DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: 06/06/12

Rabu, 06 Juni 2012

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS ALTERNATIFE DISPUTE RESOLUTION ADR


BABI
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Ini berarti makin banyak sengketa harus diselsaikan.
Membiarkan sengketa dagang terlambat diselsaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, disamping itu peningkatan  kesejahteraan dan kemajuan  sosial kaum pekerja juga terhambat
Kalaupun akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa di antara para pihak yang terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelsaikan sengketa itu dihadapkan pada alternatif
Secara konvensional, penyelsaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelsaian senngketa dimuka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelsaian sengketa bisnis model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-matasebagai jalan terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain diniali tidak membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara penyelsaian seperti itu tidak diterima dunia binis melalui lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.
Di samping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui litigasi sistem peradilan, dalam praktik di Indonesia dikenalkan pula model yang relatif baru. Model ini cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama ADR (alternative dispute resolution) yang diantaranya meliputi negoisasi, mediasi dan arbitrase. Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menutup peluang penyelesaian makalahadedidiikirawan deperkara tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi  penggunaan ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan mepertimbangkan segala bentuk efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.
B.     Identifikasi Masalah
Adapun yang menjadi latar belakang permasalahan makalah ini adalah:
1.      Apa saja yang menjadi bentuk-bentuk prosedur  alternatif penyelesian sengketa di Indonesia dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?
2.      Bagaimana Prosedur tata cara pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?





















   
BAB II
PENYELSAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN MELALUI ADR DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELSAIAN SENGKETA

A.  PENGERTIAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Istilah “alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya – khususnya dalam sengketa bisnis – akan menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Bahkan terkadang makalahadedidiikirawankeduanya saling berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan.[1]
 Beberapa pendapat mengenai APS atau Alternative Dispute Resolution (ADR) antara lain:[2]
·          APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain.
·          APS adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. APS di sini hanya terbatas pada teknik makalahadedidiikirawanpenyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya negosiasi,mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya.
·          APS adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan sebagainya.
Teknik atau prosedur teknis APS di luar pengadilan yang sudah lazim dilakukan adalah: negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling dikenal dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi, mediasi, dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak sadar masyarakat Indonesia telah menerapkan mekanisme APS, yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas musyawarah untuk makalahadedidiikirawanmufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia.
Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara ( di Mahkamah Agung ) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah berpolitik, persengkokolan (KKN), dan tuduhan bahwa mereka bobrok atau rusak.
                                                    
1. Mekanisme penyelsaian nonlitigasi
Penyelesaian sengketa non litigasi dapat dilakukan dengan cara :[3]
a.        adjudikasi/adversarial/litigasi
ciri-cirinya : para pihak berhadap-hadapan untuk saling mengalahkan, diadakan di pengadilan, hasilnya berupa putusan.
b.      Non adjudikasi/non litigasi Ciri utamanya keputusanya berupa kesepakatan /agreement.
Cara penyelesaian sengketa alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :

a. Arbitrase
arbitrase penyelesaian pertentangan oleh pihak ketiga yang dipilah oleh kedua belah pihak. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:[4]

”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum
makalahadedidiikirawandan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut
makalahadedidiikirawanakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
1)      Pengaturan Mengenai Arbitrase
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
a)     Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
b)    Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum undang-undang  Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang makalahadedidiikirawanPokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetapdiperbolehkan.
2)      Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa makalahadedidiikirawansebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Buiten Govesten  (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetapmakalahadedidiikirawan diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
3)      Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yangmakalahadedidiikirawan menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketamakalahadedidiikirawan yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
4)      Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh makalahadedidiikirawanbadan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
5) Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
a)   kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
b)   keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
c)   para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki makalahadedidiikirawanlatar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
d)   para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ;
e)   para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
f)    putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun makalahadedidiikirawaninternasional sudah cukup jelas.
6) Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan
a) Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga makalahadedidiikirawanarbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu makalahadedidiikirawanpendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
b) Pelaksanaan Putusan Arbitrase
 (1) Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke makalahadedidiikirawanpanitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan makalahadedidiikirawanarbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat makalahadedidiikirawanmenolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
(2) Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New makalahadedidiikirawanYork ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
c)   Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya
Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak makalahadedidiikirawandan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement.
Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus berikut :
Kasus I:
Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan makalahadedidiikirawanMayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.
Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan makalahadedidiikirawantidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer.
Kasus II:
Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676, Arrest “Artis de Laboureur”(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang-Undang Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan makalahadedidiikirawan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah makalahadedidiikirawandengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkaraini.

Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang makalahadedidiikirawansantunan ganti – rugi sampai sejumlah uang tertentu.
Pihak Asuransi naik banding Hof Amsterdam dalam keputusannya telah mempertimbangkan :Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis,  para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang makalahadedidiikirawandikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan makalahadedidiikirawanmana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.
Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar,  :………“ bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “ atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya makalahadedidiikirawanmembatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.

Catatan :
 Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakahmakalahadedidiikirawan maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif. Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan makalahadedidiikirawandan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai.
Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya makalahadedidiikirawanagar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, makalahadedidiikirawanyaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.
Kasus III:
Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum makalahadedidiikirawanoleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.
Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut :
(1) putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untukmakalahadedidiikirawan mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
(2)  putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau
(3)  jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.
Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist de Labourer.
Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan makalahadedidiikirawanmelawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
b.Konsiliasi
Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.

 Penyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan
makalahadedidiikirawan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka.

c. Negoisasi
Negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, yangmakalahadedidiikirawan tidak berwenang mengambil keputusan mediasi maupun pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi).[5]



1)    Teknik Negoisasi
Secara umum terdapat beberapa cara teknik negoisasi yang dikenal dapat dibagi kedalam:[6]
a)   tahap negoisasi kompetitip
b)   tahap negoisasi koperatif
c)   tahap negoisasi lunak dan keras
d)  tahap negoisasi interest based

a)   Teknik Negoisasi Kompetitif
Teknik negoisasi kompetitif diistilahkan sebagai negoisasi bersifat alot, yang menjadi unsur-unsur negoisator kompetitif adalah sebagai berikut:[7]
1)   mengajukan permintaan awal yang tinggi di awal negoisasi.
2)   Menjaga tuntutan agar tetap tinggi sepanjang proses negoisasi dilangsungkan
3)   Secara psikologis, perunding menggunakan teknik ini menganggap perunding lain sebagai musuh atau lawan.
4)   Menggunakan cara yang berlebihan dan melemparkan tuduhan-tuduhan dengan tujuan menciptakan ketegangan dan tekanan terhadap pihak lawan
Penggunaan negoisator tidak memiliki data-data yang baikmakalahadedidiikirawan dan akurat pada dirinya.
b)  Teknik Negoisasi Kooperatif
Teknik negoisasi kooperatif sebagai kebalikan dari teknik kompetitif yang menganggap pihak negoisator lawan bukan sebagai musuh, tapi sebagai mitra kerja. Para pihak berkomunikasi satu sama lain untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama, kerja sama hal yang dituju oleh seorang negoisator penyelesaian sengketa makalahadedidiikirawanyang adil berdasarkan analisis yang objektif, dan atas fakta hukum yang jelas.[8]
c)   Teknik Negoisasi lunak dan keras
Teknik negoisasi lunak menempatkan akan pentingnya hubungan baik antar para pihak. Teknik ini menekankan pada corak negoisasi mengandung risiko lahirnya kesepakatan yang bersifat semu serta menghasilkan pola menang kalah. Penggunaan teknik ini menang kalah perunding lunak menghadapi seseorang yang menggunakan teknik keras. Perunding keras dalam menghadapi perunding-perunding lunak sangat bersifat dominan. Perunding keras disatu pihak akan berusaha memberikanmakalahadedidiikirawan konsensi dan menggunakan ancaman. Di pihak lain, perunding lunak akan memberikan konsesi untuk sekedar mencegah konfrontasi,dan bersikeras untuk mencapai kesepakatan. Apabila keadaan demikian, proses negoisasi akan menguntungkan pihak perunding yang bersifat keras serta menghasilkan kesepakatan yang berpola menang-kalah.[9]

