A.
Dinamika
Relevansi Pelaksanaan KUHD dalam Perkembangan dunia usaha saat ini
1. Selayang Pandang Sejarah KUHD
Pembagian Hukum Privat (Sipil) ke
dalalm Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asasi,
tetapi pembagian yang berdasarkan sejarah dari Hukum Dagang. Bahwa pembagian
tersebut bukan bersifat asasi, ketentuan yang tercantum Pasal 1 KUHD yang menyatakan
bahwa peraturan-peraturan KUHPerdata juga dijalankan dalam penyelesaian
soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian soal-soal
semata-mata diadakan oleh KUHD.[1]
Kenyataan-kenayataan lain yang
membuktikan bahwa pembagian bukan pembagian asasi ialah:[2]
a.
Perjanjian jual beli yang merupakan
perjanjian terpenting makalahadedidikirawan dalam bidang perdagangan tidak ditetapkan didalam KUHD,
tetapi diatur dalam KUHPerdata
b.
Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang
sangat penting juga bagi soal keperdataan ditetapkan dalam KUHD.
Perkembangan Hukum Dagang
sebenarnya telah dimulai sejak perkembangan di Eropa, kira-kira dari tahun 1000
sampai tahun 1500. Asal muasal perkembangan hukum ini dapat huubungkan dengan
terjadinya kota-kota di Eropa Barat. Pada tahun tersebut di Italia dan Prancis
Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence,
Venesia, Marseille, Barcelonna). Hukum Romawi (Corpus Iurs Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh
perkara-perkara yang timbul dibidang perdagangan. Oleh karena itu dikota-kota
makalahadedidikirawanEropa Barat disusun peraturan-peraturan Hukum baru yang berdiri sendiri
disamping Hukum Romawi yang berlaku.[3]
Hukum yang baru ini berlaku bagi
golongan pedagang dan disebut hukum pedagang (Koopmansrecht). Kemudian pada abad 16 dan ke 17 sebagain besar
kota di Perancis mengadakan pengadilan-pengadilan istimewa khhusus
menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang). Hukum
pedagang ini pada mulanya belum merupakan unifikasi, berlakunya satu sistem
hukum untuk seluruh daerah, karena berlakunya masih bersifat kedaerahan.
Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagangnya sendiri-sendiri yang berlainan. makalahadedidikirawanKemudian
disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan
perlu adanya suatu kesatuan hukum di bidang hukum pedagang ini.[4]
Oleh karena itu, di Perancis pada
abad ke 17 diadakanlah kodifikasi hukum pedagang. Mentri Keuangan dari Raja
Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatub peraturan yaitu ordonnance du Commerce (1673). Peraturan
ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni
kaum pedagang. Ordonnance du Commerce ini dalam tahun 1681 disusul dengan suatu
peraturan lain yakni Ordonnance de la
Marine, yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota
pelabuhan). Pada tahun 1807 di Perancis di samping adanya Code Civil des Francais, yang mengatur Hukum Perdata Perancis,
telah di bbuat lagi suatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Tersendri, yakni Code de Commerce. Pada Tahun 1807 di
Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikanmakalahadedidikirawan dalam Code de Commerce yang dipisahkan dari Hukum Perdata yang
dikodifikasikan dalam Code Civil. Code de Commerce ini memuat
peraturan-peraturan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan.
Adapun yang menjadi dasar bagi penyusunan Code
de Commerce (1807) itu ialah antara
lain Ordonnance du Commerce (1673)
dan Ordonnance de la Marine (1681).[5]
Kemudian kodifikasi-kodifikasi
hukum Prancis tahun 1807 (yakni Code
Civil dan Code de Commerce) dinyatakan berlaku juga di Neterlhands sampai
1838. Pemerintah Neterlhands menginginkan adanya Hukum Dagang sendiri, dalam
usul KUHD Belanda dari tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas
tiga kitab, akan tetapi didalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang
menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan, akan tetapi
perkara-perkara dagang diselsaikan dimuka pengadilan biasa. KUHD Belanda inilah
yang kemudaian disahkan menjadi KUHD Belanda Tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan
makalahadedidikirawanasas konkordansi, maka KUHD Netherlands 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi
pembuatan KUHD Indonesia 1848.[6]
Pada akhir abad ke 19, Prof.
Molengraff merencanakan suatu Undang-Undang Kepailitan yang akan menggantikan
Buku III dari KUHD Netherlands. Rancangan Molengraaff ini kemudian berhasil
dijadikan Undang-Undang Kepailitan Tahun 1893 (berlaku pada 1896). Berdasarkan
asas konkordansi pula, perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun
1906. Pada tahun 1906 itulah Kitab III KUHDmakalahadedidikirawan Indonesia diganti dengan Peraturan
Kepailitan yang berdiri sendiri (diluar KUHD). Sehingga semenjak tahun 1906
KUHD Indonesia hanya terdiri atas dua kitab saja, yakni Kitab I yang berjudul:
tentang Dagang Umumnya dan Kitab II berjudul: tentang Hak-hak dan
Kewajiban-kewajiban yang Terbit dari Pelayaran.[7]
2. Perubahan Bab I Kitab I KUHD
Indonesia
Istilah Hukum Dagang, sekarang ini
masih tepat digunakan ada yang berpendapat istilah itu tidak tepat lagi.
