MENYAJIKAN
ARSIP TERKINI, MENJADIKAN HISTORIOGRAFI LEBIH MANUSIAWI
”Wat verschijne, wat verdwijne,
’t Hangt niet aan een los geval,
In ’t voorleden, ligt het heden,
In het nu wat worden zal!”
(“Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam,
Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan,
Hari kemarin memangku hari sekarang
Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”)
(Willem Bilderijk)
Pernyataan pujangga dan
sejarawan Belanda, Willem Bilderijk, pantas untuk direnungkan. Setiap
kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti diam. Ia mengandung
makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah.
Apalagi dalam kacamata historis, kejadian itu bersifat tridimensi—past,
present, and future.[1]
Kejadian sejarah memuat kesinambungan zaman yang saling
mengikat, memposisikan peristiwa sebagai jembatan manusia dalam melangkahkan
hidup, menuju muara yang dinamakan: kebijaksanaan. Itulah puncak tertinggi bagi
pembelajar sejarah,makalah adedidikirawan demikian kata Ahmad Syafii Ma’arif[2] atau dengan kata lain, kejadian sejarah
mempunyai pengaruh yang menentukan (decisive)[3].
Pengungkapan sejarah adalah konskuensi—tugas yang harus
dijalankan sejarawan. Mereka tidak sekedar bermain-main dengan data yang ’dikelilingi
sangkar’makalah adedidikirawan subjektivitas, tetapi bergelut mencipta kebenaran. Adalah ’dosa’, jika
mereka larut dalam kekuasaan, lalu dengan sadar mencipta segudang pembenaran. Semua
bisa terjadi, bukankah bagi penguasa sejarah bisa ditemu-ciptakan?
Sejarawan harus berhati-hati. Nurani yang kemudian
bicara. Ia harus mengedepankan posisinya: menjadi sejarawan profesional atau
istana. Pilihan yang sulit, tetapi harus diambil. makalah adedidikirawanSetiap pilihan punya
tanggungjawab. Semua terletak pada cara memilih dan memperlakukan fakta sebagai
muara tulisan. Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu ibarat ikan dalam laut.
Laut itu menghasilkan garam, tetapi ikan itu sendiri tidak pernah asin.[4] Sejarawan
juga ibarat raja. Apa yang dikatakan,
sepanjang berdasarkan fakta, menjadi sabda tak terbantah.
Fakta-fakta sejarah yang beragam, umumnya masih
dipusatkan di satu titik: dokumen atau arsip. Sebagian besar sejarawan enggan
melirik pada data lisan (oral history). Data ini dianggap tidak valid
karena mengandung banyak perdebatan. Bisa jadi, pemahaman inilah yang membuat
historiografi Indonesia terkesan hanya ’berdiri makalah adedidikirawandi menara gading’.[5] Sindiran
halus sering terlontar, ”Kapankah ilmu sejarah mampu menjadi problem solving?”
”Ilmu bukan lagi untuk ilmu, tetapi jalan praktis mengatasi masalah
kehidupan”, demikian kata James P. Spradley.[6]
Sejarah lisan atau James Morison menyebutnya penelitian
lisan[7],
membuka peluang agar historiografi menjadi lebih manusiawi. makalah adedidikirawanSifatnya yang
’lentur’, memungkinkan sejarawan untuk melihat proses historis secara wajar. Arsip
terkadang memenjarakan penulis untuk berkelana mencari jejak fakta. Tidak demikian
dengan sejarah lisan. Ruang dialog, baik secara teks maupun konteks, lebih
terbuka. Sifat ini dapat membuka muara baru dalam sejarah. Setidaknya, memberi
tempat bagi mereka yang tak punya sejarah atau sengaja tidak disejarahkan.[8] Paul
Thomson mengatakan bahwa penelitian lisan mampu mengembalikan sejarah kepada
masyarakat.[9]
Tutur Sejarah; Membangun Empati Historis
Istilah tutur sejarah antara lain diperkenalkan oleh Ruth
Indiah Rahayu. Ruth menggunakannya untuk ’memproduksi’ penulisan sejarah
perempuan yang berdimensi makalah adedidikirawanfeminis.[10] Dalam
membentuk totalitas sejarah lisan, model ini tidak terbatas untuk perempuan,
tetapi juga laki-laki. Keduanya mempunyai tradisi ngrumpi.