Soft (Lunak)
Hard (Keras)
·         Negoisator adalah teman
·         Tujuan perundingan adalah kesepakatan
·         Memberi konsesi untuk menjaga hubungan baik
·         Mempercayai perunding lawan
·         Mudah mengubah posisi
·         Mengemukakan tawaran
·         Mengalah untuk mencapai kesepakataan
·         Mencari satu jawaban: Suatu yang dapat diterima secara menyenangkan oleh pihak lawan
·         Bersikeras terhadap perlunya kesepakatan
·         Mencegah untuk berlomba kehendak
·         Menerima untuk ditekan
·         Negoisator dipandang sebagai musuh/lawan
·         Tujuan untuk kemenangan
·         Menuntut konsesi sebagai prasyarat dari pembinaan hubungan
·         Keras terhadap orang maupun masalah
·         Tidak percaya perunding lawan memperkuat posisi
·         Membuat ancaman
·         Menutut perolehan sepihak sebagai harga
·         Mencari satu jawaban: suatu harus diterima perunding lawan
·         Birsekeras terhadap posisi
·         Sedapat mungkin memenangkan kenginan
·         Menerapkan tekanan
               
d)   Teknik negoisasi Interest based
Sebagai tanggapan atas kategori keras-lunak, Harvard Project mengembangkan teknik yang disebut interest based negotitaion  atau principled negoatiation. Teknik ini merupakan jalan tengah yang ditawarkan atas pertentangan teknik keras lunak. Teknik ini dipilih karena pemilihan salah satu dari teknik keras berpotensi menemui kebuntutan (deadlock) dalam negoisasi, terlebih apabila perunding keras akan bertemu dengan sesama perunding yang juga bersifat keras sedangkan perunding lunak berpotensi sebaagai pecundang (loser). Potensi risiko lain adalah kesepakatan yang dicapai (bila ada) bersifat semu, sehingga sangat mungkin salah satu pihak dikemudian makalahadedidiikirawanhari menyadari akan ketidakwajaaran dalam proses negoisasi dan tidak mau melaksanakan perjanjian yang telah disepakati.[10]
Teknik negoisasi interest based memiliki empat komponen dasar yaitu orang, kepentingan, solusi, kriteria objek, yang diuraikan sebagai berikut:[11]
(1) komponen orang, dibagi: (a) pisahkan antara oraang dengan masalah (b) konsentrasi serangan pada masalah bukan orangnya ; (c) para pihak harus menempatkan diri sebagai mitra kerja.
(2) Komponen kepentingan memfokuskan pada kepentingan mempertahankan posisi
(3) Komponen opsi bermaksud: (a) memperbesar bagian sebelum dibagi dengan memperbanyak pilihan-pilihan kesepakatan/solusimakalahadedidiikirawan yang mencerminkan kepentingan bersama ;(b) jangan terpaku pada satu jawaban (c) hindari pola pikir bahwa pemecahan problem mereka adalah urusan mereka.
(4) Komponen kriteria: (a) menyepakati kriteria, standar objektif indpenden bagi pemacahan masalah (b) bernilai pasar (market value) (c) standar profesi (d) bersandar pada hukum, (e) kebiasaan dalam masyarakat.
2) Tahap-tahap dalam Proses Negoisasi
Howard Raiffa dalam pengamatannya, membagi tahap-tahap negoisasi menjadi:[12]
a)   tahap persiapan
b)   tahap tawaran awal
c)   tahap pemberian konsesi
d)  tahap akhir permainan
a) tahap Persiapan
Dalam mempersiapkan perundingan hal pertama dipersiapkan adalah apa yang kita butuhkan/inginkan. Dengan kata lain, kenali dulu kepentingan kita sebelum mengenali kepentingan orang lain. Tahap ini sering diistilahkan know yourself. Hal kedua adalah know your advirsaries dan perlu memperkirakan tetang kepentingan danmakalahadedidiikirawan kebutuhan alternatif mereka/orang lain. Selanjutnya adalah merencanakan hal yang berkaitan dengan negoisasi seperti halnya setrategi tentang seberapa terbukanya informasi yang harus dapat kita berikan, seberapa jauh mempercayai perunding lawan. Tahapan perrsiapan harus menentukan hal-hal yanng bersifat logistik seperti siapa yang hharus bertindak sebagai perunding.
b)  Tahap Tawaran Awal
Tahap  ini, biasanya seorang perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang berrkaitan dengan terlebih dahulu mmenyiapkan tawaran. Apabila kita menyampaikan tawaran awal, dan perunding lawan tidak siap, terdapat kemungkinan tawaran  pembuka untuk kedua belah pihak yangmakalahadedidiikirawan dapat mempengaruhi persepsi dari perunding lawan
Tahap ini disarankan agar mengunci diri dan merasa buntu terhadap tawaran perunding lawan yang sifatnya eksterm. Strategi yang baik bila terdapat tawaran eksterm adalah menghentikan negoisasi sampai mereka memodifikasi tawaran atau segera melakukankontra tawaran dengan mengajukan tawaran yang dimiliki. Apabila dua tawaran yang dimajukan perundingan biasanya midmakalahadedidiikirawan point (titik diantara dua tawaranan) merupakan solusi atau kesepakatan perundingan.
c) Tahap Pemberian Konsensi
Seberapa besar konsensi yang harus dikemukakan tergantung pada konteks negoisasi dan tergantung konsesi yang diberikan dari perundingan lawan. Tahap ini seorang perunding harus dengan tepat melakukan kalkulasi tentang agresivitas serta manipulatif setiap tindakan dan bersikap. Agresivitas akan sangat tergantung dari makalahadedidiikirawan berbagai faktor seperti menjaga hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap kebutuhan lawan, kejujuran. Yang lebih penting, bagaimana negosiator memainkan peran konsesi dan menjaga agar penawaran sampai pada tingkat yang diinginkan.

