BAB II
PENYELSAIAN SENGKETA DALAM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI HUBUNGKAN DENGAN GATT DAN WTO
Transaksi-transaksi
atau hubungan dagang banyak bentuknya,
dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang,
produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain semua
transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya
sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelsaian negoisasi. Jika cara
penyelsaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya
seperti penyelsaian melalui pengadilan atau arbitrase.[1]
Penyelsaian
sengketa baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali didassarkan
pada suatu perjanjian diantara para pihak. Langkah yang bisa di tempuh adalah
dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausula penyelsaian
BAB II
PENYELSAIAN SENGKETA DALAM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI HUBUNGKAN DENGAN GATT DAN WTO
sengketa ke dalam ko bisa di tempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau
memasukan suatu klausula penyelsaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian
yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.[2]
Dasar
hukum bagi forum atau badan penyelsaian sengketa yang akan menangani sengketa
adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakan, baik pada waktu
kontrak atau setelah sengketa timBUL
A. PARA PIHAK DALAM SENGKETA
Memuat
beberapa stakeholders atau subjek
hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, perusahaan atau
individu, dan lain-lain. Dalam uraian berikut, para pihak yang menjadi
pembahasan dibatasi hanya antara pertama, pedagang dan pedagang, dan kedua
pedagang dan negara asing.[3]
1.
Sengketa
antara Pedagang dan Pedagang
Sengketa
antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi.
Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari. Sengketanyya diselsaikan
melalui berbagai cara. Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan
kesepakatan para pihak Kesepakatan dan kebebasan akan pula menentukan forum
pengadilan apa yang akan menyelsaikan sengketa mereka. kesepakatan kebebasan
pula yang akan mnentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan olleh
badan pengadilan yang mengadili sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para
pihak merupakan hal yang esensial. Hukum menghormati kesepakatan dan kebebasan
tersebut. Sudah barang tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut. Sudah barang
tentu, kesepakatan dan kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Biasanyya
batas-batas tersebut adalah tidak melanggar undang—undang dan ketertiban umum.[4]
2.Sengketa antar Pedagang dan Negara Asing
Sengketa
antara pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian kontrak-kontrak
dagang antara pedagang dan negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak
seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk
didalamnya adalah kontrak-kontrak pembangunan (development contracts), misalnya, kontrak di bidang
pertambangan.Yang menjadi masalah adanya konsep imunitas negara yang diakui
hukum internasional. Konsep imunitas ini paling tidak berpengaruh terhadap
keputusan pedagang untuk menentukan penyelsaian sengketanya. Masalah utamanya
adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi apa pun,
tidak akan makalahadedidikirawanpernah dapat diadili dihadapan badan-badan peradilan asing.[5]
Namun
demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak
semata-mata mengakui atribut negara sebagai subjek hukum internasional yang sempurna
(par excellence ). Hukum
internnasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subjek hukum
internnasional terbatas.Oleh karena itu,
dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperi dan jure
gestiones. Jeri imperi adalah
tindakan-tindakan negara di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu
negara yang berdaulalt. Oleh karena itu, tindakan-tindakan seperti itu tidak
akan pernah dapat diuji atau diadili di hadapan badan peradilan.[6]
Konsep
kedua, jure gestiones, yaitu
tindakan-tindakan negara dibidang keperdataan atau dagang, oleh karena itu,
tindakan-tindakan seeperti itu, tidak lain adalah tindakan-tindakan negara
dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat), sehingga
tindakan-tindakan seperti itu dapat dianggap sebagai tindakan-tindakan
sebagaimana layaknnya para pedagang biasa. Oleh karena itu, tindakan-tindakan
seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa dapat saja diselsaikan dihadapan
badan-badan peradilan umum, arbbitrase, dan lain-lain.Sebaliknya, negara-negara
yang mengajukkan bantahannya bahwa suatu badan peradilan tidak memiliki
juridiksi untuk mengadili negara sebaggai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya
ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestionesini.[7]
B.PRINSIP-PRINSIP PENYELSAIAN
SENGKETA
Dalam
hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsiip
mengenai penyelsaian sengketa perdagangan internasional:[8]
1.
Prinsip
kesepakatan para pihak (konsensus)
Prinsip
kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam penyelsaian sengket
perdagangan internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan
atau tidaknya suatu proses penyelsaian sengketa. Prinsip ini pula dapat menjadi
dasar apakah suatu proses penyelsaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri.
Jadi, prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase)
harus menghormati apa yang para pihak sepakati.[9]
Termasuk
dalam lingkup pengertian kesepakatan ini adalah:[10]
1) Bahwa
salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau
menyesatkan pihak lainnya;
2) Bahwa
perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak.
Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus
pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2.
Prinsip
Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelsaian Sengketa
Prinsip
penting kedua adalah di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk
menentukan dan memilih cara atau makanisme bagaimana sengketanya diselsaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 The UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai
perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan
arbitrase. Menurut Pasal ini, penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan
kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke
badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk
memilihnyya.[11]
3.
Prinsip
Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip
penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri
hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya di selsaikan) oleh badan
peradilan (arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk
menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan(ex aequo et bono). Prinsip terakhir ini
adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu makalahadedidikirawanpenyelsaian sengketa.
Contoh kebebasan memilih ini yang harus di hormati oleh badan peradilan adalah
Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut:[12]
The arbitral tribunal shall decide the dispute in
accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to
the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a
given state shall be constured, unless otheruise expressed, as directly
referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law
rules.
4. Prinsip Itikad Baik
(Good
Faith)
Prinsip
itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral
dalam penyelsaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya
itikad baik dari para pihak dalm menyelsaikan sengketanya.Dalam penyelsaian
sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik
disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi
hubungan-hubungan baik diantara negara.Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada
ketika para pihak menyelsaikan sengketanya melalui cara-cara penyelsaian
sengketa yang dikenal dalam huukum (perdagangan) internasional, yakni
negoisasi, mediasi, konsoliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan
para pihak lainnya.[13]
5.
Prinsip Exhaustion of local Remedies
Prinsip
Exhaustion of local remedies sebenarnya
semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional . dalam upayanya
merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, komisi hukum internasional PBB (international Law Comission ) memuat
aturan khusus mengenai prinsip ini dalam Pasal 22 mengenai ILC Draft Article on State Responsibility.Pasal 22 ini menyatakan
sebagai berikkut:[14]
When the conduct of a state has created a situation
not in conformity with the result of it by an international obligation
concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or
juridicial persons, but the obligation allows that this or an equivalent result
may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the state, there is a breach
of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the efective
local remedies available to them without obtaining the treatment called for by
the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment
Menurut
prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak
mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelsaian
sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukummakalahadedidikirawan nasional suatu negara harus
terlebih dahuluu ditempuh (exhausted).
Dalam sengketa the interhandle case(1959), mahkamah internasional menegasskan:[15]
Before resort may be had to an internatiional court
the state where the violation occured sholud have an opportunity to redress it
by its owns means, within the framework of its own domestic legal system.
C.FORUM PENYELSAIAN SENGKETA
Forum
penyelsaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga
sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelsaian sengketa (internasional
) pada umumnya. Forum tersebut adalah negoisasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi,
arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara
penyelsaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.[16]
Cara-cara
sengketa diatas telah dikenal dalam berbagai negara dan sistem hukum di dunia.
Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelsaian sengketa
yang diakui dalam sistem hukumnnya. Misalnya , hukum nasional RI yang dapat
ditemukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelsaian sengketa negara lainnya adalah amerika serikat, Inggris,
Australia.[17]
Berikut
adala uraian singkat mengenai forum-forum teersebut. Tidak semua forum dibahas,
tetapi pada tapi akan dibatasi pada negoisasi, konsiliasi, makalahadedidikirawanpengadilan dan
arbitrase. Sementara ini, penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak
termasuk dlam bahasan.[18]
1.
Negoisasi
Negoisasi
adalah cara penyelsaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan. Penyelsaian melalui negoisasi merupakan cara yang paling penting.
Banyak sengketa diselsaikan setiap harioleh negoisasi iini tanpa adanya
publisitas atau menarik perhatian publik.Alasan utamanya adalah karena dengan
cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelsaian sengketanya. Setiap
penyelsaiannya pun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.
Senada dengan itu, kohona mengatakan bahwa negoisasin adalah an efficacious means of settling disputes
relating to an agreement because they enable parties to arrive at conclusions
baving regard to the wishes of all the disputants.[19]
Kelemahan
utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelsaikan sengketa adalah pertama,
ketika para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain
lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk
menekan pihak lainnya. Hal ini acap kali terjadi ketika kedua pihak
bernegoisasi untuk menyelsaikan sengketa di antara mereka. Kelemahan kedua
adalah bahwa proses berlangsungnya negoisasi acap kali lambat dan bisa memakan
waktu lama. Ini terutama karena sulitnya per masalahan-permasalahan yang timbul
di antara para pihak. Selain itu, jarang sekali ada persyaratan penetapan batas
waktu bagi para pihak untuk menyelsaikan sengketanya melalui negoisasi ini.[20]
Kelemahan
ketiga adalah ketika suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini
dapat mengakibatkan proses negoisasi ini menjadi tidak produktif.Mengenai
pelaksanaan negoisasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu
dibedakan sebagai berikut. Pertama, negoisasi digunakan ketika suatu sengketa
belum lahir (disebut pula sebgai konsultasi). Dan kedua, negoisasi ini
merupakan proses penyelsaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negoisasi).[21]
2.
Mediasi
Mediasi
adalah suatu cara penyelsaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut bisa
individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang.
Mmediator ikut serta secara aktif dalam proses negoisasi. Biasanya ia, dengan
kapasitasnya sebagai pihak yang netral, berupaya mendamaikkan para pihak dengan
memberikan saran penyelsaian seengketa.Usulan-usulan pennyelsaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi
(informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi-informasi yang dibeerikan
oleh para pihak, bukan atas penyelidikannya.[22]
jika
usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi
mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Oleh karena itu, salah satu
fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelsaian),
mengidentifikasi hal-hal yang dapaat disepakati para pihak serta membuat
usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Seperti halnya dalam negoisasi,
tidak ada prsedur-prosedur khusus yang
harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya.
Hal yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan)
cara mediasi, menerima atau tidaknya usulan-usulan yang diberikan oleh
mediator, smpai kepada pengakhiran tugas mediator.[23]
Gerlad
cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai berikut:[24]
Where mediation is successfully used, it generaly
provides a quick cheap and effective
result. It is cleary appropriate, therefore, to consider providing for
mediation or other alternative dispute resolution clause.
Cooke
juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah
mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelsaikan
sengketanya melalui mediasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelsaikan
sengketanya melalui mediasi. Ketika para pihak gagal menyelsaikan sengketanya
melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu
penyelsaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.[25]
3.konsoliasi
Konsiliasi
memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga
untuk menyelsaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk
dibedakan. Istilahnya acap kali digunakan denggan bergantian. Namun menurut
Behrns, ada perbedaan antara kedua istilah ini yaitu, konsiliasi lebih formal
dari pada mediasi. Konsiliasi bisa juga diselsaikan oleh seorang individu atau
suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsilias. Komisi konsiliasi
bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk mmenetapkan
persyaratan-persyaratan penyelsaian yang diterima oleh para pihak. Namun
putusannya tidaklah mengikat para pihak.[26]
Persidangan
suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis
dan tahap lisan. Pertama sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan
kepada badan konsiliasi. Kemudian, badan ini akan mendengarkan keterangan lisan
dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi
bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya,
konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak
disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelsaian sengketanya. Sekali
lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Oleh karena itu, diterima tidaknya
usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.[27]
Contoh
komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank Dunia
untuk menyelsaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules or Procedur for
Conciliatiion Proceeding (Concilition Rules). Namun dalam praktiknya,
penggunaan cara ini kurang populer. Sejak berdiri (1966) badan konsiliasi ICSID
hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982 .(jadi
selama 16 tahun kosong) . namun, sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak
sepakat mengakhiri persengketaannya. Kasus kedua, yaitu Tesoro Petroleum Crop. V.Goverment of trinidad and tobago diterima
tahun 1983. Kasus ini berhasil diselsaikan pada tahun 1985 setelah para pihak
sepakat untuk menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsilliator.[28]
4. Arbitrase
a.
Mengapa Arbitrase dipilih
Arbitrase
adalah penyeraahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga ini bisa
individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (adhoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa
ini arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelsaikan sengketa-sengketa
dagang nasiional maupun internasional. Adapun alasan utama mengapa badan
arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan sebagai berikut:[29]
1) Kelebihan
penyelsaiann sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah
penyelsaiannya yang relatif lebih cepat dari pada proses berpekara melalui
pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan
kembali seperti yang kita dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase
sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelsaian ini sangat dibutuhkan oleh
dunia usaha.
2) Keuntungan
lainnya dari penyelsaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya, baik kerahasiaan mengenai
persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
3) Dalam
penyelsaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memmilih
hakimnya (arbiter) yang menurut mereka netral dan ahli atau spesialis mengenai
pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada
kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tiddak
saja ahli, tetapi ia juga tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai
bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli
asuransi ahli perbankan dan lain-lain.
4) Keunttungan
lainnya dari badan arbbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk
menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatuttan (apabila memang
para pihak menghendakinya).
5) Dalam
hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat
dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselsaikan
melalui misalnya ppengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam
lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu
konvensi New York 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
asing.
b.