Pendapat ini didasarkan pada wet (Undang-Undang
Belanda) tanggal 2 Juli 1934 yang menghapuskan seluruh Bab I dari Kitab I KUHD
yang memuat Pasal 2 samapai dengan Pasal 5 mengenai pedagang dan perbuatan
dagang dan menggantikannya dengan istilah-istilah perusahaan dan
perbuatan-perbuatan perusahaan,sehingga dengan makalahadedidikirawandemikian akan lebih tepatlah
kalau dipergunakan istilah Hukum Perusahaan. Seperti diketahui ada pendapat
bahwa Hukum Dagang adalah Hukum Pedagang.[8]
Pendapat Bahwa Hukum Dagang sebagai
Hukum Pedagang antara lain terlaksana dalam Pasal 2 (lama) KUHD yang
menyatakan,
“pedagang-pedagang adalah mereka yang
menjalankan perbuatan-perbuatan dagang sebagai pekerjaannya sehari-hari”.[9]
Pasal 2 (lama) mengemukakan,
perbuatan-perbuatan dagang ialah pada umumnya perbuatan-perbuatan mengenai
pembelian barang-barang untuk dijual lagi, baik secara besar-besaran maupun
secara kecil-kecilan, baik secara mentah atau kasar maupun setelah dikerjakan
ataupun hanya untuk disewakan pemakaiannya saja. Pasal 4 (lama) memperluas
pengertian perbuatan-pmakalahadedidikirawanerbuatan dagang dan Pasal 5 (lama) mengatur tentang
kewajiban-kewajiban yang timbul karena kerusakan Kapal dan sebagainya. Adapun
maksud pembuat undang-undang ialah bahwa Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 (lama)
dari KUHD itu merupakan perincian yang lengkap (unsur kodifikasi), sehingga
tidak ada lagi lain-lain perbuatan dagang dan perikatan dagang diluar
Pasal-pasal tersebut. Namun demikian menimbulkan kesulitan-kesulitan pada waktu
itu, antara lain :[10]
a.
Perdagangan dalam hal barang-barang
tetap yang banyak terjadi dalam masyarakat tidak dimasukkan dalam pengertian
perdagangan menurut Pasal tersebut dalam KUHD.
b.
Amat sukar menentukan apakah sesuatu
perbuatan termasuk perbuatan dagang menurut perumusan KUHD atau tidak, dan
menentukan apakah seseorang itu adalah pedagang atau bukan pedagang.
c.
Apabila terjadi, bahwa di dalam suatu
perjanjian dibuat kedua belah pihak merupakan suatu perbuatan dagang, misalnya
seorang partikelir (swasta) membeli sebuah sepeda dari suatu pedagang sepeda .
Garis besar kesulitan ini yang
telah mendesak pihak penguasa peraturan-peraturan sebanyak mungkin melenyapkan
perbedaan-perbedaan hukum antara golongan pedagang dalam arti yang disebutkan
dalam KUHD dengan golongan-makalahadedidikirawangolongan lainnya. (Stb 1934 No. 347). Undang-Undang
inilah (yang mulai berlaku 1 Jnuari 1935) dilenyapkan pengertian-pengertian
menurut KUHD tentang pedagang, perbuatan dan perikatan dagang yang sebelum
berlakunya wet tersebut merupakan hukum pedagang. Jelasnya dengan wet 2 Juli
1934 itulah dihapuskannya seluruh Bab I dari Kitab KUHD (yang telah berlaku
sejak 1 Oktober 1838 di Netherlands) yang memuat Pasal 2 sampai dengan 5
mengenai pedagang-pedagang dan perbuatan-perbuatan dagang.seperti dikatakan
tadi sebagai gantinya dimasukan dalam undang-undang ini istilah-istilah
perusahaan dan perbuatan-perbuatan persuhaan. Akan tetapi dalam undang-undang
ini makalahadedidikirawantidak dimuat penjelasan resmi tentang istilah perusahaan dan
perbuatan-perbuatan perusahaan, sehingga hal tersebut harus diserahkan kepada
dunia keilmuan dan yurisprudensi.[11]
Perubahan yang terjadi di
Neteherland tahun 1934 itu berdasarkan asas konkordansi (Vide Pasal 75 R.R.) di
Indonesia diadakan pula perubahan dengan stb.1938 No. 276 yang mulai berlaku
pada tanggal 17 Juli 1938, dapat pula ditambahkan di sini, bahwa sebelum
berlakunya stb. 1934/347 di Netherlands dan stb. 1938 /276 di Indonesia KUHD
telah pernah mengalami perubahan makalahadedidikirawanBab II Kitab I KUHD mengenai Pasal 6 tentang
pembukuan. Perubahan dalam Pasal 6 KUHD ini dilakukan dengan stb. 1927 No. 146
pada 9 Juni 1927.[12]
B. Efektivitas Pelaksanaan Tanggung
Jawab Sekutu terhadap Persekutuan Firma, CV dan PT, yang telah Berakhir
Ketentuan
mengenai pengakhiran persekutuan di atur Pasal 1646 sampai dengan Pasal 1651 KUHPerdata
memberikan empat alasan pengakhiran persekutuan dengan rumusan:[13]
Pasal
1646 menyebutkan bahwa:[14]
Persekutuan
berakhir :
a.
