DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: Desember 2016

Senin, 26 Desember 2016

MENGUNGKAP TABIR TEORISME DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL PART II

TERORISME DAN HUKUM PERANG INTERNASIONAL
Part II
Hukum peranginternasional adalah sekumpulan aturan hokum yang diberlaakukan manakala kekerasan dengan senjata sudah mencapai konfllik bersenjata, apakah internasional atau non internasional. Perjanjian-perjanjian dibidang hokum perang internasional yang paling sering dirujuk adalah konvensi=konvensi jenewa 1949 dan dua additional protocol of 1977, sekali pun aturan-aturan ini mencakup pula sejumlah instrument hokum lainnya mau pun hokum kebiasaan internasional. Hokum perang internasional tidak mendefinisikan terorisme tetapi melarang perbuatan-perbuatab terhadap penduduk sipil yang akan dianggap terorisme jika dilakukan diadedidikirawan masa damai.
Prinsip dasarnya adalah bahwa mereka yang terlibat dalam konflik bersenjata harus selalu membedakan antara kaum sipil dan kombata dan antara obyek sipil dan militer. Principle of distincition merupakan tonggak hokum perang internasional. diturunkan dari prinsip ini adalah sejumlah peraturan-peraturan  yang ditujukan untuk melindungi penduduk sipil, misalnya melarang serangan langsung yang membabi buta terhadap penduduk sipil atau obyek sipil. Demikian juga aturan mengenai sikap bbermusuhan untuk menghindarkan penduduk sipil dariadedidikirawan dampak tindakan tersebut. Hokum perang internasional juga melarang penyanderaan, baik terhadap penduduk sipil atau terhadap orang yang tidak lagi terlibat permuduhan.
Begitu konflik bersenjata timbul, mungkin tidak begitu penting untuk memberi sebutan perbuatan teroris pada kekerasan terhadap penduduk sipil atau obyek sipik sebab tindakan- tindakan demikin sudah termasuk kejahatan perang yang dapat dituntut secaara pidana oleh Negara sesuai dengan hokum internasioonal; dan dalam hal pelanggaran beratadedidikirawan sebagaimana diatur konvensi – konvensi jenewa dan additional protocol 1, orang – orang yang bersalah harus dipidanakan termasuk dalam rangka yurudiksi universal.

Hokum perang internasioonal juga secara spesifik melarang terorisme dan perbuatan terorisme. Tujuan utamanya adalah menggaris bawahai prinsip hokum umum bahwa: tanggung jawab pidana itu individual dan tidak boleh adaadedidikirawan seorang individu dan warga sipil harus menjadi korban penghukuman secara kolektif, yang jelas merupakan perbuatan bersifat terror . oleh karena itu konvensi jenewa ke IV (Pasal 33) menyatakan bahwa :” hukuman kolektif atau tidnakan serupa yang bersifat intimidasi atau terorisme adalah dilarang.” Sedangkan additional protocol II (Pasal 42) melarang “perbuatan terorisme” terhadap orang atauadedidikirawan yang tidak lagi ambilbagian dalam permusuhan. Kedua additional protocol to the Geneva Convention juga melaarang perbuatan yang menyebarkan terror dikalangan penduduk sipil.   

Sabtu, 24 Desember 2016

MENGUNGKAP TABIR TEORISME DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL

PENGERTIAN TERORISME DALAM HUKUM INTERNASIONAL

PART I
Apakah hokum internasional memadai untuk mengatur fenomena terorisme ? inilah pertanyaan yangselalu munccul dalam menghadapi persoalan masyarakat internasional kontemporer ini. Sebelum membahas hal ini terlebih dahulu kita perjelas apa sesungguhnya yang disebut teroris dan terorisme itu ? sesungguhnya definisi terroris baik dalam tataran hokum nasional maupun internasional cukup banyak . namun dianggap belum memadai. Pada tataran internasional lebihadedidikirawan meruupakan definisi yang sifatnya sektoral dalam berbagai konvensi PBB bagi tindakan-tindakan terorisme tertentu seperti misalnya dalam Convention on offences and Certain Other Acts Commited on Board the Aircraft tahun 1963, dan beberapa konvensi yang terkait penanganan terorisme penerbangan, convention on the prevention and punishment of Crime against internatonally protected persons, including diplomatic agents 1973, Convention for the ssupperssion of unlawful acts against the safety of maritime navigation 1988, international convention for the suppression ofadedidikirawan terrorist bombing 1997, dan  sejumlah konvensi PBB lainnya yang biasa disebut UN Sectoral convention. Namun mendefinisikan terorisme secaraadedidikirawan komperenship tampaknya sulit karena timbul persoalan apakah terorisme termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan dalam konflik bersenjata atau kegiatan dari gerakan pembebasan nasional ataukah ini dikecualikan.
Tidak mengherankan apabila organisasi-orgaanisasi regional lebih berhasil mendefinisikan tindakan terorisme seperti misalnya framework decision of the council of European union on combating terrorism tahun 2002. Instrumen internasional ini mencantumkan sejumlah perbuatan yang jika dilakukan dengan sengaja dengan tujuan mengintimidasi penduduk atau memaksa sebuah pemerintahan atau organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan atau dengan tujuan mendetbiliskan secara serius atau merusak sendi-sendi politik ekonomi atau struktur social suatu Negara atau organisasi internasional, dapatadedidikirawan dianggap sebagai perbuatan terorisme. Dasar perbuatan-perbuatan ini adalah serangan terhadap jiwa atau keutuhan fisik seseorang, penculikan penyandraan, menyebabakan kerusakan pada pemerintahan atau fasilitas umum.
Atas dasar instrument hokum eropa dan dari sejumlah organisasi regional lain telah diimpulkan adanya suatu consensus minimal mengenai tiga ciri utama dari terorisme. Suatu perbuatan terorisme mencakup suatu pelanggaran pidana serius, ditujukan terhadap jiwa manusia, keutuhan fisik atau kebebasan seseorang atau terhadap obyek-obyek tertentu yang merupakan fondasi material dari masayrakat dan dilakukan dengan tujuan politik tertentu, baikadedidikirawan untuk mengintimidasi penduduk atau memaksa suatu pemerintah atau otoritas public lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu 
Sekalipun tidak terdapat definisi komperhensip pada tataran internasional, perbuatan teroris adalah kejahtan menurut hokum nasional, menurut konvensi-konvensi internasional dan regional tentang terorisme, dan asalkan kriterianya terpenuhi, dapatadedidikirawan dikategorikan sebagai kejahatan perang atau sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu tanpa adanya definisi global yang komperhensif, terorisme bukannya tidak diatur.

Minggu, 04 Desember 2016

PARADIGMA TEORI HUKUM PENGAYOMAN DALAM KONSEPSI NEGARA DAN ILMU HUKUM

Part IV
Tujuan Teori Hukum Pengayoman
Tujuan hokum berdasarkan cita hokum pancasila adalah mewujudkan pengayoman bagi manusia, yakni melindungi manusia secara pasif dengan mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Dalam rumusan tadi termasuk juga tujuan untuk memelihara danadedidikirawan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita – cita moral rakyat yang luhur berdasarkan ketuhanan yang maha esa (penjelasan UUD1945). Pelaksanaan pengayoman itu dilaksanakan dengan upaya mewujudkan:
A.       Ketertiban dab keteraturan yang memunculkan predikbilitas;
B.      Kedamaian yang berkententraman
C.      Keadilan (distributive, komutatif, vindikatif, protektif)
D.      Kesejahteraan dan keadilan social
E.       Pembinaan akhlak luhur berdasarkan ketuhanan yang maha esa