Perjanjian
Arbitrase
dalam
praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu,
termasuk arbitrase, termuat dalam klausula penyyelsaian sengketa dalam suatu
kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan
arbitrase kadang-kadang istilah lain yang digunakan makalahadedidikirawanadalah choice of forum atau choice
of jurisdiction. Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak
berbeda. Istilah choice of forum berarti
pilihan cara untuk mengadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan
arbitrase. Istilah choice of jurisdiction
berarti pilihan tempat di mana pengadilan memiliki kewenangan untuk
menangani sengketa.tempat yang
dimaksud Inggris, Belanda, Indonesia, dan lain-lain.[30]
Penyerahan
suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pemmbuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan
kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau
melalui pembuatan suatu klausula arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum
sengketanya lahir (klausul arbitrase atau
arbitration clause). Baik submission clause atau arbitration
clause harus tertuliis syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional
dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase.
Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam Pasal 1Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyellsaian
sengketa. Dalam iinstrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 Ayat2
UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau Pasal II
Konvensi New York 1958. Hal yang perlu ditekankan disini adalah bahwa klausul
arbitrase melahirkan yuridiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi
kewenangan kepada arbitrator untuk menyelsaikan sengketa. Apabila pengadilan
menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase,
pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.[31]
c. Lembaga-lembaga
Arbitrase
Peran
arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional
terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah The London Court of International Arbitration (LCIA), The Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce (ICC) dan the arbitratiion Institute of the Stockholm Chamber of Commerce
(SCC).Disamping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula
oleh adanya suatu aturan arbitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di
dunia, yaitu Model Law on international Commercial Arbitration yang dibuat oleh
the United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL).[32]
5. Pengadilan (Nasional
dan Internasional)
Metode
yang memungkinkan untuk menyelsaikan sengketa selain cara-cara tersebut diatas
adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini
biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelsaian yang ada ternyata tidak
berhasil Peenyelsaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya
dimungkinkan ketika para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul
penyelsaian sengketa dalam kontrak dagang para pihak. Dalam klausul tersebut
biasanya ditegaskan bahwa jika timbul sengketa dari hubungan dagang mereka,
mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan
(naegeri)suatu negara tertentu. Kemungkinan kedua, para pihak dapat makalahadedidikirawanmenyerahkan
sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan
peradilan yang menangani sengketa dagang
ini misalnya saja adalah WTO. Namun, perlu ditekankan disini bahwa WTO hanya
menangani sengketa antar negaraa anggota WTO. Nammun, perlu ditekankan disini
bahwaa WTO hanya menangani sengketa antar negara anggota WTO.[33]
Umumnya
pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau negra) yang
dirugikan karena adanya kebijakan pperdagangan neggara lain anggota WTO yang
merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (internationnal Court Of justice). Namun,
penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan
beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara. Sebagai ilustrasi
adalah peranan Mahkamah Internasionanl (the
international Court of justice). Peranan Mahkamah Internasiional dalam
menyelsaikan sengketa-sengketa ekonomi (termasuk perdagangan ), menurut Mann,
sangatlah “suram”. Selama berdiri (sejak 1945) sampai tulisan ini dibuat,
Mahkamah Internasional hanya mengadili dua kasus di bidang ekonomi
internasional, yakni the ELSI case antara
Amerika Serikat melawan Italia, dan the
Barcelona Traction Case antara Blegia melawan Sepanyol.[34]
Sengketa
The Barcelona Traction merupakan
sengketa terkenal. Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada, Barcelona
Traction, Light and power, Co., didirikan pada tahun 1911. Perusahaan ini
mengoperasikan pembangunan dan pengadaan tenaga listrik disepanyol. Pada tahun
1968, pengadilan sepanyol memutuskan perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini
ditindaklanjuti oleh serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut,
pemerintah Kanada kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya
melindungi kepentingan warga negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena
ternyata pemegang saham mayoritas dalam perusahaan tersebut dimiliki warga
negara Belgia yaitu sebesar 88%. Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga
negaranya yang dirugikan oleh tindakan pemerintah Spanyol itu membawa
sengketanyamakalahadedidikirawan ke Mahkamah Internasional. Sepanyol menolak gugatan pemerintah
Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini.
Dallam putusannya Mahkamah Internasional setuju dengan Spanyol.[35]
Alasan
F.A Mann menyatakan ‘hasil kerja’ Mahkamah Internasional ini ‘suram’, pada
dasarnya karena dua alasan. Pertama, kurang
adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai duduk perkaranya. Kedua, kurangnya keahlian atau kemampuan Mahkamah
pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan
internasional. Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini
yuridiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah
Internasional. Semantara itu, kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan
perdagangan internasional dewasa ini peranan subjek-subjek hukum perdagangan
internasional nonnegara juga penting. Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.
Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu
organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup
penting dalam menyelsaikan sengketa-sengketa yang timbul dari
perjanjian-perjanjian perdagangan internasional.[36]
Contoh
yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam kerangka GATT
(kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel yang
menyelsaikan sengketa-sengketa ekonomi internasional antar negara-negara
anggota GATT/WTO. Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan
sengketanyaa kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena
hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli
atau spessialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya perasaan dari sebagian
besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan (Internasional)
yang dianggap kurang tepat untuk menyelssaikan sengketa-sengketa ekonomi
internasional antar negara-negara anggota GATT/WTO. Faktor penting yang
mendorong negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan
peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus seorang
ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa.
Kedua, adanya perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada
suatu badan peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk
menyelsaikan sengketa-sengketa dalam bidang perdagangan internasional.[37]
a)
Hukum yang Berlaku
Masalah
hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan peradilan termasuk
arbitrase adalah salah satu masalah kursial dalam hukum kontrak internasional,
termasuk dalam hukum perdagangan internasional masalahnya adalah hukum yang
berlaku ini menjadi penentu kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa
ia telah menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak
mengambiil jalan pintas daalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa
yang dibawa kehadapannya. Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law proper law atau applicable law) suatu hukum nasional
dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tersebut
secara otomatis yang berwenang menyelsaikanmakalahadedidikirawan sengkketanya. Yang terakhir ini
disebut juga choice of forum (pembahasan
di atas). Artinya, choice of law tidak
sama dengan choice of forum.[38]
Peran
choice of law disini adalah hukum
yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk:[39]
a. Menentukan
keabsahan suatu kontrak dagang
b. Menafsirkan
suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak
c. Menentukan
telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya ssuatu prestasi (pelaksanaan
suatu kontrak dagang) dan
d. Menentukan
akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.
Hukum
yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukkum-hukkum
tersebut adalah :[40]
a. Hukum
yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex cause)
b. Hukum
yang akan berlaku untuk persidangan (procedural
law).
Hukum
yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak.
Hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu negara
tertentu. Biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkaiit dengan
nasionalitas salah satu pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan
dewasa ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat
mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan
berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral. Alternatif lainnya
yang memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional adalah menerapkan
prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex
aequo et bono). Namun demikian, penerapan prinsiip ini pun harus
berdasarkan pada kesepakatan para pihak.[41]
Diatas
telah dikemukakan bahwa menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip yang berlaku
adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak dalam
membuat perjanjian atau kesepakatan (party
automony). Kebebasan para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip hukum
umum artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu Common
Law, CiviL Law, dan lain-lain, mengakui eksistensinya. Bahkan dalam
praktiknya, para pelaku bisnis atau pedagang melihat prinsip kebebasan para
pihak untuk menetapkan aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka sebagai
suatu prinsip yang telah terkistralisasi. Prinsip inilah yang antara lain
melahirkan prinsip atau doktrin lex
mercatoria.[42]
b) Kebebasan Para Pihak
Kebebasan dalam memilih hukum yang
berlaku ini (lex causae) sudah barang
tentu ada batas-batasnya. Hal yang paling umum dikenal adalah bahwa kebebasan
memilih hukum tersebut adalah:[43]
a. Tidak
bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum
b. Kebebasan
tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik
c. Hanya
berlaku untuk hubungan dagang
d. Hanya
berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang)
e. Tidak
berlaku untuk menyelsaikan sengketa tanah; dan
f. Tidak
untuk menyelundupkan hukum
Menurut Cooke, kebebasan para pihak ini
pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik
oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak). Tidak sekedar hanya menentukan
hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum di negara
tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum disuatu negara tertentu
sering berubah-ubah tmakalahadedidikirawanidak. Gerlad Cooke dengan tegas menyatakan sebagai berikut[44]
The significance
of needing to provide for the proper law is that the parties will frequently
prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps
independent of each of the parties or which is recognized to have highly
sophisticated and consistent trading laws.
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai
arbitrase, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai arbitrase dan
alternatif penyelsaian sengketa, hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak
diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai arbitrase dan
alternatif penyelsaian sengketa menyatakan sebagai berikut:[45]
(1) Arbiter
atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau
berdasarkan keadilan dan kepatutan
(2) Para
pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelsaian
sengketa yang mungkin telah timbul antar para pihak.
Model Arbitration Law 1985 juga
menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal
28 Mode l aw menggariskan sebagai
berrikut:[46]
(1)
The arbital
tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are
chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any
designation of the law or legal system of a given state shall be constued,
unles otherwise expressed, as directly refering to the substantive law of that
state and not to its conflict of laws rules.
(2)
Failing any
designation by the parties,the arbital tribunal shall apply the law determined
by the conflict of laws rules which it considers applicable
(3)
The arbitral
tribnal shall decide ex aequo et bono or amiable compisiteur only if the
parties expressly authorized to do so
(4)
In all cases,
arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and
shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction.
Dari kedua instrumen hukum diatas,
terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup penting. Pertama, yang menonjol
adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam hal prioritas pengaturan mengenai
hukum yang berlaku terhadap kontrak Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai
arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa menekankan bahwa arbitrator atau badan arbitrase harus
menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan
atau mensyaratkan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan
hukum para pihak. Sementara itu, model
Laws dengan tegas menyatakan bahwa
badan arbitrase harus menerapkan hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya,
ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternatif
penyelsaian sengketa ini perlu disempurnakan dengan mengacu atau mencantumkan
klausula Model Law ini.[47]
Kedua, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
mengenai arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa membolehkan arbitrase
atau badan arbitrase untuk menerapkan ex
aequo et bono (Pasal 56 Ayat 1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam Pasal 28 Ayat
3. Bedanya adalah undang-undang Nasional kita tidsk tegas bahwa penerapan
keadilan dan kepatutan ini hanya akan tegas bahwa penerapan keadilan dan
kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas diperintahkan
oleh para pihak. Penjelasan Pasal 56 hanya menyebut “dalam hal arbiter diberi kebebasan...’ rumusan ini tidak tegas
siapa yang memberi kebebasan untu memberikan putusan berdasarkan kkeadilan dan
kepatutan. Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tiidak memilih hukum yang
akan berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, undaang-undang nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda.
Undang-undang nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan Pasalmakalahadedidikirawan
56 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternatif
penyelsaian sengketa menyebutkan bahwa apabila para pihak tidak menentukan
pilihan hukum, maka arbitrator atau badan arbitrase harus menetapkan hukum
tempat arbitrase dilakukan.[48]
Sementara itu, model Law menyatakan bahwa apabila
para pihak tidak memilih hukum, badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu
kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata
Internasional (conflict of law rules)
yang dianggap berlaku oleh arbitrator atau badan arbitrase.[49]
D.
MEKANISME
PENYELSAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DI TINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELSAIAN
SENGKETA INTERNASIONAL
1.Mekanisme
penyelsaian sengketa sebagai bagian dari pengawasan internasional (international supervision)
Persengketaan
dan bagaimana cara menyelsaikannya adalah inheren dalam setiap sistem hukum,
termasuk hukum internasional. Perbedaan pendepat, dan bagaimana para subyek
hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu
penyelsaian yang dapat diterima kedua belah pihak, baik secara sukarela maupun
karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang diatur
sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkaya dan memperkuat sistem hukum
yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasi. Seorang sarjana
menyatakan, dispute and controversy are
the life blood of international law (as of all law) without which international
law would degenerate simplly into an abstraction, unrelated what is happening
in the world[50].
Sebagai
bagian dari sistem hukum internasional norma-norma GATT juga telah berkembang dan diperkokoh
oleh pengalaman yang panjang dari sistem
penyelsaian sengketanya dalam menyelsaikan perselisihan perdagangan antar
negara anggota. Bberikut ini penulis akan mencoba mengkaji beberapa aspek hukum
GATT dalam kaitannya dengan hukum internasional pada umumnya, dan khususnya
hukum penyelsaian sengketa internasional makalahadedidikirawansecaara damai. Namun terlebih dulu
penulis akan mengetengahkan suatu landasan teoritik tentang penyelsaian
sengketa internasional pada umumnya.
Salah
satu fungsi penyelsaian sengketa adalah agar supaya norma-norma hukum yang
mengatur hubungan diantara anggota masyarakat dipatuhi. Dengan perkataan lain
di dalamnya terkandung fungsi pengawasan. Dalam masyarakat nasional, pengawasan
ini dipercayakan pada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam masyarakat
internasional, yang tidak mempunyai kekuasaan sentral, diserahkan pada para
anggotanya sendiri.[51]
Tentang
pengawasan (supervision)seorang sarjana memberikan pengertian sebagai berikut:
The supervisory function is an essential legal
technique. It performs a function which is absolutely necessary to the
existence and progress of any society, of any sociial organization. The main
object of this function is to ensure respect
for law and the realization of rules of law as well as the regular functioning
of public service within the limits laid down in these rules of law.