Dengan
lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan
b.
Dengan
musnahnya barang atau diselsaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan
c.
Atas
kehendak semata-mata dan beberapa atau seorang sekutu.
d.
Jika
salah seorang sekutu meninggal atau ditarus dibawah pengampuan, atau dinyatakan
pailit.
Rumusan
yang diberikan dalam Pasal 1646 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut
selanjutnya dijabarkan dalam:[15]
a.
Mengenai
lewatnya waktu persekutuan, dalam Pasal 1647 KUHPerdata.
b.
Mengenai
kemusnahan barang yang menjadi pokok persekutuan dalam Pasal 1648 KUHPerdata
c.
Mengenai
kehendak salah satu sekutu dalam Pasal 1649 KUHPerdata dan Pasal 1650
KUHPerdata.
d.
Mengenai
salah seorang sekutu meninggal, dalam Pasal 1651 KUHPerdata.
Jika
persekutuan diakhiri karena salah satu alasan tersebut di atas, ketentuan Pasal
1652 KUHPerdata.
Pasal
1652 menyebutkan bahwa:[16]
“Aturan-aturan
tentang pembagian warisan-warisan cara-cara pembagian itu di lakukan, serta
kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya antar orang-orang yang turut mewaris,
berlaku jjuga untuk pembagian di antara para sekutu”.
Rumusan
Pasal 1652 KUHPerdata tersebut dapat diketahui bahwa tata cara pembagian harta
kekayaan dalam suatu persekutuan yang telah diakhiri dilakukan menurut tata
cara pembagian harta peninggalan yang telah terbuka. Ini berarti, para sekutu
dalam persekutuan tidaklah demi hukum makalahadedidikirawanmenerima kembali segalla sesuatu yang
pada mulanya mereka masukan kedalam perusahaan. Pengakhiran persekutuan, maka
segala sesuatu yang seharusnya menjadi harta kekayaan persekutuan, baik pada
sisi positif yang merupakan benda milik persekutuan, maupun yang berbeda pada
sisi negatif, yang merupakan perikatan atau utang persekutuan haruslah
dibuatkan daftarnya terlebih dahulu. Setelah pendaftaran dilakukan, maka
dibuatlah penilaian, berdasarkan suatu taksiran yang dilakukan mereka yang ahli
dibidangnya, dengan memperhatikan, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1077
KUHPerdata. Setelah penilaian dan penaksiran diselsaikan, maka seluruh
kewajiban yang merupakan kewajiban persekutuan harus diselsaikan, dibayar dan
dilunasi semuanya. Sebaliknya seluruh hak yang masih merupakan hak persekutuan
harus ditagih untuk kepentingan persekutuan. Apabila pelunasaan kewajiban
persekutuan, diperlukan penjualan benda-benda milik persekutuan, maka hal
tersebut dapat dilaksanakan atas kesepakatan bersama dari para sekutu. Barulah
setelah seluruh hak dan makalahadedidikirawankewajiban persekutuan yang masih harus ditagih atau
masih harus di bayar telah ditagih dan dilunasi, pembagian dan pemisahan harta
kekayaan persekutuan dapat dilakukan. Konteks terakhir ini, masing-masing
sekutu memperoleh kembali benda yang semula dimasukan olehnya kedalam
persekutuan. Tapi dalam hal ini perlu diperhatikan, bahwa penerimaan oleh
sekutu atas benda yang semula dimaksukannya ke dalam persekutuan tidaklah terjadi
demi hukum karena berakhirnya persekutuan.[17]
a. Berakhirnya
Persekutuan Karena Lewatnya Waktu
Berakhirnya
persekutuan karena lewatnya waktu persekutuan di atur Pasal 1647 KUHPerdata
yang berbunyi:[18]
“Pembubaran
persekutuan-persekutuan yang dibuat untuk suatu waktu tertentu, sebelum waktu
itu lewat tidaklah dapat di tuntut oleh salah seorang sekutu selainnya atas
alasan yang sah: sebagaimana jika seorang sekutu lain tidak memenuhi
kewajibannya atau jika seorang sekutu lain karena sakit terus menerus menjadi tak
cakap melakukan makalahadedidikirawan pekerjaannya untuk persekutuan, atau lain-lain hal semacam itu
yang sah maupun pentingnya diserahkan kepada pertimbangan hakim”.
Sehubungan
dengan ketentuan Pasal 1647 KUHPerdata, mengenai persekutuan yang dibuat untuk
waktu tertentu, perlu disampaikan bahwa KUHPerdata tidak pernah mengatur atau
memberikan ketentuan umum mengenai suatu perjanjian yang menetapkan suatu
jangka waktu tertentu. Diatur KUHPerdata adalah perikatan dengan ketetapan
waktu yang berdasarkan pengertian yang diberikan Pasal 1628 KUHPerdata adalah
perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan.[19]
Pasal
1268 menyebutkan :[20]
“Suatu ketetapan
waktu tidaklah menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya”.
