DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: 05/06/12

Minggu, 06 Mei 2012

BILDERDJIK


 ORAL HISTORY;

MENYAJIKAN ARSIP TERKINI, MENJADIKAN  HISTORIOGRAFI  LEBIH  MANUSIAWI



”Wat verschijne, wat verdwijne,
’t Hangt niet aan een los geval,
In ’t voorleden, ligt het heden,
In het nu wat worden zal!”
(“Apa yang timbul, dan apa yang tenggelam,
Tidak tercerai-berai, melainkan berkesinambungan,
Hari kemarin memangku hari sekarang
Dan hari sekarang menumbuhkan hari depan!”)
(Willem Bilderijk)


            Pernyataan pujangga dan sejarawan Belanda, Willem Bilderijk,  pantas untuk direnungkan. Setiap kejadian memang timbul-tenggelam, tapi tidak berarti diam. Ia mengandung makna yang aktif—menyajikan pelajaran hidup yang  kemudian diterjemahkan dengan nama: hikmah. Apalagi dalam kacamata historis, kejadian itu bersifat tridimensi—past, present, and future.[1]
Kejadian sejarah memuat kesinambungan zaman yang saling mengikat, memposisikan peristiwa sebagai jembatan manusia dalam melangkahkan hidup, menuju muara yang dinamakan: kebijaksanaan. Itulah puncak tertinggi bagi pembelajar sejarah,makalah adedidikirawan demikian kata Ahmad Syafii Ma’arif[2] atau dengan kata lain, kejadian sejarah mempunyai pengaruh yang menentukan (decisive)[3]
Pengungkapan sejarah adalah konskuensi—tugas yang harus dijalankan sejarawan. Mereka tidak sekedar bermain-main dengan data yang ’dikelilingi sangkar’makalah adedidikirawan subjektivitas, tetapi bergelut mencipta kebenaran. Adalah ’dosa’, jika mereka larut dalam kekuasaan, lalu dengan sadar mencipta segudang pembenaran. Semua bisa terjadi, bukankah bagi penguasa sejarah bisa ditemu-ciptakan?
Sejarawan harus berhati-hati. Nurani yang kemudian bicara. Ia harus mengedepankan posisinya: menjadi sejarawan profesional atau istana. Pilihan yang sulit, tetapi harus diambil. makalah adedidikirawanSetiap pilihan punya tanggungjawab. Semua terletak pada cara memilih dan memperlakukan fakta sebagai muara tulisan. Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu ibarat ikan dalam laut. Laut itu menghasilkan garam, tetapi ikan itu sendiri tidak pernah asin.[4] Sejarawan juga  ibarat raja. Apa yang dikatakan, sepanjang berdasarkan fakta, menjadi sabda tak terbantah.
Fakta-fakta sejarah yang beragam, umumnya masih dipusatkan di satu titik: dokumen atau arsip. Sebagian besar sejarawan enggan melirik pada data lisan (oral history). Data ini dianggap tidak valid karena mengandung banyak perdebatan. Bisa jadi, pemahaman inilah yang membuat historiografi Indonesia terkesan hanya ’berdiri makalah adedidikirawandi menara gading’.[5] Sindiran halus sering terlontar, ”Kapankah ilmu sejarah mampu menjadi problem solving?” ”Ilmu bukan lagi untuk ilmu, tetapi jalan praktis mengatasi masalah kehidupan”, demikian kata James P. Spradley.[6]
Sejarah lisan atau James Morison menyebutnya penelitian lisan[7], membuka peluang agar historiografi menjadi lebih manusiawi. makalah adedidikirawanSifatnya yang ’lentur’, memungkinkan sejarawan untuk melihat proses historis secara wajar. Arsip terkadang memenjarakan penulis untuk berkelana mencari jejak fakta. Tidak demikian dengan sejarah lisan. Ruang dialog, baik secara teks maupun konteks, lebih terbuka. Sifat ini dapat membuka muara baru dalam sejarah. Setidaknya, memberi tempat bagi mereka yang tak punya sejarah atau sengaja tidak disejarahkan.[8] Paul Thomson mengatakan bahwa penelitian lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat.[9]


