LEGISLATIF DRAFTING
Menurut teori perundang-undangan, pembentukan peraturan
perundang-undangan
meliputi dua masalah pokok, yaitu
- Aspek materiil (substansial), yang memuat asas, kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku kongkrit dalam bentuk arturan-aturan hukum. Yang berkaitan pula dengan masalah pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
- Aspek formal (prosedural), yang berhubungan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung dalam suatu negara tertentu. Pembahasannya diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metoda, proses dan teknik perundang-undangan.
Kedua aspek tersebut saling berkaitan secara timbal
balik dan dinamis
Adapun tujuan teknik
perancangan perundang-undangan adalah:
- Agar mampu mengidentifikasi dan merumuskan pelbagai norma hukum berdasarkan struktur, sifat dan jenis-jenis kaidah hukum;
- Mampu mengidentifikasi berbagai jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan kerangka dan substansinya.
- Trampil dalam merancang dan merumuskan, baik bagian-bagian dari suatu peraturan perundang-undangan maupun seluruh bagian dari peraturan perundang-undangan secara utuh.
STRUKTUR KAIDAH
HUKUM
Aturan hukum merupakan konkritisasi kaidah hukum yang
dinyatakan dalam
bantuk rumusan pasal-pasal yang menyebabkan kaidah hukum tersebut
dapat dikenali, dipahami, dan
diterapkan secara langsung untuk mengatur perilaku tertentu
Setiap aturan hukum memiliki struktur dasar yang
terdiri dari unsur-unsur sbb :
- Subjek kaidah, menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan;
- Objek kaidah, menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut.
- operator kaidah, menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku tertentu, memberikan suatu hak atau membebankan kewajiban tertentu,
- kondisi kaidah, menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Keempat unsur kaidah ini bersifat konstitutif yang
saling berkait satu sama
lainnya, dan secara bersamaan akan menentukan isi dan wilayah penerapan/
jangkauan berlakunya suatu aturan hukum tertentu.
Dalam praktek perumusan suatu aturan, susunan keempat
unsur struktur kaidah
tersebut tidak harus tersusun secara berurutan, namun keempatnya harus
ada dan dapat
diidentifikasi dalam setiap rumusan.
Contoh : ”Setip orang dapat memiliki atau menguasai
benda cagar
budaya tertentu dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya”
Subjek kaidah : setiap orang
Objek kaidah : memiliki atau menguasai benda cagar budaya
Operator kaidah : boleh memiliki
atau menguasai
Kondisi kaidah : fungsi sosial
”Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas
dan/atau dengan sengaja menyimpan
serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam
dengan
dengan hukuman penjara”
Subjek kaidah : barang siapa, artinya setiap orang
Objek kaidah : meniru, memalsukan uang kertas,
menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu.
Operator
kaidah : diancam dengan hukuman
penjara (berarti dilarang)
Kondisi
kaidah : dengan sengaja.
”Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presidan berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti
undang-undang”
Kondisi
kaidah : dalam hal ihwal
kegentingan memaksa
Subjek kaidah : Prasiden
Operator
kaidah : berhak menetapkan (
artinya boleh)
Objek kaidah : melakukan pengaturan yang
berkaitan dengan keadaan kegentingan yang sedang terjadi (dirumuskan
dalam PERPU)
SIFAT KAIDAH
HUKUM
Terdapat empat
golongan sifat kaidah hukum dalam suatu paraturan perundamng-undangan,
yaitu :
Sifat umum-abstrak :
Sifat umum kongkrit:
Sifat individual abstrak:
Sifat individual-kongkret:
Keempatnya
digunakan secara kombinatif, bergantung kepada isi/substansi dan wilayah
penerapan/jangkauan berlakunya aturan hukum yang bersangkutan. Kombinasi
ini
sebagaian akan ditentukan pula oleh jenis peraturan yang terdapat dalam
hirarki
peraturan perundang-undangan. Makin tinggi tingkat atau derajat suatu
peraturan
perundang-undangan, maka makin abstrak dan umum sifatnya, demikian pula
sebaliknya.
Contoh :
Aturan umum
abstrak :
”Setiap orang
yang melalukan kegiatan usaha, wajib memelihara kelestarian, kemampuan
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang”
Atuan
Umum-Kongtret
”Semua
kegiatan usaha yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap
lingkungan
hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan RKL dan RPL oleh
instansi
yang berwenang.
Aturan
individual-Abstrak
PT Kiani
Kertas wajib mentaati baku mutu limbah cair sebagaimana
yang ditentukan di dalam izin pembuangan
limbah yang ditetapkan baginya”
Aturan
individual-kongkret
”PT Kiani
Kertas hanya dapat membuang limbah cair sesuai baku mutu limbah cair
sebagai
berikut : BOD 150 mg/L, COD 350 mg/L, Padatan Tersuspensi Total 150 mg/L
dan pH
6-9
TEKNIK PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Legislative drafting)
A.