Hal
ini adalah konsekuensi logis bahwa dalam pandangan KUHPerdata, perikatan
hanyalah suatu kewajiban semata-mata dari pihak debitor yang wajib dipenuhi
olehnya seketika. Pandangan undang-undang, adanya pemberian waktu adalah
keuntungan bagi debitor, misalnya dalam hal jual beli pemberian jangka waktu pembayaran
sampai 30 hari adalah keuntungan debitor (pembeli) makalahadedidikirawan dalam pinajm-meminjam,
pemberian jangka waktu 30 hari adalah keuntungan kreditur (peminjam).
Berdasarkan hal tersebut maka sesungguhnya undang-undang sama sekali tidak
memberikan pengaturan umum mengenai perjanjian yang berlangsung dengan jangka
waktu tertentu, dengan segala konsekuensi hukumnya. Walaupun demikian jika
diperhatikan perjanjian-perjanjian khusus yang diatur KUHPerdata, mulai Bab V
hingga Bab XVIII, diluar persekutuan dapat ditemukan adanya bentuk-bentuk
perjanjian dengan suatu jangka waktu tertentu, yang pelaksanaan perikatan
(kewajibannya) dilakukan terus-menerus, misalnaya mengenai sewa-menyewa,
perjanjian perburuhan, dan pemberian kuasa. Perjanjian-perjanjian lainnya,
meskipun dapat diberikan jangka waktu, tetapi kewajibannya tidaklah
dilaksanakan secara terus-menerus. Sebelum membahas dan menarik kesimpulan dari
rumusan yang diberikan Pasl 1647 KUHPerdata, yang berlaku bagi persekutuan,
maka lebih dahulu ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban yang wajib
makalahadedidikirawan dilakukaan secara terus-menerus, seperti dalam sewa-menyewa, perburuhan, dan
pemberian kuasa yang di atur KUHPerdata.[21]
Perjanjian
sewa-menyewa, perjanjian perburuhan, dan pemberian kuasa, jika diperhatikan
secara teliti, kedua perjanjian yang disebut pertama untuk ditentukan jangka
waktunya. Maka perjanjian demi hukum menjadi hapus dengan lewatnya jangka waktu yang telah diperjanjikan. Perjanjian
sewa-menyewa dapat ditemukan Pasal 1570 KUHPerdata dan bagi perjanjian
perburuhan, ketentuan tersebut dapat dilihat Pasal 1603e KUHPerdata.[22]
Selanjutnya,
baik perjanjian sewa-menyewa, perjanjian perburuhan maupun pemberian kuasa,
harus tidak dengan suatu jangka waktu tertentu. KUHPerdata menentukan, bahwa
para pihak, dengan mengindahkan suatu jangka waktu, berhak untuk mengakhiri
perjanjian tersebut sewaktu-waktu. Perjanjian sewa-menyewa ketentuan mengenai
pengindahan jangka waktu tersebut dapat ditemukan Pasal 1571, Pasal 1572, Pasal
1573 KUHPerdata. Perjanjian perburuhan hal serupa dapat dilihat pada rumusan
Pasal 1603f, Pasal 1603g, Pasal 1603h, dan Pasal 1603i, KUHPerdata sedangkan
pemberian makalahadedidikirawan kuasa dapat dibaca Pasal 1817 KUHPerdata.[23]
Selain
dari perjanjian sewa-menyewa, perjanjian perburuhan, dan perjanjian pemberian
kuasa, yang oleh KUHPerdata diberikan ketentuan secara khusus yang mengatur
mengenai pengakhiran perjanjian yang telah dibuat dengan tanpa suatu jangka
waktu tertentu, tidak ada ketentuan umum mengenai hal tmakalahadedidikirawan ersebut. Secara umum
dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian yang telah dibuat dengan tidak
ditentukan suatu jangka waktu tertentu, maka :[24]
1. Setiap
pihak dalam perjanjian berhak untuk mengakhiri perjanjian tersebut, dengan
pemberitahuan yang layak (Pasal 1339 KUHPerdata):
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegasdinyatakan di dalamnya. Tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan. Kebiasaan atau
undang-undang”.
2. Pengakhiran
perjanjian tersebut menyebabkan adanya pihak yang karena pengakhiran perjanjian
tersebut (bukan pihak yang mengakhiri perjanjian) mengalami kerugian, maka
kerugian tersebut harus diganti oleh pihak, yang sebagai akibat pengakhiran
perjanjian tersebut telah melahirkan kerugian. Perlu diperhatikan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Konteks ini, maka penggantian kerugian
haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 1247 KUHPerdata, yaitu biaya,
rugi dan bunga, yang nyata telah,
sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan. Bahkan jika hal tidak
terpenuhinya perikatan disebabkan karena tipu daya debitur, penggantian biaya,
rugi dan bunga, makalahadedidikirawan sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan
keuntungan yang hilang baginya, hanyalah merupakan akibat langsung dari tak
terpenuhinya perikatan.