Tutur Sejarah; Membangun Empati Historis
Istilah tutur sejarah antara lain diperkenalkan oleh Ruth Indiah Rahayu. Ruth menggunakannya untuk ’memproduksi’ penulisan sejarah perempuan yang berdimensi makalah adedidikirawanfeminis.[10] Dalam membentuk totalitas sejarah lisan, model ini tidak terbatas untuk perempuan, tetapi juga laki-laki. Keduanya mempunyai tradisi ngrumpi.
Perempuan pada umumnya menyukai tradisi ngumpi untuk melepas beban dari setumpuk pekerjaan rumah tangga. Umumnya mereka berkumpul di sore hari, sambil duduk bersama. makalah adedidikirawanLain halnya dengan laki-laki. Mereka biasanya menggunakan kedai atau angkringan, untuk berceloteh tentang pengalaman hidup. Sambil meneguk teh, kopi, atau jahe anget, mereka tumpahkan segala beban. Itulah meditasi berbalut pengalaman yang bisa direkam menjadi data sejarah, tergantung pada kehilaian peneliti membuka dialog.
Penelitian lisan tidak digali dengan ’kepala kosong’. Segalanya disiapkan dalam kerangka yang matang. Dengan makalah adedidikirawandemikian, informan tidak akan bicara tanpa makna, tetapi diarahkan pada kebutuhan peneliti. Pembicaraan bersifat lentur  karena mendekatkan pada proses. Namun demikian, peneliti tetap menjadi pengendali.
Demikian juga pada pendekatan kultur, kemampuan peneliti ditantang. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya dialog yang alami. Informan tidak merasa diinterogasi, tetapi diajak untuk berkelana mengarungi pulau masa lalu. Pelan tapi pasti, segala persitiwa yang ingin dibidik peneliti, akan terlontar dari informan. Pernyataan secara makalah adedidikirawanalami itulah, yang akan menjadi data baru yang unik, pure, dan berbeda dari penuturan dokumen.
Dalam sejarah lisan, peneliti memang harus membatasi hubungan dengan dokumen. Apabila terjadi, ia hanya akan menjadi penutur sejarah terburuk.[11] Artinya, hanya mengulang  penjelasan yang sudah ada. Penelitian lisan berusaha menghasilkan data yang berbeda, denganmakalah adedidikirawan mendekatkan pada fungsi evaluasi dan refleksi dokumen.
Fungsi tersebut, memungkinkan sejarawan berdialog secara psikologis dengan data. Proses ini akan memunculkan ’empati historis’. Sifat ini perlu ditumbuhkan dalam jiwa sejarawan, untuk membangun logika analisa fakta. Empati bukanlah sebuah ’dosa’, tapi justru cara membuat historiografi menjadi lebih manusiawi.
Sejarah bukan icon kaku tanpa ekspresi. Pergulatan manusia dalam melawan nasib adalah kerja manusiawi yang sarat pergolakan batin dan jiwa. Situasi ini akan hidup jika muncul muatan makalah adedidikirawanpsikologis. Data lisan memungkinkan kerja-kerja psikologis untuk menghidupkan fakta, tanpa mengurangi validitas dan kredibilitasnya. Kekuatan data dapat menunjukan mentalitas informan dalam menghadapi situasi zaman. Secara kolektif menurut Kuntowijoyo, akan memunculkan genre baru: sejarah mentalitas[12].
Di sinilah pentingnya menggali tutur sejarah untuk melihat peristiwa secara arif, tidak kaku, dan bisu. Makna sejarah sulit ditangkap, jika ruh peristiwa tidak muncul. Bukankah yang menarik dalam sejarah bukan peristiwanya—tetapi apa yang ada di balik peristiwa? Di sanalah  bersemayam muara kebijaksanaan (wisdom).