KONSEPSI NEGARA
Negara adalah masyarakat yang secara menetap mendiami suatu wilayah tertentu yang mengorganisasikan dirinya secara politik dalam sebuah badan hokum public sebagai wahana untuk secara demokratis dalam semangat kebersaamaan berikhtiar mewujudkan kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat . pemerintah berkedudukan sebagai primu inter pares (bukan sebagai pemilik atau penguasa Negara dan rakyat), sebagai pamong, yangadedidikirawan mengemban tugas pimpinan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya dalam berikhtiar untuk untuk mewujudkan tujuan bernegara, dan sebagai demikian berkewajiban untuk mempertasipasikan rakyat dalam proses pengambilan putusan rasional dalam mewujudkan masyarakat sejahterayang adil dan makmur. Jadi pemerintah harus menghadirkan diri dan berfungsi sebagai pusat-pusat koordinasi pengambilan putusan rasional untuk mewujudkan tujuan bernegara. Pelaksanaan  berbagai tugas pemerintah harus dilaksanakan berdasarkan, bersaranakan dan tunduk pada aturan hokum positif dengan mengacu cita hokum cita Negara dann tujuan bernegara secara kontekstual.
KKONSEPSI ILMU HUKUM
Ilmu hokum adalah sebuah eksemplar normologi yang termasuk kelompok ilmu-ilmu praktis yang dengan menghimpun memaparkan mensistematisasi menganalisis, mengintepretasidan menilai hokum positifpada analisis terakhir terarah untuk menwarkan penyelesaian terhadap masalah hokum dengan bertumpu dan dalam kerangka tatanan hokum yang berlaku. Masalah hokum berintikan pertanyaan tentang apa hokumnya, apa yang menjadi hak dan kewajiban orang dalam situasi kemasyarakatan tertentu, dan berdasarkan itu apa yang seharusnya dilakukan orang,, yang kepatuhannya tidak diserahkan pada kemauan bebas bersangkutan. Masalah hokum dibedakan dalam masalah hokum mikro dan masalah hokum makro. Masalah hokum mikro adalah berkenaan dengan hubungan antar subyek hokum, yang penyelesaiannya dilakukan dengan penemuan hokum dan penereapan hokum secara kontekstualdengan mengacu tujuan yang mau dicapai dengan aturan hokum terkait dalam kerangka tujuan hokum pada umumnya. Masalah hokum makro berkenaan dengan masyarakat sebagai keseluruhan, yang berintikan ihwal menentukan dan menata pola hubungan antar manusia yang berkekuatan normative dan secara rasional memungkinkan masing-masing mencaapai tujuan secara wajar, sehingga disitu pihak penyelenggaraan ketertiban berkeadilan tetap terjamin, dan dilain pihak mendorong kemajuan masyarakat. Pertanyaan intinya adalah perangkat aturan hokum apa yang diperlukan masyarakat. Penyelesaian terhadap masalah hokum makro iniadedidikirawan dilakukan dengan pembentukan hukuum secara kontekstual dengan mengantisipasi perkembangan di masa depan dalam kerangka tujuan hokum pada umumnya dengan mengacu cita hokum, yang produknya berupa aturan hokum yang secara obyektif berlaku umum (perundaang-undangan).
Ilmu hokum bertujuan untuk menawarkan penyelesaian yuridis terhadap masalah hokum yang ditimbulkan oleh dan dalam situasi kemasyarakatan tertentu. Ketetapan penyeleasian yang ditawarkan itu akan tergantung pada ketepatan perumusan masalah hukumnya ke dalam pertanyaan-pertanyaan yuridis yang diajukan. Ketepatan perumusan masalah hokum itu ditentukan oleh ketepatan persepsi atau pemahaman terhadaap situasi yang memunculkan masalah hokum tersebut. Untuk memperoleh pemahaman setepat mungkin tentang situasi yang dihadapi, maka situasi tersebut harus dianalisis ke dalam fakta-fakta relevan yang yuridis relevan dengan memisahkannya dari yang