DMCA.com Protection Status Selamat Datang Di Catatan dan Tugas kuliah S1/S2 Fak.Hukum: 02/26/13

Selasa, 26 Februari 2013

REFLEKSI STRUKTUR AKULTURASI KEBERADAAN ILMU HUKUM, TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM


DESKRIPSI SINGKAT TENTANG KEBERADAAN
ILMU HUKUM, TEORI HUKUUM, DAN FILSAFAT HUKUM
Setiap sarjana hukum, ketika masih menjadi mahasiswa hukum, untuk kali pertama dalam pembelajaran tentang hukum, sudah pasti diharuskan menempuh mata kuliah pengantar ilmu hukum (yang didalamnya dikaji pula teori hukum) dan mata kuliah filsafat hukum ( yang kadang-kadang dalam pembahasannya direlasitaskan pula dengan teori hukum). Pada tataran intelektual lebih tinggi atau pada jenjang akademik magister hukum (s2) atau doktor ilmu hukum s3 kedua varian mata kuliah tadi, yakni teori hukum dan filsafat hukum tetap masih diberikan. Namun, dalam pembelajaran terhadap kedua mata kuliah tadi kerap kali tidak di relasitaskan dengan kelimuan hukumnya itu sendiri, yakni ilmu hukum padahal antara ketiganya itu krbradannya erat bertemali karena suatu realitas pengetahuan hukum, baru dapat dinilai sebagai ilmu jika memenuhi syarat-syarat suatu ilmu, jika memenuhi syarat-syarat suatu ilmu, sehingga menjadilah ia ilmu hukum.
Selanjunya apa yang menjadi ontologi dari ilmu hukukm ini, pembelajarannya tidak dapat dilepaskan dari 3 sisi yang mengintari ontologi dimaksud :
Pertama, adalah sisi normatifvitas hukum, dipelajari oleh hukum normatif
Kedua, adalah sisi teoritis dipelajari teori hukum
Ketiga, sisi empirikal dari hukum dipelajari oleh oleh ilmu hukum empirik
Pembelajaran pada sisipertama, menggunakan metode normatif pengetahuan hukum itu menjadi ilmu hukum yang mempelajari adedidikirawankaidah atau norma (rectswissen-schft) pada sisi kedua (teori hukum) ilmu hukum sebagai pengetahuan teoritikal, dilingkupi oleh 4 lapisan utama yakni:
1.       Dogmatik hukum
2.       Teori hukum (dalam arti sempit)
3.       Filsafat hukum
4.       Logika hukum
Yang masing-masing bisa memberi dukungan pada pengembanan hukum pratikal (maupun teoritikal) serta memiliki adedidikirawanmetoda-metoda tersendiri. Sedangkan pada posisi ketiga (ilmu hukum empirik ) pembelajarannya menggunakan metode-metode:
1.       antropologikal
2.       sosiologikal
3.       historikal
4.       komparatif
5.       psikologikal
sehingga menjadilah (pengetahuan hukum ) itu ilmu pengetahuan hukum tentang kesunyatan hukum (tatsachenwissenchft) yang melahirkan cabang-cabang ilmu hukum empirik tersendiri yakni antropologi hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, dan psikologi hukum
II. MENGKAJI ILMU HUKUM DARI OPTIK KEILMUAN
A.      KONSTRUKSI ILMU
Mengkaji ilmu hukum dari optik keilmuan, sebenarnya sudah berada diluar bidang ilmu hukum itu sendiri. Kajian mengenai hal ini sebenarnya menjadi tugas disiplin ilmu lain, yakni filsafat ilmu. Filsafat ilmu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal mengelaborasi sudut ksudut keilmuan dari ilmu hukum itu sendiri. Dengan menggunakan telaah filsafat ilmu ini lah akan diketahui apakah ilmu hukum itu sesungguhnya merupakan suautu ilmu ? menurut Lasiyo untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak sekedar membuat pernyataan, tetapi harus dikaji dan dianalisis berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan (Lasiyo dalam titik triwulan rurik at all (2007:3)) jika di jawabnya ilmu hukum itu adalah benar suatu ilmu muncul lagi pertannyaan-pertanyaan ikutannya yakni termasuk cabang ilmu apakah ilmu hukum itu, apakah karakteristik ilmu hukum sama dengan karakteristik-karakteristik ilmu lainnya apakah metode adedidikirawanyang digunakan oleh ilmu hukum sama dengan metode-metode kajian ilmu-ilmu lainnya, apakah manfaat kegunaan ilmu hukum hukum itu bagi kehidupan umat manusia, itulah pertanyaan-partanyaan radikal yang perlu diekplorasi dan kemudiann di analisis secara kritis dari optik filsafat ilmu.