KERANGKA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
Format perumusan peraturan perundang-undanan
memiliki beberapa unsur-unsur penting, yaitu :
a. Penamaan judul.
b. Pembukaan
1. Frase Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan
3. Konsideran
4. Dasar Hukum
5. Diktum
1)
Kata Memutuskan
2)
Kata Menetapkan
3)
Nama Peraturan
Perundang-undangan
c. Batang Tubuh
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok Yang
Diatur
3. Ketentuan Pidana
(Jika diperlukan)
4. Ketentuan
Peralihan
5. Ketentuan Penutup
d. Penutup
e. Penjelasan (jika
Diperlukan
f.
Lampiran (bila diperlukan).
B. PENAMAAN/JUDUL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
a.
Penamaan
atau judul (sebagai identitas) adalah bagian
awal dari peraturan perundang-undangan yang harus :
1. Memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan.
2.
Dibuat
secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang-undangan.
3.
Ditulis
seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di
tengan margin dan tidak diakhiri tanda baca
Contoh
:
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
SUMBER DAYA AIR
b. Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai
nama
singkat (citeertitel), maka nama singkat harus diletakkan di bawah
nama/judul
lengkap, dan harus ditulis di antara tanda baca kurung (...).
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ....
TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
(UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)
c. Bila suatu peraturan perundang-undangan dibuat
untuk merubah isi peraturan perundang-undangan lain, maka pada judul
perubahan
ditambahan frase PERUBAHAN ATAS di depan nama Peraturan
Perundang-undangan yang
diubah
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
d. Bila Perubahannya lebih
dari satu kali, di antara kata perubahan dan atas disisipkan keterangan
yang menunjukkan berapa
kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan
selanjutnya.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR ---- TAHUN
....
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG-UNDANG
NOMOR ..... TAHUN
.....
TENTANG
e.
Bila suatu
peraturan perundang-undangan untuk mencabut
suatu peraturan perundang-undangan lain, maka pada judul peraturan
perundang-undangan pencabutan ini harus diSISIPKANkan kata
PENCABUTAN di depan judul peraturan perundang-undangan
yang dicabut tersebut.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970
TENTANG
PEMBENTUKAN DAERAH
PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
f.
Bila untuk
menetapkan Perpu menjadi UU, harus ditambahkan
kata PENETAPAN di depan nama perpu yang
ditetapkan
dan diakhiri frase MENJADI UNDANG-UNDANG
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI
UNDANG-UNDANG
g. Jika dibuat untuk
mensahkan suatu perjanjian internasional, harus dilengkapi dengan kata
PENGESAHAN di depan perjanjian atau persetujuan internasional
yang disahkan.
h. Jika Bahasa Indonesia dijadikan
sebagai teks resmi,
maka nama peraturan perundang-undangan pengesahan ditulis dalam bahasa
Indonesia, yang diikuti dengan teks bahasa asing yang diletakan diantara
tanda
baca kurung (...) dan ditulis dengan huruf miring.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL
BALIK DALAM MASALAH PIDANA
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA
ON MUTUAL LEGAL
ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)
i.
Jika
Bahasa Indonesia TIDAK dijadikan sebagai teks resmi,
maka nama peraturan perundang-undangan pengesahan ditulis dalam bahasa
Inggris dengan huruf
cetak
miring, yang
diikuti terjemahannya
dengan teks
bahasa Indonesia yang diletakan di antara tanda baca kurung (...)
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST
ILLICIT TRAFFICT IN NARCOTIC DRUGS
AND
PSYCHOTROTROPIC SUBSTANCES, 1998
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)
C.
P E M B U K A A N
Pembukaan
Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas :
a.
Frase DenganRahmat Tuhan Yang Maha esa;
b.
Jabatan Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan;
c.
Konsideran;
d.
Dasar Hukum;
e.
Diktum
1.
Pembukaan pada undang-undang dan
peraturan daerah berisi :
perkataan
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ditulis seluruhnya dengan huruf capital yang diletakan di tengah margin
2.
Jabatan
pembentuk peraturan
perundang-undangan
ditulis seluruhnya dengan huruf
capital yang diletakan di tengan
margin dan diakhiri dengan tanda baca
koma (,);
3.
Konsideran
(menimbang),
Konsideran harus diawali
dengan kata Menimbang yang memuat uraian singkat
mengenai :
1) Pokok-pokok pikiran yang
menjadi latar belakang pembuatan peraturan
perundang-undangan;
2) Pokok-pokok pikiran pada
UU atau Perda memuat unsur-unsur filosofis, yuridis,
dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya;
3) Tujuan dan asas dari
peraturan perundang-undangan.
4. Jika konsideran terdiri atas lebih
satu pokok pikiran, maka tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan
dalam rangkaian kalimat yang merupakan satu
kesatuan pengertian.
5.