Supervision is an organic function which makes it possible for errors either in
the assessment of a situation or in taking action which might jeopardize the
stability and security of social existance to be rectified. It there fore
serves to ensure public order.[52]
Menurut
Van Hoof pengawasan internasiional mempunyai tiga fungsi:[53]
1. Review function: pada
umumnya, review diartikan sebagai mengukur atau menelai sesuatu berdasarkan
tolak ukur tertentu. Dalam konteks hukum, ini berarti menilai sesuatu perilaku
untuk menentukkan kesesuaiannya dengan aturan hukum review function dalam hubungannya dengan negara dilaksanakan
apabila prilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu
lembaga pengawasan yang mempunyai status internasional. Pengawasan ini
dilakukan oleh satu negara atau lebih atau oleh suatu lembaga yang dibentuk
menurut perjanjian internasional . hasil dari pengawasan ini adlah suatu
keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan negara tersebut dengan hukum
internasional.
2. Correction function
fungsi iini dilaksanakan manakala telah timbul suatu keadaan yang bertentangan
dengan hukum internasional. Namun demikian, fungsi ini dapat pula bersifat
preventif, manakala negara-negara menyesuaikan diri pada aturn-aturn hukum
internasional sebagai akibat eksistensi atau ancaman dari mekkanisme koreksi
ini. Tujuan akhir dari pengawasan internasional adalah untuk memastikan
kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum intternasional. Oleh karena itu
pelanggarannya harus diperbaiki . terlepas dari kasus-kasus dimana negara yang
melakukan pelanggaran memperbaiki pelanggaran atas kehendak sendiri, kepatuhan
terhadap hukum internasional harus dipastikan melalui persuasi atau paksaan
dari luar. Ini merupakan fungsi kkoreksi dari pengawasan internaional, yang
biasa juga disebut sebagai fungsi pemaksa (enfrocment
function). Satu persoalan yang terkait dengan hal ini adalah pengenaan
sanksi dalam hukum internasional.
3.
Creative
function sekalipun review
dan creative function merupakan
bagian pokok dari pengawasan, namun pe ngawasan juga dapat berfungsi kreatif,
teralam utama dalam hukum internasional. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
semacam lembaga eksekutif dan judikatif tindakan-tindakan legislatif sering
kali abstrak atau tidak jelas. Oleh karena itu usaha untuk memperjelas
norma-norma huukum internasional ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan
yaitu fungsi kreatif. Jadi fungsi kreatif ini berupa fenapsiran atas
aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas.
Dalam kerangka teoritis diatas maka mekanisme
penyelsaian sengketa internasional merupakan salah satu bentuuk dari mekanisme
pengawasan dalam hukum internasional . sejauh mana GATT dan WTO memberikan pengaturan tenttang
pengawasan ini. Dalam kedua sistem tersebut pengawasan dilakukan oleh berbagai
badan yang terdapat didalamnya. Dalam GATT makalahadedidikirawanoleh CONTRACTING PARTIES, council, panel, Working Party, dan berbagai
komite yang pernah dibentuknya seperti anti-Dumping
committee, textile surveillance body. Dalam
WTO terdapat Ministerail conference,
general coouncil yang antara lain melaksanakan tugas sebagai dispute settlement body atau trade policy review body. Disamping itu
WTO dilengkapi dengan berbagai dewan (council)
lain yang melakukan pengawasan di bidang masing-masing sesuai dengan covvered agreement WTO seperti counciil on Trade in Goods, council for
trade in service dan sebagainya.
Selain itu masih terdapatt berbbagai komite dengan tugas-tugas yang lebih
spesifik, misalnnya committe on budget,
finance and administration, Committee on balance of payment restriction dan sebagainya.[54]
Secara normatif GATT dan WTO menyediakan
sejumlah ketentuan pengawasan di dalamnya. Misalnya, dalam GATT Pasal X
mengandung ketentuan tentang pengawasan secara umum. Pasal ini
mewajibkan negara-negara menerbitkan aturan-aturan nasional yang terkait dengan
perdagangan internasional. Ini merupakan review
function dari pengawasan. Pada gilirannya ketentuan ini menjadi dasar bagi
mekanisme pengawasan yang lain seperti misalnya yang diatur Pasal XXII dan
XXIII. Ketentuan pengawasan secara khusus dapat ditemukan dalam Pasal-Pasal
yang lain misalnya Pasal XI dan XIII yang mengatur pengawasan dalam hal
hambatan perdaganagan kuantitatif. Pasal XV menyerahkan pengawasan dibidang
moneter kepada IMF, Pasal XIX pengawasan jika timbul keadaan darurat yang
terkait dengan pengimporan produk tertentu. Dalam sistem WTO ketentuan-ketentuan
tadi makalahadedidikirawandisempurnakan dan diperluas cakupannya sesuai dengan pengaturan
bidang-bidang yang semula tidak terdapat dalam GATT 1947. Pasal XXII dan XXIII,
misalnya dilengkapi dengan understanding
on rule and procedures governing the settlement of disputes yang akan di bahas lebih lanjut pada bagian
selanjutnya dari sub bab ini. Pasal III dari general agreement on trade in services, misalnya mengandung
ketentuan tentang keharusan menerbitkan
peraturan nasional yang terkait dengan materi yang terdapat dalam perjanjian
internasional ini demi transparansi. Pasal VI mengharuskan penanganan yang
obyektif dan tidak memihak dalam kaitannya dengan peraturan nasional yang
terkait dengan specific commitment
yang telah dibuat. Ketentuan pengawasan ini dipertegas lagi dalam annex yang
menyangkut pengaturan bidang-bidang jasa tertentu.[55]
Penulis tidak akan membahas terlalu jauh
tentang pengawasan karena dapat menjadi
satu bahan penelit ian tersendiri. Apa yang secraa umum dikemukakan di
penyelsaian sengketa dalam keranngka teoritis pengawsan internsional
sebagaimana dikemukankan srjana-sarjana tersebut diatas.
2.
Hubungan
dengan Metoda-metode Penyelsaian Sengketa Internasional
Sebagaimana diketahui metoda penyelsaian
sengketa internasional secara dammai dalam garis besarnya dapat dibagi dua,
yakni secara diplomatik (negotiation,
mediation,dan conciliation), dan secara hukum (arbitation dan judicial
settlement).Setelah pada bab-bab sebelumnya penulis membahas prosedur
penyelsaian sengketa dalam GATT dann WTO maka kesimpulannya umum pertama
ditarik adalah bahwa pada dasarnya yang dipraktekan dalam penyelsaian sengketa
kedua sistem tersebut sudah dikenal dalam hukum internasional umum, atau
khususnya dalam hukum penyelsaian internasiional. Namun disamping iitu ada
beberapa keistimewaan yang perlu mendapatkan pembahasan lebih lanjut.[56]
Pertama-tama Pasal XXII mengandung dua
ayat yang menunjuk pada penyelsaian sengketalewat konsultasi. Ayat pertama
konsultasi dilakukan sendiri oleh pihak-pihak bersangkutan. Selanjutnya dalam
ayat 2 disebutkan jika usaha konsultasi bilateral tersebut pada ayat satu tidak
menghasilkan penyelsaian, maka salah satu pihak dapat meminta bantuan
CONTRACTING PARTIES untuk berkonsultasi dengan pihak yang lain Konsultasi yang
diadakan sesuai ketentuan pasal XXII tersebut tidak mengharuskan telah
terjadinya kerugian bagi salah satu pihak. Akan tetapi pihak yang dimintakan
koonsultasinyya oleh pihak lain harus memberikan symphatetic consideration terhadapnya. Dalam salah satu persidangan
CONTRACTING PARTIES tahun 1960 dinyatakan bahwa perkataaan Symphatetic consideration dalam pasal tersebut. Menurut perbaikan
prosedur konsultasi yang disepakati tahun 1958, yakni procedures under article XXII on question affecting the interests of a
number of contracting parties. Dinyatakan bahwa setiap negara peserta yang
meminta konsultasi harus juga melaporkannya kepada Excekutive Secretary untuk
diiinformasikan kepadamakalahadedidikirawan seluruh negara peserta. Dalam 1989 decesiion immprovements to the GATT dispute settelement rules and
procedure permintaan konsultasi harus disampaikan kepada council oleh pihak yang meminta
konsultasi.[57]
Selain dalam Pasal XXII, prosedur
konsultasi diatur pula dalam Pasal XXIII, rujukan pada Pasal XXIII : 1.
Dilakukan oleh negara peserta yang merasa keuntungan yang diperolehnya dari
GATT baik secara langsung atau tidak langsung dirugikan atau dihilangkan (nullified or impaired) atau tujuan llain
dari perjanjian tersebut terganggu sebagai akibat kegagalan pihak lain untuk
mematuhi kewajiban GATT 2) penerapan suatu tindakan oleh pihak lain, baik yang
bertentangan atau pun tidak dengan GATT 3) adanya situasi-situasi lain.[58]
Apakah konsultasi suatu metoda
penyelsaian sengketa yang telah dikenal dalam hubungan-hubungan internasional ?
konsultasi sebenranya adalah salah satu perwujudan dari negoisasi. Negoisasi
merupakan metoda utama untuk penyelsaian sengketa yang mengancam perdamaian
internasional atau pun sengketa-sengketa lain. Sebenarnya dalam praktik,
negoisasi lebih banyak digunaknn dibandingkan denagn metoda-metoda lain sekali
pun digabungkan bersama. Sering sekali negoisasi merupakan satu-satunya cara,
bukan semata-mata karena ia yang biasanya pertama kali dicoba sering berhasil
akan tetapi karena banyak negara merasa yakin bahwa manfaatnya sangat besar
sehingga dapat mengecualikan metoda-metoda lain. Negoisasi juga tidak sekedar
dapat menyelsaikan perselisihan akan tetapi juga dapat mencegah
sengketa-sengketa yang akan timbul. Iini terbukti dalam proses penyelsaian
sengketa GATT.dengan adanya ketentuan Pasal XXII dan XXIII : 1.konsultasi
biasanya merupakan langkah pertama dan sering merupakan yang terakhir, dan
banyak sengketa diselsaikan atau dicegah sebelum menjadi konflik yang lebih
parah. Suatu aspek penting dalam prosedur konsultasi GATT dan WTO yang
merupakan ciri khas yang berbeda dari prosedur negoisasi pada umumnya adalah
ciri transparansi yang melekat padanya dengan adanya keharusan untuk
melaporkannya kepada organisasi yang berwenang di dalam organisasi tersebut (Executive secretary atau council) yang
pada gilirannyaakan diketahui oelhseluruh negara makalahadedidikirawanpeserta . dengan demikian
negara-negara lain yang tidak terlibat dalam konsultasi akan mengetahui hasil
akhir dari konsultasi tersebut, dan akan dapat mengambil langkah-langkah
konkretnya sendiri apabiila hasil konsultasi itu akan mengancam kepentingan
mereka.[59]
Satu aspek lain perlu penulis komentari
yakni konsultasi menurut Pasal XXII ayat 2 yang tidak hanya melibatkan kedua
belah pihak akan tetapi juga CONTRACTING PARTIES. Samakah praktek ini dengan
mediasi atau pemberian jasa-jasa baik oleh pihak ketiga ? biasanya jika
pihak-pihak yang melakuakn negoisasi tidak berhasil mencapai penyelsaian
jasa-jasa pihak ketiga dapat dipergunkan. Maka dikenal mmetoda jasa-jasa baik (good office) dan mediasi. Perbedaan
antara pemberian jasa-jasa baik dan mediasi adalah bahwa yang disebut terakhir
ini menuntut partisipasi lebih aktif dari pihak ketiga yang diharapkan
mengajukan proposalnya sendiri, dan menafsirkan. Mediasi atau jas-jasa baik
biasanya diberikan oleh individu, organisasi internasional atau negara. Sekjen
PBB , misalnnya, atau sejawatnya pada organisasi-organisasi regional,
seringkali dimintakan jasa-jasa baiknya atau sebagai mediator . Amerika serikat
yang diwakili oleh Alexander Haig pernah menawarkan diri sebagai mediator dalam
sengketa inggris –argentina mengenai kepaulauan Falkland, demikian juga
ketika ancaman perang murncul dalam
perselisihan antara Chile dan Argentina pada tahun 1978, Paus menawaarkan
Cardinal Antonio sebagai mediator, dan diterima kedua belah pihak. Penyelsaian
sengketa menurut Pasal XXII : 2 GATT sekalipun tampaknya melibatkan pihak ke
tiga sebagai mediator, sebenarnya tidak sama. Dengan keterlibatan CONTRACTING
PARTIES dalam proses kondultasi dalam kenyataannya kedua belahmakalahadedidikirawan pihak telah mengadakan
konsultasi dengan seluruh negara peserta. Pada waktu menyusun rancangan the resolution on particular difficulties
connected with trade in primary commadities yang diterima pada persidangan
kesebelas tahun1956, laporan working party
antara lain memuat penjelasan sebagai berikut :[60]
There are specific provision in the general
agreement which afford an opportunity for contracting parties to secure
consideration of special problems arising in this field ... dificulties of this
kind would be approprite matters to bring forward under article XXII, which
when the revised text comes into effect, will provide not only for bilateral
consultation, but also for consultations with the CONTRACTING PARTIES as a
whole.
Bahkan dalam salah satu laporan Working
Party yang terikat dengan masalah yang sama pada tuhan 1958 telah diberikan
penafsiran lebih luas sebaagaimana terungkap dalam pernyataan sebagai berikut:[61]
Article XXII provide for consultation betwen
contracting parties any matter affecting the operation of this agreement. At
this session the CONTRACTING PARTIES have adopted procedures where by these can
be boardened into multilateral consultation and it should be noted that there
is nothing in this article which would prevent the participating governments from
inviting non-contracting parties to take part.
