
Korban : hampir 8.000 pria dan
anak laki-laki Muslim Bosnia dibunuh
dan Mladic pun dituduh terlibat dalam
pengepungan berdarah di Kota Sarajevo, yang menewaskan 10.000 jiwa.
Konteks : Mantan jenderal
Serbia Bosnia Zdravko Tolimir diadili karena diduga terlibat pembasmian etnik Muslim Bosnia semasa
Perang Balkan di dekade 1990an.
Penyelesaian : international
Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), 31 Mei 2007
Permasalahan : Kesehatan
Tolimir yang buruk, ditangkap 31 Mei 2007 di Bosnia-Herzegovina, telah
menyebabkan beberapa kali penangguhan bagi dimulainya pengadilannya. Setelah awalnya menolak
untuk mengajukan pembelaan, ia pada akhirnya menyatakan tak bersalah dan
memilih untuk makalah adedidikirawanmelakukan pembelaannya sendiri.
D.
International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)
1.
Kasus :Ignace Bagilishema[82]
Tahun : 1994
Korban : -
Konteks :
Bagilishema bertanggung jawab atas serangan terhadap
warga sipil Tutsi di komune Mabanza, Gishyita dan Gisovu, serta di Kota Kibuye.
During these attacks, Bagilishema was accused of
arming Interahamwe militias, ordering the attacks, personally participating
in the killing of civilians and encouraging the setting up of roadblocks to
identify Tutsis to be killed. Selama serangan ini, Bagilishema dituduh
mempersenjatai milisi Interahamwe,
memerintahkan serangan, secara pribadi makalah adedidikirawanberpartisipasi dalam pembunuhan warga
sipil dan mendorong mendirikan penghalang jalan untuk mengidentifikasi Tutsi
dibunuh.
Penyelesaian :International Criminal Tribunal Rwanda (ICTR) 27 Oktober 1999, dan pada 7 Juni 2001.
Permasalahan :
tanggal 27
Oktober 1999, dan pada 7 Juni 2001 Bagilishema dibebaskan dari semua biaya -
genosida dan dua tuduhan kejahatan perang oleh keputusan suara bulat, dan
jumlah yang tersisa dengan mayoritas - setelah majelis memutuskan bahwa tuntutan itu tidak terbukti
kasusnya tanpa diragukan. Keputusan itu adalah pembebasan pertama oleh ICTR. Keputusan itu adalah pembebasan pertama
oleh ICTR. Setelah jaksa
mengajukan banding atas keputusan tersebut, pada tanggal 3 Juli 2002 Kamar
Banding menguatkan pembebasan Bagilishema makalah adedidikirawanoleh keputusan bulat, pemesanan
segera dibebaskan.
E.
Pengadilan HAM ad Hoc[83]
1.
Kasus : Timor-Timur Pasca Jajak
Pendapat
Tahun : 1999
Korban : 97 orang
Konteks :
Agresi TNI dan milis bentuknya setelah referendum menunjukan mayoritas penduduk
Tim-Tim menghendaki merdeka.
Penyelesaian : Pengadilan HAM ad hoc di jakarta tahun 2002-2003.
Permasalahan :Pelaku
utama tidak tersentuh, proses pengadilan yang tidak kompeten, banyaknya putusan
bebas bagi perwira militer, vonis terlalu ringan, dan tidak ada reparasi makalah adedidikirawanuntuk
korban.Pemerintah Timor Leste dan RI sedang melakukan rekonsiliasi dan tidak
mempersoalkannya. Lebih lanjut, kasus ini sedang disorot di pengadilan HAM
Internasional.
2.
Kasus :27 Juli 1996
Tahun : 1996
Korban : 1.317 orang
Konteks :
penyerbuan kantor PDI sebagai bentuk intervensi negara terhadap PDI di bawah
pimpinan Megawati.
Penyelesaian : Pengadilan Koneksitas, Tahun 2002
Permesalahan :
Vonis hanya kepada warga sipil, tidak ada pejabat militer yang dihukum, tidak
menyentuh pelaku utama, dan tidak ada reparasi bagi korban.
3.
Kasus : Penculikan Aktivitas 1998
Tahun :1998
Korban :23 orang
Konteks :
Penculikan dan penghilangan paksa bagi aktivitas prodemokrasi oleh TNI.
Penyelesaian :
pengadilan militer bagi pelaku lapangan (Tim Mawar) dan Dewan Kehormatan
Perwira bagi beberapa jendral.
Permasalahan :
Vonis rendah, pengadilannya ekslusif, tidak menyentuh pelaku utama, dan
sebagian aktivis masih tidak diketahui keberadaannya.
4.
Kasus : Penembakan Mahasiswa
Trisakti
Tahun :1998
Korban : 31 orang
Konteks :
Penembakan aparat terhadap mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi.
Merupakan titik tolak peralihan kekuasaan politik dan pemicu kerusuhan sosial
di Jakarta dan kota besar Indonesia lainnya.
Penyelesaian : Pengadilan militer bagi pelaku
lapangan
Permasalahan
: Vonis terlalu ringan, terdakwa hanya aparat rendah di lapangan, tidak
menyentuh pelaku utama. Komnas makalah adedidikirawanHAM telah membuat KPP (TSS) dan telah dimajukan
ke Kejaksaan Agung (2003), namun sampai sekarang belum beranjak maju DPR
menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat.
5.
Kasus : Abepura, Papua
Tahun : 2000
Korban : 63 orang
Konteks :
penyisiran secara membabi buta dilakukan dengan alasan pengejaran terhadap
kelompok yang melakukan penyerangan ke Mapolsek Abepura pada tanggal 6 Desember
2000.
Penyelesaian : Telah digelar pengadilan HAM di
Makasar
Permasalahan :
terdakwa hanya aparat lapangan dan ditolaknya gugatan reparasi dari korban.
6.
Kasus : Peristiwa Tanjung Priok
Tahun : 1984
Korban : 74 orang
Konteks : Represi terhadap masa yang
berdemontrasi menolak asas tunggal Pancasila
di Jakarta
Penyelesaian : Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, Tahun 2003-2004
Permasalahan :vonis
terlalu ringan, ada vonis bebas, tidak menyentuh pelaku utama, intimidasi
selama persidangan dan reparasi yang tidak memadai bagi korban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar