DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: Maret 2013

Selasa, 19 Maret 2013

pondasi struktur politik hukum lingkungan


POLITIK HUKUM LINGKUNGAN
·         konsep pembangunan nasional kebijakan 1973 sebagai bagian hukum sebagai sarana pembaharuan
·         aspek konsep:
o   Kemiskinan
o   Kependudukan
o   kemampuan lingkungan
o   sumberdayanya.
·         pemborosan sumber dayanya, rendahnya pengetahuan (alat ukur ilmiah) tiga model pembangunan:
o   Rush modal
o   Social change modal
o   etikal power modal
·         perkembangan hukum lingkungan secara akademis:
o   sentific verification
o   melakukan penyelidikan
o   meneliti dan interdisipliner
o   Mochtar: dasar pemikiran teori hukum pembangunan.
o   memperhatikan hukum faktor-faktor ekonomi sosial dan budaya
·         Tahap-tahap perkembangan pemikiran dalam hukum lingkungan :
o   prinsip ekologi
o   UUPLH No. 32/09 (berwawasan lingkungan)
o   Tahap generasi ke 3: desakan desentralisasi keputusam model (pertumbuhan ekonomi)
o   social change model
o   nilai-nilai etika/ ethical value model.
·         Emirsalim: penyatuan ekonomi masyarakat dalam keragaman masyarakat.
·         Pengembangan perubahan teknologi
·         Otto sumarwoto: pendekatan ekosistem dan hukum
·         Model analisis hukum lingkungan:
o   Amdaladedidikirawan: pendekatan bersifat ekonomi cost benefit (perizinan)
o   ERA: pendekatan bersifat kerusakan (banjir, erosi perubahan iklim, rusaknya alam) (panduan-panduan teknis)
·      Pengaruh gerakan kesadaran lingkungan global pembentukan hukum lingkungan internasional/nasional:
§  Evaluasi PERDA è Sumber Daya Manusia
§  Melatih instrumen lokal dalam tatanan Internasional ( Maurcle Strong)
§  Pemanfaatan SDA dalam PHD (peraturan hukum daerah)
·      Pengaruh Deklarasi Johanes Burg 2002  terhadap lingkungan hidup/FCC
§  ekologi (program lingkungan)
§  ekonomi (kebijakan  lingkungan perdagangan internasional)
§  melaksanakan teknologi bersih ramah lingkungan
§  Sumber pertanian pertambangan perkebunan
·      Dasar hukum 1973 è politik hukum indonesiaè GBHN
·      Stockholmè 7 konsideran (aturan Pokok-pokok pertambangan), 26 azas(prinsip pengelolaan PLH) 109 rekomendasi ,
·      membentuk lembaga lingkungan internasional : UNEP United nation
·      Ditetapkan 5 Juni sebagai hari lingkungan internasional
·      ditetapkan 10 tahun sekali dilakukan konvernsi lingkungan sedunia
·      1973 pertama kali GBHN memuat: harus memasukan pertemabangan lingkungan evelopdepelopment
·      UU No. 1 1967 : tentang pencemaran tambang dimana-mana
·      azas 17: membuat lembaga lingkungan tiap negara
·      azas 18: UU nasional berskala lingkungan 1973.
·      1978: KHT: menteri kordinator Industri perlindungan
·      1982: payung è UU No.4/ 82 (Stockholm) mengatur 4K:
o  population kependudukan
o  kekotoran polution
o  kemiskinan poor
o  kebijakan tumpang tindih policy
·      Rio Djnrio mengubah UU No.4/82 : lingkungan dan pembangunan
·      2012 è UU No. 32 tahun 2009 (azas tanggung jawab negara Pasal 3 Ayat 1), Pasal 76 UUPLH : pengawasan lingkungan hidup:
·      pemda tidak melakukan pengawasan
·      perkembangan lingkungan Indonesia pengaruh internasional
·      harus pendekatan multinasional
·      pola pikir global.
·      Hukum Perlindungan  Lingkungan:
o  Risiko : tingkat ongkos ganti rugi
o  Risiko ERA : krusakan lingkungan hukum pidana berlaku.
o  Konsep eksternal: emisi udara, pencemaran air tidak di masukan risiko administrasi, dan pencemaran akibatadedidikirawan hukum ganti rugi. dan pencemaran akibat hukumm pidana dan ganti rugi. perlindungan pada prinsip tidak boleh ada kegiatan perusahaan akibat pencemaran lingkungan.
o  Konservasi : boleh ada kegiatan tetapi ada pembatasan, persyaratan-persyaratan tertentu untuk mencegah kerusakan lingkungan misal reklamasi adedidikirawanpenggantian kerusakan dengan sistem tertentu (elaborasi), konservasi (perbaikan lingkungan), konservasi berhubungan pada manajemen.
o  Hukum lingkungan instrumen:
§  Instrumen ekonomi.
§  Instrumen hukum
§  Tujuan : memiliki aspek keterkaitan hukum pidana perdata
§  Prinsip 21: tanggung jawab negara terhadap dampak lingkungan bersifat lintas negara, dasar pemikiran lingkungan hidup : WECD.
§  dimensi-dimensi global:
·      Perubahan iklim
·      pendekatan hukum lingkungan hidup:
o  Top down : control kebijakanadedidikirawan pemerintah atau dikembangkan oleh masyarakat, server sistem negoisasi masyarakat (mengatur diri sendiri).
o  Preventif: perizinan amdal,
o  Revresif: penegakan kasus hukum
·      2 Prinsip
§  alat pencegahan (alat pengelolaan limbah) pemeriksaan laboratorium
§  Sesudah terjadi kasus dengan pembayaran Pasal 88 tanggung jawab perusahaan , regulasi alat adedidikirawanyang timbul:  instrumen lingkungan hidup bersifat implementasi, instrumen kebijakan, melalui teknis
·      Sistem penegakan hukum lingkungan hidup berdasarkan asas subsidaritas :
§  esensi asas subsiriditas :
·      juridiksi primer: prioritas teknis, meberikan (izin amdal)
·      Subsidiritas : kebijakan-kebijakan bersifat teknis, eksekutif diutamakan tidak menutup aspek lain.
·      prinsip kehati-hatian : pemerintah harus memperhatikan perolehan izin lingkungan hidup.
·      pidana korporasi persoalan kesalahan operator perusahaan yang harus kena, perusahaan asing akan menyeret ke pidana penyelesaian adedidikirawanlingkungan secara umum dengan cara negoisasi kelas gugatan legal standing, klas action gugatan kelompok, organisasi lingkungan è ganti rugi dan berbentuk bebadan hukum. bahwa pemerintah pengayom rakyat.  masarkat mendapatkan ganti rugi. organisasi è reboisasi
·      Pengawasan sanksi administrasi:
o  sanksi administrasi : lebih jelas lebih kedepankanadedidikirawan preventif, pencabutan izin pembekuan perusahaan.
·      hukum SDA/ Era reformasi:
o  peluang perusahaan
o  UU No. 32/09:
§  instrumen yang ketat yang mengakibatkan sanksi pidana
§  mendorong investasi meningkat melalui PAD yang tinggi dan mengakibatkan rusaknya lingkungan (banjir longsor)
§  Investasi dan perdagangan
·      Faktor:
o  modal besar (melindungi patner) mempertahankan income
o  sumber daya menurun
o  idealisme nasionalisme terjual melalui upeti-upeti
o  Konsep keseimbangan ekonomi è lingkungan.
o  HAKI
o  rekognisi: diakui hukum nasional dan hukum internasional melalui hukum hak adat Tap MPR IX/2001
o  Konsemparsi  SDM : peningkatan efisiensi mencegah kerusakan lingkungan
o  Prinsip-prinsip lingkungan hidup : hak memperoleh keadilan, hak pemerataan, hak jaminan lingkungan, (sistem lembaga), hak keadilan
o  Daya tampung dan daya dukung seimbang untuk konsemparsi hukum.
o  CSR : peningkatan training, kesehatan masarakat, kemampuan berpikir peluang-peluang (mampu berdemokrasi merespon adedidikirawanlebih baik untuk memperoleh manfaat ) meningkatkan masarakat melalui fungsi (kesejahteraan)
o  CSR(program oriented) harus mampu mengawasi peran masarakat melalui pemantau organisasi dan mempunyai pengetahuan  (pembaharuan masyarakat).
·         keterkaitan hukum SPLH dan SDA:
o  izin lingkungan melalui persyaratan amdal terutama izin pertambangan melalui tata ruang wilayah yang diatur adedidikirawanPEMDA (daya tampung/dukungan lingkungan)
o  dengan izin lingkungan menghindari degradasi  peraturan daerah maka pembentukan harus cermat.
·         Insentif /disentif :
o  kegiatan sistem lingkungan hidup semakin meningkat maka :
o  fenomena lingkungan dihubungkan è holistik , aspek ekonomi (konservasi hutan mengganggu) fakta analisis è lingkungan, ekonomiadedidikirawan dimanfaatkan berupa provit benefit dan teknologi dikaitkan dampak ekologi lingkungan (misal di bor)  teknologi (solusi), ekologi (keserasian), puturis (dalam jangka kedepan), Amdal (tata ruang).
·         bentuk-bentuk tanggung jawab sosial lingkungan (pertambangan kasus pertambangan dengan sumber daya alam UU No. 32 Tahun 2009)
o   Pasal 45 : wajib bertanggung  jawab sosial dam lingkungan jangan sampai tidak terlindungi, melalui : daya dukung (menyerap) dan daya tampung (tata ruang)
o   PT atau setiap orang bertanggung jawab wwajib dilaksankan, apakah kegiatan-kegiatan PT mempunyai program menginginkan kesejahteraan masarakat tergantung kepada alam diberi izin untuk HPH konsesi hak , bgaimana usahanya, hakadedidikirawan pemerintah di delegsikan PT apakah Pasal 33 masih berhak, pemerintah , didelegasikan kepada pT tapi tidak melupakan kewenangan kemaslahatan umat. kegiatan apa yang dilakukan tanggung jawab lingkungan. tanggung jawab sosial:
o   Pasal 74 PT, Pasal 42 instrumen ekonomi lingkungan hidup,Psl 43,44,45 (anggaran berbasis lingkungan)perencanaan pembangunan ekonomi:
§  perjanjian-perjnjian kredit è antar treatment memberikan suku bunga rendah.
§  perjanjian kredit è bank berfungsi untuk turutadedidikirawan  mengendalikan pendanaan lingkungan akibat perencanaan.
§  SEMA 81/26 Bank Dunia, peranan untuk mengendalikan pendanaan lingkungan :
§  Fakta : landasan UU minerba, UU lingkungan adedidikirawanpisau analisis, perjanjian (SIPD) perda seperti apa dalam lingkungan. UU No. 1/2008 (kawasan tidak dibatasi terotirial daerah) rekomendasi gubernur . Tanggung jawab korporasi (PAD, lingkunan, teknologi
·         Prinsip subsiridritas: melihat dengan persyaratan perizinan sebelum melihat pidana atau perdata.
·         Sanksi-sanksi:
o   pengembangan dana konservasi, rehabilitasi, lingkungan dalam rangka pengembangan lingkungan
o   Amdal sebagai dasar kelayakan izin lingkungan kriteria izin lingkungan sanksi administratif sangat penting melalui pengawasan melalui penataan pengawasan berperan pemenrintah pengawasanadedidikirawan didelegasikan pada direksi perusahaan misal CSR melalui perusahaan dengan masarakat, kegiatan perusahaan harus ada tanggung jawab direksi perusahaan.
·         UU lingkungan mendekati ekonomi lingkungan rumusan UU lingkungan terarah pada pidana karena gramatikal.
·         Sistem LH dan asas subsidaritas (administrasi sebelum tindak pidana dan perdata karena aspek teknis.
·         Cost recovery: ongkos-ongkos kembali dana lingkungan di hubungkan dengan asas subsidaritas lebih mudah dengan teknis pengelolaan.
·         pemantauan internaladedidikirawan melalui direksi dan masyarakat ttp ditekankan perusahaan penyelesaian preventif yang selanjutnua sanksi pidana, administratif.
·         Pengawasan sanksi administratif:
o   pendahuluan (penyebab, keterkaitan holistik, implikasi, kuasa fakta, (bukti menyatakan terjadi akibat hukum)
o   permasalahan (nersifat menyeluruh peta grafik, dukungan data memungkinkan, keterkaitan hukum non hukum, degredasi, banjir)
o   Pembahasan ( memberikan nilai 50 sampai 60% , data memadai hubungan causal sebab akibat, bentuk sekenario adedidikirawansimulasi logika, berdasarkan model yang valid sesuai amdal analisis secara sahih, ada nilai-nilai hukum (implikasi hukum)
·         tantangan dan pengembangan:
o   butir satu dan tiga perlu dianalisa
o   peluang akibat perkembangan ilmu teknologi
·         perkembangan baru dalam sistem hukum lingkungan green economic, :
o   soft law: perizinan sertifikasi
o   Amdal: izin, publik law (HAM) audit lingkungan, (operator swasta, ahli lingkungan).
o   Stratifikasi: pasar bebas, izin-izin.
o   sistem sukarela: bentuk stndarisasi syarat izin pengelolaan
o   Proses keputusan: pemerintah, adedidikirawanpartisipasi masyarakat lebih penting kebijakan pemerintah sebagai payung hukum, swasta teknologi.
o   bersifat ilmiah: amdal (perubahan iklim) (produksi) semkain teknis semakin ilmiah
·         jasa lingkungan suatu perimbangan. ektefitas lingkunganadedidikirawan tergantung oleh para ahli  terhadap pemmerintah.
·         alat pemerintah adalah lingkungan melalui evaluasi
·         evaluasi : dilaksanakan oleh direksi melalui pemerintah tanggung jawab publik è korporasi antar buruh dengan perusahaan. untukadedidikirawan menilai ketaatan hukum melalui direksi dengan tanggung jawab perusahaan: dan diterjemahkan melelui standarisasi, agar penanggung jawab profitable untuk tidak melanggar ketentuan pemerintah, 2 tangan
o   tanggung jawab RUPS sehat (saham )
o   tanggungjawab pemerintah
·         pergeseran pengakuan hukum publik institusi melalui kebijakan pemerintah, audit lingkungan: standarisasi internasional ISO, perburuhan:
o   gaji, kesejahteraan umum (asuransi), training (struktur dalam sistem), pengetahuan, berpikir mampu melihat peluang
o   kebijakan perusahaan: transparatif dan partisipatif.
·         audit lingkungan ISO berbenntuk ecolabel, kegiatan usaha kayu (pengelolaan hutan produksi untuk furniture perhatianadedidikirawan perusahaan terhadap lingkungan.
·         audit lingkungan mengetahui isu melalui transparansi evaluasi melalui regulasi (baik/tidak)
·         perdagangan pertambangan minerbaadedidikirawan sudah berpusat di daerah apakah siap perda memantau,menghadpi investor:
o   siap mengatur perda (perda upaya harmonisasi kepastiann hukum)
o   tenaga kerja (SDM keahlian mencukup sesuai teknologi)
o   pengusaha lokal ( sebanding)
o   tuntutan pasar (harus punya setrategi informasi melalui pemerintah)
o   ketentuan health dan sefty (melalui bencana lingkungan)
·      prinsip-prinsip internasional:
§  ekonomi daerah semua kegiatan di daerah
§  sumber dana modal
§  instrumen ekonomi regulasi.
·      sistem pembiayaan :perusahaan mengelola dampak limbah perusahaan.
·      subsidi: tanggung jawab bersama pemerintah dan perusahaan
·      jaminan: bencana harus ada jaminan dari perusahaan untuk korban, alam, lingkungan.
·      mekanisme pasar: strategi sistem pasar.
·      insentif: usaha-usaha menimbulkan tergantungan maka harus adaadedidikirawan insentif ongkos lingkungan
·      perkembangan hukum baru: gagalnya putusan pengadilan melalui negoisasi mediasi, kepastian ilmiah menjadi pergeseran kebenaran hukum dalam mengambil pertimbangan putusan keadilan dan kepatutan.
·      hard law: hukum yang berlaku (aspek normatif)
·      soft law: hukum yang dapat memperkuat hukum yang berlaku (aspek sosiologis)
·      Syarat:
·      BAPEDA (data pembangunan)
·      evaluasi laporan perizinan
·      biro hukum
·      sistem perizinan satu pintu.
·      bentang tanggung jawab pertambangan Pasal 23.
·      semua peraturan yang memandang aspek hukum lingkungan maka ada di UU linhkungan ini:
§  aspek peralihan: Pasal 45 anggaran berbasis lingkungan hidup melalui perencanaan anggaran dasar CSR yang diberikan kepada PT. bentuk tanggung jawab pertambangan PT bersifat mandiri yang syarat-syarat pendirianadedidikirawan sesuai dengan Pasl 4, bentuk pertanggungjawaban anggaran CSR pada awal perencanaan mengalokasikan dana yang diberikan kepada lingkungan pasal 45 UUPLH

Minggu, 17 Maret 2013

POLITIK HUKUM


Perbincangan tentang HAM terus berlanjut seiring dengan perkembangannya, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi 11 bab 106 Pasal.[1] Maka dengan lahirnya undang-undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sehingga pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi.[2] Untuk mendukung terwujudnya kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah politik, namun dalam praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara.
Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah wacana perkawinan beda agama.[3] Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Untuk memenuhi tuntutan bunyi Pasal tersebut,adedidikirawan maka bagi umat Islam di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44. Hanya saja materi yang termuat dalam Pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.
Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua, Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional, pemerintah harus adedidikirawanbisa menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan beda agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka hal adedidikirawantersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama “rela” melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah agama

1.        Pengertian dan sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 telah merumuskan bahwa pengertian perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Pasal 2 ayat (2) perkawinan tersebut dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari rumusan pengertian perkawinan di atas dapat ditarik beberapa poin pemahaman sebagai berikut :
  1. Perkawinan itu merupakan sebuah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat lahir dan batin sebagai suami-istri.
  2. Tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga   yang bahagia untuk selama lamanya.
  3. Perkawinan itu dilaksanakan berdasarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
Poin-poin pemahaman tentang perkawinan ini semakin memperjelas substansi perkawinan menurut Undang-undang di atas yang membedakannya dari bentuk bentuk perikatan lain yang pada umumnya hanya bersifat lahiriyah belaka dan bertujuan sesaat serta tidak adedidikirawanmemiliki nuansa Ketuhanan Yang Maha Esa. 

2.         Perkawinan Antaragama Menurut UU Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang perkawinan antaragama. Dalam rincian syarat-syarat perkawinan  yang dinyatakan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dari Undang-undang ini tidak ditemukan syarat persamaan agama di antara kedua orang yang akan kawin. Yang disyaratkan hanyalah adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, adanya idzin dari kedua orangtua bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan kedua calon mempelai harus mencapai usia minimal 19 tahun bagi pria dan  16 tahun bagi wanita. Demikian juga dalam adedidikirawanpelarangan dan pencegahan perkawinan Undang-undang ini tidak menyebut perbedaan agama sebagai faktor penghalang perkawinan. Pasal  8 sampai dengan Pasal 13 dari Undang-undang Perkawinan meyebutkan bahwa yang menjadi faktor penghalang perkawinan hanyalah hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah maupun keatas, hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, hubungan semenda dan susuan, adanya keterikatan tali perkawinan dengan orang lain, serta telah terjadinya adedidikirawanperceraian  tiga kali di antara suami istri, sepanjang hukum masing-masing agamanya tidak menentukan lain.