Perempuan pada umumnya menyukai tradisi ngumpi
untuk melepas beban dari setumpuk pekerjaan rumah tangga. Umumnya mereka
berkumpul di sore hari, sambil duduk bersama. makalah adedidikirawanLain halnya dengan laki-laki. Mereka
biasanya menggunakan kedai atau angkringan, untuk berceloteh tentang pengalaman
hidup. Sambil meneguk teh, kopi, atau jahe anget, mereka tumpahkan segala
beban. Itulah meditasi berbalut pengalaman yang bisa direkam menjadi data
sejarah, tergantung pada kehilaian peneliti membuka dialog.
Penelitian lisan tidak digali dengan ’kepala kosong’.
Segalanya disiapkan dalam kerangka yang matang. Dengan makalah adedidikirawandemikian, informan tidak
akan bicara tanpa makna, tetapi diarahkan pada kebutuhan peneliti. Pembicaraan bersifat
lentur karena mendekatkan pada proses. Namun
demikian, peneliti tetap menjadi pengendali.
Demikian juga pada pendekatan kultur, kemampuan peneliti
ditantang. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya dialog yang alami. Informan
tidak merasa diinterogasi, tetapi diajak untuk berkelana mengarungi pulau masa
lalu. Pelan tapi pasti, segala persitiwa yang ingin dibidik peneliti, akan
terlontar dari informan. Pernyataan secara makalah adedidikirawanalami itulah, yang akan menjadi data
baru yang unik, pure, dan berbeda dari penuturan dokumen.
Dalam sejarah lisan, peneliti memang harus membatasi hubungan
dengan dokumen. Apabila terjadi, ia hanya akan menjadi penutur sejarah
terburuk.[11]
Artinya, hanya mengulang penjelasan yang
sudah ada. Penelitian lisan berusaha menghasilkan data yang berbeda, denganmakalah adedidikirawan mendekatkan
pada fungsi evaluasi dan refleksi dokumen.
Fungsi tersebut, memungkinkan sejarawan berdialog secara
psikologis dengan data. Proses ini akan memunculkan ’empati historis’. Sifat
ini perlu ditumbuhkan dalam jiwa sejarawan, untuk membangun logika analisa
fakta. Empati bukanlah sebuah ’dosa’, tapi justru cara membuat historiografi
menjadi lebih manusiawi.
Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan
manusia dalam melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin
dan jiwa. Situasi ini akan hidup jika muncul muatan makalah adedidikirawanpsikologis. Data lisan
memungkinkan kerja-kerja psikologis untuk menghidupkan fakta, tanpa mengurangi
validitas dan kredibilitasnya. Kekuatan data dapat menunjukan mentalitas
informan dalam menghadapi situasi zaman. Secara kolektif menurut Kuntowijoyo, akan
memunculkan genre baru: sejarah mentalitas[12].
Di sinilah pentingnya menggali tutur sejarah untuk
melihat peristiwa secara arif, tidak kaku, dan bisu. Makna sejarah sulit ditangkap,
jika ruh peristiwa tidak muncul. Bukankah yang menarik dalam sejarah bukan
peristiwanya—tetapi apa yang ada di balik peristiwa? Di sanalah bersemayam muara kebijaksanaan (wisdom).
Kemana Sejarah Lisan Dibawa?
Asvi Warman Adam mengatakan bahwa data lisan membuka
kesempatan bagi terkuaknya ’sejarah korban’. Ia lebih menitikberatkan kajian
tahun 1965, dengan fokus korban pembantaian. Apa yang dituliskan Asvi, hanya
satu dari beragam wilayah sejarah yang belum tersentuh. Di Indonesia sendiri, proyek penulisan sejarah lisan
sudah dimulai sejak tahun 1972 di bawah koordinasi Jose Rizal Chaniago.
Penelitian di bawah naungan ANRImakalah adedidikirawan ini, berfungsi untuk menutup kekurangan arsip
1942-1950. Fokus penelitian diarahkan pada
tokoh-tokoh lokal, sehingga menurut Asvi, proyek ini bisa menjadi embrio
sejarah lokal di Indonesia.
Satu hal yang
perlu dicermati adalah, apakah sejarah lisan hanya diperuntukan bagi para elit?
