DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: 09/10/16

Sabtu, 10 September 2016

LIMA ARGUMEN FILSAFAT HUKUM


A.     Argumen Pertama: Filsafat hukum adalah filsafat. Karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum.
Penjelasan :
1.      Filsafat adalah refleksi tentang landasan dari kenyataan. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fiskal, partikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia tidak hanya mempertanyakan mengapa dan bagaimana nya hejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan. Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan terlalu lekas puas dengan suatu jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional. Filsafat adalah kegiatan berpikir, artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan dogmatika.
2.      Kepercayaan adalah suatu bentuk kepastian yang langsung. Kebenaran (ketetapan, keabsahan, keberlakuan) suatu pendirian diterima begitu saja, tanpa argumentasi yang berarti. Pada umumnya orang penerima suatu pendirian sebagai benar atas dasar kewibawaan seorang lain. Hal ini dapat berarti bahwa orang mempercayai argumentasi rasional dari seorang ahlli atau pakar yang memiliki kewibawaan seorang lain. Hal ini dapat berarti bahwa orang mempercayai argumentasi rasional dari seorang ahli atau pakar yang memiliki kewibawaan (otoritas) itu artinya menerima begitu saja. Dapat saja diajukan argumen-argumen rasional untuk mempercayai (memeluk kepercayaan tertentu). Juga kepercayaan keagamaan sebagai suatu tindakan spesifik dapat diberikan landasan kefilsafatan. Walaupun demikian, kepercayaan adalah sesuatu yang lain sekali dibandingkan dengan filsafat dan ilmu. Filsafat tidak mungkin tanpa suatu argumentasi rasional, dan jilka tiba saatnya untuk itu ia tidak pernah menerima sesuatu, semata-mata atas dasar kewibawaan orang lain. Tiap kepastian kefilsafatan secara substansial harus diungkapkan (dibuktikan secara rasional). Filsafat akan menjadi bersifat dogmatik jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan kepada pemahaman yang sekali telah diperoleh. Filsafat dogmatik secara partikal akan menyebabkan kekakuan (ketiadaan toleransi) hal itu akan mengganggu keterbukaan hakiki  dari komunikasi manusiawi. Lebih jauh filsafat akan terdorong menjadi irasional, yang berarti bahwa emosionalitas akan memainkan peranan tanpa kendali atau secara tidak seimbang (tidak proporsional). Seringkali dogmatika secara pratikal berarti perwujudan kekuasaan yang murni. Jika argumentasi rasional yang terbuka tidak lagi berperan sebagai batu ujian terakhir bagi filsafat, maka suautu diskusi filosofikal yang sejati akan sangat dibahayakan.
3.      Filsafat harus memenuhi syarat rasionalitas ini berarti dua. Pertama, penalaran-penalaran kefilsafatan harus sah secara logikal, artinya memenuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh logika. Kedua, pemilihan premis-premis dan formulasi kesimpulan harus mempertahankkan suatu struktur terbuka artinya, selalu terbuka bagi suatu bantahan rasional dalam dialogia intersubjektif. Intersubjektivitas adalah suasana yang didalamnya kebenaran dapat dan harus ditemukan. Namun penitipberatkan pada rasionalitas kefilsafatan ini bukanlah rasionalisme. Artinya, hubungan yang eart antara rasio dan emosi tidak disangkal. Perasaan dan rasio tidak lagi boleh dipertentangkan. Emosionalitas memiliki logikanya sendiri dan tak diragukan memiliki momen-momen kognitif. Dilain pihak, momen –momen emosional memainkan peranan besar pada argumentasi, upaya untuk mnyakinkan dan retrorika. Namun filsafat tentang emosi masih sedikit. Upaya permulaan kita temukan pada Max Schaler. Filsafat yang rasional tidak boleh mengabaikan emosionalitas. Cara bagaimana saling berhubungan antara rasio dan perasaan harus dipikirkan dan bentuk yang ke dalamnya realisasi hubungan ini harus dilakuakn masih merupakan suatu masalah kefilsafatanyang terbuka, yang termasuk ke dalam tataran kelas satu.
4.      Filsafat adalah refleksi sistematikal terhadap landasan (dasar-dasar) dari kenyataan. Untuk dapat memahami kenyataan, filsafat mencoba menelusuri asas-asas yang menjadi landasan dari kenyataan itu. Kegiatan berfilsafat ini tidak selalu bertolak dari presfektif yang sama, terdapat banyak aliran kefilsafatan. Pluriformitas ini di dalam filsafat berkaitan dengan berbagai faktor. Sangat penting adalah situasi historikal yang berubah-ubah. Pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan dalam suatu periode tidaklah sama dengan yang dipermasalahkan pada periode lain. Masalh-masalah yang dihadapkan pada pemikiran manusia berbeda menurut waktu dan tempat. Berarti bahwa motivasi untuk berfilsafat dan khususnya untuk berfilsafat dari suatu sudut spesifik, selalu berubah-ubah. Dari sudut motif-motif, jadi dari sudut zaman filsafat warna dan gaya suatu filsafat dapat dimengerti. Pemikiran Plato, Thomas Aquinas atau Marx sangat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Situasi historikal dapat banyak menjelaskan perbedan-perbedan itu. Jadi filsafat menurut hakikatnya bersifat historikal. Pemahaman ini tidak boleh membawa kesuatu historisme atau relativisme, artinya sampai pada kesimpulan bahwa semua pendirian kefilsafatan adalah sama bahwa filsafat yang satu tidak lebih berharga dari yang lainnya, bahwa kebenaran itu bagaimana pun tidak dapat diketahui, dan seterusnya. Sebab jika demikian maka akan lupa bahwa setiap filsafat berpretensi menyatakan dengan salah satu bentuk keberlakuan secara umum. Ini berlaku juga bagi kaum relativis sendiri. Setiap filsuf memiliki pretensi bahwa ia telah merumuskan suatu keyakinan (pendirian) yang juga bagi orang lain meyaknikan bahwa dengan demikian juga hrus diterima oleh orang lain. Justru sehubungan dengan pretensi itu ia merumuskan argumen-argumen, ia memberikan dasar-dasar dan alasan-alasan untuk pendiriannya dan ia mengharapkan, dalam suautu diskusi terbuka dengan orang lain, telah mengungkapkan kebenaran. Tanpa pretensi universelitas ini, maka kegiatan berfilsafat tidak memiliki makna.tanpa pretensi itu maka setiap argumentasi rasional akan kehilangan landasanya. Karena itu, historisitas dari filsafat bukanlah relativisme. Ia hanya berarti bahwa sejarah filsafat adalah esensial untuk filsafat. Mungkin saja situasi-situasi historikal (dan motif-motif) berbeda-beda, namun cita-cita universelitas yang dimaksud bersifat umum, artinya cita-cita universelitas itu mengatasi (mentransendensi) waktu; kemampuan refleksi dan berpikir adalah ciri khas semua manusia pada setiap waktu. Itu sebabnya pemikiran Plato dan Aristoteles bagi kita masih berpengaruh (masih merupakan unsur yang membangun), ia melatih pikiran kita dan mungkin memberikan kepada kita suatu wawasan (VISI) terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang dapat kita olah dalam suatu filsafat modern. Filsafat tanpa sejarah filsafat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga arogan (jurnawa). Bukanlah kita dapat berpretensi bahwa kita sendiri akan dapat melakukan semua itu tanpa dapat mengetahui suatu kemungkinan keberlakuan secara umum yang dilihat oleh filsuf lain. Kita juga melihat bahwa tidak ada filsuf besar yang mengabaikan studi sejarah filsafatsecara mendasar.
5.      Filsafat merefleksi berbagai masalah dan persoalan. Dalam perjalanan sejarah, beberapa tema pokok telah mencapai kristalisasi, misalnya tentang hakikat hal ada (metafisika), struktur pengetahuan (teori pengetahuan, epistemologi), bentuk-bentuk berpikir yang sah (logika), penilaian perilaku sebagai baik atau buruk(etika) hakikat keindahan (estetika). Berbagai bagian dari filsafat yang disebut tadi telah berkembang menjadi kurang lebih spesialisasi yang mandiri dalam lingkungan filsafat. Contoh lalin adalah filsafat ilmu dan filsafat hukum. Namun bahaya dari pemandirian ini adalah bahwa hubungan dengan filsafat dalam keumumannya dan disiplin-disiplin filsafat lainnya akan dapat terputus. Epistemologi dan etika tidak dapat diabstraksi (dipisahkan) misalnya dari metafisika dan filsafat hukum. Pengembanan suatu bagian dari filsafat tanpa melibatkan keterkaitannya pada keseluruhan akan membawa pada kesepihakan dan kecenderunganuntuk berlebihan. Kita mengenal contoh-contoh yang demikian dalam filsafat ilmu dan filsafat hukum. Tiap bagian dan bentuk dari filsafat tetap merupakan filsafatdan memiliki ciri-ciri dari filsafat sebagai keseluruhan hal ini berlaku juga untuk filsafat hukum. Filsafat hukum adalah bentuk kegiatan berfilsafat yang khusus memusatkan perhatiannya pada gejala hukum. Sudah dari sejak permulaan, pemikiran filsafat hukum ini telah berlangsung dalam kerangka suatu orientasi kefilsafatan umum (Plato Aristoteles). Ini berarti bahwa keseluruhan kerangka pengertian-pengertian kefilsafatan dan sejarah filsafat dalam totalitasnya juga relevan untuk filsafat hukum. Tanpa filsafat tidak ada filsafat hukum.

B.     Argumen Kedua: Terdapat tiga tataran abstraksi refleksi teoritikal atas gejala hukum, yakni ilmu hukum teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal dan pengembanan hukum praktikal.