Sebelum melibatkan CONTRACTING PARTIES
masih ada satu upaya yang dapat ditempuh pihak-pihak yang berkonsultasi yaitu
meminta jasa-jasa baik direktur jendral. Dalam decision of 5 April 1966 on procedures under article XXIII dinyatakan
jika konsultasi menurut Pasal XXIII melibatkan negara maju dan negara
berkembang maka jika tidak tercapai
penyelsaian, negara berkembang dapat meminta jasa-jasa baik direktur
jendral inni telah diperluas sehingga tidak terbatas pada hak makalahadedidikirawannegara berkembang
saja melainkan hak setiap negara yang berkonsultasi (lihat butir No.8 dari understanding on notification. Consultation,
dispute settelement and surveillance of 28 November 1979 junto butir (1) dari ministerial declaration of 29 November1982). Menurut deklarasi tahun 1982 tersebut permintaan jasa-jasa baik
direktur jendral atau orang-orang yang ditunjuk direktur jendral harus disetujui oleh kedua belah
pihak.[62]
Pada bab terdahulu sudah diuraikan bahwa
jika konsultasi tidak berhasil, pihak yang bersengketa dapat mengajukan
persoalannya kepada CONTRACTING PARTIES GATT umtuk mrndapatkan rekomenddasi
atau keputusannya. Dalam praktek biasa digunakan prosedur panel. Pihak yang
menggugat meminta dibentuknya sebuah paanel oleh CONTRACTING PARTIES yang akan
membentu CONTRACTING PARTIES dalam menyelsaikan sengketa. Tentang prosedur
pembentukan panel, pembuatan laporan dan penerimaan laporan panel oleh
CONTRACTING PARTIES telah pula penulis uraikan pada bab terdahulu dengan
mengutip berbagai persetujuan yang dicapai negara-negara anggota GATT dengan
maksud untuk memperbaiki prosedur penyelsaian sengketa dari waaktu ke waktu.
Pada bagian ini penulis hanyamakalahadedidikirawan akan meninjau eksistensi dan mekanisme kerja
panel dilihat dari praktek-praktek atau
metoda penyelsaian sengketa yang dikenal dalam hukum internasional[63]
Panel dibentuk oleh CONTRACTING PATIES
dengan maksud untuk membantunya dalam
proses penyelsaian sengketa. Komposisi panel diusulkan direktur jendaral
setelah mendapat persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Negara- negara yang bersengketa tidak dapat mendudukan
wakilnya dalam keanggotaan panel. Panel berhak mendapatkan informasi dan
nasihat teknis dari individu atau
organisasi yang dianggapnya perlu. Panel yang keanggotaannya terdiri antara
tiga sampai lima orang ini akan membuat penilaian obyektif atas fakta-fakta
yang didapatnya serta konformitasnya dengan GATT, dan mencari CONTRACTING
PARTIES yang akan dapat membantu CONTRACTING PARTIES mengambil keputusan. Untuk
maksud ini panel akan berkonsultasi secara teratur dengan pihak-pihak yang bersengketa, namun pada saat yang sama
jugamakalahadedidikirawan memberi kesempatan kepada mereka untuk menyelsaikan sendiri
perselisihannya. Atas dasar laporan panel tersebut CONTRACTING PARTIES
mengambil tindakan dalam waktu yang dianggapnya pantas.[64]
Jadi dalam hal ini fungsi fanel adalah
seperti suatu tim ahli yang berusaha mencari fakta dari persengketaan, membuat
penilaian atas dasar aturan-aturan yang
berlaku, serta membuat rekomeendasi tentang langkah yang diambil dan menyerahkannya kepada CONTRACTING PARTIES
(atau council yang bertindaak atas nama
CONTRACTING PARTIES). Jika dibandingkan dengan berbagaai metoda penyelsaian
sengketa yang dikenal dalam literatur
huukum internnasional, maka sifat panel dalam GATT inii adalah seperti suatu commission of inquiry sekali pun
terdapat beberapa perbedaan yang akan penulis kemukakan berikut ini[65]
Inquiry
sebagai suatu istilah digunakan dalam
dua situasi yang berbeda. Pertama, dalam arti luas ia menunjuk pada suatu
proses yang dilaksanakan manakala suatu pengadilan atau badan-badan lain yang berusaha menylsaikan perselisihan
atas fakta tertentu. Dikarenakan setiap persengketaan internasional menimbulkan
persoalaan tentang fakta, sekalipun didalamnya juga ada persengketaan hukum
atau politik, jelas bahwa inquiry dalam
artian operasional ini dapat merupakan komponen utama dari arbitrase,
konsiliasi, tindakan oleh organisasi internasional dan cara-cara penyelsaian
oleh pihak ke tiga lainnya. Dalam arti lain inquiry
adalah suatu pengaturan
institusional yang dipilih oleh negara dengan maksud untuk menyelidiki
persoalan yang disengketakan secara bebas dalam bentuk kelembagaaannya dalam
hukum internasional dikenal dengan nama commission
of inquiry dan mulai diperkenalkan dalam konvensi Den Haag 1899[66]
Inquiry
dalam
arti yang kedua yakni dalam bentuk suatu komisi biasanya dibentuk oleh dua
negara yang berselisih untuk mencari kebenaran dari suatu fakta dalam suatu
makalahadedidikirawansengketa internasional secara tidak memihak. Hasil-hasil temuan komisi bersifat
tidak mengikat keanggotaan koomisi biasanya terdiri dari unsur-unsur pihak yang
bersengketa ditambah dari beberapa negara ke tiga. Dari kasus-kasus terkenal
yang diserahkan kepada commision of
inquuiry seperti kasus the dogger
bank innquiry yakni persengketaan antara Rusia dan Inggris tahun 1905; the tavigano antara Prancis dan Italia (1912)the tubantia antara Belanda dan Jerman
(1916) the red crusader inquiry antara
inggris dan Denmark (1961), dapat penulis simpulkan bahwa komisi dimintakan
oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelidiki fakta yang disengketakan,
dan atas temuan dasar komisi pihak yang merasa bersalah secara sukarela
memberikan gantirugi sejumlah uang. Dalam kasus-kasus tersebut diatas, yang
kesemuanya bersangkut paut dengan kerugian yang menimpa kapal laut, suatu
perkembangan menarik telah terjadi yakni dalam hal penempatan ahli hukum pada
komisi. Jika sebelumnya tidak terdapat ahli hukum dalam the tubantia salah seorang anggota komisi adalah ahli hukum sekali
pun tidak ada aspek hukum yang secara spesifik harus dinilai dalam kasus ini.
Perubahan besar terlihat dalam The Red
Crusader dimana tiga orang anggota komisi adalah para ahli hukum
internasional. Dalammakalahadedidikirawan kasus yang disebut terakhir ini, sekalipun penyelidikan
terutama ditujukan pada fakta, tapi kesimpulan yang dihasilkan termasuuk
sejumlah putusan hukum dengan bentuk temuan seperti ini, dan mayoritas anggota
komisi adalah ahli hukum, patut dipertanyakan apa bedanya Commission of inquiry dalam
Red Crusader ini dengan arbitrase? Menurut Merrills pling tidak ada dua hal
penting yang membedakannya: pertama, komisi tidak terlalu memfokuskan pada
akibat hukum dari peristiwa tersebut sekali pun persoalan-persoalan hukum yang
penting dipertimbangkan. Kedua, hasil temuan dalam bentuk laporan bukan awards. Sekalipun kesimpulan pertama
Merrills menyiratkan bahwa penyelsaian sengketa melalui arbitrase lebih
menekankan pada aspek hukum, dalam praktek hal ini tidak selalu demikian. Ada
kalanya negara-negara membuat perjanjian yang menyerahkan persengketaan hukum
ke mahkamah judisial sedangkan sengketa non hukum ke mahkamah arbitrase.
Tentang kesimpulannya yang kedua dapat penulis tambahkan bahwa berbeda dengan
laporan komisi award suatu arbitrase
itu mengikat dan tidak dapat dibanding.[67]
Menuurut Merrils jika dibutuhkan inquiry dewasa ini ada sejumlah carayang
dapat ditempuh tanpa merujuk pada konvensi Den Haag. Pada tahun 1982 misalnya,
dewan keamanan PBB telah membentuk suatu komisi pencari fakta untuk menyelidiki
usaha kudeta yang dimotori tentara bayaran aging di seychelles, dan pada tahun 1983 dewan
Lc.A.O. mengirim suatu tim untuk menyelidiki penembakan jumbo jet Korea Selatan
yang tersasar ke wilayah Uni Soviet. Demikian juga organisasi regional telah
membentuk berbagai komisi serupa dari waktu-kewaktu.[68]
Dari uraian diatas penulis melihat
beberapa persamaan dalam beberapa aspek panel GATT dan juga WTO dengan Commision of inquiry yang dibentuk
dalam kasus-kasus tersebut diatas. Dalam keanggotaan, baik panel maupun kkomisi
sama-sama terdiri dari para ahli dibidangnya, dan tidak harus sarjana hukum.
Selanjutnya, yang menjadi obyek penyelidikan terutama adalah fakta, sekalipun
aspek-aspek hukum juga muncul dalam laporan. Baik laporan panel maupun komisi
sama-sama tidak mengikat melainkan hanya bahan pertimbangan yang dapat
digunakan dalam penyelsaian sengketa.Namun demikian dalam sejumlah aspek
penulis melihat perbedaan antara keduanya. Panel tidak dapat digolongkan ke dalam
salah satu diantara kedua bentuk inquiry
yang disebutkan diatas karena sekalipun panel bertugas untuk memberikan temuan
bagi suatu badan lain, akan tetapi panel itu sendiri sudah melembaga atau
setengah melembaga dalam sistem GATT. Selanjutnya panel tidak dibentuk oleh
kedua belah makalahadedidikirawanpihak yang berselisih commission
of inquiry, melainkan oleh
CONTRACTING PARTIES GATT atau WTO.[69]
Tampaknya dalam bentuk panel lebih
merupakan perpaduan antara kedua bentuk pengaturan inquiry tersebut diatas
karena sekalli pun tugas-tugas panel adalah membantu CONTRACTING PARTIES atau
WTO akan tetapi lembaga panel sendiri mirip dengan commission of inquiry. Tentang putusan panel telah terjadi suatu
perkembangan sangat penting yaitu jika putusan panel GATT bersifat tidak
mengikat CONTRACTING PARTIES, maka putusan panel WTO harus diterima DSB dalam
waktu yang telah ditentukan kecuali jika DSB secara konsensus memutuskan untuk
tidak menerima panel, atau pihak yang dir
ugikan naik banding ke Applate
Body yang pada akhirnya harus diterima pula oleh DSB. Perkembangan ini
membawa penulis pada kesimpulan bahwa pada hakekatnya keputusan panel WTO
bersifat mengikat sekalipun dalam implementasinya dibutuhkan putusan DSB. Hal
ini menjadikan sifat pemeriksaan panel WTO berbeda dari sistem pemeriksaan yang
dikenal sebagai inquiry pada umumnya
yang tidak mengikat paramakalahadedidikirawan pihak. Namun demikian prosedur penyelsaian sengketa
GATT dan WTO yang menggunakan jasa panel
bukan suatu yang benar-benar baru dalam hukum internasional perbedaan-perbedaan
yang ada hanya merupakan bukti bahwa negara-negara berdaulat selalu berusaha
untuk mencari penyelsaian yang terbaik sesuai dengan sifat dan kerumitan
persoalan yang diaturnya. Substansi adalah lebih penting dibandingkan dengan
bentuk.[70]
Metoda-metoda penyelsaian sengketa lain
yang sudah lama dikenal dalam hhukum internasional dalam GATT demikian juga
dalam WTO dan sifatnya sukarela atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam decision on improve ments to the GATT
dispute settlement rules and procedures of 12 April 1989 secara sukarela
para pihak dimungkinkan untuk menggunakan metoda good office, concilliation,mediation dan arbitration.demikian juga
dalam Understanding on rules and
procedures governing the settlement of disputes dalam sistem WTO, good office,concilliation dan mediation dimungkinkan dan bersifat
sukarela (Pasal5).[71]
3.
Sanksi
(Remedies)
Dalam kebiasaan GATT tujuan utama
penyelsaian sengketa adalah untuk tercapainya penyelsaian rebilateral yang
memuaskan kedua belah pihak. Jika ini tidak tercapai maka yang menjadi tujuan
utama CONTRACTING PARTIES agar supaya
tindakan yang merugikan dan bertentangan dengan GATT tersebut ditarik kembali.
Kompensasi (ganti rugi) adalah suatu alternatif dan bersifat sementara sebelum
ditariknya kembali tindakan yang bersangkutan. Sanksi makalahadedidikirawanyang terakhir adalah
memberikan kewenangan kepada pihak yang menggugat untuk menangguhkan
kewajiban-kewajibannya menurut GATT secara sepihak terhadap pihak yang
merugikan itu (retalisal). Dalam
sistem WTO ketentuan serupa terdapat dalam Pasal 22:1,2, dari understanding on rules and procedure
governing the settlement of dispute.[72]
Sanksi yang diberikan oleh CONTRACTING
PARTIES maupun Dispute Settlement Body dengan tujuan utama penarikan kembali atau
penghentian tindakan-tindakan yang bertentangaan dengan perjanjian tampaknya
sudah sesuai dengan hukum internasional yakni dengan menerapkan restitution in kind yang merupakan pemenuhan paling sempurna dari
kewajiban semula. Bahkan prosedur GATT dan WTO telah memperluas perlindungan
hukum dibandingkan dengan prosedur penyelsaian sengketa tradisional yakni
dengan menerima gugatan yang tidak melanggar ketentuan perjanjian tetapi yang
mengganggu keuntungan yang secara wajar diharapkan dalam hukum GATT dan makalahadedidikirawanWTO.