Lalu berkaitan dengan dimensi temporal, apakah hanya periode krusial tahun
1965, yang kemudian harus mendapatkan perhatian ekstra setelah makalah adedidikirawanorde baru
tumbang? Mengapa tidak mencoba menengok kembali pada tempo sebelumnya, misalnya
tahun 1950-an.
Dalam pentas sejarah Indonesia, periode tahun 1950-an
dianggap paling panas. Periode yang dipenuhi perlawanan ini, umumnya
menghasilkan perubahan masyarakat. makalah adedidikirawanBeragam konflik yang muncul, terutama untuk wilayah
di luar pulau Jawa, menunjukan wajah lokal yang buram. Teruta bagi masyarakat bawah yang hanya mengekor— menjadi
korban pertama dan utama. Sebuah masa yang penuh pergolakan, tetapi terkadang
lepas begitu saja dari bidikan pengarsipan.
Kalaupun dilakukan pengarsipan, hanya menguak pengalaman
kaum elit. Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi golongan akar rumput? Pada
siapa mereka menyuarakan kegelisahan historis yang dirasakan? Seharusnya sejarawan
lebih peka melihat situasi zaman. Apabila kesalahan yang sama diulang—hanya
elit yang bicara, selamanya sejarah menjadi kaku dan bisu. Tidak ada proses
yang manusiawi.
Hendaknya mulai dibangun kesadaran dengan menggali
informasi historis dari kalangan bawah, untuk menghasilkan data sejarah yang
lebih kaya. Apa yang dikatakan para elit, terkadang sangat jauh berbeda dari
apa yang dilihat dan rasakan kalangan bawah. Bumbu-bumbu politik begitu tampak
makalah adedidikirawandalam setiap ucapan. Namun kelompok marginal dalam sejarah, apakah mereka punya
tendensi? Mereka hanya menghirup arus, menelan zaman, dan meresapkan kejadian
sebagai pelajaran hidup yang pahit.
Izinkan Kaum Marginal Memiliki Sejarah
Kotak pandora bagi kaum marginal mulai terbuka. Suara
mereka akan terdengar di antara barisan sejarah. Sejarah lisan sebagai kunci,
membuka dengan lebar. Lalu siapa yang dimaksud dengan kaum marginal? Mereka di
antaranya adalah ’kaum terjajah’ bernama: buruh, perempuan, dan minoritas
etnis.
Pertama buruh. Mereka adalah ’pahlawan ekonomi’ yang jarang
tersentuh sejarah. Pergulatan hidup yang mereka rasakan, hanya tertuang dalam
’teriakan’ sosiologis ataupun antropologis. Masalahnya adalah, apakah dengan
dua ilmu itu saja sudah cukup mengungkap perjalanan mereka.
Pembahasan sosiologis maupun antropologis, umumnya
bertujuan membentuk pola, bukan mencari dan melihat celah perubahan dengan
segala bentuknya, sebagaimana dilakukan sejarah. Kekalahan yang melahirkan
tragedi atau kemenangan yang melahirkanmakalah adedidikirawan kepahlawanan sebagai proses pergulatan
hidup, hampir tidak terdeteksi. Nama ’buruh’ umumnya tercatat sebagai icon
pembahasan bercorak gerakan sosial.
Dalam sejarah, kolektivitas bukan jaminan. Bukankah
individu juga merupakan agen dalam sejarah? Suara kolektif, belum tentu menjadi
gambaran umum pergolakan batin. Karena itulah, deteksi mendalam berbentuk
wawancara individu, akan memberi ruang sejarah makalah adedidikirawanyang lebih adil. Tiap individu
mempunyai pengalaman berbeda, demikian juga ketika merespon sebuah
konflik.
Kedua, perempuan. Namanya mulai disebut sebagai bagian sejarah
tanpa monopoli patriarki, ketika suara-suara berbau feminisme dikumandangkan
dengan begitu merdu. Ruth Indiahmakalah adedidikirawan Rahayu misalnya, begitu tajam mengkritik
penulisan sejarah perempuan bercorak kebangsawanan, sebagaimana dianut pada
masa kolonial. Lewat tutur sejarah perempuan itulah, ’kran sejarah’ yang semula
tertutup, perlahan terbuka.