Kemana Sejarah Lisan Dibawa?
Asvi Warman Adam mengatakan bahwa data lisan membuka kesempatan bagi terkuaknya ’sejarah korban’. Ia lebih menitikberatkan kajian tahun 1965, dengan fokus korban pembantaian. Apa yang dituliskan Asvi, hanya satu dari beragam wilayah sejarah yang belum tersentuh. Di Indonesia sendiri, proyek penulisan sejarah lisan sudah dimulai sejak tahun 1972 di bawah koordinasi Jose Rizal Chaniago. Penelitian di bawah naungan ANRImakalah adedidikirawan ini, berfungsi untuk menutup kekurangan arsip 1942-1950. Fokus penelitian diarahkan pada  tokoh-tokoh lokal, sehingga menurut Asvi, proyek ini bisa menjadi embrio sejarah lokal di Indonesia.
  Satu hal yang perlu dicermati adalah, apakah sejarah lisan hanya diperuntukan bagi para elit? Lalu berkaitan dengan dimensi temporal, apakah hanya periode krusial tahun 1965, yang kemudian harus mendapatkan perhatian ekstra setelah makalah adedidikirawanorde baru tumbang? Mengapa tidak mencoba menengok kembali pada tempo sebelumnya, misalnya tahun 1950-an.
Dalam pentas sejarah Indonesia, periode tahun 1950-an dianggap paling panas. Periode yang dipenuhi perlawanan ini, umumnya menghasilkan perubahan masyarakat. makalah adedidikirawanBeragam konflik yang muncul, terutama untuk wilayah di luar pulau Jawa, menunjukan wajah lokal yang buram. Teruta bagi masyarakat bawah yang hanya mengekor— menjadi korban pertama dan utama. Sebuah masa yang penuh pergolakan, tetapi terkadang lepas begitu saja dari bidikan pengarsipan.
Kalaupun dilakukan pengarsipan, hanya menguak pengalaman kaum elit. Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi golongan akar rumput? Pada siapa mereka menyuarakan kegelisahan historis yang dirasakan? Seharusnya sejarawan lebih peka melihat situasi zaman. Apabila kesalahan yang sama diulang—hanya elit yang bicara, selamanya sejarah menjadi kaku dan bisu. Tidak ada proses yang manusiawi.
Hendaknya mulai dibangun kesadaran dengan menggali informasi historis dari kalangan bawah, untuk menghasilkan data sejarah yang lebih kaya. Apa yang dikatakan para elit, terkadang sangat jauh berbeda dari apa yang dilihat dan rasakan kalangan bawah. Bumbu-bumbu politik begitu tampak makalah adedidikirawandalam setiap ucapan. Namun kelompok marginal dalam sejarah, apakah mereka punya tendensi? Mereka hanya menghirup arus, menelan zaman, dan meresapkan kejadian sebagai pelajaran hidup yang pahit.