Praktek-praktek dan case-law dalam
hukum internasiional serta doktrin tampaknya telah mengakui bahwa restutioin kind merupakan principal remedy untuk memperbaiki
tindakan melawan hukum dalam hukum internasional. Sanksi kedua yakni
kompensasi, rasanya tidak perlu dikomentari karena merupakan remedy yang sudah umum dalam penyelsaian
kasus-kasus internasiional. Adapun retaliasi dalam GATT dan WTO tidaklah sama
dengan Unilateral Retaliation dalam
hukum internasional karena tindakan tersebut harus mendapat otoritas dari
lembaga yang berwenang dalam GATT atau WTO. Pengaturan GATT dan WTO tentang
retaliasi ini tampaknya sudah mendahului usaha yang dilakukan negara-negara di
forum PBB untuk melarang diambilnya tindakan pembatasan sepihak (unilateral countermeasures) apabila
kepatuhan terhadap hukum dapat dicapai secara lebih efektif melalui prosedur
penyelsaian sengketa makalahadedidikirawansecara damai. Lebih dari 60 tahun yang lalu institut de dorit international telah membahas hal ini, dan pada tahun 1993 international law commission PBB mashi
belum mencapai kesepakatan tentang pengaturan tindakan batasan sepihak
tersebut. Salah satu keberatan terhadap dilakukannya tindakan batasan sepihak
adalah karena dalam pelaksanaannya terbuka kemungkinan penyalahgunaan teruutama
oleh negara-negara kuat. Dalam laporan ILC tahun 1993 tercantum pernyataan
sebagai berikut :[73]
The remained that countermeasure were an exercise in
power, wielded more often than not to the detriment of the principles of
equality and justice and that by sanctioning unilateral resort to
countermeasures, the commission was opening the door to many possible abuses
and would also cosecrate a rule capable of widely differing interpretations.
Namun demikian masih terdapat negara
yang tidak setuju tentang pembatasan atas hak mereka untuk melakukan tindakan
batasan jika dibutuhkan untuk mengamankan kepentingannya.demikian juga ada
negara yang tidak bersedia melepaskan haknya untuk memilih cara penyelsaian
sengketa yang disukainya.[74]
4.
Mekanisme
Penyelsaian Sengketa WTO
Persengketaan dan bagaimana cara
menyelsaikannya adalah inhern dalam setiap sistem hukum, termasuk hukum
internasional. Perbedaan pendapat , dan bagaimanaa para subyek hukum mengatasi
perbedaan pendapat tersebut untuk sampai pada suuatu penyelsaian yang dapat
diterima keduabelah pihak, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai
kewajiban sebagai anggota masyarakat internasional, akan memperkaya dan
memperkuat sistem hukum yang bersangkutan. Sahbtai Rosene, seorang ahli hukum
internasional menulis:dispute and
controversy are the life blood of international law (as of all law) with out
which international law would degenerate simply into an abstraction, unrelated
to what is happening in the world.[75]
Pengaturan penyelsaian sengketa WTO
terdapat dalam understanding on rule and
procedures governing the settlement of disputes (disebut juga dispute settlement understanding –DSU), yakni
salah satu dari perjanjian dalam naungan WTO Agreement. Dalam perjanjian
ditegaskan kembali bahwa negara-negara anggota WTO mempertegas kembali
keyakinannya akan prinsip-prinsip penyelsaian sengketa GATT sebagaimana
terdapat dalam Pasal XXII dan XXIII GATT 1947.Ada beberapa organ penting dalam
struktur penyelsaian sengketa WTO ini yakni makalahadedidikirawanDispute Settlement Body, Panel,
Appeliate Boody (lembaga Banding).[76]
Dispute Settlement Body di bentuk oleh
WTO Agreement dan berfungsi melaksanakan peraturan-peraturan dan prosedur
mengenai konsultasi dan penyelsaian sengketa, termasuk juga dengan
perjanjian-perjanjian terkait jika tidak ada pengaturan lain. Oleh karena itu
DSB berwenang membentuk panel (sekelompok ahli yang akan memeriksa persoalan
yang disengketakan), menerima laporan panel dan juga badan baru yakni Lembaga
Banding, mengawasi implementasi putusan dan rekomendasi, dan menguasakan
pennangguhan konsesi serta kewajiban –kewajiban lain dalam perjanjian yang
terkait. Atas kesepakatan para pihak penyelsaian sengketa juga dapat ditempuh
dengan perantaraan jasa-jasa baik(good office), konsiliasi dan mediasi atas
dasar sukarela.dalam banyak hal prosedur penyelsaian sengketa WTO telah membuat
perbaikan-perbaikan yang sifatnya lebih mengikat dibandingkan dengan sistem
penyelsaian sengketa dalam GATT 1947:[77]
Pertama: sebagai salah satu norma dasar
terpenting terdapat dalam Pasal 23 menyatakan bahwa anggota-anggota yang
berusaha memulihkan kerugian akibat pelanggaran GATT atau perjanjian terkait,
diharuskan mengacu kepada, dan memenuhi aturan-aturan dan prosedur dari understanding ini (they shall have recouurse to, and abide by, the rules and procedures of this
understanding). Selanjutnya dinyatakan bahwa mereka tidak boleh menentukan
telah terjadinya makalahadedidikirawanpelanggaran atau bahwa keuntungan telah dihilangkan atau tidak
dibayar (nulified or unpaid) except
through recourse to the dispute sttlement in accordance with the understanding.
Selanjutnya understanding telah
memperketat proses penyelsaian hempir pada setiap tahapannya :[78]
Jadwal dan batas waktu : jika salah satu
anggota meminta berkonsultasi dengan anggota lain, anggota lain yang dimintakan
konsultasi harus memberikan respon dalam wktu 10 hari konsultasi harus
dilakukan dalam waktu 30 hari sejak diajukannya permintaan, dan harus tuntas
dalam waktu 60 hari sejak diajukannya permintaan. Jika salah satu dari batas
waktu itu tidak terpenuhi, pihak yang mengadukan dapat langsung meminta
pembentukan panel (pasal 4;3,7 DSU). Panel harus dibentuk pada pertemuan DSB
berikutnya setelah menerima permintaan, dan atas permintaan pihak yang mengadu
suatu pertemuan khusus DSB harus diadakan dallam tempo lima belas hari dengan
tujuan membentuk suatu panel makalahadedidikirawanuntuk memeriksa perselisihan kecuali pada
pertemuan tersebut DSB secara konsensus memutuskan untuk tidak membentuk panel
(Pasal 6;1 DSU) .[79]
ketentuan yang disebut terakhir ini
merupakan suatu perkembangan penting dilihat dari kecenderungan hukum GATT ke
arah hukum internasional yang lebih mengikat. Jika dalam praktek GATT
pembentukan panel harus didasarkan pada suara bulat (konsensus) disana pihak
yang merasa akan dirugikan selalu dapat merintangi atau setidaknya menunda
pembentukan panel, dengan sistem yang baru dalam WTO pembentukanmakalahadedidikirawan panel bersifat
otomatis oleh DSB, kecuali jika secara konsensus DSB memutuskan untuk tidak
membentuk panel tersebut, suatu hal yang sulit diilaksanakan mengingat
kehadiran pihak-pihak yang bersengketa sendiri sebagai anggota DSB.[80]
Setelah terbentuk panel diharuskan
menyelsaikan tugasnya dalam tempo 6 bulan, termasuuk untuk pertimbangan laporan
panel oleh DSB, jika diajukan banding, waktunya ditambah 3 bulan lagi. Jika
diperlukan dapat ditambahkan lagi waktu tiga bulan yakni untuk kasus-kasus yang
rumit. Selin itu tidak ada perpanjang waktu lagi. Jadi, kecuali diajukan
banding, laporan panel harus diterima DSB dalam tempo enam bulan setelah
laporan itu diedarkan kepada para anggota kecuali secara konsensus DSB
memutuskan untuk tidak menerima laporan panel tersebut (Pasal 16;4 DSU).
Ketentuan ini menunjukan bahwa laporan panel tersebut pada dasarnya mengikat
bagi DSB, kecuali jika secara konsensus DSB memutuskan lain, sesuatu hal yang
tidak mungkin terjadi. Selanjutnya laporan Appellate Body harus diterima DSB
dalam tempo 30 hari sejak disirkulasikan kepada anggota, kecuali secara
konsensus DSB memutuskan untuk tidak menerimanya. Menurut penulis adanya
lembaga makalahadedidikirawanbanding ini merupakan ciri legalistik dari sistem penyelsaian sengketa
WTO apalagi jika dibaca ketentuan Pasal 17:6 DSU yang berbunyi : an appeal shall be limited to issues of law
covered in a panel report and legal interpretation developed by the panel.
Selanjutnya salah satu persaratan pokok untuk menjadi anggota Appliate Body
disebutkan dalam Pasal 17:3 DSU yakni ...”persons
of recognized authority, with demonstrated expertise in law, international
trade and subject matter of the covered agreement generally keahlian di
bidang hukum dan perrdagangan internasional merupakan syarat utama, selanjutnya
pengatahuan tentang materi-materi yang diatur perjanjian WTO.[81]
Tugas DSB tidak selesai dengan
memberikan rekkomendasi atau putusan akan tetapi sampai pada pengawasan
implementasi putusan atau rekomendasinya. Jika laporan diterima DSB menyyebutkan
bahwa tindakan yang dikeluhkan adalah bertentangan dengan General Agreeement
atau salah satu perjanjian terkait, maka rekomendasi yang diberikan biasanya
adalah meminta negara yang bersangkutan untuk menyesuaikan kembali tindakannya
dengan perjanjian yang relevan. Sebagaimana dilakukan pada masa GATT 1947
penyelsaian sengketa yang disukai adalah menghentikan secara berangsur-angsur
tindakan yang dikeluhkan pihak lain, bukan lewat retalisasi atau ganti rugi.
Namun prosedur penyelsaian sengketa WTO melangkah lebih jauh. Dalam tempo 30
hari smenjak diterimanya laporan panel, anggota yang bersangkuutan diminta
untuk memberi tahu DSB tentang niatnya untuk mengimplementasikan laporan
tersebut. Jika tidak dapat memenuhinya dengan segera anggota yang bersangkutan
akan diberi waktu yang pantas (reasonable time) untuk melakukannya. Akan tetapi
berbeda dengan sistem GATT 1947, dalam sistem WTO penentuan waktu yangg pantas
tersebbut tidak dilakukan sendiri tetapi harus disetujui DSB, atau disetujui
para pihak dalam tempo empat puluh lima hari sejak diterimanya laporan atau
makalahadedidikirawandengan suautu putusan arbitrase yang mengikat. Ketentuan-ketentuan ini dengan
jelas telah menutup peluang atau celah-celah bagi negara yang dikalahkan untuk
mengulur-ulur pelaksanaan keputusan DSB.selanjutnya begitu putusan
diimplementasikan, DSB akan terus mengawasi pelaksanaan putusan tersebut.
Setiap anggota dapat mempersoalkan hal ini dalam rapat DSB, dan masalah
tersebut akan ditempatkan dalam agenda DSB enam bulan setelah ditentukan waktu
yang pantas, dan akan terus disana sampai perselisihan diselsaikan.[82]
Jika cara tersebut gagal, ada dua
kemungkinan lain yang disodorkan dalam DSU, jika dalam waktu yang pantas
anggota WTO yyang bersangkutan gagal mengimplementasikan putusan DSB untuk
mengakhiri atau memodifikasi tindakannya yang bertentangan dengan GATT, yang
bersangkutan dapat merundingkan denngan negara yang menggugat untuk menentukan
ganti rugi (kompensasi) yang dapat diterima bersama. Jika perundingan tentang
kompensasi tidak membuahkan hasil dalam tempo dua puluh hari sejak berakhirnya
waktu yang pantas, pihak yang dimenanngkan dapat melakukan retalisasi dengan
persetujuan DSB. Untuk menangguhkan konsensinya atau kewajiban lain terhadap
pihak yang telah melakukan pelanggaran. Otorisasi diberikan DSB dalam waktu
tiga puluh hari sejak diajukannya permhonan kecuali jika DSB secara konsensus
menolak permohonan tersebut. Menurut DSU tingkat retalisasi harus setara
(equivalent) dengan kerugian yang diderita, dan tidak boleh mengandung tindakan
yang dilarang salah satu perjanjian WTO, dan pertama-tama ditujukan pada sektor
kegiatan yang sama dengan yang diadukan. Jika tidak memungkinkan, retalisasi
ditujukan pada penangguhan konsensi disektor lain dalam perjanjian yang sama,
dan jikamasih tidak dimungkinkan dan keadaan sudahmakalahadedidikirawan dianggap cukup serius,
penangguhan konsesnsi didalam perjanjian WTO lain pun di izinkan.[83]
Apa yang dikemukakan diatas memberikan
gambaran tentang tekad para anggota WTO untuk menciptakan suatu prosedur
penyelsaian sengketa perdagangan yang dapat dipraktekan dan efektip. Kaitanya
sistem yang diterapkan membuat pengamat dan praktisi GATT, Andreas F,
Lowenfeld, berkomentar tentang prosedur penyelsaian sengketa WTO ini :
the
system was revised in a major way in uruguay roun, so that today it
appears...at leat on papers...to be the strongest system of binding dispute
resolution in the international arena...”[84]
Secara keseluruhan hasil-hasil putaran
uruguay, khususnya mekanisme penyelsaian sengketanya, telah memberikan
kkontribusi yang sangat penting terhadap perkembangan dan penegakan hukum
internasional koontemporer. Namun semua terpulang pada konsistensi para anggota
WTO terhadap komitmen tekadnya semula. Jika tetap yakin bahwa perdagangan bebas
adalah jalan yang harus ditempuh oleh seluruh anggota masyarakat internasional
demi terwujudnya kesejahtraan bagi semua, hukum merupakam tiang penyangga utama
yang harus ditegakan. Sebagaimana dinyatakan manatan Dirjen WTO, Renato
Ruggiero: the rule of law in trade is
essential to keep trade open with out it we have the law of the jungle which in
an interdependent world not even the most powerful can afford. Sebagaimana
juga ditegaskan para penandatanganan WTO Agreement bahwa:dispute settlement system of the WTO is the central element in providing
securty and predictability to the multilateral trading system[85].