Dilakukannya telaah demikian ini adalah sangat wajar dalam duniaadedidikirawan ilmu pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan tertentu yang oleh para ahlinya telah diproklamasikan sebagai suatu ilmu pengetahuan akan dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya, karena telah memenuhi syarat-syarat suatu ilmu. Selain itu tujuannya adalah supaya jangan timbul kecurigaan atau keraguan para ahli atau ilmuwan lain terhadap suatu ilmu pengetahuan tertentu yang dinilainnya bukan sebagai suatu ilmu adedidikirawanpengetahuan. Tujuan ini sengaja diketengahkan sehubungan dengan adanya keraguan dari ilmuan lain, termasuk dari ilmu hukum itu sendiri yang juga menyangsikan ilmu hukum sebagai ilmu. Para ilmuan itu menilai , bahwa ilmu hukum sesungguhnya bukan merupakan suatu ilmu. Sesungguhnya keraguan demikian muncul adalah sebagai akibat ketidakpahamnnya terhadap karakteristik yang khas yng dimiliki ileh ilmu hukum yakni normatif praktis dan presfektif (philipus MH Hajon dan Tatiek Djamiati 2005:1) mengingat karakterisyiknya yang demikianadedidikirawan inilah kemudian para ahli ilmu sosial diragukan bahwa ilmu hukum bukan merupakan ilmu emperikal atau bukan ilmu pengetahuan yang bersifat a posteriori. Demikian pula penilaian dari para ahli ilmu alam, dinilai bahwa ilmu hukum bukan merupakan ilmu nonemperikal atau bukan ilmu pengetahuan yang bersifat a priori
Kembali pada persolan semula apakah ilmu hukum ilmu menjawab persoalan tersebut mau tidak mau kkita hrus menggunakan kontruksi ilmu ilmu secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu sekumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang merupakan satu kesatuan yang tersusun adedidikirawansecara sistematis, serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukan sebab-sebabnya. (W.Poespoprodjo 2006: 14). Dengan demikian, sesungguhnya ilmu sangat terkait erat dengan suatu pengetahuan tertentu, dan jika suatu pengetahuan tertentu telah memenuhi syarat keilmuan, maka disebutlah ia ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan itu adalah suatu pengetahuan yang mempunyai ciri tanda dan syarat tertentu yaitu: sistematik, rasional, empiris umum dan kumulatif (bersusun timbunadedidikirawan) serta ilmu pengetahuan itu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengnai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkuan pemikiran dan pengindraan manusia (endang saiffudi ashari 1987;49)
Terminologi ilmu sebenarnya mengandung makna ganda sebagai produk dan sebagai proses sebagai produk ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji dan teruji kebenarannya mengenai pengetahuan yang suadah tersusun secara sistemik. Berkaitan dengan konteks ini B. Arief Sidahrta (2000;104) dengan menyetujjui pendapat Win van Dooren mengatakan bahwa ilmu adalah :
Suatu pengetahuanyang sah secara intersubyektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara sistematis
Sedangkan sebagaiadedidikirawan proses istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati gejala-gejala yang relevan (gegevens) pada bidangadedidikirawan tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan berkaitan dengan makna ilmu demikian arief sidharta dengan menistasi pendapat CA. Van Pursen mengatakan ilmu adalah:      
 Sebuah kebijakan sebuah setrategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan yang dijalankan orang terhadap (yang adedidikirawanberkenaan) dengan kenyataannya (arief sidharta 2000;104)
Dimaksud strategi dalam pengertian ilmu di atas adalah merujuk pada cara kerja metodis sistematis dengan bersarankan seperangkat lamabng dalam pengelolaan dan penjelasan gejala-gejala tersebut kedalam sebuah sistem
Secara ilmiah suatu pengetahuan barru dapat disebut sebagai suatu ilmu jika memenuhi seperangkat kriteria demikian dikemukakan oleh Harolad Berman kriteria dimaksud adalah:
1.       Kriteria metodologikal, dalam peristilahan metodologi ilmu dalam arti modern adalah seperangkat pengetahuan yang terintegrasi yang lahir dalam konteks dedukto hipotiko verifikatif
2.       Kriteria nilai yaitu substansi yang mengacu pada premis-premis nilai obyektifitas bebas pamrih (disinterestednessadedidikirawan). Skeptis toleransi dan keterbukaan
3.       Kriteria sosiologikal yang meliputi pembentukan komunitas ilmuwan penautan berbagai disiplin ilmiah dan status sosial
Dengan demikian keberadaan ilmu merujuk pada intelektual yang memiliki struktur yang unsur-unsurnya meliputi:
1.       Peranggapan sebagai guiding principles
2.       Bangunan sistematis yakni metode dan substansi (konsep dan teori )
3.       Keberlakuan intersubyektif
4.       Tanggung jawab etis
(Disitasi B. Arief Sidharta 2000: 104)
B.      KLASIFIKASI ILMU
Banyak metode yang mengklasifikasi ilmu-ilmu ke dalam beberapa kelompok dan sekelompok bergantung pada aspek (patokan kriteria) yang digunakan dalam uraian ini konstelasi ilmu-ilmu dilihat dari sudut substansinya dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu ilmu formal dan ilmu empiris (ilmu positif)
Ilmu  formal merujuk pada ilmu yang tidak tertumpu pada gejala-gejala faktual sebagai obyek kajiannya. Jadi ilmu ini tidak bersifat emperikal tau merupakan disiplin ilmu non empirikal (pengetahuan a priori ) obyek kajiannya bertumpu pada struktur murni yang analisis aturan operasional dan struktur logika misalnya: logika dan matamatika serta teori sistem. Namun demikian ilmu-ilmu formal dapat digunakan sebgai saranaadedidikirawan untuk membantu menganalisis permasalahan yang terdapat didalam ilmu empirik. Contohnya statistik yang pada dasarnya bertumpu pada matematika, merupakan sarana yang paling banyak digunakan untuk keperluan analisis ilmu-ilmu empirik. Pusat perhatian ilmu-ilmu formsl adalah sistem penalaran dan perhitungan.
Mengingat perhatiannya lebih kepada sistem penalaran dan perhitungan maka pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kebenaran dalam ilmu-ilmu formal (nonempirikal) adalah dengan cara formal pulaadedidikirawan yakni, memerlukan pembuktian (verifikasi) secara rasional  dan konstensional. Kebenaran demikian itu disebut dengan kebenaran koherensi yaitu suatu pernyataan dinilai benar jika konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
Ini berarti langkah-langkah penalaran merupakan ukuran kebenaran atas pengetahuan yang dihasilkan (hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu empirik yang lebih mengetumakan kebenaran materiil, maka metodologi yang digunakan pun dapat saja berbeda antara satu penelitian dengan penilitian lainnya.