Penjelasan
yang diberikan dan kesimpulan umum, yang ditarik sehubungan dengan pemenuhan
kewajiban yang wajib dilakukan secara terus-menerus seperti sewa-menyewa,
perburuhan dan pemberian makalahadedidikirawankuasa yang diatur KUHPerdata, persekutuan, dengan
melihat pada ketentuan Pasal 1647 KUHPerdata tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa:[25]
1. Persekutuan
dapat dibentuk untuk jangka waktu yang tertentu, maupun untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan lamanya.
2. Persekutuan
yang didirikan jangka waktu tertentu akan berakhir dengan sendirinya, jika
jangka waktu yang disebutkan dalam persekutuan telah berakhir
3. Hubungan
dengan persekutuan yang telah didirikan atau dibentuk untuk suatu jangka waktu
tertentu, undang-undang memungkinkan pengakhiran persekutuan sebelum
berakhirnya jangka waktu persekutuan, dengan ketentuan bahwa pengakhiran
tersebut hanya dapat dilakukan dengan makalahadedidikirawan putusan pengadilan oleh Hakim yang
berwenang.
4. Kaitan
dengan pengakhiran persekutuan sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditentukan, berdasarkan putusan pengadilan, undang-undang tidak memberikan
batasan yang jelas mengenai alasan tuntutan pengakhiran tersebut. rumusann
alasan yang sah, sesungguhnya unndang-undang hendak makalahadedidikirawan memberikan keluwesan kepada
hakim untuk menilai masalah pengakhiran persekutuan ini.
5. Rumusan
antara lain, jika seorang sekutu lain tidak memenuhi kewajibannya atau apabila
seorang sekutu lain karena sakit terus menerus menjadi tak cakap
melakukanpekerjaannya untuk persekutuan, sebenarnya undang-undang hendak
menunjukan bahwa persekutuan, sifat personalia dari orang yang tterlibat dalam persekutuan adalah
demikian eratnya, sehingga orang tersebut makalahadedidikirawan yang merupakan sekutu, persekutuan
tidak dapat melakukan fungsinya, maka sudah selayaknya sekutu lainnya dibebaskan
dari kewajibannya.
6. Perlu
diperhatikan bahwa pengakhiran persekutuan berbeda dari pembatalan perikatan,di
atur Pasal 1266 KUHPerdata:
“Syarat batal dianggap selelu
dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.
Dalam hal demikian persetujuan
tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Hakim.
Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak terpenuhinya kewajiban
dinyatakan di dalam persetujuan.
Syarat batal tidak dinyatakan dalam
persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan atas permintaan
tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi makalahadedidikirawan kewajibannya,
jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
Pengakhiran persekutuan tidak mengembalikan
segala sesuatunya kepada keadaannya seperti semula, bahkan seperti dirumuskan
Pasal 1652 KUHPerdata, seperti telah dijelsakan dimuka, tidaklah demi hukum
menyebabkan seorang sekutu memperoleh kembali benda yang dimasukan ke dalam
persekutuan. Oleh karena itu maka selayaknya jika alasan untuk pengakhiran
persekutuan ini tidak dibatasi hanya semata-mata karena adanya cideera janji
dilakukan sebelum persekutuan berjalan, maka ada alasan untuk makalahadedidikirawan membatalkan
perikatan menurut Pasal 1266 KUHPerdata. Apabila cidera janji dilakukan selama
dan sepanjang berjalannya persekutuan, dan sudah terdapat pemasukan keuntungan,
terlebih lagi sudah dinikmati oleh para sekutu, maka pembatalan tidak
dimungkinkan, maka yang dapat dilakukan adalah pengakhiran persekutuan menurut
Pasal 1647 KUHPerdata.
7. Ketentuan
Pasal 1647 KUHPerdata hanya berlaku untuk pengakhiran persekutuan, sebelum
berakhirnya suatu persekutuan yang telah ditentukan jangka waktunya berlaku
Pasal 1649 dan Pasal 1650 KUHPerdata, yang akan dibahas dalam sub bab 3 berikut
dibawah.
b. Berakhirnya
Persekutuan Karena kemusnahan Barang yang menjadi Pokok Persekutuan
Pengakhiran persekutuan karena
musnahnya barang yang menjdai pokok persekutuan di atur Pasal 1648 KUHPerdata
yang berbunyi:[26]
“Jika salah seorang sekutu telah
berjanji akan memasukan miliknya atas suatu barang ke dalam persekutuan, dan
barang ini musnah sebelum pemasukan itu terlaksana, maka persekutuan karenanya
menjadi bubar terhadap semua sekutu”.
“Begitu pada persekutuan dalam segala
hal bubar jika barangnya musnah, apabila hanya kenikmatan atas barang itu saja
yang dimasukan dalam persekutuan, sedangkan hak miliknya tetap berada pada si
sekutu”.
“Tetapi persekutuan tidak menjadi bubar
karena musnahnya barang yang hak miliknya telah dimasukan dalam persekutuan”.