Bagaimana
realitanya?
Selama berfungsinya DSU sejak tahun 1995
samapai dengan 17 September 2004 tercatat di sekertariat WTO tidak kurang dari
314 pengaduan anggota terhadap satu sama lain. Jumlah ini berarti beberapa kali
lipat yang diterima GATT 1947 selama hampir lima puluh tahun eksistensinya.
Dari satu sisi hal ini mencerminkan perkembangan positif karena mencerminkan
kepercayaan yang lebih besar dari para anggota WTO terhadap sistem penyelsaian
sengnketa yang baru. Apalagi jika dilihat fakta bahwa pihak yang bersengketa
tidak hanya negara-negara maju atau sesama negara berkembang. Namun masih
menjadi pertanyaan apakah bertambahnya jumlah kasus perselisihan dagang yang
diajukan ke WTO mencerminkan efektivitas sistem penyelsaian sengketa WTO atau
hanya karena persoalan yang diaturnya bertambah banyak.
Satu hal yang tidak bisa dibantah adalah
bahwa lemabaga penyelsaian sengketa WTO telah menghasilkan keputusan-keputusan
yang telah memperkaya hukum makalahadedidikirawanGATT dengan tidak kurang dari 27.000 halaman
yurisprudensi. Ini merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi para ahli hukum
terlebih bagi negara berkembang yang miskin SDM dibidang ini. Ini berarti dalam
memahami aturan-aturan WTO ttidak cukup dengan membaca dan memahami
kesepakatan-kesepakatan internasional yang telah dicapai wakil-wakil pemerintah
dalam putaran-putaran perundingan akan tettapi juga yurisprudensi ini.
E.INDONESIA DALAM GATT
DAN WTO
1. Keterlibatan
Indonesia dalam GATT
Sebagai negara berkembang, Indonesia
telah menunjukan sikap positif terhadap pengaturan perdagangan multilateral.
Hal ini dibuktikan dengan keanggotaan indonesia dalam GATT sejak tanggal 24
Februari 1950, dan kemudian menjadi original member WTO serta meratifikasi
perjanjian perdagangan multilateral tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994. Indonesia menjadi anggota GATT atas dasar ketentuan Pasal XXVI;S(c) yakni
yang disebut succession.negara-negara
baru merdeka biasanya menjadi anggota GATT lewat ketentuan ini. Salah satu
konsekuensi terpenting adalah bahwa negara-negara baru ini akan memikul hak dan
kewajiban GATT dari negara yang dahulu menjadi sponsornya sepanjang negara yang
baru merdeka tersebut tidak menolak hak-hak dan kewjiban tadi.[86]
Indonesia mengakui bahwa sejak tahun
1948 aturan-aturan GATT telah terbukti mempunyai peranan besar dalam
mengembangkan perdagangan internasional. Manfaat yang dirasakan oleh indonesia
dari pengaturan GATT adalah keberhasilan dalam mengembangkan ekspornya,
terutama ekspor migas. Namun demikian sekalipun indonesia telah menjadi anggota
GATT sejak awal, sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, keterlibatan
indonesia selama tujuh puturan perundingan pertama sangat terbatas. Perhatian
negara-negara berkembanng pada masa yang lalu sangat terpusat pada perlakuan
khusus dan berbeda (special and
differential treatment) yakni karena negara-makalahadedidikirawannegara ini memiliki kondisi
khusus maka mereka meminta perlakuan berbeda. Secara umum ini berarti kewajiban
yang lebih lunak dalam membbuat konsensi disatu pihak dan hak atas konsensi
yang lebih akomodatif daari negara industri. Secara formal perlakuan khusus dan
diferenssial bagi negara berkembang adalah bagian dari GATT, khususnya bagian
IV dari GATT 1947. Tetapi secara material sistem prefensi umum adalah
satu-satunya produk konkret dalam kaitan ini. Sampai dewasa ini indonesia telah
menikmati fasilitasi sistem prefensi umum (GSP) yang berupa pengurangan dan
penghapusan bea masuk atas ribuan produk ekspor oleh beberapa negara maju
seperti Amerika Serikat, MEE, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Jepang.
Namun sebagaimana penulis nyatakan pada bab yang lalu sistem prefensi umum ini
diberikan negara maju secara unilateral dan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu
sehingga dengan demikian posisi negara berkembang sangat lemah. Menurut seorang
pengamat keuntungan yang diperoleh negara-negara berkembang dari liberalisasi
perdagangan multilateral adalah sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan
yang diraihnya dari GSP. Di samping itu keuntungan dari GSP ini dimentahkan
lagi dengan makalahadedidikirawantindakan-tindakan proteksiionis yang dilakukan negara-negara maju
atas produk-produk negara berkembang yaang berhasil.[87]
Menghadapi sikap diskriminatif daari
negara-negara maju terhadap impor dari negara-negara berkembang, indonesia
menekankan perlunya pengatuuran negara-negara menekankan perlunya pengaturan
perdagangan multilateral sebagaimana dimuat GATT. Mantan menteri muda
perdagangan indonesia, J.Soedradja Djiwandono pernah menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan yang dimuuat di dalam GATT didasarkan pada prinsip-prinsip
ekonomi, yang dalam hal ini menunjukan
bahwa kesejahteraan bangsa dapat ditingkatkan melalui perdagangan bebas dan
berlandaskan azas non diskriminasi.
Kendati masih jauh kenyataannya sistem ini semakin berkembang, yaitu setelah
melalui berbagai putaran perundingan perdagangan multilateral, yang diadakan
untuk meningkatkan keterbukaan dan kebebasan perdagangan dunia. Menurut
soedradja”... ekonnomi indonesia telah makin beragam dan berdaya saing. Dalam
keadaan seperti ini, kepentinngan utama ekonomi nasional adalah tersedianya
pasar yang bebas dan terbuka serta meluas oleh sebab ituumakalahadedidikirawan dalam perdagangn
internasional diperlukan sustu sistem penyelenggaraan perdagangan antar bangsa
yang dapat mendorong terwujudnya pasar yang bebas, adil, dan terbuka baggi
semua pelakunya.Dalam sistem perdagangan dunia, perjuangan nasional harus
dilakukan untuk bersama negara lain ikut serta secara aktif mengusahaakan
suksesnya perundingan perdangangan multilateral dalam ykerangka GATT putaran urugguay yang sasaran
uttamanya adalah untuk meningkkatkan keterbukaan dan kebebasan perdagaangan
dunia. Inilah yang mendasari peningkatan kegiatan indonesia dalam perundinngan
perdagangan multilateral.[88]
Lebih
lanjut Soedradja menegaskan keyakinannya sebagai berikut:[89]
Kegagalan
penciptaan aturan mmain perdagangan antara bangsa yang lebih terbuka, bebas dan
adil untuk semua negara dan perekonomian akan berarti merajalelanya proteksi
dan fragmentasi perdagangan dengan segala konsekuensinya. Perdagangan dunia
akan menciut, produksi dunia akan mmenciut, pengangguran akan membengkak dan
kemamuran akan menurun. Kiranya semua negara di dunia tidak menghendaki hal ini
terjadi. Karena itu segala upaya harus dilakukan untuk tercapainya kesepakatan
demi berhasilnya putaran uruguay.
Dukungan indonesia terhadap sistem
perdagangan yang terbuka telah diwujudkan oleh kebijakan deregulasi yang telah
berlangsung sejak tahun 1980-an. Menurut dua orang ekonom Djisman S.
Simanjuntak dan Meri E. Pangestu sepuluh tahun terakhir dalam ekonomi indonesia
dapat disebut sebagai dasawarsa reformasi. Paket demi paket deregulasi
diumumkan. Bisnis-bisnis yang tertutup atau dibatasi bagi pendatang baru
tinggal sedikit sekali. Cakupan produksi dari tata niaga (proteksi tinggi
terhadap impor melalui tarif atau hambatan non tarif) sudah turun dari 41 %
dalam tahun 1986 menjadi 22% dalam tahun 1992, dan khusus dalam industri
pengolahn turun dari 68% menjadi 31% dalam waaktu yang sama. Reformasi tarif
pada tahun 1985 telah menurunkan rangkaian tarif dari makalahadedidikirawan0-225% ke 0-60% berdampak
menurunnya proteksi . Inpres Nomor 4 bulan Maret 1985 yang antara lain mengatur
pemebnahan dan perombakan bea cukai untuk memproses barang masuk telah
mengakibatkan pengurangan waktu dalam memproses barang baik untuk impor maupun
ekspor. Kebijakan tanggal 6 Mei 1986 yang antara lain menghapuskan restriksi
pemilikan saham asing untuk PMA yang
berorientasi ekspor (sampai dengan 95%) telah mengakibatkan peningkatan PMA.
Deregulasi di bidang pasar modal pada bulan Desember 1987 yang antara lain
membolehkan pihak asing untuk membeli saham 49% telah menggariahkan pasar modal
indonesia karena kedudukan pihak asing dipastikan. Ini sekedar contoh dari
sekian banyak kebijakan deregulasi yang telah dilancarkan indonesia dalam
mendukung sistem perdagangan terbuka.[90]
Apa yang dikemukakan kedua ekonom
indonesiaa tersebut diatas didukung juga oleh data-data yang dikemukakan
Direktur Jendral GATT dalam laporan tahunannya tahun 1993 sebagai berikut:
reformasi perdagangan yang dilancarkan (indonesia) terus menerus sejak 1985
mengakibatkan turunnya tarif, tarfikasi yang lebih besar, dan dikendurkannya
hambatan-hambatan lisensi.. penurunan tarif yang dikenakan pada bulan meii 1990 berakibat turunnya tarif rata-rata menjadi
22% dibandingkan dengan 37% pada tahun 1984. Pada bulan juni 1991, tingkat
tarif dan bea tambahan dikurangi atas 860 item. Hambatan non tarif atas impor
311 item telah dihapus. Subsidi ekspor dikurangi dan pengecualian bea masuk
serta rencana drawback (catatan
penulis : drawback adalah pembayaran
kembali seluruh atau sebagian bea masuk atau pajak dalam negeri oleh pemerintah
atas barang impor yang diekspor makalahadedidikirawankeembali setelah diolah lebih lanjut)
dilaksanakan sesuai ketenttuan GATT pada tanggal 8 juni 1992 larangan ekspor
atas kulit mentah tertentu dan kayu tertentu serta rotan diakhiri dan diganti
dengan pajak ekspor.[91]
Sebagai seoranng yang mempelajari ilmu
hhukum, penulis tidak mungkin melibatkan diri dalam suatu perdebatan teoritis
tentang baik buruknya perdagangan bebas. Namun penulis menyadari bahwa
dikalangan para ahli, baik yang berasal dari negara lain maupun dalam negeri
sendiri kontroversi tentang perdagangan bebas masih ada.[92]
Sri
Edi Swasono, misalnya, menulis sebagai berkut:[93]
Pasar bebas akan
mengagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Pasar bebas dapat mengganjal cita-citta proklamasi kemerdekaan untuk melindungi
segenaop makalahadedidikirawanbangsa dan seluruh tumpah darah
indonesia. Pasar bebas hanya akan netral-netral saja, terhadap anak
negeri (baca;pribumi). Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum
inlander (baca; kaum terjajah,terhina) yang jauh di bawah martabat kaum eropa
dan timur asing . pasar bebas bahkan diiskriminatif terhadap yang miskin yang
tidak memiliki jaminan, tidak mampu memperoleh alokasi. Pasar bebas yang
menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli hanya akan
menjadi penonton beelaka, berada diluar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar
bebas melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang ke tangan
partikelir dan asing . pasar bebas mencari keuntungan ekonomi, bukan manfaat
ekonomi. Pasar bebas menggeser, dan menggusurr rakyat dari tanah struktural,
lantas mendorong terbentuknya polarisasi sosial ekonomi subordinasi yang eksploitatif
dan dteiskriminatif terhadap yang lemah. Kemudian pasar bebas mengacu pikiran
kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorong lidah kita bicara palsu
membabibutta anti subsidi, anti proteksi, demi efisiensi yang jarang memberi
manfaat kepada si lemah.