Sedangkan ilmu empirikal merujuk pada pengetahuan faktual tentang kenyataan yang bersifat faktual (pengetahuan a posteriori) oleh karena itu ilmu ini bersumber dari empiri pengalaman dan eksperimental. Kata empirik (emperical) berasal dari bahasa yunani yang berarti meraba-raba atau a posteriori (dari kata latin post yang berarti sesudah) jadi ilmu empirik mementingkan pengamatan dan penelitian
Ilmu empirik disebut juga ilmu positif yang terdiri atas ilmu-ilmu alam ( naturwissenchaft) dan ilmu-ilmu manusia(giestes wissenchften) kegiatan dari ilmu-ilmu ini merupakan kegiatan manusia sebagai subyek. Hubungan antara subyek dan obyek yang diteliti merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pemilahan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.
Subyek yang melakukan penyelidikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah manusia sebagai sasaran obyek penyelidikan adalah juga manusia (tidak sekedar fisik melainkan kompleksitas keseluruhannya) sedangkan obyek ilmu-ilmu alam adalah manusiaadedidikirawan sebagai realitas fisik dari alam semesta sejauh realitas tersebut dapat diobservasi secara inderawi kebenaran pengetahuannya dapat divalidasi melalui rangkaian eksperimen yang terukur
Sehubungan dengan kklasifikasi ilmu diatas jika dikaitiakn dengan ilmu hukum maka ilmu hukum okhususnya ilmu ilmu adedidikirawanhukum normatif tidak dapat digolongkan kedalam dua klasifikasi ilmu diatas, karena ilmuhukum merupakan ilmu sui generis dan karakteristik keilmuannya bersifat normatif, ilmu hukum normatif termasuk dalam klasifikasi ilmu normatif . kebenaran pengetahuan ilmu hukum normatif ini memerlukan pembuktian (verifikasi) secara pragmatikal kebenaran pragmatikal adalah sesuatu pernyataan dinilai benra jika materi pengatuhan yang  terkandung dalam pengatahuan itu oleh komunitas ilmuwannya disepakati fungsional dalam kehidupan praktis dan atau berguna untuk mengatur kehidupan masyarakat
Namun menyangkut ilmu hukum yang berkaitan dengan sisi empiris yang oleh soerjono soekanto disebut denngan ilmu tentang kesunyataan hukum (tatscahenwissenschft) dalam klasifikasi ilmu di atas termasuk ke dalam ilmu empirik, karena merujuk pada pengetahuan faktual tentang kenyataan hukum yang bersifat faktual (pengetahuan a posteriori) seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum ilmu-ilmuadedidikirawan tersebut yang ileh Gustav Radbruch disebut sebagai ilmu-ilmu hukum merupakan (geistes wissenchften) ilmu-ilmu manusia  karena kegiatan dari ilmu-ilmu ini lebih menekankan pada kegiatan manusia sebagai subyek. Ilmu-ilmu hukum tersebut bersifat teoritis empiris sehingga metode pengungkapannya terikat pada metode indulktif logis
Ilmu formal dan ilmu empirik merupakan genus dari kelompok ilmu teoritik, yaitu ilmu yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan menembah pengetahuan. Adapun sebagai vis a vis ilmu teoritik adalah ilmu praktis (praktis) yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas-aktivitas adedidikirawanpeberapan itu sebndiri sebagai obyeknya ilmu ini bertujuan untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap permasalahan konkrit, ilmu praktik dapat dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu: ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis
Ilmu praktis normologis berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau adedidikirawanlebih berdasarkan asas imputasi ( menautkan tenggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit namun dalam kenyataannya apa yang seharusnya terjadi tidak niscaya dengan sendirinya terjadi. Sedangkan ilmu praktis normologis berusaha memperoleh pengetahuan empiris yaitu pengetahuan tentang hubunyang ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asas kausalitas deterministik ilmu ini disebut juga ilmu normatif atau dogmatik
C.      ILMU HUKUM ADALAH ILMU (BERKARAKTER KHAS DAN SUI GENERIS)
BERDASARKAN konstruksi dan klasifikasi ilmu diatas, dapat diterima bahwa ilmu hukum adalah suatu ilmu dengan tetap menghormati karakter keilmuannya yang merupakan kepribadian ilmu hukum. Jadi ditinjau dari optik atau sudut pandang karakteristik dan adedidikirawankepribadian ilmu hukum . jadi ditinjau dari optik atau sudut pandang karakteristik dan kepribadian ilmu hukum. jadi, ditinjau dari optik atau sudut pandang karakteristik dan kepribadian ilmu hukum dinilai sebagai suatu ilmu yang memiliki karakter khas. adedidikirawan dengan karakter khasnya ini, ilmu hukum merupakan ilmu tersendiri (suigeneris), sehingga dengan kulitas keilmiahannya menjadi sulit dikelompokan ke dalam salah satu cabang pohon ilmu pengetahuan alamm , cabang ilmu pengetahuan sosial, maupun cabang ilmu pengetahuan humaniora. (Ohilipus M. Hadjonadedidikirawan dalam yuridika, Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, No. 6 Tahun IX November-Desember 1994;1). dengan demikian sudah menjadi sangat jelas, bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang bersifat normatif (dan bukan empiris) sebagai karakteristiknya yang khas. dengan karakternya yang demikian itu, orang yang tidak memahami personalitas dari ilmu hukum tentu akan menragukan ilmu hukum sebagai suatu ilmu.