Penjelasan :
1.      Dalam arti pragmatikal yang murni, maka ilmu hukum adalah bentuk pengembanan hukum teoritikal yang paling penting. Kebanyakan para yuris menyibukan diri dengan ilmu hukum itu pada masa kini kita mengenal lima bentuk hukum:
a.      Ilmu hukum dogmatik (atau:dogmatik hukum). Ilmu ini terarah pada kegiatan memaparkan, menganalisis mensistematisasi dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku. Kita menemukannya dalam buku-buku teks, monografi-monografi, artikel-artikel dalam jurnal-jurnal hukum dan terutama dalam anotasi-anotasi pada putusan hakim. Jenis ilmu hukum ini yang terutama diajarkan pada fakultas-fakultas hukum. Pendidikan hukum diarahkan untuk mengajarkan keahlian hukum kepada para mahasiswa agar mereka dapat mengemban hukum di dalam praktek secara bertanggung jawab. Ilmu hukum dogmatik adalah bentuk pengembanan hukum teoritikal yang benar-benar praktikal, artinya relevan untuk pembentukan hukum dan penemuan hukum (dalil ketiga). Pandangan-pandangan yang berpengaruh dalam kepustakaan hukum sering secara langsung menentukan, dalam arti apakah hukum diterapkan dalam praktek hukum. Ajaran yang berpengaruh dalam banyak hal dipandang sebagai sumber hukum. Tidaklah tepat setidak-tidaknya sejauh yang menyangkut ilmu hukum dogmatik untuk memisahkan secara tajam antara ilmu dan praktek. Hal ini memaparkan (het beshrijven) dalam ilmu dan hal mewajibkan (het voorschrijven) di dalam praktek berjalan saling berimpitan (Paul Scholten dalam Algemeen Deel)
b.      Sejarah hukum,  adalah bentuk ilmu hukum yang mempelajari gejala-gejala hukum dari masa lampau (artinya hukum positif yang dahulu berlaku). Ia mencoba memaparkan dan menjelaskan agar dapat dipahami hukum positif yang berlaku di masa lampau itu. Mengenai objek dan metodenya kurang lebih sama dengan apa yang berlaku dalam ilmu sejarah pada umumnya. Pertentangan antara penjelasan kausal (dari ilmu-ilmu alam, Naturwissenschften)  dan pemahaman yang mengindividualisasi (dari Geisteswissenshaften atau ilmu-ilmu kerohanian) tentang gejala-gejala, berlaku juga dalam sejarah hukum. Secara tidak langsung, sejarah hukum penting untuk pemahaman yang lebih baik tentang hukum yang berlaku (sekarang). Dalam arti ini ia dapat dipandang sebagai termasuk kedalam ilmu-ilmu bantu untuk ilmu hukum partikal atau ilmu hukum dogmatik.
c.       Perbandingan Hukum, mempelajari berbagai sistem hukum positif yang belaku satu disamping yang lain pada berbagai negara atau lingkungan hukum. Isi dan bentuk dari berbagai sistem hukum positif itu saling diperbandingkan. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dicari dan dipaparkan. Untuk itu, maka perlu sekali bahwa hukum positif yang akan diperbandingkan itu dipahami terlebih dahulu. Berkenaan dengan perbedaan kultur (yang mendasari atau melatarbelakangi masing-masing hukum positif tersebut) yang besar, hal itu kadang-kadang menimbulkan kesulitan. Perbandingan hukum dengan sendririnya memerlukan bantuan antropologi atau sosiologi. Berdasarakn keadaan yang nyata ada, perbandingan hukum berupaya menjelaskan perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai hukum positif. Dalam hal itu ia dekat pada sosiologi hukum. Perbandingan hukum adalah ilmu yang baru yang belum berkembang. Ia harus dibedakan dari (dan jangan dikacaukan dengan ) metode perbandingan, yang merupakan suatu bentuk penanganan hukum. Perbandingan hukum adalah ilmu bantu untuk ilmu hukum dogmatik.
d.      Sosiologi Hukum  pada saat sekarang seedang berkembang pesat. Ilmu ini terarah untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan. Kita telah belajar untuk melihat bahwa hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata merupakan hasil rekaan bebas manusia, tetapi bahwa ia berada dalam jalinan yang sangat erat dengan masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Hukum dapat dengan dua cara dihubungkan dengan faktor-faktor kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukumitu sendiri dapat dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan; pada sisi lain, gejala-gejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum. Dalam dua hal itu, maka hukum dan gejala kemasyarakatan diletakan pada suatu tatanan yang sama. Dalam sosiologi hukum, yang dimaksud dengan menjelaskan adalah memberikan penjelasan kuasal konform dengan pandangan-pandangan yang berpengaruh dalam ilmu-ilmu empirik, jadi menurut sebagian besar sosiologi hukum, sosiologi hukum adalah ilmu empirik yang setia hanya pada pemaparan fakta-fakta (J. Griffiths). Sementara itu terdapat juga aliran-aliran lain, misalnya yang berasal dari lingkungan fenomologi atau teori kritikal(Frankfuter Schule) mengembangkan model-model yang lebih bernuansa, karena itu, dapat diharapkan bahwa Methodenstriet (perdebatan tentang metode) yang hangat dalam lingkungan sosiologi hukum akan terjadi
e.       Psikologi hukum, adalah cabang ilmu –hukum yang paling muda. Tujuannya adalah untuk mengerti atau memahami hukumpositif dari sudut pandang psikologi. Psikologi dapat memberikan sumbangan dalam tiga arti:pertama, dari sudut psikoanalisis (Ferud dan pengikut-pengikutnya). Gejala-gejala hukum dan negara dengan cara ini dapat dengan cara yang interes atau menarik diherinterpretasi (Fromm Marcuse, Ehrenzweig). Kedua, psikologi humanistik, dari sudut itu mungkin dapat diperoleh pengertian yang lebih dalam tentang cara kesadaran hukum atau perasaan hukum berfungsi pada manusia. Ketiga, psikologi perilaku (empirik). Didalamnya perilaku yang diamati dapat dengan pertolongan model penjelasan kausal dipahami dari sudut konstelasi tertentu. Model ini dapat diterapkan pada hukum (misalnya prilaku para hakim, advokat, pembentuk undang-undang). Psikologi hukum di kemudian hari akan berperan penting. Pada masa kini ia hanya memainkan peranan kecil dalam bidang hukum pidana(kesalahan, pertanggungjawaban, kebebasan). Namun didalamnya perlahan-lahan terjadi perubahan.
2.      Teori Hukum,  berada pada tataran abstraksi yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum; ia mewujudkan pealihan kefilsafat hukum. Teori hukum merefleksi objek dan  metode dari berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu, ia dapat dipandang juga sebagai suatu jenis filsafat ilmu dari ilmu hukum. Ia misalnya mempermasalahkan pertanyaan apakah sosiologi hukum atau ilmu hukum dogmatik harus dipandang sebagai ilmu empirikyang bersifat deskriptif atau tidak. Uraian sub 1 di atas juga termasuk suatu uraian yang bersifat teori hukum. Terutama tentang ciri khas dari ilmu hukum dogmatik dalam teori hukum terdapat perbedaan pendapat yang besar. Tentang hal itu maka kontribusi pada nomor Ars Aequi ini memperlihatkan contoh-contoh. Menurut pandangan saya dalam ilmu hukum dogmatik, maka momen-momen empirikal, normatif dan hermeneutikal harus secara cermat dibedakan. Bagi saya tampaknya tidaklah tepat, jika disiplin ini dipandang sepihak, apakah hanya sebagai suatu bentuk dari hermenneutika. Ilmu hukum dogmatik memperlihatkan beberapa ciri dari semua ilmu-ilmu ini. Namun tentang butir ini disini tidak akan kita bahas lebih lanjut. Teori hukum modern banyak mengambil hasil-hasil dari filsafat ilmu modern. Itu sebabnya ada kecenderungan untuk menonjolkan pandangan ilmu empirik. Juga nilai penting yang ia berikan pada teori sistem dan pada hubungan antara hukum dan logika, harus dipahami dengan latar belakang ini. Sementara itu, teori hukum juga mempunyai tugas lain; ia juga merefleksi ciri khas dari pengembanan hukum praktikal (lihat dalil ketiga). Ia mempelajari makna dan struktur dari pembentukan hukum dan penemuan hukum. Teori hukumdengan demikian menjadi ajaran metode yuridik. Sudah sejak lama penemuan hukum dan khususnya seni interpretasi mendapat perhatian utama para pengemban teori hukum dan ilmu hukum dogmatik. Untuk itu lihat karya-karya standar dari Paul Scholten, Karl Larenz dan Fikentscher. Dalam teori hukkum modern, maka ajaran metode dan seni interpretasi ini telah berkembang menjadi suatu teori argumentasi yuridik yang penuh. Baik filsafat klasik (Topika dan Retroika dari Aristoteles) maupun filsafat modern telah memberikan sumbangan (kontribusi) pada perkembangan itu. Terutama pada titik ini, teori hukum modern telah berkembang pesat.
3.      Dengan filsafat hukum,  kembali ke filsafat, filsafat hukum dan teori hukkum tidaklah sama. Jadi legal Theory dan legal science  bukanlah filsafat hukum (beberapa pemikir berpendapat lain) filsafat hukum merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Lebih dari itu, filsafat hukum bersifat kriktkal terhadp pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Juga untuk pengaruh ini harus diajukan argumen-argumen. Untuk itu, maka perlu secara cermat diadakan pembedaan antara hakikat pengemban hukum dan pengembanan ilmu-ilmu empirik. Hukum sesungguhnya bukanlah gejala empirikal murni, tetapi memperlihatkan juga ciri-ciri normatif. Dalam suasana hukum, maka Sein dan Sollen justru tidak dapat dipisahkan secara tajam yang satu dari yang lain hukum adalah suasana dari da sein yang didalamnya das sollen mendapatkan wujudnya. Fakta dan kaidah di dalam hukum selalu berjalan saling berimpitan: hukum adalah fakta dan kaidah sekaligus. Dari sini tampak bahwa filsafat hukum tidak puas dengan kesimpulan-kesimpulan dari teori hukum. Ia misalnya mempertanyakan apakah ilmu hukum itu? Apa arti khusus dari menjelaskan, memahami dan mengerti? Apa yang dimaksud dengan berargumentasi? Tetapi filsafat hukum bergerak lebih jauh lagi dan merefleksi pertanyaan-pertanyaan bagi teoori hukum sama sekali tidak relevan lagi khususnya persoalan keadilan. Huubungan antara hukum dan etika adalah masalah yang paling pokok dalam filsafat hukum. Sudah sejak zaman kuno masalah ini oleh sebagian besar para filsuf diketengahkan. Filsafat ilmu modern dan teori hukum dalam lingkungan persoalan ini (tentang masalah keadilan atau hubungan antara hukum dan etika) tidak dapat memberikan kontribusinya. Disini kita menyentuh tema yang paling klasik dari filsafat praktikal, khususnya maslah yang berkaitan dengan pertanyaan berdasarkan kriteria apa kita menilai perilaku manusiawi ? apakah hal penentuan isi dari baik dan buruk itu termasuk persoalan subjektif-irasional yang murni, atau apakah isi ini secara kefilsafatan dapat diargumentasi secara rasional? Filsafat hukum tidak puas hanya dengan kerangka kaku dan penataan yang diberikan oleh teori hukum modern.

C.    Argumen Ketiga: Pengembanan Hukum Praktikal atau Penanganan Hukum secara nyata dalam kenyataan kehidupan sungguh-sungguh mengenal tiga bentuk: Pembentukan Hukum, Penemuan Hukum, dan Bantuan Hukum. Disini terutama Ilmu Hukum Dogmatika menunjukan kepentingan praktikalnya secara langsung.
Penjelasan:
1.      Pembentukan Hukum,  adalah penciptaan hukum baru dalam arti umum. Pada umumnya hal itu berkaitan dengan perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau perubahan aturan-aturan yang sudah berlaku. Disamping itu, pemebentukan hukum juga dapat ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkrit (hukum preseden atau yurisprudensi). Juga dapat terjadi berkenaan dengan tindakan nyata: dengan suatu tindakan yang terjadi hanya sekali saja (einmalig) yang dilakukan oleh pihak yang berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi (pemerintah dan parlemen), misalnya, yang menimbulkan perubahan fundamental pada hukum tata negara tanpa perubahan undang-undang atau Undang-Undang Dasar. Ini bukan hukum kebiasaan, melainkan lebih merupakan sejenis hukum preseden yang bukan keputusan hakim (neit rechterlijke precedentenrecht)  namun, perundang-undangan adalah jenis pembentukan hukum yang paling penting dan juga paling modern. Di dalamnya diciptakan suatu model prilaku abstrak, yang dikemudian hari diharapkan dapat dipergunakan untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan konkret. Dengan model-model itu dimunculkan tipe konflik tertentu, dan dengan itu orang menstandarisasikan penyelesaian-penyelesaian tertentu. Semua itu dilakukan dengan merumuskan aturan-aturan abstrak dan umum bagi sejumlah persoalan. Pada stadium berikutnya diperlukan pengkhususan yang terarah pada kejadian-kejadian (persoalan) konkret. Keabstrakan dari sifat umum perundang-undangan justru akan menghilangkan dengan konkretisasi ini. Dalam penerapan pada kejadian konkret maka keumuman dari undang-undang diwujudkan, dijadikan kenyataan. Pada perundang-undangan dapat dibedakan dua momen sentral (unsur pokok). Yang pertama adalah momen politik idiil. Dengan itu dimaksudkan hal menampilkan isi undang-undang yang diinginkan (diaspirasikan). Hal ini berkaitan dengan hal mengartikulasi atau mengolah tujuan politik tujuan-tujuan politik(oleh politisi, pejabat negara, yuris, dan lain-lain), sedemikian sehingga penyelesaian-penyelesaian politik tertentu menjadi dimungkinkan. hal menciptakan perundang-undangan adalah tindakan politik perundang-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses politik. Tetapi sesungguhnya perundang-undangan bukan hanya sekedar endapan dari konstelasi politik empirikal, ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundang-undangan memiliki sifat teknikal. Perundang-undangan mengandaikan kemampuan untuk merumuskan pemahaman-pemahaman umum kedalam naskah-naskah normatif yang konkret. Apa yang dinamakan teknik perundang-undangan telah menjadi suatu keahlian tersendiri. Berdasarkan semua itu, dapat dikatakan bahwa perundang-undangan adalah bentuk yang paling sempurna yang didalamnya tidak hanya paham-paham politik tetapi juga filsafat hukumbagi kita menjadi langsung relevan secara praktikal. Dengan bersarankan perundang-undangan, filsafat menjadi dapat diwujudkan contohnya adalah revolussi Perancis. Tidak hanya dalam Declaration de droit de I’ homme et du citoyen tahun 1789, tetapi juga dalam konstitusi-konstitusi yang kemudian filsafat dari antara lain Locke dan Rosseau menjadi berlaku secara umum. Garis-garis besar dari kultur hukum dan kenegaraan masa kin (pengertian konstitusi, undang-undang, sistem parlemen, hak-hak dasar) sepenuhnya berada dalam kerangka tradisi ini. Terutama Rosseau telah memperlihatkan bagaimana ide hukum (cita hukum) memperoleh bentuknya yang khas dalam perundang-undangan, artinya kebebasan tampil dalam undang-undang yang berlaku sama bagi setiap orang, jadi dalam suatu bentuk abstrak dan umum. Perundang-undangan bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan konfrom pandangan barat, suatu kategori fundamental dari pemikiran filsafat hukum.
2.      Pada penemuan Hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan produk pemebentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya). Dalam arti tertentu, penemuan hukum adalah pencerminan pembentukan hukum. Jika pada pembentukan hukum yang terjadi adalah menetapkan hal umum yang berdasarkannya pada saatnya dapat dijabarkan hal yang khusus, maka pada penemuan hukum hal yang khususlah yang mengemuka (dimunculkan terlebih dahulu), namun pada saat yang bersamaan dapat dikonstatasi  dampak keberlakuan secara umum. Dalam hal yang terakhir kita berbicara tentang preseden atau paseudo perundang-undangan. Berbeda halnya dengan pembentukan hukum, kekhasan dari penemuan hukum telah mendapat perhatian (pembahasan) yang luas dalam teori hukum dan filsafat hukum. Jumlah publikasi tentang metedologi penemuan hukumsudah sulit untuk dihitung lagi. Namun tentang teori penemuan hukum dapat kita amati adanya perkembangan tertentu. Jika dahulu (yakni dalam abad XIX) perhatian terutama dicurahkan pada keahlian interpretasi dan menguraikan (menjelaskan), pada masa kinni titik berat lebih banyak diletakan sebagaimana sudah kita lihat pada dalil kedua pada penemuan suatu argumentasi yang dipertanggungjawabkan secara rasional. Kita sudah sampai pada pemahaman bahwa penafsiran undang-undang atau penerapan hukum adalah lebih dari sekedar hanya menerapkan suatu silogisme secara formal dan benar. Masalahnya terletak pada menemukan dan menyusun premis-premis dari suatu penalaran. Kini sudah tidak cukup lagi bahwa penalaran dijalankan secara logikal benar ( dan dengan demikian sah), melainkan juga untuk pemilihan premis-premis harus dijalankan dengan memberikan argumen-argumen yang rasional (sejauh hal itu dimungkinkan). dalam hubungan ini, maka dibedakan antara heuristika dari suatu keputusan yuridikal dan legitimasi terhadapnya. Dengan yang pertama dimaksudkan sejarah terjadinya secara faktual dari keputusan tersebut, dengan yang kedua pertanggungjawaban rasional (jika dikehendaki: pertanggungjawaban normatif) dari keputusan tersebut. Memisahkan heuristika dan legitimasi dalam waktu adalah keliru: dua-duanya berjalan saling menutupi, yang berarti bahwa baik pada tahap sebelum pengambilan keputusan (exante)  maupun pada tahap sesudahnya (ex post). Faktor-faktor faktual (psikologikal dan kemasyarakatan) dan argumentasi-argumentasi rasional memainkan peranan. Namun titik beratnya terletak, baik ex ante maupaun ex post, pada argumentasi rasional. Sebuah keputusan hukum konkret yang dihadapan forum ilmiah hukum dan di hadapan para pihak yang terkait pada keputusan itu tidak mampu mengembangkan argumentasi yang dapat diterima, seyogyanya tidak berlaku (tidak diberlakukan) sebagai hukum positif. Pemahaman yang demikian itu di dalam ajaran metode yuridikdan teori argumentasi telah dikembangkan secara mendasar. Terkait padanya juga muncul kepermukaan sifat khas dari apa yang dinamakan berpikir yuridik. Sesungguhnya berpikir yuridik itu tidak ada, artinya tidak ada jenis berpikir yang terpisah atau tersendiri (yang lain dari yang lain). Seorang yuris menalar dan berpikir (semoga) sama baik atau jeleknya seperti yang lain-lain. Hanya struktur dari konteks, yang didalamnya seorang yuris yang terlibat dalam pembentukan hukum, berargumentasi adalah spesifik (khas). Kespesifikan ini terletak dalam struktur dari pertanggungjawaban dihadapan forum yang relevan. Untuk suatu pemahaman tentang kekhasan dari penemuan hukum maka tradisi hermeneutika yang sudah sangat tua adalah sangat penting. Sebuah keputusan hukum selalu mengimplikasikan hal penetapan suatu hubungan tertentu antara kaidah dan fakta, yakni antara momen-momen normatif (dari undang-undang misalnya) dan momen-momen faktual ( dari situasi konkret). Momen-momen ini saling mempengaruhi, antara keduanya terdapat semacam hubungan sirkular (lingkaran tak berujung pangkal) fakta-fakta dikualifikasi dari sudut-sudut kaidah dan kaidah diseleksi berdasarkan kejadian (fakta-fakta). Martin Kriele mengatakan ada suatu Hinund Herwandern des Blicks (memalingkan arah pandangan kekanan dan kekiri berulang-ulang) yang terus menerus. Kaidah dan fakta mewujudkan pra pemahaman bagi masing-masing yang menentukan pada penafsiran dan penilaian momen yang lain. Tokoh-tokoh besar dalam bidang hukum perdata Belanda seperti: Scholten, Bregstein, dan Eggens sudah berkali-kali menyatakan pemahaman ini dalam kata-kata secara lisan maupun dalam tulisan dan juga dalam penanganan hukum mereka didemonstrasikan (bandingkan kesimpulan-kesimpulan dari AG Eggens pada tahun-tahun (limapuluhan). Namun tampaknya masih mungkin untuk menstrukturkan lebih lanjut argumentasi-argumentasinya. Tentang hal ini, di belanda antara lain Crombag dan De Wild telah menghasilkan karya penting.
3.      Tentang bantuan hukum,  dapat dijelaskan secara singkat sebuah uraian yang terkenal berbunyi : hal pemberian pelayanan jasa-jasa secara terorganisasi oleh para ahli dalam situasi-situasi problematikal dan/atau situasi-situasi konflik, yang dapat ditangani dengan penerapan aturan-aturan hukum, dengan atau tanpa memanfaatkan prosedur-prosedur yuridikal. Jadi bantuan hukum adalah tindakan secara nyata mendampingi orang-orang yang terlibat dalam kesulitan hukum. Pikiran kita tertuju pada para advokat, biro bantuan hukum ,lembaga bantuan hukum yang diselenggarakan oleh mahasiswa fakultas hukum (rechtswinkel). Karena hukum modern terdiri atas sejumlah aturan yang pertambahannya meningkat terus, yang lebih dari itu memperlihatkan suatu struktur yang rumit, maka bantuan hukum itu lebih dekat pada atau mirip dengan pekerjaan sosial  (social works) atau bantuan terapeutik, namun aksennya tetap pada penerapan hukum. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa masalah-masalah filsafat hukum pada bantuan hukum dalam hakikatnya tidak berbeda dari masalah-masalah filsafat hukum hukum pada pembentukan hukum dan penemuan hukum. Yang khas pada bantuan hukum terletak pada sifat pratikalnya dan tidak pada struktur teoritikalnya.