e)   Tahap akhir penyelesaian
Tahap akhir  ini meliputi pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.
3)Prasyarat negoisasi yang efektif
Negoisasi dapat berlangsung secara efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi yang mempengaruhinya diantaranya sebagai berikut:[13]
a)        Pihak-pihak bersedia secara sukarela bernegoisasi makalahadedidiikirawansecara sukarela berdasarkan kesadaran penuh
b)        Pihak-pihak siap melakukan negoisasi
c)        Mempunyai wewenang mengambil keputusan
d)       Memiiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan.
e)        Mempunyai kemuan menyelsaikan masalah
4)Berbagai kendala utama negoisasi dalam pemecahan masalah bersama
Wiliam Ury dan Roger Fisher mengedepankan pling tidak lima kendala utama, menuju kerja sama yang sering dihadapi para perunding, serta cara mengatasinya, sebagimakalahadedidiikirawan berikut:[14]
a)   Reaksi para pihak
Apabila keadaan salah satu pihak tertekan, secara manusiawi terdapat kecenderungan berreaksi emosional/membalas serangan. Siklus aksi-reaksi ini cenderung para pihak tidak mendapatkan apa-apa. Untuk mencegah siklus aksi-reaksi ini, memiliki kekuatan untuk mematahkan siklus tersebut setiap waktu dengan kekuatan diri sendiri. Tidak melakukan reaksi dapat dilakukan dengan cara yang diformulasikan dengan metafor go to the balcony- untuk sikap mental terhadap pemisahan antara diri sendiri dengan emosi, go to the balcony menyarankan, bila terdapat siklusmakalahadedidiikirawan aksi reaksi maka harus seolah-olah atau membayangkan keluar dari panggung negoisasi yang ada dibawahnya. Diatas balkon kita secara jernih dapat mengevaluasi sengketa seperti halnya pihak ketiga netral.
b)   Emosi Mereka
Kendala ini terletak pada pihak lawan, yaitu emosi yaitu bersifat negatif. Dibalik sikap mereka yang tidak koperatif dan sikap bertahan pada posisi dapat dilatarbelakangi oleh sikap marah, takut dan curiga, dan seringkali untuk mendengar kita saja mereka menolak. Prinsip mereka ini didasarkan pada asumsi bahwamakalahadedidiikirawan dunia hrus dilihat konteksnya “memakan atau dimakan”, sehingga mereka merasa perlu menggunakan taktik yang tidak bersahabat.
Sebelum melakukan negoisasi, perlu menciptakan atmosfir yang bersahabat. Kita butuh menetralisir kemarahan, khekawatiran, kecurigaan serta ketidak percayaan dari pihak lawan dengan cara bertindaak sebaliknya. Dengan kata lain jangan makalahadedidiikirawanmelakukan “kontra serangan”. Dengarkan mereka pahami dan formulasikan kembali poin-poin yang mereka kemukakan singkatnya, cara mengatasi emosi mereka adalah dengan cara jangan berrargumentasi dan dilakukan taktik step to their side.