Pendapat Edi Swasono tampaknya termasuk
kedalam paham yang tidak menyetujui negara-negara berkembang. Terlibat dalam
perdagangan bebas karena hanya akan lebih menyengsarakannya. Pendapatnya juga
sangat nasionalistik tanpa menghiraukan hasil-hasiil konkret yang telah dicapai
negara-negara dunia dengan mengikuti perdagangan bebas sebagaimana dikemukakan
hasil-hasilnya oleh sekertariat GATTatau WTO. Pada saat bangsa lain, bahkan
yang berediologi komunis seperti RCC dan Vietnam dengan gencar melakukan liberalisasi
perdagangan dan swastanisasi, adalah tidak masuk akal jika indonesia disarankan
untuk menutup diri dari arus globalisasi dan menjalankan kebijakan
proteksionis. Kepentingan bangsa dan negara tidak mungkin dapat dicapai dengan
cara menutup diri dari dunia luar. Globalisasi harus diterima sebagai realita
masyarakat makalahadedidikirawaninternasional konteemporer, tidak dapat dihinndari. Cara terbaik
adalah turut bermain didalamnya, bersaing dalam negara-negara lain, mengenal
kelemahan dan kekuatan sendiri serta memanfaatkannya. Para pembuat kebijakan
negara tidak dapat lagi melihat dunia secara konfrontatif, memandang
negara-negara maju sebagai penjajah dan negara berkembang sebagai terjajah .
cara berpikir demikian tidak bermanfaat. Kecenderungan dunia adalah ke arah perdagangan
bebas. Hampir semua negara di dunia adalah kearah perdagangan bebas. Hampir
semua negara di dunia adalaah anggota WTO atau yang tengah menunggu menjadi anggota.[94]
Sikap skeptis terhadap GATT dikemukakan
oleh Mochtar Mas’oed yang melihat usulan putaran uruguay cenderung
menguntungkan negara-negara besar yaitu negara-negara utara. Dalam mellihat
resturuksasi (perdagangan internasionall) sarjana indonesia ini melihat suatu
eesensi berupa pembebasan kapital transnasional dari berbagai hambatan dan kewajiban
melalui sistem sannksi yang efektif. Dari sudut negara-negara selatan,
rancangan ini mengharuskan rakyat selatan untuk menyerahkan kemerdekaan ekonomi
mereka kepada lemabaga-lemabag internnasional seperti GATT, IMF dan Bank Dunia.
Penulis tidak setuju dengan pendapat demikian. Negara- negara berkembang
menjadi anggota dari organisasi-organisasi internasional ini dan organisasi
internasional lainnya karena manfaat keanggotaan yang dapat diperolehnya.
Sistem sanksi yang efektif buukan untuuk membebaskan kapital transnasional dari
berbagai hambatan, akan tetapi untuk menjamin hak-hakmakalahadedidikirawan dan kewajiban sebagaimana
yang sudah disepakati bersama. Sistem sanksi yang efektif penting bagi terwujudnya sistem pperdagangan internnasionall
yang tertib dan adil suatu hubungan internasional di mana kekuatan dikendalikan
oleh hukum.[95]
Terlepas dari masaalah ini, dari sudut
hukum penulis melihat bahwa ratifikasi yang dilakukan pemerintah indonesia
terhadap WTO agreement merupakan
suatu fakta hukum ini terbentuk atas dasar kemauan politik pemerintah untuk
mendukung sistem perdagangan bebas sebagaimana sering dikemukakan para
pejabatnya termasuk oleh kepala negara sendiri. Misallnya, kepala negara yang
mengumumkan deklarasi bogor (ApecEconomicleaders
declaration on common resolve) tanggal 15 Nopember 1994 yang antara lain
berbunyi:[96]
To strengthen the open multilateral trading system
we decide to accelerate the implementation four uruguay round commitments and
to under take work aimed at deeperning and brooadning the out come of the
uruguay round. We also a gree to commit our selves to our countnuing process of
unilateral trade investment liberalization. As evidence of our coommitment to
the open multilateral trading system we fruther agree to a stand still under
which we will endeavour to refrain from using measure which would have the
effect of increasing levels of protection.
APEC adalah suatu pengelompokan regional
negara-negara yang dapat menjurus pada pembentukan free trade area. Kemampuan APEC untuk mendukung sistem perdagangan
multilateral sebagaimana dicanangkannya sangat bergantung pada kemampuan
negara-negara APEC sendiri untuk tidak hanya meliberalisasikan perdagangan
intra APEC akan tetapi dengan negara-negara diluarnya juga. Sesuai dengan
ketentuan Pasal XXIV GATT APEC harus bersifat trade creaction bukannya tradediversion. Secara normatif suatu
kawasan perdagangan bebaas adalah sesuai dengan makalahadedidikirawansistem perdagangan multilateral
yang akan ditegakan GATT apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan Pasal
XIV tersebut. Adalah satu yang terpenting adalah ketentuan ayat 4 yang
menyatakan bahwa tujuan pembentukan free
trade area atau customus union adalah
untuk memudahkan perdagangan diantara negara-negara dalam kelompok yang bersangkutn,
bukan untuk membentuk hambatan dalam perdagangan dengan negara-negara diluar
kelompok. Kelemahan Pasal XXIV telah mendorong negara-negara untuk
menyempurnakan ketentun tersebut selama putaran uruguay yang berhasil
mengeluarkan understanding on the interpretation
of article XXIV of the general agreements on tariffs and trade 1994
ketentuan terbaru ini antara lain menekankan perlunya mengikuti prosedur
pembentukan pengelompokan ekonomi tersebut juga diatur tentang pengawasan oleh
dewan perdagangan Barang WTO.[97]
Pada
kesempatan lainnya presiden menjelaskan mengapa indonesia mengambil prakrasa
tersebut diatas dijelaskan bahwa:[98]
Suka atau tidak suka, umat manusia dan
dunia menghadapi perubahan-perubahan besar yang tidak dapat dihindari.
Perubahan ini terutama disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang makin cepat dan luas, disamping itu juga perubahan dalam sikap
dan pikiran manusia. Berhubung dengan itu dunia dan umat manusia menjadi
semakin kecil dan erat hubungannya satu sama lain. Proses yang sering dinamakan
globalisasi itutidak dapat ditolak
oleh siappa pun juga. Akibat dari proses itu bangsa-bangsa diharuskan untuk
bekerja sama satu dipada waktu yang
sama harus pula bersedia dan smakalahadedidikirawananggup
bersaing satu sama lain, sebab barangsiapa
kurang daya saingnya akan sangat terlantar dalam dunia yang makin erat
hubunya itu. Dunia tidak akan bertanya apakah kita sudah siap atau belum, kita
sendiri mempuunyai kewajiban untuuk menyiapkan diri secara baik.[99]
2.Keterlibatan Indonesia dalam
Penyelsaian sengketa Perdagangan
Selama menjadi negara peserta GATT 1947
dan sebagai negara anggota WTO sampai saat penulisan disertasi ini Indonesia
belum pernah memanfaatkan mekanisme formal bagi penyelsaian sengketa sebagai
pengugat (applicant) ataupun tergugat
(respondent), baik dalam GATT 1947
maupun WTO. Namun pada awal keeanggotannya makalahadedidikirawandalam GATT indonesia pernah meminta
bergabung (request for joindet)
bersama sejumlah negara lain dalam konsultasi berdasarkan PasalXXII yang
diadakan antar negara – negara peserta GATT, yaitu antara Rhodesia dan Nyland
di satu pihak dengan MEE dipihak lain dalam persoalan effect trade in unmanufactured tobaccoof rome treaty provision on
proposed common tariff and association of overseas tarritories tanggal 9
Juli 1958 antara inggris dan enam negara anggota MEE dalam persoalan effect on trade on coffe of rometreaty
provisions on associations of overseas territories tanggal 28 Juli 1958.
Dalam rangka WTO Indonesia atas nama negara-negara asean telah mendukung
permohonan yang diajukan filipina kepada WTO agar supaya dibentuk panel untuk
memeriksa tindakan Brazil yang menerapkan 121,5% countervaling duty atas kelapa parut (dessicated coconut) filipina. Indonesia menyatakan kekhawatirannya
atas ketiadaan transparansi dalam melaksanakan penyelidikan bea masuk imbalan
yang dilakukan brazil serta tidak dihiraukannya informasi dari produsen dan
indonesia sendiri telah dikenai 155, 7% bea masuk imbalan oleh negara tersebut.[100]
Dengan demikian hhingga saat ini secara
langsung indonesia belum terlibat dalam proses penyelsaian sengketa GATT
berdasarkan Pasal XXII dan XXIII atau pun prosedur lain dalam rangka GATT, dan
dalam sistem WTO. Namun hal ini tidak berarti Indonesia belum makalahadedidikirawanpernah berselisih
dengan mitra dagangnya. Menurut suatu sumber di Departemen Perdaganngan
kasus-kasus perselisihan dagang antara Indonesia dengan negara-negara lain
akhir ini telah diselsaikan melalui konsultasi bilateral. Dalam penyelsaian
sengketa dmikian jelas sebagai pihak yang lemah indonesia telah menjadi korban
tekanan bilateral dari negara maju yang menjadi mitra dagangnya. Salah satu
contoh lemahnya posisi indonesia dalam melakukan konsultasi bilateral dengan
negara maju adalah ketika Amerika Serikat berhasil mengiring Indonesia untuk
mau menandatangani code of suibsidies and
countervailing duties dan juga menandatangani suatu perjanjian bilatera.[101]
Dari wawancra penulis dengan beberapa
pejabat di departemen perdagangan tampak bahwa menjadi pertimbangan utama pihak
indonesia dalam menyelsaikan perselisihannya dengan mitra dagangnya adalah
pertimbangan untung rugi (cost and
benefit) dari segi ekonomi. Sedemikian jauh penyelsaaian sengketa diluar
froum multilateral seperti GATT dan WTO masih dianggap yang terbaik atau
kalaupun terjadi tindakan negara lain yang merugikan. Indonesia lebih suka
memilih untuk turut serta sebagai pihak ketiga dalam penyelsaian perselisihan
di forum WTO ini seperti halnya dalam kasus kelapa parut tersebut diatas
ataupun kasus-kasus sebelumnya dengan negara lain sebagaimana dikemukakan para
pejabat departemen perdagangan tersebut adalah khas sikap para diplomat dagang
yang lebih menitikberatkan pada keuntungan ekonomis yang ingin segaera dapat
dicapai ketimbang sikap yang ditujukan untuuk membangun suatu sistem hukum
perdagangan inetrnasional yang efektif dan dapat bertahan lama.[102]
Suatu perkembangan baru yang mungkin
akan menjadikan indonesia sebagai tergugat di forum penyelsaian sengketa WTO
untuk pertama kalinya adalah sehubungan dengan diproduksinya mobil nasional
(mobnas). Melalui instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1966, Presiden RI telah
menginstruksikan kepada menteri perindusrian dan perdagangan, menteri keuangan
dan menteri negara penggerakmakalahadedidikirawan dana investasi ketua badan koordinasi penanaman
modal untuk mengambil langkah-langkah bagi pembangunan industri mobil nasional
yang memenuhi unsur sebagai berikut:[103]
a) Menggunakan
merek yang diciptakan sendiiri
b) Diproduksi
di dalam negeri
c) Menggunakan
komponen buatan dalam negeri
Dalam rangka mewujudkan mobil nasional
tersebut, pemerintah telah menunjuk sebuah perusahaan nasiional, untuk membuat
mobnas tersebut, dan akan mendapatkan kemudahan-kemudahan di bidang produksi
dan pperpajakan setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan
misaalnya, PT timor putra nasional wajib menggunakan komponen lokal yang naik
secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun, mulai dari 20%, 40% hingga 60%.
Mengingat PT. Timor putra nasiional belum mampu membangun pabrik pembuatan
mobil tersebut di indonesia, maka mobnas masih dibuat di negara asalnya, korea
selatan, dengan menggunakan tenaga-tenaga kerja Indonesia. Namun demikian
keadaan ini tidak merubah status mobil tersebut sebagai mobnas karena dengan
keputusan presiden Nommor 42 tahun 1996 dinyatakan bahwa mobil nasional yang
dibuat di luar negeri oleh tenaga-tenaga kerja indonesia, dan memennuhi
kandungan lokal yang ditetapkan, makalahadedidikirawandiberi perlakuan sama dengan mobil nasional
indonesia.[104]
Sejumlaah negara yakni Jepang , amerika
serikat, dan uni eropa telah meminta
konsultasi di forum WTO karena merasa kkeberatan dengan kebijjakan mobil
nasioonal indonesia tersebut sementara ini yang dikeluhkan negara-nnegara
tersebut adalah karena mobil-mobil korea selatan yakni mobil kia motor corp,
atas dasar kerja sama dengan PT timor putra nasional, telah dimasukan ke indonesia
untuk dijual tanpa dikenaakan bea masuk dan pajak barang mewah seperti yang
dikenakan terhadap mobil buatan asing. Jika dihubungkan dengan ketentuan GATT
1994 maka yang dituduhkan telah dilanggar indonesia adalah ketentuan Pasal I (general most-favored nation teratment)
namun demikian apabila perselisihan dagang ini tidak selesai pada tahap
konsultasi dan negara-negara tersebut menggugat indonesia di forum OSB, ada
kemungkinan mereka akan menggunakan pasal-pasal lain disamping pasal I
tersebut, misalnya PasalIII (nation
treatment) yang dalam sistem WTO dapat dihubungkan makalahadedidikirawandengan salah satu
dokumen terbarunya yakni agreement on
trade related investment measures (TRIMs) yang melarang kewajiban menggunakan kandungan
lokal. Dalam annex terhadap perjanjian ini, misalnya disebutkan bahwa TRIMs
yang bertentangan dengan kewajiban national
treatment sebagaimana tercantum dalam Pasal III ayat 4 GATT 1994 adalah
tindakan-tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan yang diwajibkan
mwnurut hukum nasional atau peraturan pemerintah atau yang pelaksanaannya akan
mendapatkan keuntungan, yang mengharuskan pembelian atau penggunaan
produk-produk lokal oleh suatu perusahaan. Pembelian atau penggunaanmakalahadedidikirawan kandungan
lokal ini dapat dengan cara penetapan jenis, volume atau nilai produk tersebut,
ataupun persentasenya dalam barang yang diproduksi. Permintaan konsultasi
dengan indonesia dibawah naungan WTO diajukan negara-negara terssebut
masing-masing pada tanggal 3 Oktober oleh Uni Eropa, tanggal 4 Oktober oleh
jepang, dan tanggal 10 Oktober oleh Amerika Serikat. Diantara ketiga negara
tersebut tuduhan pelanggaran pling luas dituduhkan pemerintah Amerika Serikat.