D.   Argumen Keempat, Tema terpenting dari filsafat hukum berkaitan dengan hubungan antara hukumdan etika. Ini berarti bahwa diskusi yang sudah yang sudah berlangsung sangat lama antara para pengikut aliran hukum kodrat dan para pengikut aliran hukum kodrat dan para pengikut positivisme hingga kini masih tetap aktual. Hukum dan etika dua-duanya merumuskan kriteria untuk penilaian terhadap perilaku (tindakan) manusia : namun mereka melakukan hal ini dari sudut titik pandang yang berbeda. Hukum adalah suatu momen dari etika.

Penjelasan:
1.      Tentang arti dari pengertian-pengertian hukum, etika, hukum kodrat, dan positivisme terdapat perbedaan pandangan yang besar. Kita bertolak dari etika dan akan sampai, melalui hubungan antara hukum dan etika, pada hukum kodrat dan positivisme. Berkenaan dengan etika maka berbagai tataran perlu dibedakan. Etika normatif adalah yang paling; ia terdiri atas keseluruhan kriteria, yang berdasarkannya orang-orang dan tindakan-tindakannya dinilai sebagai baik dan buruk (Van Haersolte) . Disini isi kaidah-kaidah etika dikembangkan dan diberi argumentasi. Etika normatif adalah suatu bagian klasik dari dari filsafat; ia juga juga, berkenaan dengan sifat dan struturnya, sangat bergantung pada latar belakang filsafat ini. Etika dari Kant misalnya memiliki sifat formal. Hegel mencoba mengembangkan isi etika dari sudut realisasi kebebasan di dalam masyarakat. Dalam filsafat Max Schaler maka keberlakuan dalam arti substansial dari sejumlah nilai (nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai kesusilaan, nilai-nilai kepribadian) diupayakan agar dapat diterima. Etika normatif harus dibedakan dari etos dan moralitas positif. Etos adalah penampilan faktual dari etika normatif juga disebut moral kritikal sebagaimana ia dalam suatu masyarakat konkret pada suatu waktu tertentu berlaku. Jadi, dengan etos dimaksudkan pandangan-pandangan yang faktual ada (berlaku) tentang isi dari etika (normatif). Dengan perkataan lain etos adalah etika normatif, sejauh ia secara umum berpengaruh dan dengan demikian secara empirikal tampil jadi, disni intinya adalah keberlakuan secara faktual. Pada moralitas positif pokok persoalannya tidak terutama mengenai kaidah-kaidah yang secara faktual diterima, melainkan tentang perilaku faktual dari orang-orang memang prilaku tidak perse  harus sebangun dengan etos. Dapat saja terjadi ideal dari etos yang berfungsi secara faktual tidak sepenuhnya diwujudkan dalam perilaku praktikal (moralitas positif). Tentu saja semua pola-pola kaidah dapat tampak dalam moralitas positif, namun hal ini tidak perlu (harus) sama sebangun dengan etos, baik etos maupun moralitas positif dapat ,menjadi objek studi dari apa yang dinamakan etika deskriftif. Disiplin ini dapat sebbagai ilmu empirik memaparkan, menginterpretasi, dan eventual menjelaskan pandangan-pandangan dan perilaku etikal yang faktual berlaku. Yang terakhir iini dapat saja misalnya dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan perkembangan kemasyarakatan, keadaan-keadaan historikal dan sebagainya. Dengan cara ini maka berlakunya kaidah-kaidah etikal tertentu dapatlah menjadi dimengerti. Refleksi-refleksi terhadap gejala-gejala etikal yang disebutkan di atas dapat di cakupdengan istilah meta etika namun, dengan penggunann istilah itu saja maka arah dan sifat dari refleksi sama sekali belum ditunjuk (belum diungkapkansecara ekplisit).
2.      Sekali lagi perlu dikemukakan bahwa berkenaan dengan etika, tidak boleh mengacukan dimensi isi normatif dengan apa yang faktual. Bahwa suatu etos tertentu atau suatu moralitas positif tertentu secara faktual dapat ditunjukan, kenyataan itu dari dirinya sendirisama sekali tidak mengimplikasikan bahwa kaidah-kaidah etikal yang berfungsi di dalamnya juga dari sudut kefilsafatan dapat diterima. Tidak semua apa yang secara faktual diterima orang sebagai etikal adalah juga secara etikal benar-benar baik. Hal baik tidak sama sebangun dengan pandangan-pandangan yang berpengaruh tentang hal baik. Kaidah-kaidah etikal tidak boleh begitu saja disimpulkan dari fakta-fakta etikal. Sebaliknya, tidak semua yang secara etikal baik juga secara faktual diakui. Etika dalam perjalanan sejarah memperlihatkan suatu perkembangan dan secara pribadi saya berpendapat bahwa perkembangan ini adalah perkembangan yang menuju yang baik. Dengan refleksi yang lebih jauh akan selalu diperoleh pemahaman etikal yang baru. Disini kita menyentuh persoalan sulit (sebuah masalah inti dari etika) mengenai cara bagaimana keberlakuan substansial dari etika (tentang baik dan buruk) dapat diperlihatkan. Kelompok ethici yang dinamakan non kognitivis berpendapat bahwa kaidahkeberlakuan ini tidak pernah dapat diargumentasikan secara rasional. Kaidah-kaidah etika misalnya adalah pernyataan dari suatu keyakinan subjektif atau emosi yang bebas. Menurut pandangan mereka kaidah-kaidah etika tidak pernah menuntut keberlakuan secara umum. Secara kefilsafatan, relativisme nilali ini telah diargumentasikan dengan berbagai cara. Namun, pandangan-pandangan ini bagi kelompok ethici lain tidak dapat diterima. Kelompok ethici kognitivs berpendapat bahwa keberlakuan substansial dari kaidah-kaidah etika(atau nilai-nilai) dapat diperlihatkan. Filsafat nilai dari Max Schaler merupakan suatu percobaan ke arah itu yang mengesankan. Percobaan-percobaan modern, kita temukan pada Habermas dan Apel, yang berpendapat bahwa bertolak dari data dari komunikasi intersubjektif terbuka(dan dari bentuk praxis lain) dapat dijabarkan (diturunkan) kaidah-kaidah etika tertentu. Struktur argumentasi ini untuk keberlakuan substansial dari kaidah-kaidah etika kadang-kadang berbeda sedikit dari struktur argumentasi untuk keberlakuan substansial dari kaidah-kaidah etika kadang-kadang berbeda sedikit dari struktur argumentasi yang kita temukan pada penemuan hukum. Lebih dari itu, semua ini berarti bahwa etika lebih dari sekedar hanya produk faktual kenyataan-kenyataan kemasyarakatan, politik dan sejenisnya. Etika adalah artikulasi dari apa yang dianggap orang esensial berkenaan dengan realisasi  kuat dari kepribadian bebas mereka, ditinjau baik secara individual maupaun dalam kebersamaan dengan sesamanya. Berdasarkan pada suatu titik tolak personalistik (pandangan yang melihat setiap manusia sebagai subjek yang memiliki kepribadian) demikiandapatlah dibangun suatu etika.
3.      Wawasan kefilsafatan pada etika juga menentukan hubungan antara etika dan hukum. Hubuungan inilah ysng menentukan bagi hubungan antara hukum kodrat dan positivisme. Uraian (pemaparan batasan pengertian) tentang hukum yang kurang lebih dapat diterima adalah yang menyatakan bahwa hukum terdiri atas kaidah-kaidah (aturan-aturan dan keputusan-keputusan) yang berkaitan dengan hubungan-hubungan lahiriah antar manusia juga dalam kaitan dengan kekuasaan menentukan terhadap hal-hal (urusan-urusan) dan benda-benda. Menurut Kant, hal ini menyebabkan hukum sebagian termasuk dan sebagian tidak termasuk etika. Termasuk, dalam arti bahwa juga isi hukum harus memenuhi (sesuai dengan) kaidah etika tertinggi yakni imperatif kategorik. Itu berarti bahwa kita secara etikal terikat (berkewajiban) untuk memenuhi kaidah-kaidah hukum semata-mata berdasarkan penghormatan pada kewajiban etikal. Lebih dari itu isi, dari kaidah hukum itu sendri harus memenuhi syarat dapat diuniversalkan. Di pandang dari sudut etika maka hukum adalah yang legitimi (yang sah) ditinjau dari sudut hukum, maka motif dari tindakan sama sekali tidak relevan. Hukum merasa dirinya sudah puas dengan fakta kepatuhan (dipenuhinya) aturan-aturan, dengan legalitas. Demikianlah menurut kant, sangat mungkin bahwa orang bertindak sepenuhnya legal atau sah secara hukum pada saat yang sama sekaligus mewujudkan tindakan yang tidak memenuhi tuntutan etikal. Etika berfungsi normatif terhadap hukum tetapi sedemikian bahwa hukum justru karena sudah puas dengan perilaku lahirlah tetap menempati posisinya. Wawasan kantian tentang hubungan antar hukum dan etika sangat memberikan kejelasan ia berpengaruh. Kita tidak dapat mengolah lebih lanjut pemahaman ini disini. Semua hukum mengenal tegangan polaritatif antara ide asas (yakni kebebasan sebagai inti dari apa yang dinamakan nilai-nilai kepribadian), maka hukum etika adalah sama. Perbedaan hukum dan etika terletak dalm bentuk perwujudan dari asas tersebut. Pada etika perwujudan itu terjadi dengan cara yang sangat pribadi, yang didalamnya budi nurani (conscience)   sebagai organ inti dari substansi etikal memainkan peranan sentral. Baik berkenan dengan apa yang termasuk tindakan individual maupun yang termasuk gidup dalam kebersamaan titik beratnya disini terletak pada tindakan kemauan yang bebas dari pribadi dan dengan demikian atas tenggung jawab individualnya sendiri. Kebebasan dan pertanggungjawaban pribadi ini juga terdapat berkenaan dengan hukum. Karena itu suatu tindakan yang tepat secara yuridikal dapat secara etikal sangat tercela. Namun, hukum memiliki suatu kedirian dan otonomi yang vokal atau jelas (tanpa kehilangan keterkaitannya secara immanen dengan etika) bukanlah ia berkaitan dengan perilaku lahiriah dan penguasaann atas benda-benda. Itulah yang menyebabkan hadirnya bentuk-bentuk yang bersifat apriori yang di dalamnya hukum mereleasasikan diri, yakni aturan, keputusan, figur, dan lembaga(tentang hal dalil kelima). Didalamnya forum intersubjektif yuridikal menampilkan diri. Argumentasi dan legitimasi rasional adalah ciri dari hukum. Namun pertanggungjawaban rasional dari kaidah-kaidah etikal terarah pada keterlibatan individual dari pribadi. Saya menyadari bahwa apa yang dikemukakan tetap masih terlalu sumir (sederhana). Hubungan antara hukum dan etika lebih majemuk ketimbang yang kadang-kadang dikira orang. Dengan pernyataan-pernyataan seperti hukum dan moral terpisah secara tajam atau hukum dan moral berimpitan karena itu, tidak cukup bagi kita.
4.      Dengan latar belakang apa yang telah dikemukakan diatas, dapatlah perbedaan antara hukum kodrat dan positivisme secara skematikal dikemukakan sebagai berikut. Para pengikut ajaran hukum kodrat berpendapat bahwa kaidah-kaidahetikal dengan salah satu cara tertentu relevan bagi isi dan berlakunya hukum positif. Untuk itu etika dipandang tidak penting. Positivisme paling jauh akan menerima asas-asas, yang menentukan struktur dari hukum positif itu sendiri, misalnya keumuman yang abstrak, kepastian hukum, dapat diramalkan (prediktabilitas), tata, damai, keteraturan(keajegan). Namun, tentang hal memberikan landasan kefilsafatan pada asas-asasdemikian tidak dipersoalkan. Berlakunya hukum positif begitu saja dipostulasikan (diandaikan). Sebaliknya hal ini tidak berarti bahwa para pengikut positivisme juga tidak akan menerima kaidah-kaidah etikal, yang dengan bersarankannya hukum positif dapat atau harus dinilai (diuji). Seorang positivis tidak perlu perseorang non kognitivis dalam bidang etika atau seorang relativis nilai-nilai (walaupun kombinasi ini sering terjadi). Juga seorang positivis dapat berdasarkan pertimbangan etikal mencela hukum positif. Namun, celaan ini hanya memiliki konsekuensi etikal dan tidak mempunyai konsekuensi yuridikal. Jadi hakim harus tetap menerapkan hukum yang demikian itu, jika tidak, maka ia hrus mengundurkan diri. Singkatnya, berlakunya hukum positif menurut para positivis tidak terpengaruh oleh penilaian etikal terhadp isi hukum positif. Pandangan-pandangan etikal paling jauh akan memainkan peranan pada pembentukan hukum atau dalam hal penemuan hukum pada kasus-kasus yang berkenaan dengannya hakim misalnya hingga derajat tertentu diberi Freies ermessen.
5.      Hubungan antara hukum kodrat dan positivisme sesungguhnya lebih majemuk ketimbang kesan yang ditimbulkan oleh uraian diatas. Jika orang memandang ke dua istilah itu dalam arti luas (dan hal demikian sudah biasa), maka orang harus membedakan berbagai bentuk dari hukum kodrat dan dari positivisme. Demikianlah, ke dalam hukum kodrat dapat dimasukan filsafat hukum dari aristoteles dan dari Stoa Romawi; hukum kodrat kristiani atau skolastik dari Thomas Aquinus (dan dari Neothomisme, terutama filsuf-filsufhukum katolik dari masa kemudian hukum kodrat rasional dari zaman baru (Hobbes, Locke, Spinoza Thomasius, Wolff) pandangan-pandangan idealistik dari kant dan Hegel yang menalar dari asas-asas yang untuk hukum memiliki arti langsung filsafat nilai-nilai dari Scheler. Dalam semua hal ini (dalam pandangan-pandangan tersebut tadi), asas-asas substansial dipandang sangat penting untuk hukum positif, walaupun dengan cara yang sangat berbeda. Demikianlah, terdapat perbedaan besar tentang pernyataan apa yang harus berlaku jika hukum positif bertentangan dengan hukum kodrat. Atau tentang pertanyaan bagaimana kodrat tepatnya harus diartikan.penanganan yang bernuansa tentang permasalahan tersebut mutlak diperlukan. Contoh-contoh cara penanganan demikian dapat kita temukan dalam uraian dari Hans Reiner dan Ota Wein berger pada World Congress on Legal Philosophy di Basel (agustus 1979). Sementara itu, permasalahan tersebut terfokus pada pertanyaan tentang peranan apa yang dimainkan keadilan dalam hubungan dengan hukum positif. Juga pengertian ini sudah dibahas oleh Aristoteles yang dalam pembahasannya dihubungkan dengan konsep persamaan (equality). Analisis lebih jauh menunjjukan bahwa juga banyak positifis yang menerima pengertian-pengertian demikian dan karena itu mungkin kurang positivistik ketimabng apa yang mereka sendiri menganggap tentang dirinya. Sementara itu, positivisme juga mempunyai banyak bentuk dan arti. Positivisme yang dikemukakan disini adalah positivisme hukum yakni pandangan yang hanya menerima berlakunya hukum positif. Ini tidak begitu saja berjatuhan sama dengan positivisme kefilsafatan. Keberlakuan hukum diinterpretasi sebagian secara faktual sebagian normatif. Keberlakuan hukum secara normatif semata-mata tergantung pada kaidah-kaidah hukum yang lebih tinggi (Kelsen). Keberlakuan secara faktual (efektivitas) berkaitan dengan kenyataan bahwa ia diberlakukan (dibuat) oleh otoritas yang berwenang (austin , kelsen) tau dengan penerimaan secara psikologikal atau sosiologikal oleh para warga masyarakat. Semua aspek-aspek iini dalam berbagai teori positivistik dijabarkan dengan cara masing-masing. Demikianlah positivisme undang-undang (legisme) meletakan titik berat pada pemberlakuan oleh kekuasaan yang berwenang. Tampaknya filsafat dari Hart dalam semua ini menempati suatu posisi istimewa (bandingkan Van Twist ) tugas filsafat hukum adalah meneliti semua ini dan menjelaskannya.