sinergi dengan penndapat di atas, menurut B Arief Sidahrta (2000;1130), dilihat dari karakteristik keilmuan, ilmu hukum termasuk kelompok praktis. walaupun demikian, ilmu hukum, bukan karena mempunyai sejarah yang panjang, tetapi juga karena sebagaimana ilmu kedokteran, ilmu hukum menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi sifatnya sebagai ilmu normatif dan dampak langsungnya terhadap kehidupan manusia dan masyarakat  yang terbawa oleh sifat dan problematikanya. selain itu, obyek telaah ilmu hukum adalah berkenaan dengan tuntutan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung adedidikirawanpada kehendak bebasyang bersangkutan, melainkan dapat dipaksanakan oleh kekuasaan publik. sedangkan dilihat dari karakteristik keilmuan, ilmu hukum yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis menyandang kekhasan yakni:
1.       tercatat sebagai salah satu  ilmu yang paling dulu berkembang (bersama dengan ilmu kedokteran)
2.       sebagai ilmu normatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematikannya (masalah mendesak yang inhern dalam kehidupan sehari-hari manusia);
3.       obyek telaahnya berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak adedidikirawansepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik;
4.       adanya tuntutan perkembangan masyarakat masa kini agar tugas ilmu hukum lebih banyak terarah pada penci[ptaan hukum baru, yang diperlukan untuk mengkoordinasi timbulnya berbagai hubungan kemasyarakatan.
menjawab pertanyaan apakah hukum itu ilmu? sebagaimana telah dikemukakan diatas maka harus menggunakan pisau analisis filsafat ilmu untuk memverifikasinya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, pertama apa yang menjadi hakikat keberadaan atau objek studi dari ilmu hukum (ontologikal). kedua, metode-metode apa yang digunakan untuk menjadikan pengetahuan hukum itu menjadi suatu ilmu (epistimologikal). ketiga, apakah ada manfaatnya mempelajari ilmu hukum, baik secara teoritikal bagi perkembangan ilmu itu sendiri, maupun secara pratikal bagi kehidupan manusia , kehidupan bermasyarakat adedidikirawandan kehidupan bernegara (axiologikal). Jika ketiga hal yang menjadi aspek filsafat dari filsafat ilmu itu telah terpenuhi, maka ilmu hukum telah dapat dikatakan sebagai suatu ilmu. senada dengan proposisi di atas, Jujun S. Suriasumantri (1985: 10-12) mengemukakan :
1.       hukum sebagai ilmu pengetahuan secara khusus mengkaji peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis  yang kemunculannya disebabkan oleh adanya hubungan masyarakat dalam hidup bersama, baik di dalam negara bangsa maupun hubungan masyarakat internasional (aspek ontologis).
2.       pengetahuan hukkum diperoleh dari adanya hubungan manusia, baik antar pribadi maupun kelompok. Hubungan itu melahirkan hak dan kewajiban yang jika tidak dilakukan pengaturan dalam kehidupan bersama akan menimbulkan konflik. hukumadedidikirawan memainkan pernanan penting dalam pengaturan hukum. oleh ahli hukum, hak dan kewajiban itu diabstrasikan yang kemudian abstraksi ini menghasilkan peraturan-peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis (aspek epistimologi).
3.       Hukum tersebut dipergunakan yang pada hakikatnya adalah meletakan pengkajian terhadap tujuan dari pengetahuan hukum. karena fungsi hukum adalah untuk meredam kkonflik kepentingan , maka tujuan pengetahuan hukum tidak lain adalah ketertiban, keamanan dan kepastian, Namun dalam perkembangannya, tidakadedidikirawan saja tujuan hukum terbatas pada hal di atas, tapi berkembang terhadap paradigma negara hukum yang mengarah kepada negara hukum kesejahteraan (welfare state), yang diimplementasikan ke dalam fungsi negara sebagai pelayanan masyarakat (public service) (aspek aksiologi)
sedangkan menurut Shidarta (2006:184) segi ontologi, segi epistemologis, dan segi aksiologi dari ilmu hukum adalah:
1.    Aspek Ontologi yakni disiplin hukum terkait tentang apa hakikat hukum. Inimenjadi dilaema tersendiri bagaiadedidikirawan para sarjana hukum, karena untuk mencari pengertian hukum secara definitif  telah lama di coba dan terbukti gagal untuk  disepakati. Seperti yang dikatakan Immanuel Kant yang mengatakan noch suchen die juristen eine definition zu ihrem beghirff von recht. kendatipun demikian, kajian ontologis terhadap hakikat hukum secara garis besar dapat dipetakan kepada lima butir pengertian, seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yakni:
a.    asas-asas kebenaran dan keadialn yang bersifat kodrati dan berlaku universal;
b.    norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara;
c.     putusan hakim in-concreto, yang tersistematisasi sebagai judge made law;
d.    pola-pola perilku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik ;
e.    manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi mereka.
hakikat hukum dapat diartikan sebagai asas-asas kebenaran danadedidikirawan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. E. Sumaryono mengatakan “ kebenaran hukum” dapat diartikan sebagai validitas hukum. Dengan demikian hakikat hukum, dilihat dari aspek formalitasnya (validitas, keabsahan) maupun dari segi substansialnya (muatan keadilan) merupakan reliatas kodrati. Pengertian ini berangkat dari asumsi bahwa segala sikap dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya wajib tunduk pada suatu sistem moralitas yang bersifat kodrati. sistem moralitas itu mengalami internalisasi ke dalam diri manusia pribadi demi pribadi, sehingga akhirnya menjadi moralitas sosial.