tidak relevan dilakukan berdasarkan kaidah hokum yangadedidikirawan harus ditemukan dengan menggunakan metode interpretasi atau konstruksi hokum terhadap aturan hokum atau sejumlah aturan hokum yang relevan terhadap situasi kenyataan faktualyang dihadapi. Sebaliknyya memilih aturan hokum dan mendistilasi kaidah hukumm yang relevan harus atau hanya dapat dibenarkan jika dilakukan dari sudut situasi kenyataan factual yang dihadapi. Jadi dalam proses berpikir untuk merumuskan penyelesaian yuridis yang akan ditwarkan itu, berlangsung proses lingkaran hermeneutical.
Pengembanan ilmu hokum selalu melibatkan dua aspek, yaknii kaidah hokum dan fakta (kenyataan masyarakat), artinya aspek normative preskriptif untuk menemukan kaidah hukumnya yang menetapkan apa yang seharusnya terjadi, dan aspek empiris deskriftip untuk menetapkan fakta-fakta yang relevan dari kenyataan kemasyarakatan. Dalam proses pengembanannya kedua aspek itu berinteraksi atau harus diinteraksikan. Putusan yang diambil untuk ditawarkan sebagai penyelesaian bagiadedidikirawan masalah hokum yang dihadapi  itu dimaksudkan sebagai penyelesaian definitive untuk masalah tersebut yang harus dipertanggungjawabkan secara rasional dalam arti harus tetap mampu mempertahankan ketertiban berkeadilan dengan mempertimbangkan juga kemungkinan dampak kemasyarakatannya. Karena itu putusan yang dihasilkan harus dapat ditempatkan dalam tatanan hokum yang berlaku dank e dalam tatanan kemasyarakatan yang di dalamnya tatanan hokum itu merupakan salah satu subsistemnya. Yang disebut terakhir ini adalah sistemasi eksternal material hokum yang menjadi point of entery bagi pendekatan deskriftip nomologis dan masukan dari ilmu-ilmu manusia lainnya khususnya ekonomi, sosiologi, antropologi, politik dan sejarah), etika dan pendekatan antisipatif futurlogi. Sehubungan dengan itu, dipandang dari sudut ilmu hokum sebagai disiplin ilmu mandiri, maka produk ilmu ekonomi, sosiologi hokum, antropologi hokum, sejarah hokum, etika dan futurology merupakan ingredients yang harus diolah menjadi pengembanan ilmu hokum untuk memproduk proposisi yuridis (hipotesis) dan teori hokum. Dengan melaksanakan fungsi sistematisasi eksternal maka pengembanan ilmu hokum itu sudah dijalankan dengan mengacu strategi ilmu social yang memungkinkan ilmu hokum itu menjadi hidup dan relevan terhadap dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun pengolahan akhir berbagai masukan ini tetap hanya dapat dilakukan dengan menggunakan metode normative yang mengacu nilai danadedidikirawan kaidah. Bagaimanapun ilmu hokum dalam pengembanannya selalu harus mengacu dan berintikan rasionalitas nilai dan rasionalitas kaidah tanpa mengabaikan rasionalitas efisiensi dan rasionalitas kewajaran. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya di dalam pengembannnya, ilmu hokum itu sekaligus mengakomodasikan ke dalam dirinya sejarah hokum sosiologi hokum, antropologi hokum, psikologi hokum, dan teori tentang keadilan.
Metode ilmu hokum pada dasarnya adalah metode penilitian hokum normative, khususnya metode interpretasi daan konstruksi hokum, namun dalam pengembannya, sehubungan dengan tujuannya sendiri secara dialektis (akan harus mampu)mengakomodasi produk danadedidikirawan cara kerja metode penelitian ilmu ilmu social yang bersifat deskriptif empris. Dengan demikian dalam pengembanan ilmu hokum itu, terbawa oleh karakternya sebagai ilmu praktis normologis, sesungguhnya secaara metodologis merupakan dialektika normologis dan nomologis.