c)   Posisi mereka
Apabila pihak lawan bersikukuh pada posisinya, seringkali tergoda untuk serta merta menolak posisi mereka. Akan tetapi sikap demikian dapat mengakibatkan pihak lawan lebih dalam lagi mempertahankan posisinya. Jalan keluarnya, pahami apa yang mereka kemukakan dan atasi persoalan dengan cara  menjebak terhadap apa yang telah dikemukakan oleh mereka dengan cara makalahadedidiikirawanmengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pemecahan masalah, seperti mengapa anda menginginkan atau bertahan pada posisi tersebut, atau apa yang kalian lakukan apabila kalian dalam posisi seperrti saya
d)  Ketidakpuasan mereka
Tujuan dari kepentingan dengan model pemecahan masalah bersama tidak hanya bertujuan mencapai kesepakatan, akan tetapi kesepakatan yang memenuhi kepuasan bersama. Akan tetapi sering kali pihak lawan tidak tertarik terhadap kesepakatan ini. Pihak lawan seringkali melihat kemanfaatan dari kesepakatan tersebut, dan gagasan kesepakatan dari kita sering kali ditolak pihak lawan, karena smakalahadedidiikirawanemata-mata gagasannya bukan berasal dari mereka.
Apabila pihak lawan belum yakin akan kemanfaatan dari kesepaktan, jangan paksakan dan bertahan pada argumen kita. Paksaan akan mengakibatkan tingkat resistensi mereka semakin tinggi. Perlakukan diri kita sebagai penengah yang memudahkan mereka berkata ya. Libatkan mereka dalam proses dan inkorporasikan gagasan mereka dengan gagasan kita. Terdapat dua hal penting untuk mengatasi ketidakpuasan mereka :
(1) Identifikasi dan penuhi kepentingan dan kebutuhan mereka, terutama kebutuhan dasar mereka sebagai manusia. Kebutuhan dasar manusia tercermin dalam teori segitiga kepuasan yang terdiri dari kebutuhan substantif, psikologis, dan prosedural)
(2) Bantu selamatkan muka pihak lawan dan ciptakan hasil yang juga dapat mencerminkan keberhasilanmakalahadedidiikirawan dan kemenangan mereka strategi ini disebut dengan alternatif terhadap upaya memaksa lawan untuk sampai pada ksepakatan.
e)   Kekuatan mereka
Sering kali pihak lawan melihat negoisasi sebagai suatu proses yang bertujuan menciptakan win lose, sehingga mereka berkepentingan mengalahkan kita. Seringkali perundingan demikian berprinsip what’s mine is minemakalahadedidiikirawan what’s your negotiable. Dengan kata lain, perunding keras semacam itu berprinsip apabila mereka bisa mendapatkan yang diinginkan dengan power plays.
Apabila pihak lawan bertahan dan berpikir bahwa tanpa negoisasipun ia dapat menang, sebaiknya mendidik mereka. Caranya adalah dengan meyakinkan mereka bahwa (costs) yang dipikul mereka apabila tidak tercapai kesepaktan adalah lebih besar, makalahadedidiikirawandibandingkan apabila para pihak berhasil mencapai kesepakatan.





Perbandingan Teknik Negoisasi Lunak-Keras-Interest Based
Soft (lunak)
Hard (Keras)
Interest Based
Perunding adalah teman
Perunding dipandang sebagai musuh
Perunding adalah pemecah masalah
Tujuan kesepaktan
Tujuan semata mencapai kemenangan
Tujuan untuk mencapai hasil bijaksana
Memberi konsesi untuk membina hubungan
Menutut konsesi sebagai prasyarat
Pisahkan orang dengan masalah
Percaya pada perunding lawan
Tidak terpercaya
Kepercayaan dibangun berdasarkan situasi dan kondisi
Mudah untuk merubah posisi
Memperkuat posisi
Fokus pada kepentingan
Mengemukakan tawaran
Membuat ancaman
Menelusuri kepentingan
Mengalah untuk kesepakatan
Perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan
Hasil sedapat mungkin diterima para pihak
Mencari satu jawaban sesuatu yang menyenangkan lawan
Mencari satu jawaban suatu harus diterima perunding lawan
Mengembangkan pilihan dahulu, sebelum memutuskan
Bersikeras atas perlunya kesepakatan
Bersikeras atas posisi
Bersikukuh pada kriteria objektif
Mencegah
Memenangkan perlombaan
Mencapai kesepakatan/ atau keinginan bersama
Menerima untuk ditekan
Menerapkan tekanan
Argumentasi dan alasan terhadap lawan
                      

d. Lembaga Mediasi
 1) Dasar Hukum Keberadaan Lembaga Mediasi
Penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tanggal 11 September 2003. Latar belakang diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung ini dijelaskan dalam pertimbangan (konsiderans) pada butir b bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih  cepat dan murah, serta dapat memberikanmakalahadedidiikirawan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Jauh sebelum diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan Lembaga damai. Namun, surat Edaran tersebut oleh Mahkamah Agung dianggap belum lengkap sehingga perlu disempurnakan.[15]
2) Beberapa Pengertian Istilah dalam Lembaga Mediasi
a) Mediasi
hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 sebagai berikut:[16]
“Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu mediator.”
b) Mediator
hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 5:[17]
“mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”.
c) Para pihak
hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7:[18]
“para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh penyelesaian.”
3) Sengketa Perdata di Pengadilan Diawali dengan proses Mediasi
Pasal 2 Ayat 1 disebutkan:
“Semua perkara perdata  yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselsaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.”     