Moralitas sosial itu masih terlalu abstrak untuk mengatur secara rinci aktivitas manusia per hari. karenanya manusia diperbolehkan membuat hukumnya sendiri (lex humana atau human law). Hukum buatan manusia ini baru sah (valid), mengikat dan membebani kewajiban, sepanjang dapat menunjukan konsistensi dengan moralitas sosial di atasnya. Moralitas sosial adalah standar regulatif yang harusadedidikirawan di acu oleh setiap hukum buatan manusia, sehingga berujung semua hukum itu  mengidentifikasikan diri sebagai pembawa pesan-pesan moralitas yang objektif. Objektivitas moralitas itu dapat dicari pada asas-asas kebenaran dan keadilan yang kodrati, yang dengan sendirinya berlaku universal dan abadi. pemaknaan kedua  tentang hakikat hukum adalah dengan menyatakan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Soetondyo Wignjosoebroto mencatat bahwaadedidikirawan modifikasi penting terhadap pemikiran ini terjadi pada era pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat menuju apa yang disebut positivasi norma. pemkanaan ketiga hakikat hukum adalah terobosan batas-batas yang disebut yuridis normatif yang formal-lugas-netral, yang diobservasi dengan kaca mata empiris. Hakikatnya hukum yang empirisinii adalah hukum dalam arti putusanadedidikirawan hakim in-concreto yang tersistematisasi sebagai judge made law. dalam konsep ini hukum tidak lagi bersifat apriori (mendahului kenyataan), tetapi kepada tahapan apestiori (mengikuti kenyataan). Pemaknaan keempat adalah hukum sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empirik.
pemaknaan ini menggunakan pendekatan kultural, bukanlah sebagai kreasi penguasa politik, melainkan fenomena budaya seperti yang adedidikirawandikatakan oleh Fredrich von Savigny recht ist gemacht es is und wird mit dem volke (hukum tidak dibuat tapi tumbuh bersama dengan masyarakat). dan Terakhir pemaknaan kelima bahwa hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana dalam interaksi di antara mereka , dan pada masa ini pemaknaan hukum terkait dengan eksistensialisme yang berarti pemikiran bahwa manusia yang konkret adalah manusia yang eksis secara individu, sehinga ia tidak mengenal konsep mengenal manusia pada umumnya. perliku manusiaadedidikirawan secara individu adalah bebas, tidak dikendalikan oleh sistem sosial yang besar. dalam kaitannya dengan hukum, pengaruh eksistenisialisme melihat hukum sebagai manifestasi makna simbolik yang datang dari individu-individu pelaku sosial itu sendiri.
2.    Aspek Epistimologi, yakni berupa metode-metode yang digunakan oleh hakim dalam keterkaitannya dengan cara-cara penarikan kesimpulam dalam suatu proses penalaran hukum. jika disenergikan dengan aspek ontologis di atas, suatu rangkaian proses berpikir hakim (judicial resoning) dengan personifikasi seorang hakim ini jelas sudah merupakan penyempitan ruang lingkup . Hakim disini adedidikirawanberperan sebagai pengemban hukum partisipan (medespeler), hingga bentangan penalaran hukum menurut langkah-langkah penalaran pada umumnya tentau akan mengikuti pemaknaan hukum menurut kategori pertama, kedua, dan ketiga, yaitu hukum diartikan sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan, atau norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan hukum nasional, atau putusan hakin inconcreto yang tersistematisasi sebagai judge-made-law.
3.    Aspek aksiologi yakni berhubungan dengan tujuan aktivitas hukum. Tujuan hukum sering dirancukan dengan fungsi hukum atau tugas hukum. Gustav Radbruch secara sedrhana membagi tujuann hukum adedidikirawanmanjadi tiga, yakni keadilan (gerechtigkeit), Kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassikeit). sebagai aspek aksiologi dari hukum, keadilan menempatkan posisi paling ideal. Keadilan merupakan konsep filsafat, sehingga nafas dari keberlakuan filosofis (filosofische geltrung) suatu norma hukum adalah ada tidaknya keadilan hukum. kepastian hukum dalam aksiologi ini lebih mengacu kepada keberlakuan juridis (jurische Geltrung) suatu norma itu telahadedidikirawan memenuhi syarat-syarat prosedural untuk ditetapkan sebagai hukum. Terakhir kemanfaatan dari aksiologi hukum adalah kemanfaatan yang berdimensi pragmatis, yang teori-teori dari kemanfaatan (eudaemonistis) biasanya mempersiapkan konsep ini dengan nilai-nilai ekonomis dapat dicapai, dan tidak lagi sekedar kebahagiaan (happiness) untuk jumlah masyarakat. Karenanya, pendekatannya pun bergeser dari pendekatan kualitatif ke pendekatan kuantitatif.
menurut penulis aspek-aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis dari ilmu hukum sebagaimana dieksplanasi di bawah ini:
1)      Aspek Ontologis, yakni apa yang menjadi hakikat hukum atau objek studi dari ilmu hukum (berkaitan dengan aspek ini penulis menyetujui pendapat soerjono soekanto meliputi:
                              a.            Hukum Sebagai Kaidah Hukum
pengatahuan hukum sebagai kaidah hukum atau norwissenschaft, antara lain membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perumusan kaidah hukum, baik kaidah-kaidah hukum abstrak maupun kaidah-kaidah hukum konkret, di samping isi dari kaidah-kaidah hukum tersebut. pengetahuan kaidah hukum ini juga menelaah esensialia, tugas dan kegunaan dari kaidah-kaidah hukum itu. pengetahuan hukum tersebut pada dasarnya juga meneliti perihal pernyataan kaidah hukum beserta tanda-tandanya. Oleh karena itu kaidah hukum adedidikirawanmerupakan pedoman mengenai sikap dan tindakan yang pantas (atau seyogya). Di dalam fungsionalisasinya mungkin terjadi penyimpangan-penyimpangan, yang lazimnya ditelaah pula oleh pengetahuan tentang kaidah hukum. Kaidah hukum mempunyai landasan ataupun lingkup lakunya yang disoroti pula oleh normwissenschaft tersebut.
                              b.            Pengetahuan Hukum tentang pengertian-pengartian pokok dalam Hukum, pengetahuan ini lazim dinamakan begriffenwissenschaft yang menelaah khusus mengenai masyarakat hukum, subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum (termasuk unsur-unsurnya), hubungan hukum, serta objek hukum.