Rumusan yang diberikan Pasal 1648
KUHPerdata tersebut dapat diketahui bahwa:[27]
1. Kebendaan yang menjadi pokok persekutuan
musnah sebelum pemasukan atau penyerahan di lakukan, baik benda tersebut
diserahkan kepemilikannya atau hanya kenikmatannya saja, maka persekutuan demi
hukum bubar. Perlu diperhatikan bahwa persekutuan sudah ada, namun karena
penyerahan belum dilakukan dan sebelum penyerahan dilakukan, barang tersebut
musnah, maka demi hukum makalahadedidikirawan persekutuan menjadi bubar. Bandingkan dengan rumusan
Pasal 1444 KUHPerdata, yang menyatakan sebagai berikut:[28]
“Jika barang
tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah, tak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau
hilang di luar salahnya debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya”.
“Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan sesuatu
barang sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak
terduga, perikatan hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama di
tangannya kreditor, seandainya sudah diserahkan kepadanya”.
“Debitor diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga
yang dimajukan itu”.
Suatu barang, yang telah di curi, musnah atau hilang,
hilangnya barang iini tidak sekali-kali membebaskan orang yang mencuri barang
itu dari kewajibannya untuk mengganti harganya. Hubungan ketenntuan Pasal 1648
KUHPerdata tersebut dengan Pasal 1444 KUHPerdata dapat diketahui bahwa pada
prinsipnya, denngan musnahnya benda yang akan dimasukan ke dalam persekutuan ,
maka demi hukum hapuslah kewajiban dari sekutu yang diwajibkan untuk memasukan
sesuatu makalahadedidikirawan kedalam persekutuan tersebut. Selanjutnya oleh karena kewajiban
tersebut menjadi hapus, sedangkan eksistensi persekutuan semata-mata
digantungkan pada keberadaan benda tersebut, yang merupakan hal tertentu dalam
perjanjian pendirian persekutuan, maka jelas, logis bahwa persekutuan demi
hukum juga berakhir, bahkan sebelum tujuan persekutuan dapat dicapai. Kemudian
disepakati penggantian benda yang baru maka yang berlaku adalah suatu novasi
dalam persekutuan baru.
2. Kebendaan
yang menjadi pokok persekutuan musnah setelah hak milik atas benda tersebut
dimasukan atau diserahkan kepada persekutuan, maka persekutuan tidak demi hukum
bubar. Berlakulah ketentuan yang diatur Pasal 1630 KUHPerdata, yang menyatakan
bahwa:[29]
“Masing-masing sekutu diwajibkan memberikan ganti
rugi kepada persekutuan yang disebabkan salahnya si sekutu”.
“Sedangkan ia tidak diperrbolehkan menjumpakannya
dengan keuntungan-keuntungan yang diperolehnya untuk persekutuan berkat
pekerjaan dan kerajinannya dalam urusan-urusan lain”.
Perlu
diperhatikan bahwa dengan diserahkannya hak milik benda tersebut kepada
makalahadedidikirawan persekutuan, maka benda tersebut menjadi milik persekutuan sepenuhnya, atau
menjadi milik bersama yang terkait dari seluruh sekutu persekutuan. Rumusan
yang diberikan oleh Pasal 1630 KUHPerdata tersebut, maka sekutu yang karena
salahnya menyebabkan musnah benda tersebut berkewajiban untuk memberikan ganti
kerugian kepada persekutuan ( dan atau para sekutu lainnya). Benda tersebut
musnah, tanpa ada kesalahan dari salah satu atau lebih sekutu dalam persekutuan
juga tidak demi hukum mengakhiri persekutuan. Semuanya diserahkan kepada para
sekutu itu sendiri, menurut berlakunya Pasal 1647 KUHPerdata dalam hal
persekutuan ditentukan jangka waktunya atau Pasal 1649 dan Pasal 1650
KUHPerdata dalam hal persekutuan yang didirikan tanpa jangka waktu tertentu.[30]
c.
Berakhirnya
Persekutuan karena Kehendak Salah Satu sekutu
Penjelasan
yang diberikan di atas, diketahui bahwa suatu persekutuan dapat didirikan
dengan jangka waktu tertentu maupun tanpa suatu jangka waktu tertentu, maka
persekutuan demi hukum makalahadedidikirawan berakhir dengan lewatnya jangka waktu tersebut. Konteks
ynag kedua, Pasal 1649 dan Pasal 1650 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:[31]
Pasal
1649 KUHPerdata menyebutkan :[32]
“Persekutuan
hanya dapat dibubarkan atas kehendak beberapa atau seorang sekutu, jika
persekutuan itu telah dibuat tidak untuk suatu waktu tertentu”.
“Pembubaran
terjadi, dalam hal tersebut, dengan suatu pemberitahuan penghentian kepada
segenap sekutu lainnya, asal pemberitahuan penghentian ini terjadi dengan
itikad baik dan tidak dilakukan dengan secara tidak memberikan waktu”.
Pasal
1650 KUHPerdata menyebutkan:[33]
“Pemberitahuan
penghentian dianggap telah dilakukan tidak dengan itikad baik apabila seorang
sekutu menghentikan persekutuannya dengan maksud mengambil suatu keuntungan
bagi diri sendiri, sedangkan para sekutu telah merancangkan akan bersama-sama
menikmati keuntungan tersebut”.