Izinkan Kaum Marginal Memiliki Sejarah
Kotak pandora bagi kaum marginal mulai terbuka. Suara mereka akan terdengar di antara barisan sejarah. Sejarah lisan sebagai kunci, membuka dengan lebar. Lalu siapa yang dimaksud dengan kaum marginal? Mereka di antaranya adalah ’kaum terjajah’ bernama: buruh, perempuan, dan minoritas etnis.
Pertama buruh. Mereka adalah ’pahlawan ekonomi’ yang jarang tersentuh sejarah. Pergulatan hidup yang mereka rasakan, hanya tertuang dalam ’teriakan’ sosiologis ataupun antropologis. Masalahnya adalah, apakah dengan dua ilmu itu saja sudah cukup mengungkap perjalanan mereka.
Pembahasan sosiologis maupun antropologis, umumnya bertujuan membentuk pola, bukan mencari dan melihat celah perubahan dengan segala bentuknya, sebagaimana dilakukan sejarah. Kekalahan yang melahirkan tragedi atau kemenangan yang melahirkanmakalah adedidikirawan kepahlawanan sebagai proses pergulatan hidup, hampir tidak terdeteksi. Nama ’buruh’ umumnya tercatat sebagai icon pembahasan bercorak gerakan sosial.
Dalam sejarah, kolektivitas bukan jaminan. Bukankah individu juga merupakan agen dalam sejarah? Suara kolektif, belum tentu menjadi gambaran umum pergolakan batin. Karena itulah, deteksi mendalam berbentuk wawancara individu, akan memberi ruang sejarah makalah adedidikirawanyang lebih adil. Tiap individu mempunyai pengalaman berbeda, demikian juga ketika merespon sebuah konflik. 
Kedua, perempuan. Namanya mulai disebut sebagai bagian sejarah tanpa monopoli patriarki, ketika suara-suara berbau feminisme dikumandangkan dengan begitu merdu. Ruth Indiahmakalah adedidikirawan Rahayu misalnya, begitu tajam mengkritik penulisan sejarah perempuan bercorak kebangsawanan, sebagaimana dianut pada masa kolonial. Lewat tutur sejarah perempuan itulah, ’kran sejarah’ yang semula tertutup, perlahan terbuka.
Data mengalir begitu deras, sehingga mampu meneropong wajah perempuan Indonesia. Sebagai contoh, keberhasilan para peneliti perempuan dalam menguak kehidupan para Gerwani pasca tragedi 1965. Meski sebagian besar bukan sejarawan[13], akan tetapi data yang mereka peroleh, mampu menggiring ke arah jalannya sejarah. Lewat merekalah, wacana penolakan terhadapmakalah adedidikirawan Gerwani sebagai ’mawar berbisa’, perlahan mencuat. Seketika, organisasi ini menjadi persoalan historis yang hangat.
Melalui penelitian lisan itulah, segala bentuk penderitaan Gerwani sebagai ’korban situasi’, terpapar dengan jelas. Prestasi gemilang juga ditunjukan oleh Reni Nuryanti yang berhasil menguak makalah adedidikirawankekerasan perempuan di Minangkabau masa pergolakan daerah (1956-1961)[14]. Cerita yang tersembunyi selama puluhan tahun, perlahan terbuka. Posisi perempuan Minangkabau yang dijunjung tinggi lewat ’tandu’ matrilineal, terdistorsi akibat kekerasan yang terjadi selama pergolakan.
            Ketiga, minoritas etnis. Cerita pahit-getir kehidupan mereka yang berusaha ’menjadi Indonesia’ secara umum hanya tercacat dalam memori harian. Cerita etnis Tionghoa, Arab, atau Belanda misalnya, baru terkuak setelahmakalah adedidikirawan dilakukan kajian intensif dalam bentuk wawancara mendalam. Rustopo[15] misalnya, berhasil menguak sisi lain kehidupan etnis Tionghoa di Jawa yang berjuang mencari identitas.
Menyatukan diri dalam dunia Jawa, demikian menurut Rustopo, membawa konsekuensi yang berat. Pergulatan sejarah, akhirnya membawa mereka untuk memilih pijakan: ’menjadi Jawa’. Demikian juga dengan etnis Arab. Penelitian Fatiyah[16], Hilangnya Komunitas Hadrami di Yogyakarta menunjukan betapa bimbangnya mereka dalam menentukan makalah adedidikirawanidentitas. Seperti halnya etnis Tionghoa, pergulatan sejarah akhirnya menggiring mereka untuk menepi: ’menjadi Jawa’.
Kajian-kajian bertema ’masyarakat tanpa sejarah’ seperti di atas, hanya dapat terkuak secara detil dengan data lisan. Dokumen yang mencatat kehidupan mereka, begitu minim. Sudah saatnya, ilmu sejarah bangkit dengan spirit baru. Dengan cara ini, posisi sejarah yang sering makalah adedidikirawandikucilkan dalam bangunan ilmu sosial, akan bergeser.
Pemahaman bahwa sejarah tidak selalu bergelut dengan arsip, tetapi juga data lisan, perlu dibangun. Jika konteks ini sudah matang baik makalah adedidikirawandalam konsep maupun praktik, maka sejarah akan hadir dengan penampilan khas yang lebih menggigit. Dengan kata lain, sejarah mampu menjadi kritik sosial dan jalan praktis mengatasi masalah kehidupan.

Penutup
          Sejarah lisan membuka peluang baru dalam penambahan koleksi data sejarah. Arsip dalam bentuk dokumen tidak lagi menjadi harga mati yang membentuk fakta sejarah. Penelitian lisan dalam bentuk wawancara mendalam, juga tidak kalah penting untuk menguakmakalah adedidikirawan pengalaman sejarah yang tidak tertuturkan dalam dokumen.
            Data tertulis yang dihidupkan dengan kajian psikoanalisis, dapat menguak mentalitas masyarakat dalam merespon zaman. Dengan kekuatan empatis ilmiah, analisa fakta akan terlihat lebih hidup, sehingga menumbuhsuburkan ruh tulisan. Dengan demikian, historiografi akan terasa lebih makalah adedidikirawanmanusiawi—menyentuh permasalahan fundamental manusia. Pendekatan etnografi memungkinkan sejarawan untuk menggali fakta secara detil, sehingga mampu menerobos kedalaman peristiwa, lewat tuturan kata-kata.