Berdasarkan dua maslah pokok yang menjadi aufgabe, ilmu hokum dapat dipandang terdiri atas dua bagian besar bagian pertama adalah bidang studi yang mempelajari penyelesaian hokum mikro dengan mempelajari system hokum yang berlaku, yang dapat disebut teori penemuan hokum. Bagian kedua mempelajari penyelesaian terhadap masalah hokum makro yang dapat disebut teori pembentukan hokum atau teori perundang-undangan. Dalam berkiprahnya baik teori penemuan hokum maupun teori pembentukan hokum berintikan caraadedidikirawan berpikir tertentu yang disebut argumentasi yuridis. Dengan demikian secara pradigmatik, ilmu hokum terdiri atas teori argumentasi yuridis, teori penemuan hokum, dan teori perundang-undangan. Teori penemuan hokum berintikan teori sumber hokum, teori interpretasi dan konstruksi hokum, serta teori klasifikasi kaidah hokum. Teori perundang-undangan terdiri atas proses perundang-undangan , metode perundang-undangan, dan teknik perundang-undangan.
Ilmu hokum dalam pengembanannya harus selalu mengacu nilai. Sebab hokum yang menjadi obyek studi ilmu hokum adalah hasil karya cipta manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib  berkeadilan. Tiap kaidah hokum positif adalah produk penilaian manusiaa terhadap perilaku yang mengacu pada ketertiban berkeadilan tersebut, dank arena ituadedidikirawan berakar pada nilai-nilai. Hokum dan berbagai kaidahnya adalah produk dan bagian dari kehidupan kejiwaan manusia. Dan sebagia demikian aspek kebudayaanadedidikirawan sebagai produk proses membudaya. Ini berarti bahwa tata- hokum itu bermuatan system-nilai. Karena itu, pemahaman secara ilmiah terhadap hokum dan penggunaannya dalam kehiduupan nyata hanya mungkin bermakna jika dilakukan dengan mengacu pada nilai dengan presfektif titik berdiri internal terbatas. Artinya ilmu hokum itu tidak bebas nilai.
Karena obyek telaahnya adalah realitas sarat nilai, dan ilmu hokum itu sendiri tidak bebas nilai, maka pengembanan ilmu hokum juga mengemban fungsi kritis terhadap obyek telaahnya. Dilaksankannya fungsi kritis ini dengan mengacu cita hokum sebagai norma kritisnya, akan mendorong penerapan dan pengembanan ilmu hokum yang lebih sesuai dengan tujuannya dalam konteks kenyataan kemasyarakatan dan dengan ituadedidikirawan mendorong dilaksanakannya praksis dan politik hokum yang lebih adekuat terhadap tujuan hokum dalam kerangka Negara dan tujuan bernegara pada umumnya. Karena itu juga pengembanan ilmu hokum berdampak atau menyandang sifat mengkaidahi dan dengan demikian secara langsung terlibat pada proses pembentukan hokum dan penemuan hokum.
Berdasarkan uraian terdahulu secara umum dapat dikatakan ilmu hokum bertujuan untuk :
A.      Memaparkan secara sistematisasi material hokum (perundang-undangan, yurisprudensi, hokum tidak tertulis, doktrin)
B.      Menunjukan apa hukumnya tentang ikhwal tertentu dengan mengacu aturanadedidikirawan hokum relevan
C.      Memberikan penjelasan historis tentang situasi tatanan hokum yang berlaku
D.      Memberikan kritik terhadap tatanan hokum aturan hokum positif atau putusan hokum berdasarkan doktrin kebijakan dan politik hokum yang sudah disepakati dengan mengacu cita hokum, cita Negara, dan tujuan bernegara.
E.       Mengeliminasi kontradiksi yang tampak tampil dalam tata hokum;
F.       Merekkomendasi interpretasi terhadap aturan hokum jika aturan hokum itu kabur atau tidak memberikan kepastian
G.     Mengusulkan amandemen terhadap perundang-undangan yang ada adedidikirawanatau pembentukan undang-undang baru.