Selanjutnya, dalam Pasal 8 disebutkan:
“Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan foto kopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa makalahadedidiikirawankepada mediator dan para pihak.
Pasal 11 dijelaskan:
(1)jika mediasi menghasilkan kesepaktan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepaktan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.
(2)Kesepakatan wajib makalahadedidiikirawanmemuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
(3)Sebelum para pihak menandatangani kesepaktan, mediator wajib memeriksa materi kesepaktan yang bertentangan dengan hukum.
(4)Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya ksepakatan.
(5)Hakim dapat mengukuhkan kesepaktan sebagai suatu akta perdamaian.
4) Peran dan Fungsi Mediator
Raifa melihat peran mediator sebagai sebuah garis rentang, yakni dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi makalahadedidiikirawanperan terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan perannya, yakni:[19]
a)   penyeleanggara pertemuan
b)   pemimpin diskusi netral
c)   pemilihara atau penjaga atau perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab
d)  pengendali emosi para pihak
e)   pendorong pihak/perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya.
Sisi peran yang kuat oleh mediator bila dalam perundingan mengerjakan/melakukan hal-hal diantaranya:[20]
a)   mempersiapkan dan membuat notulen perundingan
b)   merumuskan titik temu/kesepakatan para pihak;
c)   membantu para pihak agar menyadari, bahwa sengketa bukan makalahadedidiikirawansebuah pertarungan untuk dimenangkan, tapi diselsaikan.
d)  Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah
e)   Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
Fuller dalam (Riskin dan Westbrook) menyebutkan 7 fungsi mediator yakni sebagai catalyst, educator, translator, resource person, bearer of bad news, agent of reality, dan scapegoat[21]
a)   sebagai “katalisator” mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
b)   Sebagai “pendidik” berarti seseorang berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
c)   Sebagai “penerjemah” berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang  baik didengar oleh pihak lainnya,makalahadedidiikirawan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
d)  Sebagai “narasumber”,berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
e)   Sebagai penyandang “berita jelek”. Berarti seorang mediator harus menyadari, bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak makalahadedidiikirawanuntuk menampung berbagai usulan.
f)    Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara terang kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal untuk dicapai melalui perundingan.
g)   Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perunddingan.
5) Tipologi Mediator
Moore membedakan mediaator ke dalam tiga tipologi, yakni:[22]
a)   Social network mediators
b)   Authoritative mediators
c)   Independent mediators

a)   Social network mediators
Tipologi pertama ini menjalankan peran sebagai mediator dalam sebuah sengketa atas dasar adanya hubungan sosial antara mediator dengan para pihak. Misalnya, bila terjadi sengketa antar rekan sekerja, teman usaha, juga mediator berasal dari tokoh makalahadedidiikirawanagama termasuk dalam tipologi ini.[23]
b)   Authoritative mediators
Tipologi kedua diperuntukan untuk mereka-mereka yang berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka, tetapi mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat, sehingga mereka memiliki potensial atau makalahadedidiikirawankapasitas untuk mempengaruhi hasiil akhir dari sebuah proses mediasi.[24]
Akan tetapi, mediator authoritative ini selama ia menjalankan perannya tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya itu, karena didasarkan pada keyakinan atau pandangan bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku pihak yang berpengaruh, tetapi makalahadedidiikirawanharus dihasilkan oleh upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri.[25]
Authoritative mediator  ini dapat dibagi dalam tiga tipe, yakni:[26]
(1) Benovalent mediators
(2) Administrative managerial mediator, dan
(3) Vested interest mediators
Tipe benovalent mediators mempunyai ciri, yaitu:[27]
(1) Dapat memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan para pihak
(2) Mencari penyelesaian yang baik bagi pihak
(3) Tidak berpihak dalam hal  substantif; dan
(4) Mungkin memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepaktan


Tipe Administrative managerial mediator mempunyai ciri, yaitu:[28]
(1) Memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak sebelum dan sesudah sengketa berakhir.