Pemberitahuan
penghentian dilakuakn dengan secara tidak memberikan waktu, apabila
barang-barang persekutuan tidak lagi terdapat dalam keseluruhannya, sedangkan
kepentingan persekutuan menuntut supaya pembubarannya diundurkan.
Ketentuan
yang diatur Pasal 1649 dan Pasal 1950 KUHPerdata dan selanjutnya dibandingkan
dengan pembahasan di atas mengenai pengakhiran perjanjian yang telah dibuat
denngan tanpa suatu jangka waktu tertentu dan dikatakan bahwa:[34]
1. Setiap
pihak dalam perjanjian berhak untuk mengakhiri perjanjian tanpa suatu jangka
waktu tersebut, dengan pemberitahuan yang layak .
2. Pengakhiran
perjanjian tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian pada pihak lain, makalahadedidikirawan yang
bukan pihak yang mengakhiri perjanjian.
Pengakhiran
perjanjian yang telah dibuat dengan tanpa suatu jangka waktu tertentu,
memperoleh persamaan terdapat pada Pasal
1649 KUHPerdata, yangberlaku bagi persekutuan, yaitu:[35]
1. Pengakhiran
persekutuan dapat diminta setiap waktu oleh satu atau lebih sekutu, dengnan
suatu jangka waktu yang layak. Sehubungan dengna pemberitahuan yang layak ini Pasal
1650 Ayat (2) KUHPerdata menentukan bahwa menyampaikan pemberitahuan
pengakhiran persekutuan, seorang sekutu harus mempertimbangkan kegiatan atau
usaha yang sedang dilakukan oleh persekutuan, atau yang akan dilakukan oleh
persekutuan dalam waktu mendatang, yang telah direncanakan sebelumnya. Para
sekutu lain dalam persekutuan (diluar sekutu yang menyatakan pengakhiran
persekutuan), juga tidak boleh menghambat maksud pengakhiran persekutuan ini,
dengan terus-menerus makalahadedidikirawan mempergunakan harta kekayaan persekutuan ini, dengan
terus-menerus mempergunakan harta kekayaan persekutuan, meskipun pemberitahuan
mengenai pengakhiran persekutuan telah disampaikan.
2. Pengakhiran
persekutuan harus dilakukan dengan itikad baik. Pasal 1650 Ayat (1) KUHPerdata
mengatur mengenai itikad baik ini, dengan menyatakan bahwa yang dinamakan
dengan itikad baik adalah tidak mengambil keuntungan untuk diri sendiri, dengan
mengabaikan hak sekutu lain untuk menikmati suatu keuntungan yang seyogyanya
dapat dinikmati bersama, jadi dalam konteks ini makalahadedidikirawan sesungguhnya ada kerugian yang
diderita oleh sekutu lainnya dibandingkan dengan keuntungan yang dinikmati oleh
sekutu yang menyatakan kehendaknya untuk mengakhiri persekutuan (tanpa itikad
baik).
d.
Berakhirnya
Persekutuan karena Meninggalnya Salah Satu Sekutu
Berakhirnya persekutuan adalah
karena meninggalnya salah satu sekutu dalam persekutuan adalah karena
meninggalnya salah satu sekutu. Pasal 1651 KUHPerdata menyatakan:[36]
“Jika telah diperjanjikan bahwa apabila
salah seorang sekutu meninggal, persekutuannya akan berlangsung terus diantara
sekutu-sekutu yang masih ada maka janji tersebut harus ditaati”.
“Dalam hal yang kedua, ahli waris si
meninggal tidak mempunyai hak yang lebih dari pada atas pembagian persekutuan
menurut keadaannya sewaktu meninggalnya si sekutu, tetapi ia mendapat bagian
dari keuntungan serta turut memikul kerugian yang merupakan akibat-akibat
mutlak dari perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum si sekutu dari siapa ia
ahli warisnya, meninggal”.
Rumusan Pasal 1651 KUHPerdata
tersebut, dapat diketahui bahwa pada prinsipnya dipegang teguh pendapat bahwa
suatu persekutuan bersifat personal, dengan pengertian bahwa dengan
meninggalnnya seorang sekutu, maka persekutuan menjadi bubar demi hukum.
Walaupun demikian, selama dikehendaki dan disetujui secara bersama antara para
sekutu yang masih hidup dengan ahli waris dari sekutu yang meninggal,
persekutuan dapat dilanjutkan dengan cara:[37]
1. Menerima
ahli waris dari sekutu yang meninggal tersebut menjadi sekutu dalam
persekutuan, perlu dipertimbangkan mengenai jumlah ahli waris persekutuan.
Apakah semua ahli waris akan diterima, dalam bagian sekutu yang telah meninggal
dunia, sehingga menjadi sekutu-sekutu baru makalahadedidikirawan dalam persekutuan. Pasal 1641
KUHPerdata, dengan menerima hanya salah satu ahli waris sekutu yang meninggal
sebagai sekutu persekutuan. Bagian para ahli waris lainnya dari sekutu yang
meniinggal, mereka ini tetap merupakan dan memperoleh bagian dalam persekutuan,
tetapi tidak menjadi sekutu dalam persekutuan, tetapi tidak menjadi sekutu
dalam persekutuan.