E.   Argumen kelima: Filsafat Hukum adalah Refleksi secara sistematikal tentang kenyataan dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari ide hukum (cita Hukum) dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk: aturan Hukum, Putusan Hukum, Figur Hukum (pranata Hukum), lembaga hukum, lembaga hukum terpenting adalah negara. Tetapi tidak hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah sistem terbuka yang di dalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Penjelasan:
1.      Tegangan ploratif dalam semua hukum antara ide dan realisasi dari ide tersebut sudah disinggung dalam penjelasan (butir 3) pada dalil keempat disini akan diberikan pengolahan lebih lanjut. Memberikan kejelasan tentang sifat khas (hakikat) dari ide hukum atau cita hukum (Rechtsidee) adalah tugas penting filsafat hukum. Dalil bahwa semua kultur (hukum, seni, ilmu, agama) adalah perwujudan dari suatu ide (atau asas)berasal dari Neokantianisme. Dalam bideng hukum, dalil itu terutama dipertahankan oleh Radbruch ia menjabarkan ide hukum dalam tiga aspek kepastian hukum, kegunaan dan keadilan. Pertautan antara tiga aspek itu berubah-ubah Radbruch adalah seorang relativis nilai, sehingga menurut pandangannya tidak dapat ditentukan asas yang mana yang harus diutamakan. Karena itu, yang menemukan adalah kekuasaan kehendak dari pembuat undang-undang positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada keputusannya (sesudah perang dunia kedua pandangan Radbruch berubah ke arah hukum kodrat). Pemikiran-pemikiran lain, terutama dibawah Hegel mengembangkan lebih lanjut makna dari ide hukum. Dalam hubungan iini upaya J Binder sangat penting . di dalam tulisan-tulisan filsuf hukum modern K. Engisch, kita dapat menemukan kembali jejaknya . secara pribadi sya tidak menerima relativisme Radbruch. Pembagian tiga (kepastian hukum kegunaan dan keadilan) yang dikembangkannya bersifat kebetulan. Hubungan yang berubah-ubah antara tiga aspek itu tidak memuaskan. Juga filsafat hukum harus berupaya mencapai landasan yang mantap (ajeg). Karena itu, orientasi pada filsafat hukum Hegel jauh lebih menarik, disana dicoba untuk mengembangkan kebebasan sebagai landasan dari hukukm (dan etika). Tentang hal ini terdapat banyak salah paham. Kebebasan tidak diartikan sebagai kesewenangan yang murni, misalnya melakukan apa yang kau maui. Dalam arti itu hampir  tidak ada seorang pun yang bebas, berhubung tidak ada seorang pun yang memiliki pilihan kemungkinan-kemungkinan tanpa batas dan dapat melakukan apa saja yang ia ingini. Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kau ingin. Hegel membela kemauan bebas (willsvrijheid freewill) tetapi juga kemauan bebasitu bukanlah hal kebetulan atau kesewenangan, ia berkaitan erat dengan keniscayaan (yang tidak dapat dielakan ) kita untuk mewujudkan (melaksanakan) apa yang dituntut dari kita oleh apa yang menjadi hakikat kita (yakni kepribadian kita: kenyataan bahwa kita adalah suatu pribadi). Jadi kebebasan adalah tugas (bebas untuk) untuk mengembangkan kepribadian kita sendri. Demikianlah Hegel memperlihatkan bagaimana berbagai figur hukum (hak milik, kontrak, pelanggaran hukum, atau ganti rugi ) dan lembaga hukum (keluarga negara) dari sudut ide ini dapat dimengerti semua itu selalu berkenaan dengan suatu upaya untuk memberikan wujud pada kebebasan dalam struktur dari masyarakat. Mungkin saja Hegel keliru dan semuanya itu tidak cocok. Namun tetap penting adalah bahwa hukm dipahami dalam kaitannya dengan kebebasan dan itu adalah sesuatu yang juga bagi filsafat hukum modern tetap penting. Bertolak dari situ kita dapat mengembangkan hubungan antara kebebasan, persamaan, keadilan, kepastian hukum, dan sebagainya dengan lebih baik dan lebih fundamental, ketimbang yang telah dilakuakn misalnya Radbruch nilai-nilai hukum bukanlah bidak-bidak yang mudah digesr seenak kita atau sekedar menuruti dorongan hati sebaliknya, keberadaan mereka berkaitan satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai hukum itu tertutup bagi kesewenangan (seenak sendiri) dan hal itu berlaku juga untuk hubuungan diantara  mereka orientasi pada ide hukum dipandang sebagai kebebasan ini akan kehilangan landasannya, jika dapat ditunjukan bahwa manusia bukanlah mahluk bebas. Pada masa kini banyak filsuf dan antropolog yang menyangkal kebebasan manusia. Jika mereka benar, maka orientasi pada ide hukum akan menjadi tidak bermakna dan kita akan lebih baik untuk menyibukan diri dengan teori hukum empirik atau ilmu hukum saja. Namun argumen-argumen yang diajukan tidak meyakinkan. Fakta bahwa pada beberapa orang (atau banyak) kemauan bebasitu tidak ada misalnya karena faktor-faktor keturunan pendidikan,lingkungan, dan sebagainya tidak dengan sendirinya berarti bahwa manusia menurut bakatnya memang tidak bebas. Sama seperti adanya penyakit secara faktual tidak berarti bahwa orang-orang sesungguhnya seharusnya tidak sehat dalam arti menurut pandangan kita, maka kebebasan termasuk hakikat dari manusia, yang lambat laun harus dikembangkan hingga kini perdebatan tentang kebebasan manusia masih belum selesai. Demikian juga diskusi tentang makna dari ide hukum.
2.      Tentang arti aturan hukum dan keputusan hukum sudah kita bicarakan di atas sekarang kita bicarakan dua bentuk lainnya figur hukum dan lembaga hukum tidak berbeda secara asasi dua-duanya berkenaan dengan perangkat-perangkat aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum. Kita baru saja sudah melihat bahwa hak milik, kontrak, dan ganti rugi adalah contoh-contoh dari figur hukum, sedangkan keluarga, perkumpulan, perusahaan kotamadyadan negara adalah xontoh-contoh dari lembaga-lembaga hukum. Peralihannya bersinambung dan berkaitan dengan derajat kemejemukan dari hubungan-hubungan itu. Figur-figur hukum dan lembaga-lembaga hukum memiliki sifat historikal yang hakiki, tidak hanya dapat berubah ini berlaku untuk hak milik dan kontrak. Tidak dapat dipertahankan bahwa ini termasuk hukum kodrat artinyabahwa mereka adalah figur-figur yang selalu ada dan berlaku (dalam arti normatif ) dimanapun. Namun mutlak perlu bahwa ada seperangkat aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum yang terarah pada perwujudan ide hukum dalam suatu konstelasi historikal tertentu. Wujudnya tidak perlu harus berupa hak milik atau kontrak . demikianlah juga negara dalam hakikatnya bersifat historikal. Ia negara adalah gejalla dari zaman baru dan mungkin dimasa mendatang dapat lenyap. Hal itu tidak berarti bahwa orang-orang tidak akan hidup lagi dalam salah satu bentuk dari persekutuan masyarakat politik. Namun ia akan tampil dalam suatu struktur lain (yang sekarang bagi kita belum kenal) jadi figur-figur dan lembaga-lembaga tidak boleh dimutlakan. Hal sudh dengan sendirinya yang hidup dalam kesadaran sebagian terbesar dari kita, terutama berkaitan dengan tradisidan struktur masyarakat barat. Lebih dari itu sebenarnya tidak ada sementara itu lembaga dibandingkan dengan figur terutama dipolakan oleh hubungan-hubungan kewibawaan (kekuasaan) artinya diferensiasi fungsional antara orang-orang yang memberikan pimpinan (artinya mempengaruhi prilaku orang lain) dan mereka yang mematuhi mengikuti pimpinan ini. Kewibawaan dan kekuasaan adalh gejala-gejala esensial dalam setiap masyarakat manusia. Orang-orang akan selalu membutuhkan lembaga-lembaga untuk menata (menstrukturisasi) masyarakat mereka lembaga hukum mengkonkretisasi kekuasaan hukum.
3.      Negara adalah lembaga hukum terpenting negara sebagai suatu gejala historikal adalh sebuaha lembaga hukum dengan ciri-ciri khusus. Akan disebutkan beberapa diantaranya. Negara mewujudkan medan inoptima forma  yang didalamnya politik dijalankan. Ia mencakup sekelompok orang yang hidup pada suatu wilayah tertentu. Negara melambangkan dan mengkonkretkan struktur kewibawaan yang didalamnya orang-orang menjalani kehidupan. Didalam negara juga aspek normatif memainkan peranan sentral yang menampakan diri dalam dua segi. Di satu pihak dalam kedaulatan dari negara, artinya kemauan berkuasa dari kewibawaan yang mengambil keputusan. Tanpa kedaulatan tidak ada kewibawaan. Dilain pihak dalam hubungan timbal balik antara negara dan hukum. Negara adalah sumber dari hukum, sejauh ia menciptakan hukum dan menjamin penegakan dan pelaksanaannya. Negara juga terikat pada hukum, sejauh produksi hukum ini tidak sewenang-wenang sebagai lembaga sesungguhnya negara memiliki tugas in optima forma untuk mewujudkan ide hukum. Butir ini perlu kita masuki. Kita telah melihat bahwa institusi negara barat berasal dari masa sektar Revolusi Perancis  tata negara barat untuk sebagian merupakan konkretisasi dari Locke , Rosseau, dan Kant. Undang-undang Dasar, Parlemen, perundang-undangan, hak-hak asasi, peradilan, semuanya itu bukanlah institusi-institusi sembarangan saja, tetapi mereka dipandang sebagai jaminan dari kebebasan manusia. Keyakinan (pemahaman) ini misalnya tampak dalam Statuta Dewan Eropa dan KonvensiEropa tentang perlindungan hak-hak asasi manusia  yang diterjemahkan kedalam hukum positif. Jadi sama sekali bukan pernyataan yang asing jika kita mengajukan bahwa negara terarah pada realisasi dari kebebasan. Hal itu sangat dikenal dalam cara berpikir barat. Ia juga merupakan inti dari filsafat Rosseau dan Kant di dalamnya landasan dari institusi-institusi kenegaraan barat dipertanggungjawabkan secara filosofikal dan sedemikian, bahwa dalam institusi-institusi itu suatu masyarakat yang bebas memperoleh wujudnya. Dengan cara ini juga dapat ditunjukan bahwa demokrasi adalah bentuk negara in optima forma untuk realisasi dari kkebebasan. Disini terletak suatu tugas penting bagi filsafat hukum dan ilmu negara umum. Pada saat ini juga dibarat teori negara Marxistik sedang berkembang pesat. Tentang perkembangan teori negara yang demokratik hanya sedikit yang tampak. Pengembangan hukum tata negara di Belanda tampaknya mengabaikan hal ini (kecuali Cowenberg). Jika hukum tata negara kehilangan isi filsafatnya yang asli, maka filsafat dari luar harus diperankan kembali. Dari sudut filsafat hukum, suatu teori demokratik yang sangat dibutuhkan pada saat barat berada di tengah-tengah krisis tentang negara dan hukum dapat distimulasi. Dalam upaya itu, maka hubungan imanen antara negara dan kebebasan harus selalu menjadi pusat orientasi negara tidak boleh dipandang sebagai suatu gejala politik sembarangan dalam zaman kita ia kurang lebih satu-satunya pegangan untuk menghindarkan sesuatu pada kebebasan.
Dalil penutup saya dengan demikian adalah bahwa makna partikal dari filsafat hukum pada masa kini terletak dalam mutlak diperlukannya pengembangan suatu filsafat baru tentang demokrasi.                       


