                               c.            Pengetahuan Hukum tentang Kenyataan Hukum
pengetahuan ini lazim dinamakan tatscahenwissenschaft, mencakup beberapa cabang pengetahuan hukum, seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan adedidikirawansejarah hukum. pengetahuan-pengetahuan tersebut bersifat teoritis –empiris, sehingga metoode pengungkapannya terkait pada metode onduktif logis.
2)       Aspek Epistomologis, yakni metode-metode yang digunakan untuk menjadikan pengetahuan hukum menjadi suatu ilmu. Pembahasan terhadap aspek ini memerlukan penjelasan yang lebih komperhensif dan detail, karena sesungguhnya dari aspek inilah akan diketahui dengan cara bagaimanakah sebenarnya suatu pengetahuan yang terdapat di dalam suatu ilmu tersebut di peroleh dan apakah cara perolehan pengetahuannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif.
Menelaah aspek epistemologi dari ilmu hukum, dapat diawali dari penelaahan kita terhadap aspek adedidikirawan ontologi dari ilmu hukum sebagaimana  telah di paparkan di atas. Mengacu pada aspek ontologi dimaksud, ilmu hukum sebenarnya memiliki tiga sisi, yakni sisi normatif, sisi teoritis dan sisi empiris. Oleh karena itu, untuk menjadikan pengetahuan hukum menjadi ilmu hukum, maka metode-metode yang digunakan harus berdasarkan pada tiga sisi dari ilmu hukum tersebut.
                                              a.            Sisi Normatif Ilmu Hukum. Ilmu hukum pada sisi pertama sebagai ilmu pengetahuan normatif, menggunakan metode normatif untuk memperoleh pengetahuan hukum. Berdasarkan metode ini, menjadilah pengetahuan hukum sebagai ilmu hukum atau ilmu pengetahuan hukum tentang kaidah atau norma hukum atau normwissenschaft.
                                              b.            Sisi Teoritis (Teori Hukum). Pada sisi kedua, ilmu hukum sebagai pengetahuan teoritis tentang hukum (teori hukum), adalah berdasarkan pada empat lapisan utama dari hukum, yaitu dogmatik adedidikirawanhukum, teori hukum (dalam arti sempit), filsafat hukum, dan logika hukum. Keempat lapisan hukum tersebut eksistensinya memberi dukungan pada praktik hukum, yang masing-masing mempunyai karakter yang khas. dan keempat lapisan hukum tersebut juga memiliki metode-metode tersendiri. Dengan menggunakan pendekatan obyektif, seorang pengemban hukum dapat menetapkan metode mana yang dinilai paling sesuai dan tepat dalam mengkaji suatu permasalahan hukum. metode-metode dimaksud adalah metode-metode yang terdapat dan digunakan di dalam dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit), filsafat hukum, dan logika hukum.
1)      Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek) mengandung arti sebagai suatu ajaran hukum (rechtsleer) yang bertujuan untuk mendeskripsikan, mensistematisasi, dan dalam hal-hal tertentu juga mengeskplanasi hukum positif. dogmatuk hukum dalam kerangka ilmu hukum sebenarnya merupkan ilmu hukum dalam arti sempit yyang tujuannya adalah mempelajari hukum positif (Ilmu hukum (rechtswerenschap) itu sendiri dalam arti luas meliputi: dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Menurut D.H.M. Meuwiseen, dogmatik hukum adalah: suatu ilmu yang bertujuan untuk memaparkan, menganalisis, adedidikirawanmensistematiasai, dan menginterpretasi hukum postif. Sedengkan M. Van Hoecke, dogmatik hukum adalah, cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yangmemaparkan dan mensistematiasai hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari sudut pandangan normatif”. Menurut Burggink dogmatik hukum adalah, ilmu hukum (dalam arti sempit) yang merupakan bagian utama dalam pengajaran adedidikirawanpada fakultas-fakultas hukum. Obyek dogmatik hukum terutama adalah hukum positif, yaitu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum disebut pembentukan hukum, sedangkan pengambilan putusan hukum disebut penemuan hukum. Seorang dogmatikus hukum akan sering menempatkan diri seolah-olah ia tengah melakukan kegiatan pembentukanadedidikirawan hukum atau penemuan hukum. Berdasarkan pengertiannya yang demikian, dogmatik hukum bekerja tidak hanya secara teoritikal dengan menggunakan metode deskriptif memberikan pemahaman dalam kerangka sistem hukum, tetapi juga secara pratikal dengan cara menawarkan alternatif penyelesaian hukum terhadap suatu masalah hukum tertentu dengan adedidikirawanmenggunakan metode yuridis normatif. Jadi, dogmatik hukum sebagai suatu ajaran hukum tidak hanya deskriptif melainkan juga prespektif (bersifat normatif). Teori kebenaran yang paling dinilai sesuai bagi dogmatik hukum adalah teori pragmatis, karena proposisi yang ditemukan dalam dogmatik hukum tidan hanya bersifat informatif atau empirik, tetapi juga normatif evaluatif ( Titik Triwulan Tutik at all 2007:22).
2)      Teori Hukum (rechtsttheorie) dalam arti sempit.
Teori Hukum dalam kerangka ilmu hukum mengandung makna arti sempit dan dalam arti luas, Teori hukum maknannya dalam arti sempit, adalah lapisan ilmu hukum yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti sempit ini merupakan ilmu eksplanasi hukum (een verklarendeadedidikirawan wetenschap van het recht). Teori hukum yang dikenal juga dengan istilah jurisprudence atau legal theory, keberadaannya merupakan kelanjutan dari allgemene rechtslehre yang timbul pada abad ke 29 ketika minat terhadap filsafat hukum mengalami kelesuan. kelesuan ini terjadi, karena filsafat hukum dipandang terlalu abstrak dan spekulatif, sedangkan dogmatik hukum dipandang terlalu konkret serta terikat pada tempat adedidikirawandan waktu. Istilah allgemene rechtslehre ini mulai tergeser dengan adanya istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum positif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada semua sistem hukum yang meliputi : sifat, hubungan antar hukum dan negara serta hukum dan masyarakat.
menurut Brugink teori hukum adalah, seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem koseptual atuaran-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, serta sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Lebih lanjut dikatakan, Definisi tadi bermakna ganda, yakni berarti sebagai prodak dan adedidikirawansebagai proses. Sebagai Prodak berarti keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Sedadngkan sebagai proses berarti kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritil tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri. sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam prespektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum , baik dalam konsepsi adedidikirawanteoritisnya dalam kaitan dengan manifestasi praktis. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih myngkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyrakat.
