"TEORI NEGARA HUKUM MODERN (RECHTSTAAT)"
Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum
dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan
kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.[1]
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud
dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar
dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum
yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan
bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.[2]
Menurut
Aristoteles yang memerintah dalammakalah adedidikirawan negara bukanlah manusia sebenarnya,
melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan
baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang
adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh
karena itu Menurut, aristoteles bahwa yang penting adalah mendidik
manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil
akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.[3]
Secara
umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu
berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of
law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law),
dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due
process of law).
Supermasi hukum, artinya bahwa yang
mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara adalah hukum
(kedaulatan hukuum.[4]
Prinsip penting dalam negara hukum adalah
perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam
hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum
hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di
bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di
atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan
perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya
karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte
tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah
dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan
yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai
negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.[5]
Mengenai
konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), menurut
Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality
before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum,
dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).[6]
Istilah
due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu
harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law
sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental
rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered
liberty).[7]
Konsep due process of law yang
prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang “keadilan
yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan , due
process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau
prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh
yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintahmakalah adedidikirawan yang
sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk
membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila
diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi
yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang
harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat
makalah adedidikirawanmengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak
untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty),
hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk
beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak
pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas
perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental
lainnya.[8]
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang
substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa
pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat
mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan
sewenang-wenang.[9]