        
Dailil diatas menunjukan bahwa hukum berpikir dengan sebuah logika pemikiran manusia  namun, apabila ilmu hukum adedidikirawandipandang dari sudut ilmu kemanusaiaan maka harus memahami hakekat hukum sebagai ekspresi kemanusiaan yang terwujud dalam kemampuannya dalam berbahasa. Ekspresi dari hukum yang paling nyata dapat dilihat dan dirasakan ialah dalam wujudnya sebagai pernyataan-pernyataan itu dapat disebut sebagai suatu satuan dari bahasa. Bahasa adalah tanda yang dipergunakan dalam hubungan antar manusia (aku dan sesama ) dalam komunikasi antara pikiran dan dunianya. Pada dasarnya hukum dinyatakan dalam bentuk bahasa. Bahasa tersusun atas sejumlah kata-kata. Kata-kata yang tersusun dan memiliki makna disebut kalimat. Sejumlah kalimat-kalimat yang memiliki kesatuan makna tersusun dalam sebuah wacana. Susunan kata-kata yang kemudian membentuk kallimat-kalimat hukum itu terjadi karena adanya makna di dalamnya. Sedangkan makna itu menyampaikan pengertian yang ada dalam akal budi manusia. Apabila melihat kata-kata atau kalimat-kalimat hukum yang bersifat menghukum memboolehkan, memerintah, mengharuskan, melarang dan sebagainya adalah tersusun melalui kata-kata dan kalimat-kalimat. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang mengandung makna hendak menyampaikan pesan berupa ide atau gagasan tertentu yang dalam dunia hukum tentunya adalah gagasan tentang hukum.[1]
Kata-kata dan/atau kalimat-kalimat hukum adalah kata-kata atau kalimat-kalimat yang dapat dikatakan diberi tanda kurung. Kata-kata atau kalimat-kalimat yang dipergunakan dalam keseharian dipergunakan untuk kepentingan hukum dengan memberikan makna khususs ke dalamnya. Pemberian makna khusus  sudah tentu melalui kesepakatan atau konvensi yang disetujui dalam kebersamaan dalam suatu ruang lingkup tertentu dan dilegitimasi oleh otoritas tertentu pula. Jadi kata-kata atau kalimat-kalimat yang memiliki makna hukum sudah ada dalam posisi yang beranjak dari kata-kata sehari-hari. Sebab itu maka pemberian makna kata dan juga pemahaman makna kata itu perlu terus-menerus digali validitasnya. Hal ini menjadi tugas dari ilmu hukum untuk memahaminya.Bahasa adalah percakapan antara subjek yakni orang dan obejk interaksi sosial. Melalui bahasa percakapan makna (meaning ) yang ada dalam pikiran manusia dinyatakan dalam relaitas yakni sesama dunia. Tetapi apkah bahasa mampu untuk dapat menggambarkan makna sedemikian sempurna, dalam hal inilah ada permasalahan bahasa memiliki keterbatasannya karena terbentur pada ruang dan wkatu. Keterbatasan bahasa  dibatasi oleh perkembangan kebudayaan. Sering kali khazanah bahasa tidak mencukupi untuk menggambarkan keluasan makna yang dipikirkan oleh manusia. Bahasa-bahsa tertentu tidak bisa menggambarkan konsep-konsep tertentu yang terjadi dalam kebudayaan lain. Lagi pula makna yang dicurahkan kedalam sebentuk bahasa seringkali juga memiliki kontesnya, apabila suatu karya yang merupakan curahanadedidikirawan makna melewati waktu dan tempat maka konteksnya menjadi berubah. Untuk itulah diperlukan usaha untuk memahami text-text dalam contextnya sehingga diperoleh pendekatan mengenai kebenaran maknanya.[2]
Percakapan terjadi proses saling memahami antara dua orang (Gadamer 2004: 467). Masing-masiing salinga membuka diri satu untuk yang lainnya, saling menerima pandangan dan saling memahami sebagai individu yang khusus. Perlu dipahami tidak hanya kebenaran objektif belaka tetapi juga adalah kebalikannya. Hal inilah yang harus dilakukan dalam sebuah proses hermeneutik. Proses hermeneutik adalah suatu proses berbahasa yang menterjemahkan apa yang terkandung dalam pikiran ke dalam percakapan. Percakapan adalah suatu ekspresi manusia yang intens dalam berbahasa. Menafsirkan adalah proses hermeneutis yang merupakan dilektika antara pernyataan dan jawaban (the dialectic of question and answer) yang dapat menggambarkan kehidupan historis dalam berbahasa.[3]

A. Hermeneutika
Hermeneutika adalah ilmu dan seni penafsoran. Pada mulanya penafsiran dilakukan atau dipergunakan untuk text-text tertulis, tetapi kemudian berkembang pada penafsiran prilaku, perkataan dan pranata-pranata manusia yang dilakuakn dalam ilmu-ilmu buadaya atau dalam bahasa Jerman di sebut Geiteswissenchaften. Disampng itu dalam filsafat, penafsiran ditujukan pada eksestensi manusia.Kata Hermneutika berasal dari bahasa Yunani kuno yakni heurmeuneuein, bersangkutan dengan nama seorang dewa Yunani kuno bernama Hermes yang bertugas untuk menyampaikan kabar. Pada mulanya hermeneutika dipergunakan dalam teologi terutama dalam rangka penafsiran Bible (Old Testament dan New Tastement ) dapat dikatakan bahwa hermeneutika berangkat dari tradisi penafsiran kitab-kitab suci orang Yahudi. Disamping itu juga hermeneutika berangkat dari scriptual reformasi (Gadmeradedidikirawan 2004: 212), bagi Martin Luther pemahaman kitab suci tidak bisa hanya mengandalkan tradisi dan penafsiran yang diwariskan oleh ajaran kuno, tetapi kitab suci itu sendiri. Pemahaman kitab suci harus dipahami dalam rangka keseluruhan kitab suci sendiri sebab kitab suci adalah satu kesatuan. Dengan demikian langkah-angkah Luther telah memulai pemahaman hermeneutika karena mulai melepaskan diri juga dari penafsiran yang dogmatik. Bahkan dengan itu langkah Luther memperluas pemahaman sehingga pemahaman hermeuntik tidak hanya dilakukan untuk kitab suci tetapi juga untuk pemahaman sekuler.[4]
Ada beberapa kecenderungan kata hermeneutika yakni:[5]
1.      Hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran Kitab Suci (theory of bilical exegesis)
2.      Hermeutika sebagai metedologi filologi umum (general philological methodology)
3.      Hemeneutika sebagai ilmu tentang semuapemahaman bahasa(science of all linguistic understanding)
4.      Hermeuntika sebagai landasan metedologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodoligical foundation of Geistes wissenshaften)
5.      Hermeuntika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of exsitence dan of exsitential understanding).
6.      Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpration) hermeuntika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol
Bagian hermeuntika ada yang disebut sebagai lingkar hermeuntika yakni bagian keseluruhan bagian (Howard, 2000: 48). Kehidupan seseorang dapat dikatakan sebagai pemadatan dari seluruh masyarakat. Hubungan-hubungan yang terjadi dalam kehidupan antar manusia dapat dipahami melalui makna bagian-bagian individual untuk memahami kseluruhan, harus dilakukan dengan cara memahami bagiannya. Apa yang dinyatakan oleh manusia adalah suatu pernyataan dari pikirannya.[6]
Pikiran manusia itu diungkapkan melalui bahasa yakni sejumlah kata-kata dan kalimat-kalimat. Para ahli filosofi memahami keluasan makna melalui kata-kata dalam text, tetapi pemahaman itu tidak cukup hanya melalui komposisi kata-kata belaka, tetapi juga harus dipahami wawasan dari komposisi kata-kata yang melatarbelakanginya. adedidikirawanMemahami komposisi kata-kata lebih dari hanya memhami bahasa tetapi juga adalah memahami jiwa yang terkandung dari kata-kata tersebut karena jiwa dari kata-kata atau bahwa tersebut adalah jiwa yang terkandung dari semangat zamannya. Jadi ekspresi kebahasan manusia harus dipahami dalam totalitasnya. Hal ini dipahami sebagai divinasi. Bagi Gadmer dalam hermeneutika kebenaran seharusnya tidak dicapai lewat metode tetapi secara dialektika. Pendekatan dialektika merupakan antitesis metode. Pandangan ini berangkat dari dasar hermeneutika Gadmer tentang bahasa dilihat sebagai dialog. Bahasa adalah percakapan antara antara orang dan lingkungan, berbahasa adalah bercakap-cakap, itulah hakekat berbahasa, sedangkan bahasa tulis kehilangan daya ekspresifnya, bahasa tertulis mengalami aliensi. Sebab untuk bahsa tulis memerlukan adanya penafsiran. Tugas hermeneutika adalah mengeluarkan text dari alienasinyadan mengembalikan ke dialog kehidupan. Hal itu dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mengambil jawaban-jawaban. Pengalaman hidup manusia tidak dapat terbuka tanpa melalui proses bertanya. Proses bertanya dan menjawab yang disebut proses dialektik.[7]

B. Hukum Sebagai Text
Media atau objek penafsiran hermeneutika adalah text apakah hukum juga adalah text menurut bentuknya , hukum dapat digolongkan menjadi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dari hukum tertulis dikodifikasikan dan hukum tertulis tidak dikodifikasikan. Bentuk hukum tertulis dapat dikatakan adalah bentuk hukum yang sangat penting pada zaman modern. Adanya bentuk hukum yang tertulis memudahkan orang untuk mengetahui peraturan yang berlaku atau tidak berlaku. Denganadedidikirawan kata lain, bentuk ini memberi kepastian untuk setiap orang. Hal ini dapat dibandingkan dengan keadaan hukum tidak tertulis. Keadaan seperti itu orang sukar untuk mengetahui hukum yang berlaku atau tidak berlaku, orang harus mengalami atau bertanya pada kekuasaan hukum atau pada suatu otoritas yang tertentu untuk mengetahui jhukum yang berlaku. Hal ini tidak praktis dan efektif. Hukum yang tertulis pada dasarnya merupakan susunan bahasa yang diolah sedemikian rupa sehingga membentuk suatu sistem tertentu. Sebagai suatu struktur bahasa, hukum tertulis merupakan konsep-konsep yang disengaja disusun entah terdiri dari peraturan yang diolah oleh akal budi (secara rasional) atau berasal dari kitab suci. Yang penting ialah bahwa hukum tertulis merupakan suatu text yang sengaja diolah atau dimanipulasi untuk tujuan atau kepentingan tertentu.[8]
Hukum tertulis sebagai text berbeda dari text-text lainnya.text hukum mempunyai ciri khas tersendiri daalam kekuatannya yakni mempunyai daya paksa yang disahkan oleh suatu kekuasaan yang berwibawa. Berbeda dengan text sastra.dalam text sastra kekuatannya tergantung dari daya subjektif yang saling berkaitan antara yang dimaksud pencipta dan penikmatnya. Text sastra lebih mengandalkan dan memberi kebebasan imajinatif pada pembacanya, sedangkan text hukum lebih memberikan jaminan dan kepastian akan keadilan. Sebuat text adalah susunan bahasa yang dimanipulatif dan diisolasi dalam suatu sistem. Dalam text hukum, sistem itu adalah peraturan (undang-undang, keputusan, perjanjian, traktat, konvensi, dan lain-lain). Text hukum dimanipulatif dan diisolasi dengan adanya garis-garis demakarsi yakni berdasarkan legitimasi dan validasi. Batas-batas legitimasi yakni bahwa text hukum  disahkan oleh sesuatu kekusaan yang berwenang dan berwibawa. Batas-batas validasi yakni bahwa text hukum sah berdasarkan adedidikirawankebenaran tertentu (secara ideologis atau ilmiah). Sebagai suatu text, text hukum merupakan suatu kesatuan yang utuh. Text hukum terdiri dari bagian-bagian (bab-bab Pasal-Pasal dan sebagainya) yang berjalinan membentuk suatu keseluruhan. Bahkan suatu text hukum ada berhubungan dengan text hukum yang lain, baik dengan text yang lebih tinggi, lebih rendah atau yang sepadan tingkatnya.[9]
Text hukum dan kaidah hukum, text hukum dalam perwujudan sekedar menunjukan bentuk dari hukum, sedangkan kaidah hukum menunjukan isi dari hukum.  Baik text hukum maupun kaidah hukum adalah sesuatu yang mempunyai tujuan menciptakan tata tertib masyarakat.tetapi text hukum berbeda dengan kaidah hukum karena text hukum adalah sesuatu yang sengaja diciptakan atau dibuat, sedangkan kaidah hukum lebih bersifat alamiah. Text hukum lebih merupakan suatu penegasan atau suatu eksplisitas dari kaidah hukum. Sedangkan kaidah hukum merupakan eksplisitas dari prilaku hukumyang menjdai pedoman. Ada berbagai jenis text yakni text informatif yang menyajikan berita faktual tanpa komentar, text diskrusif yang mengaitkan fakta secara bernalar, text ekspresif yang menungkapkan perasaan, pertimbangan dan sebagainya dalam diri seorang pencipta, text persuasif yang berisi usaha untuk mempengaruhi pendapat perasaan dan perbuatan pembaca, dan text instruktif. Text hukum, dapat dimasukan kedalam text instruktif karena dalam sifatnya yang lebih mengharuskan merupakan suatu pengaturan dan perintah. Disamping itu text hukum juga dapat disebut text preskrifsi yakni text yang berisi penghukuman.[10]