2. Tetap
melangsungkan dan menjalankan persekutuan sebagaimana adanya, dengan
mengeluarkan bagian sekutu yang meninggal dunia ini. Sebagaimana halnya dalam
pembubaran persekutuan, sebagaimana disinggung di atas, maka proses pembagian
bagian sekutu yang meninggal dunia ini, harus dilaksankan sebagaimana halnya
pembagian karena pembubaran persekutuan. Hanya saja, jika pada pembubaran
persekutuan, kegiatan persekutuan dihentikan sama sekkali, dan seluruh sekutu
memperoleh pembagian secara bersama, pengeluaran bagian seorang sekutu yang
meninggal dunia ini, persekutuan tetap berjalan, dan pembagian harta kekayaan
persekutuan hanya diberikan kepada ahli makalahadedidikirawan waris sekutu yang meninggal dunia
tersebut. Pendaftran harta kekayaan persekutuan ini, Pasal 1651 Ayat (2)
menentukan bahwa saat yang harus dipakai untuk melakukan pendaftaran adalah
saat meninggalnya sekutu tersebut. Segala untung dan beban (rugi) yang diderita
persekutuan dari tindakan-tindakan yang dibuat oleh persekutuan setelah
meninggalnya sekutu tersebut tidak dimasukan dalam daftar pertelaan harta
kekayaan persekutuan gunapengeluaran bagian sekutu yang meninggal dunia. Tetapi
seluruh keuntungan dan kerugian yang terjadi dari perbuatan-perbuatan yang
dilakukan persekutuan sebelum sekutu meninggal dunia menjadi manfaat dan beban
bagi perhitungan pengeluaran bagian sekutu yang meninggal dunia.
e.
Berakhirnya
Persekutuan Karena Salah Satu Sekutu Ditaruh di Bawah Pengampuan
Pembubaran
persekutuan karena meninggalnya seseorang sekutu dalam persekutuan memperoleh
jalan keluar alternatif Pasal 1651 KUHPerdata, pembubaran persekutuan sebagai
akibat ditaruhnya seorang sekutu
persekutuan ditaruh pengampuan tidak ditemukan pengaturannya. Secara
umum memang harus diterima pendapat bahwa dengan ditaruhnya seseorang dalam
pengampuan demi hukum tidak dapat lagi melaksanakan hak dan kewajibannya dalam
lapangan hukum harta kekayaan. Bahkan lebih jauh lagi,sudah tidak mempunyai
kontrol secara langsung atas harta kekayaan, yang semuanya berbeda di bawah
pengurusan kurator. Fungsi sekutu tidak berarti lagi, baik bagi persekutuan
maupun bagi para makalahadedidikirawan sekutu lainnya dalam persekutuan. Seorang kurator dari seorang
sekutu yang ditaruh dibawah pengampuan tidak dapat menggantikan peran dan
fungsi seorang sekutu dalam persekutuan, dan oleh karena ituselayaknya jika
persekutuan dibubarkan.[38]
f. Berakhirnya Persekutuan karena
Kepailitan Salah Satu Sekutu
Alasan
berikutnya yang dapat mengakhiri persekutuan adalah karena dinyatakan pailitnya
salah satu sekutu dalam persekutuan. Dinyatakannya seorang sekutu berada dalam
kepailitan, maka sejalan dengan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Kepailitan (Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 jo. Failisements-Verordening-Undang-Undang makalahadedidikirawan Kepailitan (Staatsblad
Tahun 1906 Nomor 348) yang menyatakan:[39]
Pasal
22 bahwa:[40]
“Dengan
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejajk tanggal
kepailitan itu termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataannya
itu sendiri”.
Bahwa
seorang yang berada dalam keadaan pailit adalah laksana seorang yang tidak
dapat melakukan tindakan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Tidak
dapat lagi melakukan tindakan pengurusan atas harta kekayaannya tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka berarti segala tindakan yang berhubungan
dengan harta kekayaan tersebut akan dilaksanakan oleh kurator.[41]
Selanjutnya
jika diperhatikan rumusan Pasal 67 sampai Pasal 70 B Undang-Undang Kepailitan
dapat diketahui bahwa tugas utama kurator adalah untuk melakukan pengurusan dan
atau pemberesan harta pailit. Perlu diperhatikan bahwa kurator selain melakukan
tugas pengurusan juga melakukan tugas pemberesan harta pailit. Tugas pengurusan
hanya dilaksankan oleh kurator jjika masih terdapat kemungkinan tercapainya
perdamaian antara debitur pailit dengan seluruh krediturnya, terhadap suatu
makalahadedidikirawan kepailitan yang berlaku. Rencana perdamaian itu sendiri menurut ketentuan Pasal
134 Undang-Undang Kepailitan merupakan hak dan inisiatif debitur pailit, dalam
hal debitur pailit. Debitur pailit tidak memajukan usulan perdamaian atau
usulan perdamaian yang dimajukan ditolak, atau tidak dihomologasi usulan
perdamaian diterima oleh Rapat Kreditur, maka kurator melakukan pemberesan
harta pailit menurut ketentuan Pasal 168 jo. Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan.[42]