Data mengalir begitu deras, sehingga mampu meneropong
wajah perempuan Indonesia. Sebagai contoh, keberhasilan para peneliti perempuan
dalam menguak kehidupan para Gerwani pasca tragedi 1965. Meski sebagian besar
bukan sejarawan[13],
akan tetapi data yang mereka peroleh, mampu menggiring ke arah jalannya
sejarah. Lewat merekalah, wacana penolakan terhadapmakalah adedidikirawan Gerwani sebagai ’mawar
berbisa’, perlahan mencuat. Seketika, organisasi ini menjadi persoalan historis
yang hangat.
Melalui penelitian lisan itulah, segala bentuk
penderitaan Gerwani sebagai ’korban situasi’, terpapar dengan jelas. Prestasi
gemilang juga ditunjukan oleh Reni Nuryanti yang berhasil menguak makalah adedidikirawankekerasan
perempuan di Minangkabau masa pergolakan daerah (1956-1961)[14].
Cerita yang tersembunyi selama puluhan tahun, perlahan terbuka. Posisi
perempuan Minangkabau yang dijunjung tinggi lewat ’tandu’ matrilineal,
terdistorsi akibat kekerasan yang terjadi selama pergolakan.
Ketiga, minoritas
etnis. Cerita pahit-getir kehidupan mereka yang berusaha ’menjadi Indonesia’
secara umum hanya tercacat dalam memori harian. Cerita etnis Tionghoa, Arab,
atau Belanda misalnya, baru terkuak setelahmakalah adedidikirawan dilakukan kajian intensif dalam
bentuk wawancara mendalam. Rustopo[15]
misalnya, berhasil menguak sisi lain kehidupan etnis Tionghoa di Jawa yang
berjuang mencari identitas.
Menyatukan diri dalam dunia Jawa, demikian menurut
Rustopo, membawa konsekuensi yang berat. Pergulatan sejarah, akhirnya membawa
mereka untuk memilih pijakan: ’menjadi Jawa’. Demikian juga dengan etnis Arab.
Penelitian Fatiyah[16], Hilangnya
Komunitas Hadrami di Yogyakarta menunjukan betapa bimbangnya mereka dalam
menentukan makalah adedidikirawanidentitas. Seperti halnya etnis Tionghoa, pergulatan sejarah
akhirnya menggiring mereka untuk menepi: ’menjadi Jawa’.
Kajian-kajian bertema ’masyarakat tanpa sejarah’ seperti
di atas, hanya dapat terkuak secara detil dengan data lisan. Dokumen yang mencatat
kehidupan mereka, begitu minim. Sudah saatnya, ilmu sejarah bangkit dengan
spirit baru. Dengan cara ini, posisi sejarah yang sering makalah adedidikirawandikucilkan dalam
bangunan ilmu sosial, akan bergeser.
Pemahaman bahwa sejarah tidak selalu bergelut dengan
arsip, tetapi juga data lisan, perlu dibangun. Jika konteks ini sudah matang
baik makalah adedidikirawandalam konsep maupun praktik, maka sejarah akan hadir dengan penampilan
khas yang lebih menggigit. Dengan kata lain, sejarah mampu menjadi kritik
sosial dan jalan praktis mengatasi masalah kehidupan.
Penutup
Sejarah lisan membuka peluang baru dalam
penambahan koleksi data sejarah. Arsip dalam bentuk dokumen tidak lagi menjadi
harga mati yang membentuk fakta sejarah. Penelitian lisan dalam bentuk
wawancara mendalam, juga tidak kalah penting untuk menguakmakalah adedidikirawan pengalaman sejarah
yang tidak tertuturkan dalam dokumen.
Data tertulis yang
dihidupkan dengan kajian psikoanalisis, dapat menguak mentalitas masyarakat
dalam merespon zaman. Dengan kekuatan empatis ilmiah, analisa fakta akan
terlihat lebih hidup, sehingga menumbuhsuburkan ruh tulisan. Dengan demikian,
historiografi akan terasa lebih makalah adedidikirawanmanusiawi—menyentuh permasalahan fundamental
manusia. Pendekatan etnografi memungkinkan sejarawan untuk menggali fakta
secara detil, sehingga mampu menerobos kedalaman peristiwa, lewat tuturan
kata-kata.