Menurut Philipus M. Hadjon (2005:3):
Teori hukum merupakan ilmu eskplanasi hukum yang sifatnya interdisipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis, sedangkan dalam  dogmatik hukum sifatnya eksplanasi teknik yuridis, dan dalam filsafat hukum sifatnya eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dari teori hukum dapat terjadi melalui dua cara,Pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum. Kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidangadedidikirawan seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum, dan lainnya. Berdasarkan hal unu dapat diketahui, bahwa teori hukum tidaklah senantiasa normatif seperti halnya dogmatik hukum.
Berelasitas dengan hal di atas, perlu kiranya dipertegas lagi, bahwa teori hukum dalam arti sempit kajiannya berada pada wilayah dogmatik hukum dan filsafatadedidikirawan hukum. filsafat hukum adalah metateori untuk teori hukum, dan teori hukum adalah meta teori untuk dogmatik hukum, dan filsafat hukum secara simultan juga sebagai meta teori dari dogmatik hukum. jika ketiga hal tersebut dikaitkan dengan hukum positif, baik filsafat hukum yang merupakan meta teori untuk teori hukum dan adedidikirawanteori hukum sebagai meta teori bagi dogmatik hukum, serta filsafat hukum yang secara simultan juga menjadi meta teori untuk dogmatik hukum. maka teori-teori atau konsep-konsep yang dimiliki oelh filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum, semuanya dapat digunakan untuk mempelajari hukum postif. Lebih jelasnya lihat bagan berikut  ini:
Meta Teori
Teori
Teori Hukum
Meta Teori
Hukum Positif
TEORI
Dogmatik Hukum
Meta-meta Teori
Filsafat Hukum
 














3)    Filsafat Hukum, Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik hukum (ilmu Hukum Positif). Menurut Lili Rasjidi (disitasi dari B, Arief Sidharta, 1999: 119), bahwa filsafat hukum adalah reflekasi teoritis (intlektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoritis  tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat, karena merupakan bagian dari filsafat umum D.H.M adedidikirawanMueswien mengatakan, rechtsfilosofie is filosofie, Hanya saja secara filsafat mengarahkan refleksinya terhadap hukum dan gejala hukum . Oleh karena itu, filsafat hukum merenungkan semua persoalan fundamental hukum, dan masalah-masalah yang berbatasan dengan gejala hukum. Jan Gijssles dan Mark van Hoecke memaparkan beberapa definisi filsafat hukum, yaitu sebagai berikut:
                                                                                            a.            sebagai sebuah disiplin spekulatif yang berkenaan dengan penalaran-penalaran yang tidak dapat diuji secara rasional (L. Tammelo);
                                                                                           b.            Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukum yang benar, dan hukum yang adil (J. Schmidt. H. Kelsen);
                                                                                            c.            Sebagai refleksi atas dasar-dasar kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berfikir) itu sendiri dan yang mencari hubungan teoritikal terefleksi,  yang didalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan di pikirkan (D. Meiwissenadedidikirawan);
                                                                                           d.            sebagai disiplin yang mencari : pengetahuan tentang hakikat (sifat) dari keadilan, pengetahuan tentang bentuk keberadaan transenden dan imanen dari hukum;  pengetahuan tentang nilai-nilaiadedidikirawan yang di dalamnya hukum berperan tentang hubungan antara hukum dan keadilan; pengetahuan tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum; pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay)
menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, filsafat hukum menelaah hal-hal sebagai berikut:
                                                                                                        a.            Ontologi hukum, penelitian tentang hakikat dari hukum, misalnya hakikat demokrasi, hubungan hukum dengan moral.
                                                                                                       b.            Aksiologi Hukum, penentuan isi dan nilai, seperti kelayakan, persamaan, keadilan kebebasan, dan lain-lain.
                                                                                                        c.            ideologi hukum (ajaran idea) Epistimologi hukum, (ajaran pengetahuan) bentuk meta-filsafat
                                                                                                       d.            Teologi hukum, hal menentukan ,makna dan tujuan hukum
                                                                                                       e.            ajaran ilmu dari hukum , meta teori dari ilmu hukum
                                                                                                         f.            logika hukum. 
Lebih lanjut dikatakan:
Hasil dari penalaran filsafat hukum tidak dapat diuji secara empirik untuk keseluruhannya, dan secara rasional untuk sebagainya. Penalaran filosofisadedidikirawan sendiri memang harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logika dan terbuka bagi diskusi rasional. (Diskusi dari B. Arief Sidharta 2001; 56-58). Lihat pula Otje Salman dan Anton F. Susanto (2004: 56-57).
4)    Logika Hukum
Ilmu hukum sebagai suatu ilmu dengan karakteristiknya yang khas, yakni bersifat normatif, dan sebagai suatu ilmu yang bersifat kesunyatan, memiliki logikanya sendiri yakni logika hukum.
Secara etimologikal logika hukum berarti ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bentuk bahasa hukum melalui kata atau serangkaian kata-kata (kalimat).