C.  Dalil Text Tekstologi Lichcev
Bidang yang membahas mengenai text disebut tekstologi. Pada mulanya yang berwenang dalam pembahasan atau studi kebudayaan berdasarkan text adalahadedidikirawan filologi. Tetapi kemudian karena istilah filologi hampir identik dengan linguistik maka istilah filologi sudah hampir simpang siur. Hal lain lagi dari kelemahan istilah filologi ialah karena istilah filologi lebih berkonotasi sejarah. Text yang dikaji lebih merupakan text sastra yang memberikan bukti-bukti kesejarahan dari pada memiliki konotasi yang lebih luas. Sedangkan istilah tekstologi mencakup ruang lingkup text yang lebih luas yakni pada text-text sastra moderndan tidak terbatas pada text sastra dan sejarah saja. Text adalah penuangan linguistik atas konsep-konsep hidup manusia dalam berbudaya. Text menggambarkan tradisi yang hidup dalam kebudayaan manusia yang menggambarkan jalannya sejarah dan kandungan pemikiran. Sebab itu text mengendung tradisi. Text sendiri sebagai tradisi linguistik memiliki kesiapan fisik dari pada monumen-monumen lainnya. Keunggulan text adalah ke=arena text menyisakan informasi yang dapat disampaikan pada generasi selanjutnya untuk dipelajari. Hal itu terjadi karena text tertuang dalam bentuk yang tertulis sehingga memiliki sifat medium yang mudah untuk dipahami dan dipelajari kembali kandungan pesan yang ada dalam suatu text untuk diungkapkan dalam peristiwa masa kini dalam kontekstualisasi. Tugas hermeneutika untuk merobek aliansi yang meliputi pesan yang terkandung dalam text yang tertulis tersebut. [11]
Untuk mengenal tekstologi sebaiknya dikutip dalil Lichcev yang memberi gambaran tekstotologi :[12]
(i)                 Tekstologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah text suatu karya. Salah satu penerapan praktis ilmu ini ialah suntingan ilmiah text bersangkutan
(ii)               Pertama-tama peneliti text baru kemudian penerbitnya
(iii)             Edisi text harus menggambarkan sejarahnya
(iv)             Tidak ada kenyataan tekstologi diluar penjelasannya
(v)               Kesaksian perubahan text yang sadar diadakan (secara ideologis estetis, psikologis, dan sebagainya) harus diberi prioritas atas kesaksian perubahan text yang mekanis (kesalahan tak sengaja oleh penyalin)
(vi)             Text perlu diteliti sebagai keseluruhan (prinsip kekomplekan pada peneliti text)
(vii)           Juga bahan penyerta tekstologi (konvoi, kolofon, dan lain-lain)
(viii)         Perlu diteliti bayangan sejarah text sebuah karya dalam monumen sejarah lain
(ix)             Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan scriptoria masing-masing perlu diteliti
(x)               Rekonstruksi suatu text tidak dapat menggantikan text yang diturunkan secara factual
Jika memhami dalil Lichacev di atas ternyata metode dan prinsip-prinsip tekstologi tak dapat sepenuhnya diterapkan pada ilmu hukum. Tekstologi ternyata bersifat historis dan komparatif. Sifat tekstologi seperti itu lebih tepat diterapkan dalam kajian sejarah hukum dan perbandingan hukum. Dalil Lichecev tersebut lebih khusus dalam bidang sejarah dan sastra, sebab itu penerapan dalam dalam bidang hukum memerlukan penyesuaian. Tetapi, usaha demikian berarti membuka usaha baru atau mencari hal baru dalam ilmu hukum, hal itu akan menimbulkan kesukaan. Apabila prinsip-prinsip tekstologi akan diterapkan dalam penafsiran akademik dari pada penafsiran praktikal.[13]

D. Memahami dan Menerangkan 
Yang dilakukan bidang-bidang humaniora ialah usaha untuk memahami. Usaha memahami dipertentangkan dengan usaha menerangkan. Perbedaan ini merupakan persoalan epistomologi yang cukup penting. Perbedaan antra memahami (Versetehen) dan menerangkan (Erklaren) adalah perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu alam dalam rangka epistemologi antara Geisteswissenschaft dan Natuurwissenchaft.  Memahami adalah usaha manusia untuk menghadirkan kembali makna historis dari pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam batin dengan melakukan penafsiran secara terus menerus khususnya terhadap text. Dengan usaha memahami, pengalaman orang lain dihidupkan kembali atau diwujudkan dalam bahasa. Memahami terjadi secara terus menerus. Memahami tidak hnya terjadi secara introspektif tetapi juga dilakuakan sunguh-sungguh  dengan penalaran. Memahami berbeda dengan menerangkan. Dalam memhami yang terjadi ialah pengertian data, sedangkan dalam menerangkan yang terjadi ialah pengertian data,sedangkan dalam menerangkan  selalu terbatas pada gejala-gejala yang dapat diamati secara lahiriah, sedangkan dalam memahami ditelusuri batin dari kenyataan historis. Walaupun demikian sebenarnya perbedaan antara memahami dan menerangkan sedemikian tipis. Dalam rangka penafsiran text sering ternyata bahwa memahami text tidak bisa lepas dari konteks hidup penafsiran. Terdapat hubungan yang erat antaraadedidikirawan text yang ditafsirkan dalam ruang dan waktu penafsir dengan ruang dan waktu penyusun text. Sebuah text adalah kristalisasi dari pengalaman-pengalaman yang dialami oleh penyusun text. Dalam usaha penafsirannya penafsir tak bisa lepas dari kepentingan,keadaan-keadaan dan pemikiran-pemikiran yang sedang terjadi. Sebab itulah dalam pemahaman sudah terpaut antara yang realitas dan yang rasionalistis. Dalam pemahaman ada prapemahaman berupa unsur-unsur beban bawaan yang ada dalam dir penafsir yakni peristiwa-peristiwa aktual(realitas) yang sedang terjadi.[14]
Disamping itu memahami sebenarnya tersirat di dalam menerangkan.dalam proses penelitian berupa penyusunan data sudah terkandung usaha-usaha untuk memahami. Seorang peneliti akan melakukan penelitian apabila ia sebelumnya sudah memahami persoalan yang akan ditelitinya. Kemudian sesudah penelitian dilakukan ia juga harus menafsirkan data-data yang sudah diorganisasikannya. Jadi, ada interaksi antara memahami dan menerangkan dalam usaha penelitian empiris maupun dalam penafsiran rasional. Pemahaman adalah proses kognitif dan afektif. Sebagai proses kognitif, pemahamanadedidikirawan bersifat personal. Pemahaman terjadi dengan mengadakan konstruksi di dalam batin segala pengalaman yang hendak ditafsirkan. Sebab itu pemahaman bersifat subjektif. Seolah-olah pemahaman hanya mementingkan unsur dalam dari manusia dan melupakan perbuatan sebagai unsur luar. Hal itu merupakan salah satu kritik atas hermeneutika sebagai pemahaman yang ternyata pemahaman hermeneulityis jangkauannya terbatas tidak memperhatikan interaksi dalam perbuatan manusia dan pemahaman cenderung mendekati individualisme metodologis. Pemahaman bersifat kohren. Bagian-bagian ditempatkan dalam keseluruhan dan keseluruhan pada bagian-bagian. Pemahaman menyatukan bagian-bagian sehingga terjadi integrasi. Pemahaman juga mengadakan interelasi yakni terjadi saling hubungan antara bagian.[15]

E.  Penafsiran
Teknis dari usaha memahami ialah penafsiran. Dengan menafsirkan sesuatu terjadi pemahaman atas makna terdalamadedidikirawan dari sesuatu. Persentuhan manusia dengan hal diluar dirinya sudahmerupakan titik awal dari penafsiran. Sedangkan yang membedakan satu penafsiran dari penafsiran yang lain ialah intensitasnya, kuantitas dan kualitasnya, keluasan dan kedalamannya. Terdapat perbedaan antara penafsiran biasa dan penafsiran secara serius sebagai displin. Penafsiran adalah tindakan untuk menangkap makna-makna dari text. Tidak hanya terhadap text-text tertulis  tetapi juga terhadap text-text lisan atau malahan terhadap suatu peristiwa. Dalam pemikiran burger penafsiran sosiologi sebenarnya ditujukan atas peristiwa. Bahwa suatu peristiwa perlu dipahami atau ditafsirkan didasarkan pada pendangan bahwa setiap peristiwa atau fakta dalam ilmu pengetahuan atau peristiwa biasa tidak ada yang mentah tetapi selalu didasari oleh suatu kerangka konseptual tertentu. Pengamatan atas suatu peristiwa selalu tidak lepas dari seleksi yang dilakuakn oleh pengamat. Dengan demikian. Deskripsi atas peristiwa-peristiwa perlu mendapat pemahaman yang dilakukan dengan penafsiran. Dengan penafsiran itulah struktur dalam dari konsep hendak diungkapkan.[16]
Dalam penafsiran secara langsung pada peristiwa adalah boleh jadi tetapi damadedidikirawan tindak penafsiran yang lebih terdisiplin diperlukan deskripsi atas peristiwa yang terjadi. Itu berarti telah terjadi dua tahap seleksi atas peristiwa. Pertama, peristiwa yang tercerap oleh indra pengamat, dan kedua, peristiwa yang disusun secara sengaja, sebab itu dalam penafsiran sebenarnya ada unsur deskripsi atas peristiwa dan pengungkapan makna atas peristiwa. Dalam hukum, text-text hukum telah mengalami beberapa kali seleksi atas peristiwa yang sengaja atau mengandung konsepsi yang terpilih. Tidakhanya dalam text tertulis (undang-undang, keputusan pemerintah, perjanjian-perjanjian dan lain-lain) tetapi juga atas peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang dipilih oleh suatu kekuasaan umum atau oleh para pihak sehingga mempunyai akibat hukum. Mereka secara langsung atau tidak langsung telah menentukan mana yang merupakan hukum. Dalam mengkategorikan hukum dan hukum sudah terjadi penafsiran. Penafsiran adalah tindak partikular karena terkadang suatu penafsiran hanya dilakuakn untuk suatu hal tertentu. Atau malahan suatu tindak subjektif karena suatu penafsiran mendapat predikat dari penafsirannya. Dengan kata lain akan mendapatkan penafsiran A, Penafsiran B , penafsiranC dan sebagainya atas suatu hal X tertentu. Jadi, akan terdapat keaneragaman penafsiran. Mengapa terjadi keanekaragaman itu terjadi karena yang dicari dalam penafsiran tidak hanya kebenaran tetapi juga kebaikan dan nilai-nilai lainnya. Penafsiran mengandung pencarian etis atau pertimbangan yang bersifat intropeksi etis.  [17]   

F.   Hukum Teori Hukum dan  Bahasa
Bahasa dan hukum yaitu hubungan yang dipelajari dalam teori hukum. Orang tidak dapat membayangkan kegiatan yuridik yang didalam teori hukum. Bahwa belajar hukum orang mempelajari cara berpikir yuridik. Kegiatan ini memang lebih banyak merupakan suatu usaha untuk menguasai bahasa hukum, karena didalam bahasa hukum itulah bermukimnya cara berpikir yuridik. Yang mana dari dua pendangan itu yang dianut orang, akan bergantung pada wawasan yang dimiliki orang tentang hubungan antara kegiatan berpikiradedidikirawan (pikiran) bahasa. Namun hal itu adalah masalah yang dalam ilmu hukum dan dalam praktek hukum tidak dipersoalkan. Untuk itu orang harus lari ke teori hukum dan filsafat hukum. Hubungan antara hukum, pikiran dan bahasa adalah juga suatu tematik yang didalam tinjauan teoretikal bidang hukum tidak boleh dibiarkan tidak terbahas hal itu dalam studi ini juga akan tidak terjadi. Teori hukum dalam arti luas adalah istilah hukum dan teori, dari istilah teori hukum yang harus didefinisikan dengan teori orang sederhana dapat mengartikan suatu keseluruhan pernyataan (klaim, berweningen) yang saling berkaitan. Jika orang meletakan seperangkat pernyataan suatu hubugan, maka dengan begitu orang sudah dapat berbicara tentang teori. Kebanyakan orang membangun suatu teori untuk menjelaskan sesuatu. Demikianlah teori-teori sering orang temukan didalam ilmu. Orang bahkan mengatakan bahwa tugas paling utama dari seorang ilmuwan adalah membangun teori-teori. Namun tidak setiap perangkat pernyataan yang saling berkaitan dapat disebut teori ilmiah. Untuk dapat disebut teori ilmiah, maka teori itu harus memenuhi berbagai syarat. Secara umum orang berpendapat bahwa pada sebuah teori ilmiah setidak-tidaknya hrus ada hipotesis ataau sebuah penetapan permasalahan yang hendak digumuli oleh teori, harus ada metode tertentu yang dalam teori harus dilegitimasi, dan harus ada seperangkat pernyataan yang konsisten dan dapat dikontrol, yang mewujudkan teori itu sebagai produk dari kegiatan ilmiah. [18]
Jika dengan teori mengartikan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan maka teori hukum dapat ditentukan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan derkenaan dengan hukum. Dengan ituadedidikirawan telah cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori (dari istilah teori hukum) dan harus mengarahkan diri pada unsur hukum. Dengan hukum mengartikan sebuah sistem konseptual kaidah-kaidah hukum dan keputusan-keputusan hukum (rechtsbeslissingen).[19]