Jadi, Undang-undang Perkawinan tidak mensyaratkan persamaan agama bagi  sahnya sebuah perkawinan. Atau dengan kata lain, Undang-undang ini tidak  memandang perbedaan agama sebagai penghalang perkawinan. Namun demikian, Pasal 2 ayat (1) dari Undang-undang tersebut menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, sahnya adedidikirawanperkawinan termasuk perkawinan antaragama sangat ditentukan oleh hukum masing-masing agama kedua belah pihak yang akan kawin.
Selanjutnya yang menjadi problematik dalam konteks ini adalah ketika terjadi perbedaan pandangan hukum  tentang perkawinan itu dari masing-masing agama kedua calon mempelai itu. Sebagai contoh, Kompilasi Hukum Islam, yang dijadikan rujukan yuridis dalam penyelesaian perkara di lingkungan Peradilan Agama dan yang hanya berlaku bagi orang adedidikirawanIslam, dalam Pasal 40 menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain.
3. Seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 44 juga menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Berdasarkan Pasal-Pasal di atas dapatlah dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam menutup sama sekali kemungkinan terjadinya perkawinan antaragama antara orang Islam dan orang yang bukan Islam walaupun Hukum Islam (Fiqh) sendiri tidak demikian pandangannya. Dalam Hukum Islam terdapat banyak persepsi dari para ahlinya adedidikirawan(fuqaha’) tentang perkawinan antaragama itu sehingga tidak dapat diambil sebuah keputusan hukum yang final.
3.        Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalahadedidikirawan peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.
Pada Pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni :
1.      Kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR;
2.      Kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR;   
3.      Kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.
Soedargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada Pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga adedidikirawandi Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni
1.      Pertama, dengan mengingat adedidikirawankembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1974, terutama perdebatan yang berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.[4]
2.      Kedua, ada beberapa Pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 haruf (f). Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.
Bila Pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuanadedidikirawan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh Pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.[5]
3.      Ketiga, merujuk kepada Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan Pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)  sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan adedidikirawanhukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia adedidikirawanyang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

4.        Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia ditinjau dari perspektif HAM khususnya lewat instrumen Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara (citizen), bukan soal relasi horisontal yang menyangkut hubungan di antara adedidikirawanwarga negara yang beragam agama, kepercayaan dan beragam penafsirannya.[6]
Hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia bukan negara agama, maka yang adedidikirawanmenjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun hukum nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional.
Dalam konteks nation state, tidak boleh ada satu produk hukum pun yang sektarian yang hanya menguntungkan kelompok agama tertentu dan adedidikirawanmengabaikan suara komunitas agama lainnya. Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama dan sederajat, apa pun latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaannya. Setiap pertimbangan dan alasan untuk membuat perundang-undangan haruslah memperhitungkan kesamaan dan kesederajatan warga negara dalam pemenuhan hak-hak mereka, tanpa membedakan antara satu kelompok warga negara dengan yang lainnya atas dasaradedidikirawan perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam perspektif HAM, setiap pembuatan undang-undang harus mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban negara untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak mendasar warga negara.
Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini terdiri dari 14 bab dan 67 Pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka Pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan Pasal tersebut bahwa “Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”.
Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia muncul dalam kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun adedidikirawan1975 tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan. Problem HAM yang muncul adalah:
a.     Mengenai Sahnya Perkawinan.
Dalam Pasal 2 ayat (1) diatas terlihat bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama, meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua, perkawinan dilangsungkan menurut adedidikirawanhukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga, kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan hukum dimana salah satu pihak secara adedidikirawanpura-pura beralih agama. Keempat, yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia. Masalahnya, apakah kawin beda agama di luar negeri sah menurut hukum Indonesia? Jika ingin dipertajam lagi, mengapa warga negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru ingin mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain? Bukankah hal tersebut sungguh ironis?
b.    Mengenai pencatatan perkawinan.
Dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur aspek administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam Pasal 2 tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.[7] Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah berdasarkan aturan agama tertentu, tetapi kalau belum dicatatkan pada kantor pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan Agama/KUA adedidikirawanuntuk yang beragama Islam ataupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar Islam), maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara. Dalam berbagai kasus, sahnya suatu perkawinan secara yuridis memang harus dibuktikan melalui buku nikah yang diperoleh dari KUA dan KCS. Hal ini tentu saja menimbulkan implikasi hukum dan sosial yang beragam bagi pasangan yang berbeda agama seperti misalnya anak-anak yang lahir tidak akan dianggap sebagai keturunan yang sah dan suami-istri pun mengalami kesulitan adedidikirawanmemperoleh hak-hak keperdataan yang timbul dari perkawinan tersebut. Padahal dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Problem lain yang muncul dari sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan adalah bahwa pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam UU No 1/PNPS/1965 dimana agama-agama yang diakui di Indonesia hanya ada lima yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chuadedidikirawan. Di luar itu hak sipilnya tidak diakui negara sehingga orang yang di luar enam agama tersebut jika menikah dan ingin diakui negara maka dia harus membohongi negara dan diri sendiri.[8] Definisi agama yang dibuat oleh pemerintah ternyata sangat diskriminatif. Defenisi agama versi pemerintah menyebutkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci. Definisi ini berimplikasi negatif karena menimbulkan diskriminasi terhadap agama-agamaadedidikirawan bumi yang tidak memenuhi syarat sebagai agama sesuai definisi pemerintah. Selain itu, diskriminasi tersebut merembet pada diskriminasi terhadap hak sipil. Mereka terancam tidak memiliki KTP karena komputer pemerintah hanya bisa menuliskan satu dari 5 agama atau mereka harus memilih pencantuman sebagai salah satu pemeluk agama yang 5 untuk dapat dibuatkan KTPnya. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah pencatatan perkawinan yang seringkali ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena bukan pemeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Perkawinan yang tidak mendapatkan pengakuan negara akan mendapatkan adedidikirawankesulitan untuk mendapatkan Kartu Keluarga (KK), akta kelahiran anak, KTP, surat nikah dan hak pendidikan. Ini artinya keluarga tersebut kehilangan hak sipilnya sebagai warga negara. Diskriminasi jelas merupakan tindakan yang melanggar HAM. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan spek kehidupan lainnya”.
Pertanyaannya, atas dasar apa negara seakan mempunyai otoritas untuk menentukan diakui atau tidaknya sebuah agama padahal agama telah lahir dan eksis terlebih dahulu dibandingkan dengan kelahiran sebuah negara?
Problem-problem di atas tentu tidak harus terjadi jika saja pemerintah lebih memahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang bukan merupakan pemberian siapapun juga termasuk adedidikirawannegara, sedangkan hak sipil adalah hak warga negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara untuk melindungi, mengakui dan memproteksinya. Hak beragama, berkeyakinan, dan berkeluarga termasuk dalam rumpun hak sipil.  Beragama dan beraliran kepercayaan adalah hak sipil dalam arti bahwa hak itu sudah ada, tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial dan keagamaan sebelum lahirnya organisasi negara. Dasar kebebasan agama dan beragama adalah kodrat atau martabat manusia itu sendiri. Kodrat atau martabat adalah kenyataan bahwa manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak. Akal budi dan kehendak adedidikirawanbebas tersebut merupakan inti kodrat (martabat) manusia. Berkaitan dengan adanya kedua hal tersebut dalam diri manusia, maka dikatakan manusia mempunyai tanggung jawab pribadi dalam bidang apa saja, termasuk dalam tindakan percaya dan beragama itu sendiri. Tanggung jawab pribadi yang mengandaikan akal budi dan kehendak bebas itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh siapa-siapa dan oleh karena itu tidak dapat diambil oleh siapapun.