Sebagai suatu  istilah, kata logika hukum berarti suatu metode untuk membangun serta mengkaji dan meneliti ketepatan penalaran (bentuk pemikiran) tentang hukum. Namun mengingat di dalam terminologi logika hukum itu terkait kata ilmu, dan sifat dari suatu ilmu adalah menunjukan suatu kebenaran ilmiah, maka logika hukum pun adalah suatu ilmu (sebagai suatu cabang ilmu yang terdapat di dalam ilmu hukum ) yang mempelajari adedidikirawancara berpikir yang benar tentang hukum (logical/correct thinking of law), atau cara berpikir rasional atau yang masuk akal tentang hukum (rational thinking of law), atau cara berpikir argumentatif dan beralasan tentang hukum (argumentative / reasonable thinking law)
Pikiran-pikiran hukum yang dimaksud dapat berupa : Pengertian atau konsep hukum, pernyataan  atau proposisi hukum dan penalaran atau legal reasoning. Berdasarkan logika yang dimiliki oleh Ilmu Hukum tersebut, maka para sarjana Hukum, termasuk mahasiswa hukum, menggunakan adedidikirawanilmu hukum dalam melakukan aktivitas berpikir yang dilakukan secara sistematikal untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang hukum sebagaimana disebutkan di atas. Dalam arti teknis atau ilmiah, perkataan logika hukum menunjuk pada suatu disiplin. Dimaksud dengan disiplin disini adalah disiplin ilmiah tentang hukum, yakni kegiatan intelektual yang dipelajari untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang adedidikirawanhukum secara sistematika-rasional, teragumentasi dan terorganisasi yang terikat atau tunduk pada aturan-aturan prosedur (metode) tertentu. Setiap disiplin mewujudkan satu ilmu atau cabang ilmu tertentu.
Oleh karena itu,ilmu hukum dapat difungsionalkan suatu disiplin ilmu, karena ilmu hukum itu sendiri merupakan suatu disiplin ilmu. Jika kita melakukan aktivitasadedidikirawan berpikir tentang sesuatu fenomena hukum, (kita sedang melakukan suatu aktivitas ilmiah atau kegiatan berpikir secara sistematikal dan metodikal tentang fenomena hukum tertentu), maka akan diperoleh pengetahuan yang benar menganai fenomena hukum tertentu tadi. Jadi, ilmu hukum sebagai suatu disiplin ilmu adalah kegiatan ilmiah atau kegiatan berpikir yang dilakukan secara sistematikal dan metodikal (terikat pada metode-metode ilmu hukum) untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang fenomena hukum tertentu.
mengingat logika hukum eksistensinyaadedidikirawan sangat penting dalam bidang penalaran (argumentasi hukum), menilai dan membentuk bangunan ;ogis dan struktur dari sistem hukum, maka peranan metode-metode atau hukum-hukum logika yang terdapat di dalam logika hukum pun tidak dapat diabaikan, adedidikirawanbaik dalam mengkaji masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan sisi normatif (hukum sebagai kaidah/norma hukum), sisi teoritis (dogmatik hukum, teori hukum dalam arti sempit, filsafat hukum) maupun sisi empiris.
                                      c.          Sisi Empiris. pada sisi ketiga ilmu  pengetahuan hukum sebagai pengetahuan empiris , metode yang digunakan adalah metode sosiologis, metode antropologis, metode psikologis, metode perbandingan, dan metode historis (sejarah). Berdasarkan metode-metode demikian maka menjadilah pengetahuan hukum itu sebagai ilmu pengetahuan hukum tentang kenyataan adedidikirawanhukum atau tatscahewissenschaft. Mengingat pada sisi ini ilmu hukum menggunakan metode-metode yang berkaitan dengan ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, perbandingan, dan sejarah, maka di dalam ilmu pengetahuan hukum tentang kenyataan hukum tau tatschenwisswnschaft, melahirkan cabang-cabang ilmu pengetahuan hukum tersendiri, yakni ilmu sosiologiadedidikirawan  hukum, ilmu antropologi hukum, ilmu psikkologi hukum, ilmu perbandingan hukum dan ilmu sejarah hukum. pengetahuan-pengetahuan tersebut bersifat teoritis-empiris, dengan menggunakan logika berpikir berdasarkan metode induktif –logis.
3)      Aspek Aksiologi, yakni manfaat mempelajari ilmu hukum, baik secara teoritis bagi perkembangan ilmu itu sendiri, maupun secara praktis bagi kehidupan manusia, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan bernegara, Aksiologi hukum yang menempati posisi paling ideal, strategis dan sentral adalah keadiln (Gerechtigkeit). Dikatakan demikian, karena keadilan merupakan hasil refleksif dari kajian dan kontemplasi filsafat hukum terhadap tujuanadedidikirawan hukum, sehingga nafas dari keberlakuan filosofis (filosofische Geltung) suatu norma hukum adalah ada tidaknya keadilan hukum. Selanjutnya adalah kepastian hukum (rechtssicherheit) sebagai aksiologi hukum lebih mengacu kepada keberlakuan juridis (juristische Geltung) karena kidah atau norma hukum baik yang telah ditetapkan sebagai hukum maupun dalam penerapannya, telah memenuhi syarat-syarat formal –prosedural. Sedangkan kemanfaatan (Zweckmassikeit) sebagai aksiologi hukum lebih berdimensi pragmatis, karena teori-teori atau konsep-konsep adedidikirawandari kemanfaatan biasanya disinergikan dengan nialai-nilai ekonomis yang dapat dicapai. Jadi, konsep kemanfaatan tidak lagi sekedar kebehagiaan (happiness) untuk jumlah masyarakat. Dengan demikian, pendekatannya pun bergeser dari pendekatan kualitatif menuju pada pendekatan kuantitatif. Aksiologi hukum yang lainnya adalah kebenaran, ketertiban, kewajaran kebebasan, pacta sunservanda, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan manfaat hukum dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.