Penentuan hukum sebagai sistem konseptual temukan juga pada G.C.J.J van den Bergh, RECHT EN TAAL, 1979, 26

Dengan sistem menunjuk lagi bahwa istilah  itu berkenaan dengan suatu keseluruhan yang saling berkaitan adalah sebuah sistem konseptual, karena iaadedidikirawan adalah sebuah gambaran (ontwerp), yang merupakan bagian dari kehidupan rokhani (geetstesleven) manusia. Namun sistem itu dapat dibuat tampak secara inderawi dengan bersaranakan pernyataan-pernyataan bahasa atau ejspresi bahasa (taaluitingen). Akhirnya harus dikemukakan bahwa sistem konseptual kaidah hukum dan keputusan hukum ini adalah produk kesadaran hukum manusia.[20]
Disini digunakan istilah kesadaran hukum dan bukan istilah berpikir hukum atau pikiran hukum, untuk menghindarkan kesalahpahaman bahwa orang berpendapat bahwa hukum itu semata-mata timbul dari pikiran rasional manusia yang ketat. Hukum adedidikirawanikutdibentuk oleh ihwal-ihwal seperti kepercayaan, intuisi etikal atau perasaan manusia, yang didalamnya ihwal rasional dan ihwal irasional terjalin. Hal itu juga tidak meniadakan ihwal bahwa pemikiran rasional adalah faktor terpenting pada pembentukan hukum. Salah satu ciri pikiran rasional itu adalah bahwa ia berikhtiar mencapai saling keterkaitan. Karena itu, hukum sebagai produk kesadaran hukum dapat disebut sebuah sistem konseptual. [21]
Suatu bagian terpenting sistem konseptual dieksplisitkan artinya ia memperoleh suatu bentuk tetap dalam pernyataan-pernyataan bahasa yakni dalam aturan-aturan dan keputusan-keputusan ini dalam suatu masyarakat ditugsakan kepada berwenang (pemerintah). Mereka menuangkan konsep-konsep yuridik yang ada dalam kepala mereka ke dalam formula-formula (rumusan-rumusan) tertentu, yang mewujudkan inti dari sistem hukum, yang di dalam masyarakat dianggap menjadi acuan orang dalam menjalaniadedidikirawan kehidupan. Dengan itu langsung tampil ke permukaan peranan penting dari bahasa untuk hukum. Tanpa bahasa maka hukum akan menjadi mustahil. Dengan memperhitungkan semuanya ini, dapat sampai pada suatu penetapan batasan pengertian definitift tentang  apa yang artikan dengan teori hukum. Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang slaing berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum, yang suatu bagian penting sistem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif. [22]
Jadi hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa. Orang bahkan dapat lebih jauh lagi dan mengemukakan pendapat bahwa juga hukum sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia, karena bahasa yang ia gunakan untuk berbicara. Dalil ini memutuskan kaitan dengan pandangan ke filsafatan tradisional, yang didalamnya bahasa hanya dipandang sebagai sarana bantu, yang dengannya manusia mempresentasikan kepada orang lain pikiran-pikirannya, yang dengannya manusia mempersentasikan kepadaadedidikirawan orang lain prikiran-pikirannya, yang terbentuk terlepas dari bahasanya. Dalam filsafat ini, misalnya Plato, hal berpikir dan hal berbicara adalah dua besaran (ihwal) yang bebas, yang berkenaan dengannya hal berbicara berfungsi mengabdi hal berpikir. Perkataan-perkataan dan pernyataan-pernyataan adalah hanya merupakan sarana transpor yang dengannya pikiran-pikiran diungkapkan (ditransfer). Dalam pandangan tradisional itu tersembunyi pra anggpan bahwa pemikiran manusia, meskipun ada keragaman bahasa, dapat sampai pada hasil-hasil yang isinya universal, yang dengan sarana bahasa apapun dapat disampaikan kepada orang lain.[23]
Filsafat modern, sebagaimana dikatakan, bertolak dari hubungan yang erat antara berpikir dan bahasa. Dalam filsafat analisis bahasa orang semakin memandang pikiran sebagai sejenis prarancangan dari berbicara dengan semua keuntungan yang ada padanya. Bukankah orang dapat meneliti dan menulis, sebab orang dapat mendengar apa yang dikatakan dan melihat apa yang ditulis. Hal itu tidak dapat dilakuakn orang pada pikiran. Dalam cara berbicaraadedidikirawan seolah-olah objek pikiran yang dapat diraba (yakni dapat didengar atau dibaca) ada dihadapannya. Pandangan kefilsafatan modern ini didukung oleh para ilmuwan. Yang tertarik pada studi perbandingan bahsa dalam studi antropologi budaya. Di dalamnya tampil kepermukaan bahwa pikiran manusia sedemikian erat berkaitan dengan bahasanya, sehingga orang-orang dari masyarakat bahasa berbeda juga pikirannya berbeda. Dalam linguistik, dalil ini dikenal sebagai hipotesis Sapir Whorf :[24]
Linguistik adalah ilmu tentang tanda-tanda bahasa (taalteken) linguistik adalah bagian penting dari semiotik, ilmu umum tentang tanda-tanda, yang didalamnya dipelajari di samping tanda-tanda bahasa juga tanda-tanda lain seperti misalnya gerakan jasmani (gebaren). Terkait pada masalah ini perlu dikemukakan pernyataan bahwa adalah berbahaya untuk jika, orang memandang berbagai masyarakat bahasa juga menyebabkan gambaran dunia dan bentuk pikiran yang berbeda-beda, dari dalamnya menarik kesimpulan-kesimpulan berkenaan dengan kualitas dari berbagai pikiran yang berbeda-beda, dari dalamnya menarik kesimpulan-kesimpulan berkenaan dengan kualitas dari berbagai pikiran yang berbeda-beda.[25]
Mengenai masalah kefilsafatan tentang seberapa dekat pikiran fsn bahasa berkaitan, tidak dimasuki lebih jauh disini. Bahwa keberkaitan itu ada dapat diterima dan itu sudah cukup untuk dalam teori hukum memberikan perhatian pada hubunganadedidikirawan antara hukum dan bahasa. Dalam kerangka itu, dalil bahwa mempelajari hukum adalah tidak lain berarti ikhtiar menguasai bahasa para yuris, dapat dipertahankan. Jika demikian halnya, maka yuris tidak dapat mengabaikan keterjalinan filsafat bahasa dan ilmu bahasa. [26]

G. Apa Yang Kita Artikan dengan Bahasa
Pada pandangan pertama tampaknya ini sebuah pertanyaan menuju jalan yang dikenal. Bukankan orang cenderung untuk mengatakan bahwa tiap orang bagaimana pun menggunakan bahasa dengan demikian memang mengetahui apa bahasa itu. Bahkan untuk dapat mengajukan pertanyaan itu orang harus sudah menggunakan adedidikirawanbahasa. Tentu saja, pada tatanan pra refleksif hal itu benar namun jika menteoretisasi, dan itu yang terjadi dalam studi ini, maka kita merenung ulang tentang gejala-gejala yang secara alamiah sudah akrab bagi kita. Pada tataran refleksif itu kita mencoba mencapai suatu batasan pengertian tentang apa persisnya gejala-gejala itu dan dengan itu sampai pada pernyataan (kalim) pertama, yang dapat merupakan bagian dari suatu teori tentang hukum dan bahasa.
Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan itu bergabung dengan penentuan batasan pengertian bahasa dari P.W. Brower (taal en Begripsvorming) ia mengatakan, “kita berbicara tentang suatu bahasa jika terdapat suatu sistem tanda-tanda yang memenuhi syarat-syarat berikut:[27]
1.      Dibuat oleh manusia
2.      Mengabdi komunikasi antar manusia
3.      Diterima dalam suatu masyarakat manusia
4.      Terdiri atas bunyi-bunyi dan/atau tanda-tanda.
Pada penentuan batasan pengertian ini segera tampak bahwa ia berkenaan dengan suatu penentuan (bepaling) dalam arti pembatasan (inperking). Bukankah dari syarat pertama disimpulkan bahwa kita dalam buku ini tidak memandang bahasa binatang sebagai bahasa. Namun dari penelitian biologikal ternyata bahwa beberapa jenis binatang tertentu seperti lumba-lumba, simpanse, memiliki sistem komunikasi. Bahwa sistem ini dalam buku ini tidak termasuk bahasa, sehubungan dengan problematika bahasa dan hukum tidaklah menjadi keberatan. Bukankah hukum oleh kita ditetapkan sebagai sistem konseptual, dan itu pertama-tama adalah sesuatu yang semata-mata produk rokhani manusia. Syarat kedua memberikan fungsi paling utama dari bahasa. Sering kali tentang hal ini digunakan model sederhana: pihak yang berbicara (atau menulis) adalah pengirim dan pihak yang mendengar (atau membaca) adalah penerima, dan terkait padanya bahasa adalah sarana yang menyampaikan informasi. Dalam kenyataan, komunikasi itu lebih majemuk (rumit), sebab penerima itu menginterpretasi informasi dengan caranya sendiri, yang dikirim kepadanya oleh pengirim. Padanya lebih banayak sifat bahasa yang memainkan peranan ketimbang hanya menyampaikan informasi. Bahasa justru dapat digunakan untuk menahan informasi atau untuk memberikan informasi yang salah, kadang-kadang bahkan untuk menyampaikan sesuatu yang lain ketimbang informasi, sepertiadedidikirawan misalnya dalam doa puisi dan cinta. Tentang syarat ketiga, yang didalamnya aspek sosial bahasa sekali lagi ditampilkan, saya tidak akan mendalami lebih jauh, sebab syarat ini sesungguhnya merupakan pra pengandaian bagi yang kedua komunikasi. Syarat keempat merupkan baik pembatasan maupun pembedaan dalam bahasa. Tanda-tanda bahasa harus terdiri atas bunyi-bunyi atau tanda-tanda tertulis, semua tanda lain adalah bukan tanda bahasa. Kedipan mata, mengangkat bahu, lambaian sapu tangan, tanda perintah untuk berhenti dari polisi atau gerakan anggota badan lain. Dengan demikian tidak termasuk tanda-tanda bahasa dan itu adalah sebuah pembatasan. Di  sampingnya terdapat dua jenis tanda-bahasa, lisan dan tulisan (aksara). Sesungguhnya tanda bahasa jenis kedua diturunkan (diderivasi) dari yang pertama. Sangat banyak bahasa yang belum lama memiliki tanda bahasa tulisan. Beberapa bahasa belum memiliki tulisan. Yang tidak berarti bahwa bahasa-bahasa itu inferior. [28]     

H.    Beberapa Pembedaan  dalam  bahasa
Disamping pembedaan dalam bahasa lisan dan bahasa tulisan terdapat pembedaan lain berkaitan dengan bahasa. Yang paling terkenal adalah antara bahasa pergaulan (omgangstaal) atau bahasa alamiah (natuurlijketaal) dan bahasa artifisal (kunstmatige taal) atau bahasa ilmiah (wetenschappelijketaal). Bagi kita adalah intersan apakah kita harus mengkualifikasi bahasa hukum sebagai bahasa pergaulan atau sebagai bahasa ilmiah. Jika hukum positif harus berfungsi di dalam masyarakat, maka hukum positif itu harus berfungsi di dalam masyarakat, maka hukum positif itu harus terbuka bagi para warga masyarakat itu. Atuaran-aturan dan putusan-putusan hukum positif dengan demikian harus memperlihatkan pemakaian bahasa yang tidak terlalu jauh dari bahasa pergaulan. Walaupun demikian, para yuris dalam ilmu mereka telah mengembangkanadedidikirawan suatu arsenal (perbendaharaan) pengertian-pengertian yang relatiif banyak, yang pada pemakaian perkataan-perkataan mereka memberikan arti yuridik spesifik. Di dalam hukum juga terdapat banyak formulasi tradisional yang telah lepas dari bahasa pergaulan. Jadi bahasa hukum dalam asasnya masih merupakan bahasa pergaulan, tetapi bahasa hukum itu demikian banyak menggunakan perkataan dan ungkapan yuridik yang khas, sehingga ia tampak merupakan bahasa teknikal tersendiri. Memberikan bantuan hukum sering terdiri atas menerjemahkan bahasa hukum kedalam bahasa pergaulan. Namun kita tidak berbicara tentang suatu bahasa ilmiah hukum yang sesungguhnya, karena aspek struktural bahasa hukum masih tetap struktur bahasa pergaulan.[29]
Suatu pembedaan lain dalam bahasa terutama untuk pendekatan ilmiah terhadap bahasa adalah penting. Kita dapat saja dalam pergaulan berbicara tentang bahasa pergaulan. Jika kita melakukan hal itu, maka kita berhadapan dengan dua fungsi dari bahasa. Bahsa yang didalamnya (yang dengannya)  berbicara dan bahasa yang tentangnya  berbicara. Bahasa yang pertamaadedidikirawan adalah bahasa meta dan yang kedua bahasa objek. Jadi  seharusnya  memperhatikan apakah berurusan dengan pernyataan-pernyataan bahasa pada tataran yang sama. Jika hal itu tidak demikian maka pembedaan antara meta bahasa dan bahasa objek akan bermakna. Di atas tadi sudah berjumpa dengan pembedaan ini. Jika suatu bahasa artifisial dijelaskan dalam bahasa pergaulan, maka bahasa pergaulan itu yang berfungsi sebagai meta bahasa dan bahasa artifisal itu berkedudukan sebagai bahasa objek.[30]
Pembedaan antara meta bahasa dan bahasa objek dipandang penting untuk menyelesaikan paradoks. Dalam logika, yang dimaksud dengan paradoks adalh sebuah putusan yang baik persetujuan maupun penyangkalannya membawa pada pertentangan.  Dalam adedidikirawanbahasa sehari-hari yorang mengartikan paradoks sebagai suatu yang lain, yakni putusan yang tampaknya tidak masuk akal namun sesungguhnya ia benar. Contohnya putusan dengan kalimat yang pertama akan menjadi yang terakhir. Hal tidak masuk akalnya terletak dalam hal bahwa perkataan-perkataan yang digunakan dalam putusan itu pada pandangan pertama bertentangan. Perkataan-perkataan itu sesungguhnya dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Jika terpilih tafsiran yang tepat, maka putusan itu tidak lagi tidak masuk akal.[31]
Paradoks-paradok seperti yang dikemukakan diatas menyebabkan orang menngadakan pembedaan antara kedua tataran bahasa yang berkenaab dengannya pada akhirnya tatran meta yang menentukan kebenaran dari sebuah putusan. Namun ini dalam dirinya membawa konsekuensi bahwa orang tidak dapat menunjukan bahsa yang berbicara tentang hubungan antara bahasa objek dan dunia yang ia paparkan. Bukankah hal itu hanya dapat terjadi dalam sebuah meta bahasa karena disini dibicarakan tentang suatu bahasa  lain (bahasa objek). Namun bahasa harus sekaligus berkenaan dengan benda-benda (hal-hal) di dalam dunia dan dengan itu per definisi juga adalah bahasa objek. Itu membawa pada kesimpulan bahwa bahasa itu sekaligus meta bahasa dan bahasa objek yang menyebabkan pembedaan  kembali menjadi kurang bermakna. Filsuf Wittgenstein dalam filsafat bahasa terdahulunya mencoba ke luar dari kesulitanadedidikirawan dengan berpegang teguh pada titik tolak bahwa bahasa itu hanya bermakna jika ia mencerminkan dunia kenyataan. Mengingat meta bahasa tidak melakukan hal itu, maka ia menurut Wittegenstein akan tidak bermakna. Sayangnya dalil itu juga tidak menghilangkan kesulitan. Putusan-putusan Wittgestein tentang bahasa yang bermakna (yakni bahasa objek) dan bahasa yang tidak bermakna (yakni meta bahasa). Per definisi berada pada tataran yang bersifat meta bahasa, sebab putusan-putusan itu berbicara tenteng bahasa sebagai objek. Hal itu memunculkan kesimpulan bahwa putusan-putusan itu berdasarkan kriterium itu, yang ditetapkan oleh Wittgenstein sendiri, tidak dapat dikualifikasi sebagai bermakna. Bukankah putusan-putusan itu termasuk dalam meta bahasa yang menurut Wittgen stein tidak bermakna.[32]