Berbicara tentang pilihan terhadap agama, berarti berbicara tentang sesuatu yang paling asasi pada diri manusia. Dikatakan demikian karena proses manusia dalam beragama merupakan pengejawantahan kesadaran ilahiyah yang terpatri dalam diri manusia. Kesadaran ini kemudian memperoleh afirmasi simbolik melalui agama formal yang disebarkan melalui utusan adedidikirawanTuhan yang jumlahnya tak terbilang. Dari kajian sejarah agama-agama diperoleh suatu gambaran, banyaknya utusan Tuhan berpengaruh juga terhadap banyaknya agama yang dipeluk oleh manusia. Maka kalau kemudian muncul kebijakan yang hanya mengakui keberadaan agama dengan jumlah yang amat terbatas, maka hal ini merupakan pengingkaran terhadap kemerdekaan eksistensial manusia untuk melakukan ziarah spiritual yang bisa jadi melintasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban dan hak untuk mencari kebenaran terutama dalam bidang agama, sesuai dengan tuntutan suara hatinya. Orang harus dapat menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya dalam suasana bebas tanpa ketakutan dan tekanan dari pihak manapun dan dalam bentuk apa pun. Dalam suasana itulah, manusia dapat bertindak secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan adalah hak asasi manusia dan termasuk dalam martabat manusia. adedidikirawanMerusak kebebasan seseorang berarti menghina citra martabat orang itu sebagai manusia.
Adapun hak sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama dan diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk adedidikirawanmemilih pasangan hidup misalnya, haruslah merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh pemerintah. Namun kenyataannya, negara tidak membiarkan begitu saja kebebasan memilih pasangan yang bersamaan jenis atau berbeda agama. Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas adedidikirawankemajemukan tadi. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidakadedidikirawan langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan bahwa pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang. Alasannya adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada Pasal 22 ayat (1) bahwa “ Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan adedidikirawandiskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada Pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan adedidikirawanuntuk berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.
Dari segi pencatatan perkawinan, setiap warga negara yang memeluk agama apa pun yang secara universal diakui oleh umat manusia, maka berhak mendapat pelayanan administrasi dari negara. Tidak bisa dibenarkan Kantor Catatan Sipil menolak pencatatan perkawinan hanya adedidikirawankarena suatu agama tidak tercatat pada lembaran negara atau karena masing-masing pasangan yang ingin menikah berbeda agamanya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Di samping perkawinan adalah sebagai sebuah peristiwa hukum, perkawinan jugaadedidikirawan merupakan bagian dari proses sosial yang memerlukan adanya pengakuan secara sosial. Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran rumah tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte perkawinan.

Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi karena berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

5.        Masa Depan Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi hukum. Oleh adedidikirawankarena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Soemantri sebagai berikut:
Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbanganadedidikirawan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.[9]
Dari pernyataan diatas terlihat bahwa konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh karena itu, jaminan konstitusi adedidikirawanatas HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan adedidikirawanmenerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya sebagaimana analisa penulis di atas, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Akibatnya, banyak warga negara yang kebetulan “mampu” secara ekonomi menyiasati pembatasan undang-undang tersebut dengan mencatatkan perkawinannya di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia tidak mendapatkan adedidikirawanperlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain. Untuk yang tidak mungkin ke luar negeri, ada yang terpaksa “mengalah” dengan jalan pindah agama sejenak agar peristiwa pernikahannya dicatat oleh Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Pertanyaannya kemudian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang untuk melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi lagi tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentangadedidikirawan perkawinan khususnya Pasal 2 ayat 1. Pembaruan tersebut  secara teoritis dilatari dengan alasan :
1.      Bahwa perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia;
2.      Sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas nasionalitas;
3.      Dalam konteks negara demokrasi, maka beberapa prasyarat yang dibutuhkan antara lain jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas political society, adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara dan kehidupan organisasi yang independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru yang adedidikirawandemokratis, dan masyarakat ekonomi yang institutionalized;
4.      Indonesia merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah mengakomodir semua warga negaranya tanpa membedakanadedidikirawan latar belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut tidak lain agar semua warga negara mendapat sebuah kepastian hukum;
5.      Negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, adedidikirawannegara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut;
6.      Perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang ada di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap adedidikirawanpenduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga.
Adapun secara praktis, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah berusia lebih dari 32 tahun, sebuah usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya karena undang-undang merupakan satu “sistem yang terbuka” yang tidak hanya melihat kebelakang kepada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang kedepan adedidikirawandengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.[10]