Menurut Amerika Serikat kebijakan mobnas indonesia tidak hanya melanggar
ketentauan Pasal II dan III GATT 1994, akan tetapi melanggar pula Pasal 2
TRIMs, Pasal 3,6,28 perjanjian tentang makalahadedidikirawansubsidi, serta Pasal 3,20 dan 65 TRIPs.[105]
Menghadapi pengaduan negara-negara
tersebbut para pejabat indonesia, khususnya menteri perindustrian dan
perdagangan Tunky Ariwibowo dan duta besar indonesia untuk WTO Halida Miljani
menyatakan indonesia sudah siap
menangkis tuduhan-tuduhan dari luar dengan cara menggunakan ketentuan-ketentuan
dalam dokumen WTO sendiri. Secara garis beesar penulis akan kemukakan isi dari
ketentuan-ketentuan yang dituduhkan telah dilanggar oleh Indonesia PasalI GATT
1994 adalah tentang MFN sedangkan Pasal III adalah perlakuan nasional. Kedua
pasal tersebut mengandung dua diantara prinsip utama GATT yang sudah lama
dikeenal dan diberlakukan bagi seluruh anggotanya. Selanjutnya Pasal2 TRIMs
merupakan ketentuan yang terkandung dalam salah satu perjanjian yang dihasilkan
putaran uruguay. Pasal2 terseebut mengatur tentang nasional dan hambatan
kuantitatif dibidang tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan.
Disebutkan bahwa TRIMs yang bertentangan dengan prinsip perlakkuan nasional
adalah pembelian atau penggunaan tersebut diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan atau yang pelaksanaannya dikaitkan dengan perolehan
makalahadedidikirawankeuntungan menurut ketentuan Pasall 5 negara-negara berkembang mempunyai masa
transisi lebih lama yakni 5 tahun sebelum memberlakukan kkesepakatan
multilateralini. Namun demikian menurut ketentuan lain dari pasal yang sama
selama masa transisi negara-negara anggota dilarang memodifikasi TRIMs yang
sudah dilaporkannya yang dapat meningkatkan inkosistensi dengan ketentuan Pasal
2 tersebut diatas.[106]
Pasal 3 perjanjian tentang subsidi
mengatur pelarangan subsidi atas ekspor dan atas produk domestik. Pasal 6
adalah tentang subsidi yang dianggap dapat merugikan kepentingan negara lain,
misalnya pemberian subsidi ad valorem atas produk yang melebihi 5 %, subsidi
untuk menutup kerugian operasi suatu industri. Ketentuan pasal 28 antara lain menyatakan bahwa program
pemberian subsidi yang telah ada pada saat negara anggota mendatangani
perjanjian WTO harus disesuaikan denganmakalahadedidikirawan perjanjian ini dalam waktu tiga tahun.
Sebagai negara berkembang indonesia mempunyai masa transisi yang lebih lama
yaitu 5 tahun. Pasal 3 TRIPs adalah tentang perlakuan nasional di bidang yang
diatur perjanjian ini. Pasal 20 menyatakan bahwa penggunaan merek dagang tidak
boleh disertai dengan persyaratan-persyaratan yang tidak semestinya, seperti
penggunaannya dengan merek lain, penggunaan dalam bentuk khusus atau dalam cara
yang mengganggu kemampuannya untuk membedakan barang atau jasa suatu perusahaan
dari perusahaan lain. Pasal 65 adalah ketentuan peralihan. Diantaranya
dinyatakan bahwa negara berkembang dapat menunda pelaksanaan perjanjian ini
kecuali ketentuan Bab I Pasal 3,4,5 untuk jangka waktu 4 tahun terhitung sejak
masa berlakunya perjanjian ini. Selama masa transisi wajib menjamin bahwa
segala perubahan dalam huukum dan praktek dalam negeri tidak menciptakan
keadaan yang inkosistensi dengan perjanjian ini.[107]
Dari yurisprudensi GATT sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya pelanggaran-pelanggaran ketentuan GATT dianggap
sebagai telah mengurangi atau makalahadedidikirawanmenghilangkan keuntungan pihak lain dalam
perjanjian ini ( prima facie
nullification or impairment). Dalam laporan panel pada perkara uruguayan recourse to article XXIII antara lain disebutkan:[108]
In case where
there is a clear infringement of the general agreement, or in other words,
where measure are applieed in conflict with the provisison of GATT and are not
permitted under the terms of the relevant protocol under which the GATT is
applied by the contracting party, the actiion would, prima facie, constitute a
case of nullification or impairment and would ipso facto requires consideration
of whether the circumstance are serious enough to justifiy the authorization of
suspension of concessions or obligations
Namun demikian jika indonesia di adukan
ke forum DSB maka adanya kerugian yang dituduhkan pihak lain sebagai akibat
kebijakan mobnas tidak akan diterima begitu saja. Praktek penyelsaian sengketa
GATT menunjukan bahwa tuduhan adanya kerugian atau gangguan sebagai akibat
tindakan perdaganngan negara harus didukung fakta-fakta yang merupakan hasil
suatu studi saksama dari seorang atau lemabaga dengan reputasi yang tinggi
seperti diperlihatkan dalam perkara United
States Taxes an automobile anatara AS vs EU tahun 1993 oleh karena itu
pihak indonesia harus sudah mempersiapkan para pakar ekonomi dan pakar lain
yang terkait guna menangkis tuduhan serta
data-datamakalahadedidikirawan yang kemungkinan akan disodorkan pihak lain untuk mendukung
tuduhannya.[109]
Dari segi hukum di samping menggunakan
ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan preferensi bagi negara-negara berkembang
secara umum, menurut hemat penulis pihak indonesia dapat menggunakan ketentuan
Pasal XVIII:c GATT 1994 guna menangkis tuduhan-tuduhan tersebut. Pasal ini
antara lain menyatakan bahwa suatu negara yang masih dalam tahap awal
pembangunan ekonominya dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan
GATT. Adapun yang dimaksud dengan dalam tahap awal pembangunan tidak hanya
ditujukan bagi negara peserta yang baru memulai proses pembangunannya, akan
tetapi juga mencakup negara peserta yang sedang melakukan proses indutrilisasi
guna mengoreksi ketergantungan yang berlebihan atas produksi primer. Misalnya jika
negara yang bersangkutan bermaksud memberikan bantuan pemerintah untuk
menunjang suatu industri tertentu dengan maksud meningkatkan taraf hidup
masyarakat pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal XVIII dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan industri tertentu tidak hanya industri baru akan tetapi
mencakup pula pembukaan cabang industri makalahadedidikirawanyang sudah ada ataupun suatu
transformasi substansial dari industri yang sudah ada.[110]
Dengan mengingat ruang lingkup
permasalahan yang ditelitinya, penulis tidak dapat membuat kesimpulan yang
pasti apakah indonesia akan kalah atau menang seandainya digugat di forum DSB.
Namun yang jelas di indonesia memiliki peluang untuk menangkis tuduhan-tuduhan
tersebut dengan menggunakan ketentuan WTO sendiri serta dengan didukung
data-data meyaarakinkan bahwa kebijakan mobnas adalah dalam rangka meningkatkan
kemampuan ekonominya khususnya di bidang industri ottomotif. Tindakannya
tersebut tidak menimbulkan kerugian serius bagi industri negara-negara lain
dengan mengingat posisi indonesia sebagai negara berkembang yang berhak atas
perlakuan prefensi dari negara maju. Namun demikian pengalaman indonesia di
forum penyelsaian sengketa WTO sudah
harus mengingatkan para pembuat kebijakan danmakalahadedidikirawan pelaku perdagangan internasional
bahwa era baru telah kita masuki. Sengketa mobnas adalah permulaan kemungkinan
serangkaian serangkaian sengketa dengan mitra dagang yang akan kita hadapi pada
masa- masa mendatang, dengan obyek yang lain. Bagi negara-negara anggota WTO
termasuk negara-negara anggoota WTO termasuk negara-negara berkembang proses
gugat-menguggat akan menjadi suatu rutinitas dan menjadi salah satu aspek yang
wajar dari perrdagangan internasional. Keadaan ini menuntut perubahan sikap dan
wawasan dalam memandang hubungan internasional. Khususnya di bidang
perdagangan. Negara-negara maju sudahjauh lebih berpengalaman di bidang ini.
Dari praktek gugat-menggugat di forum GATT sampai WTO, negara-negara maju sudah
terbiasa saling menggugat atau berpihak untuk menggugatmakalahadedidikirawan negara lain. Misalnya
dalam rangka WTO pada suatu ketika AS menggugat ME dalam masalah produk-produk
pertenakan, pada bidang lain misalnya pengenaan tarif atas produk-produk eropa
, ME menggugat AS. AS mengguagat Kanada di bidang produk barang cetakan, dan
kanada menggugat ME mengenai kerang. Akan tetapi pada saat jepang mengenakan pajak lebih rendah atas minimum
sochu dari pada pajak makalahadedidikirawanwhisky, ME, Kanada dan AS berada di stu pihak menggugat
jepang. Catatan penyelsaian sengketa GATT sebagian besar diisi oleh rangkaian
gugat menggugat di antara negar-negra maju . tmpaknya perselisihan perdagangan
tidak menyebabkan hubungan antar negara-negara ini mengalami gangguan serius
atau mengakibatkan kehilangan muka bagi pihak yang dikalahkan. Menurut hemat
penlis ini merupkan sikap yang wajar, harga makalahadedidikirawanyang harus dibayar setiap negara
demi tegaknya sistem perdagangan multilateral serta tegaknya rule of law dalam perdagangan internasional. Menurut hemat
penuulis kondisi yang ideal dalam menyelsaikan perselisihan dagang antar negara
akan dicapai apabila semua negara telah bersedia meneriman hasil penyelsaian
sengketa di forum WTO sebagaimana halnya pihak-pihak yang bersengketa di
pengadilan nasional menerima putusan pengadilan adalah satu bukti kepatuhan
terhadap hukum. Kalah berpekara tidak berarti kehilangan muka.[111]
3. Indonesia dan WTO
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor III/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
antara lain menjelaskan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang makin
mampu menunjang kepentingan nasional dan diarahkan untuk turut mewujudkan
tatanan dunnia baru berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan
sosial, serta ditujukan untuk lebih meningkatkan peranan Gerakan non blok.
Garis-Garis Besar Haluan Negara juga menggariskan bahwa perkembangan dunia yang
mengandungmakalahadedidikirawan peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan
nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan mendorong ekspor, khusunya
komoditi non-migas, peningkatan daya saing dan penerobosan serta perluasan
pasar luar negeri.[112]
Bertolak dari prinsip-prinsip tersebut,
adalah semestinya apabila segala perkembangan, perubahan dan kecenderungan
global lainnya yang diperkirakan akan dapat mem pengaruhi stabilitas nasiional
serta pencapaian tujuan nasional, perlu diikuti dengan seksama sehingga secara
dini dapat diambil langkah-langkah yang tepat dan cepat dalam mengatasinya.
Dengan sikap seperti ini, kebijakan pembangunan nasional yang bertumpu pada
pemerataan pembangunan dan makalahadedidikirawanhasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional, dapat tetap dipelihara. Dalam rangka menghadapi perkembangan dan
perubahan serta memanfaatkan peluang yang ada tersebut, indonesia terus
berusaha ikut serta dalam upaya meningkatkan kerja sama antar negara, terutama
untuk mempercepat terwujudnya sistem perdaganngan internasional yang terbuka,
adil, dan tertib serta bebas dari hambatan serta pembatasan yang selama ini
dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional tersebut.[113]
Dalam skala nasional, masalah yang
timbul di bidang ekonomi tidak sederhana. Perubahan orientasi perekonomian
nnasional ke arah pasar ekspor, membawa
berbagaimakalahadedidikirawan konsekuensi termasuk di dalamnya kebutuhan peningkatan kegiatan
perdagangan luar negeri, khususnya di bidang produksi non migas. Tidak kalah
pentingnya adalah kebutuhan untuk makin memantapkan berbagai sarana dan
prasarana penunjang ekspor, serta keterkaitan yang saling menguntungkan antar
konsumen dan produsen. Sementara itu kebijaksanaan peningkatan ekspor non migas
yang diarahkan untuk makalahadedidikirawanmenunjang pelaksanaan pembangunan nasional pada dasarnya
juga menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang memerlukan perhatian
secara menyeluruh. Hambatan dan tantangan tersebbut dapat berupa ketidakpastian
pasar maupun persiangan antar negara yang semakin meningkat tajam. Secara umum,
ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia jugga dilatarbelakangi oleh
perubahan-perubahan yang terus terjadi secara cepat, baik dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosialbudaya, maupun pertahanan kemanan.[114]
Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan
internasional, keberhasilan indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan
nasional juga akan tergantung pada perkembangan tatanan eknomi dunia serta
kemantapan sistem perdagangan internasional disamping kemampuan penyesuaian
ekonomi nasiional terhadap perkembangan makalahadedidikirawan yang ada. Salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi perekonomian dunia adalah tatanan atau sistem yang merupakan dasar
dalam hubungan perdagangan antar negara. Tatanan dimaksud adalah General Agreement on Tariffs and trade
(GATT).Manfaat keikut sertaan indonesia dalam persetujuan tersebut pada
dasarnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang
lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang
lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional dalam
perdagangan internasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang.[115]
Dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya dibidang ekonomi, dibutuhkan
upaya-upaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan
mengamankan pasar bagi segala produk baik barang maupun jasa termasuk aspek
investasi makalahadedidikirawandan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan,
serta meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan
internasional. Untuk tujuan inilah maka presiden, dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk mengesahkan Agreement Establishing The World Trade Organization pada tanggal 2
Nopember1994[116]