I.       Hukum dan Ilmu Bahasa
1.   Beberapa Pembedaan  Dalam Ilmu Bahasa
Beberapa orang mengatakan bahwa dalam ilmu bahasa modern dewasa ini, semiotik menempati posisi sentral. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Istilah ilmu semiotik muncul dalam karya tulis Locke. Namun semiotik baru dikembangkan sebagai ilmu sekitar peralihan abad ke 19 ke abad 20 oleh Charles S. Peirce. Lingkup semiotikadedidikirawan itu relatif luas sehingga dalam ilmu ini dapat di bedakan ilmu-ilmu spesialisasi lain. Terdapat berbagai cara penggolongan ilmu-ilmu itu. Pada W.A Peter dapat ditemukan penggolongan berikut pertama-tama hrus diadakan pembedaan antara ilmu tentang tanda bahasa, yakni linguistik, yang terpaut padanya filologi dapat dipandang sebagai pelopornya, dan ilmu tentang tanda-tanda lain. Linguistik dapat dibagi lagi ke dalam linguistik terapan, yang kedalamnya termasuk misalnya cybernetik dan pengajaran bahasa, dan linguistik murni. Pada gilirannya, linguistik murni terdiri atas cabang linguistik deskripsi linguistik hirostikal, dan perbandingan linguistikke dalam linguistik deskriptif termasuk ilmu-ilmu yang terkenall seperti fonologi (ilmu tentang bunyi-bunyi) dan Gramatika.apa yang dimaksud diatas adalah pembagian formal semiotik berdasarkan spesialisasi keahlian. Yang lebih menarik (penting) adalah pembagian yang lebih materiil dalamadedidikirawan semiotik, yang pembagiannya dilakukan atas dasar aspek-aspek dari tanda-tanda itu sendiri, dalam paragraf ini pembagian yang paling dikenal menempati posisi sentral. Yang dimaksud adalah pembagian yang dilakukan oleh Ch Morris pada tahun 1946 dalam bukunya sign language and behavior. Di dalamnya semiotik dibagi dalam tiga bagian:[33]
a.    Sintaktik : disini dipelajari perkaitan diantara tanda-tanda satu dengan lainnya. Pusat perhataiannya adalah bentuk atau struktur tanda-tanda itu. Jika ihwalnya berkenaan dengan tanda-tanda bahasa, maka sintaktik itu berkaitan erat dengan apa yang diatas sudah disebut gramatika.
b.    Semantik : teori tentang arti-arti. Disini dipelajari perkaitan antara tanda-tanda dan yang diartikan (debetekende). Pusat perhatian nya isi tanda-tanda itu.
c.    Pragmatik: disini dipelajari perkaitan antara tanda-tanda dan pemakainya. Pusat perhatiannya adalah fungsi tanda-tanda.
Tentang pembagian ini dapat dikemukakan dua catatan. Pertama-tama harus dikemukakan bahwa tiga bagian itu berkaitan erat. Bukankah sebuah tanda baru yang menjadi tanda dalam suatu sistem tanda-tanda, dan sistem tersebut baru berfungsi dalam penggunaannya, dalam arti bahwa tanda-tanda itu memperoleh arti singkatnya justru dalam ajaran arti-arti bentuk isi dan fungsi dari tanda-tanda dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Kedua, harus dikemukakan bahwa terhadap berbagai tataran bahasa pada pembagian tiga tersebut di atas terdapat objek-objek studi lain. Pada tataran kedua dari bahasa, ihwalnya dalam sintaktik misalnya berkenaan dengan putusan dan kalimat, dalam semantk berkenaan dengan proposisi, dan dalam pragmatik berkenaan dengan tindakan-tindakan bahasa(taaldaad). Berbagai objek studi ini dapat diilustrasikan dengan sebuah contoh misalkan bahwa pada malam hari anada berjalan di jalan dan pada suatu saat yang tidak terduga seorang teman anda melompat ke hadapan anda dan berteriak : Berhenti ppolisi arti pristiwa bahasa ini dapat dipelajari dengan adedidikirawanberbagai cara menurut bentuk, menurut isi, atau menurut fungsi. Sintatikal kita dapat melihat apakah tanda-tanda dari peritah itu dibentuk menurut cara yang tepat. Lalu kita mempelajari putusannya. Semantikal ihwalnya berkenaan dengan menentukan isi perintah itu. Dengan itu mengarahkan diri pada tindakan bahasa. Dalam kejadian ini perintah itu harus dipandang sebagai suatu lelucon.[34]
2.      Klasifikasi Putusan Proposisi dan Tindakan Bahasa.
Hubungan perkaitan antara Sintaktik, semantik, dan pragmatik antara lain:[35]
a.     Sintaktik. Pada dataran ini terdapat kalimat atau putusan. Pada klasifikasi kalimat ini di dalam sintaktik tidak perlu berhenti lama, sebab hal itu sudah lama ditanamkan dalam gramatika. Pembagian yang paling utama adalah pembagian dalam kalimat-kalimat indikatif (bentuk yang menunjukan) imperatif (bentuk memerintah), dan konjungtif (yang mengaitkan) selanjutnya berbicara tentang kalimat-kalimat dengan corak membangkitkan semangat, bertanya berseru tetapi karena bentuk-bentuk dalam bahasa Belanda ini tidak membawa dampak pada penafsiran kata kerja, maka pembagian ini tidak begitu penting.
b.      Semantik. Pada dataran iniadedidikirawan terdapat proposisi atau pendapat berkenaan dengan proposisi dibuat beberapa pembagian pertama-tama terdpat perbedaan antara proposisi kognitif dan proposisi non kognitif. Jenis proposisi yang pertama memiliki isi pengetahuan akal budi (keninhoud) yang kedua tidak. Pada penggolongan kedua dibedakan tiga jenis proposisi berikut:
1)      Proposisi yang memberikan pemberitahuan tentang fakta-fakta, yang dinamakan proposisi informatif atau proposisi empirik.
2)      Proposisi yang memerintahkan melarang atau mengizinkan perilaku tertentu, yang dinamakan proposisi normatif
3)      Proposisi yang memiliki sifat menilai, yang dinamakan proposisi evaluatif . dalam kerangka ini sering dibedakan tiga jenis penilaian yakni:
a)      Estetikal (bagus atau jelek)
b)      Moral atau etikal (baik atau buruk)
c)      Teknikal atau pragmatikal (tepat atau salah)
Perlu dikemukakan bahwa tidak semua proposisi dengan sama mudah ditempatkan dalam pembagian tiga ini.beberapa penulis menempatkan proposisi eavaluatif ke dalam proposisi informatif. Banyak yang dapat dikemukakan.
Beberapa penulis meletakan hubungan antara kedua pembagian dalam proposisi-proposisi itu. Hanya proposisi informatif yang kognitif, sedangkan proposisi normatif dan evaluatif adalah nonkognitif. Latar belakang dari hal ini adalah perbedaan daam pendirian bidang teori pengetahuan (kentheorretische stellingname) . penulis-penulis yang meletakan hubungan ini pada umumnya dapat ditemukan dalam lingkungan aliran kefilsafatan positivisme. Dalam aliran ini berpendapat bahwa orangadedidikirawan hanya dapat berbicara tentang pengatahuan, jika pengetahuan itu dapat diuji secara empirik, artinya dengan bersarankan pengamatan inderawi. Jika pengujian itu tidak mungkinn dilakuakn, maka pengetahuan itu tidak ada dan a fortiori  tidak ada pengetahuan ilmiah. Akan menjadi jelas bahwa penulis-penulis ini menganut teori korespondensi sebagai teori kebenaran. Mereka juga akan memandang filsafat hukum, kebanyakan teori hukum dan dogmatik hukum sebagai bukan ilmu. Para penganut teori kebenaran pragmatik tidak mengalami kesulitan untuk memandang proposisi-proposisi normatif dan evaluatif sebagai benar.
c.       Pragmatik. Sebagaimana yang sudah dapat diharapkan berdasarkan apa yang baru dikemukakan, klasifikasi proposisi berdekatan dengan kalsifikasi tindakan bahasa. Klasifikasi tindakan bahasa yang paling terkenal adalah klsifikasi dari J. Searle, ahli bahasa kedua yang disamping Austin mempelajari problematikaadedidikirawan tindakan bahsa. Kriterium untuk pembedaan yang digunakannya adalah jenis ilokusi, artinya peranan yang dipenuhi hal berbicara di dalam komunikasi, yang pada suatu tindakan bahasa tertentu menjadi pokok persoalan. Berdasarkan kriterium itu Searle sampai pada lima jenis tindakan bahasa, yang kemudian oleh ahli-ahli behasa yang lain ditambahkan jenis keenam, jadi dibedakan enam jenis tindakan bahasa berikut:
1)      Tindakan bahasa deskriptif atau informatif, yang menggunakan sebuah kalimat untuk menyatakannya.
2)      Tindakan bahasa direktif, yang padanya pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk mencoba menggerakan pendengarnya melakukan sesuatu, misalnya dengan memohon atau memerintahkan sesuatu kepadanya. Dengan demikian termasuk kedalamnya apa yang oleh yuris sering dibedakan pemakaian bahasa preskriftip.
3)      Tindakan bahasa ekspriftip, yang dalam hal ini pembicaraan menggunakan sebuah kalimat untuk mengungkapkan perasaannya atau sikap tertentu.
4)      Perikatan yang dengan itu pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk menyatakan bahwa ia mengikatkan diri akan melakukan atau tidak melakuakn suatu perbuatan
5)      Tindakan bahasa institusional, yang dalam hal ini pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk sebuah pernyataan atau sebagai suatuadedidikirawan cara mewujudkan kewibawaan. Kalimat-kalimat ini diucapkan dalam kerangka institusi-institusi oleh otoritas atau pejabat tinggi , misalnya pada pembukaan gedung atau jalan, pembaptisan kapal (atau orang), pengangkatan, pernyataan perang dan sebagainya.
6)      Tindakan bahasa mengevaluasi, dalam hal ini pembicara menggunakn sebuah kalimat untuk mewujudkan nilai dari sesuatu seseorang
Berkenaan dengan klasifikasi tindakan bahasa muncul masalah yang sama seperti pada klasifikasi proposisi. Dari teksnya tampak bahwa beberapa tindakan bahasa dapat dimasukan ke dalam lebih dari satu klasifikasi. Jadi klasifikasi menyangkut lebih banyak aspek tindakan bahasa ketimbang kategori-kategori yang saling menutup.
Kita masih  berhenti sebentar pada klasifikasi tindakan bahasa ini untuk melihat tindakan bahasa yang mana yang terutama digunakan oleh para yuris. Tentu saja dalam hukum muncul tindakan-tindakan bahasa deskriptif, sebab di dalam hukum hal menyampaikan informasi itu sangat penting. Tindakanadedidikirawan bahasa evaluatif juga tidak akan absen pada pengembanan imu hukum. Dalam hukum terutama berkenaan dengan hal mempengaruhi perilaku dan dalam kerangka itu diperlukan tindakan-tindakan bahasa direktif dan institusional serta perikatan. Karena tindakan bahasa direktif dan perikatan sudah jelas dengan sendirinya, maka masih akan memberikan perhatian pada tindakan bahasa institusional.
Tindakan bahasa instutisional adalah tindakan bahasa yang di dalamnya dengan pernyataan sesuatu diadakan. Atau seperti Searle mengatakannya: where saying makes it so. Jadi tindakan bahasa ini menciptakan suatu situasi baru. Tindakan bahasa ini disebut tindakan bahasa institusional, karena dilaksanakan dalam kerangka sebuah institusi. Dalam institusi  terdapat aturan-aturanadedidikirawan konstitutif yang menentukan bila tindakan. Tindakan bahasa ini menimbulkan akibat institusional. Di dalam hukum terdapat banyak jenis institusi semacam itu yang dikenal :perundang-undangan, peradilan, pemerintah, dan sebagainya. Aturan konstitutif sering menentukan bahwa tindakan bahasa institutsional harus di dampingi dengan formula tetap tertentu, misalnya diktum sebuah undang-undang, untuk memperlihatkan secara jelas bahwa tindakan bahasa menimbulkan akibat institusional.
Orang dapat melangkah lebih jauh dan memandang keseluruhan hukum positif sebagai sebuah isntitusi. Sebab, hukum positif menetapkan bila pada perbuatan atau kejadian itu tindakan bahasa menempati posisi sentral, maka tindakan bahasa itu dapat dikualifikasi sebagai tindakan bahasa institusional sebab akibatnya adalah bahwa kejadian atau perbuatan itu sejak saat itu relevan untuk hukum.