Tiap-tiap
pikiran diawali dengan
huruf abjad ( a, b, c, dst) dan dirumuskan dalam satu kalimat yang
diawali dengan kata bahwa, dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma (;)
Contoh :
Menimbang : a. bahwa...;(titik koma)
b. bahwa...;(titik koma)
c. bahwa...;(titik
koma)
6. Jika konsideran memuat lebih dari
satu pertimbangan, rumusan
butir pertimbangan terakhir berbunyi
sebagai berikut ”
Contoh :
Menimbang : a. bahwa...; (titik koma)
b. bahwa...; (titik koma)
c. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagai mana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Undang-undang (Peraturan Daerah) tentang ...;
7.
Konsideran
Peraturan
Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu
pertimbangan yang isinya menunjuk pasal dari UU yang memerintahkan
pembuatannya.
D.
Dasar Hukum
a.
diawali dengan kata Mengingat
b.
Memuat
dasar kewenangan pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan
perundang-undangan
tersebut
c. Yang digunakan
sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang derajatnya sama atau yang lebih
tinggi
d.
Peraturan
Perundang-undangan yang akan dicabut, yang akan dibentuk, atau yang sudah diundangkan tetapi
belum resmi berlaku, tidak dicantumkan
sbg dasar hukum
e.
Jika
peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar lebih dari satu,
urutan pencantuman
perlu memperhatikan tata urutan
peraturan perundang-undangan, dan jika tingkatannya sama disusun
secara
kronologis berdasarkan saat pengundangan dan penetapannya.
f.
Dasar
hukum dari pasal
dalam UUD 1945, ditulis dengan menyebut
pasal atau bebera pasal yang berkaitan dengan frase UUD 1945
Contoh :
Mengingat : Pasal 5
ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
g. Dasar Hukum yang bukan
UUD 1945, tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama
judul
Peraturan Perundang-undangan ( Undang-Undang, PP Perpres), dilengkapi
pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran
Negara
Republik Indonesia diantara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat : Undang-Undang
Nonor 43 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Rebublik
Indonesia
Nomor 4316)
h.
Jika
berasal dari pperaturan zaman Hindia Belanda sampai
tanggal 27 Desember 1949 ditulis
terlebih dahulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul
aslinya
(Bhs Belanda) dilengkapi dg tahun dan nomor Staatsblad
yang dicetak miring diantara tanda baca kurung.
Contoh :
Mengingat : 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandels,
Staatsblad 1847:
23);
2.............;
i.
Jika dasar
hukum memuat lebih dari satu Peraturan
perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1,2,3 dst
dan
diakhiri dengan tanda baca titik koma.
E.
Diktum
Diktum
terdiri atas : Kata memutuskan, menetapkan, nama peraturan
Perundang-undangan
a. Kata Memutuskan
1.
Kata memutuskan
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi dan diletakkan di
tengah
margin
2.
Pada
Undang-Undang sebelum kata Memutuskan dicantumkan
frase Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA yang diletakan ditengah margin.
Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
3.
Pada
Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan
dicantumkan frase Dengan Persetujuan
Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH....... (nama daerah) GUBERNUR/
BUPATI/WALIKOTA....
(nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan
diletakan
di tengah margin.
Contoh :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH ................
(nama daerah)
dan
GUBERNUR ...........
(nama daerah)
MEMUTUSKAN :
b. Kata Menetapkan
1.
Kata
Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang
disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal
kata
Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca
titik
dua.
c. Nama Peraturan
Perundang-undangan
1.
Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan
dan didahului dengan pencantuman jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa
frase Republik Indonesia, sera
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca
titik.
Contoh :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH.
CATATAN : Pembukaan
Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih
rendah
daripada undang-undang, seperti PP, Perpres Permen dan Peraturan Pejabat
yang
setingkat , secara mutatis dan mutandis berpedoman pada pembukaan
Undang-Undang.
d. Batang
Tubuh
1.
Batang
tubuh peraturan Perundang-undangan
memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan
dalam
pasal-pasal.
2.
Pada
umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan
ke dalam.
a. Ketentuan Umum;
b. Materi Pokok
Yang Diatur;
c. Ketentuan
Pidana (Jika diperlukan);
d. Ketentuan
Peralihan (Jika diperlukan);
e. Ketentuan
Penutup
3.
Dalam
pengelompokan substansi sedapat
mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang
bersangkutan diupayakan masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula
memuat
dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
4.
Substansi
yang berupa sanksi administratif
atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut, dirumuskan
menjadi
satu bagian (pasal dengan norma yang memberikan sanksi administratif
atau
sanksi keperdataan.
5.
Jika norma
tersebut lebih dari satu pasal,
sanksi administratif atau snaksi keperdataan dirumuskan dalam pasal
terakhir
dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat snaksi pidana, saksi perdata dan
sanksi
administratif dalam satu bab.
6.
Sanksi
administratif dapat berupa antara
lain, pencabutan ijin, pembubaran, pengawasan, pemberentian sementara,
denda
administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat
berupa,
antara lain, ganti kerugian.
7.
Pengelompokan
materi muatan Paraturan
Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab,
bagian, dan
paragraf.
8.
Jika
Peraturan Perundang-undangan mempunyai
materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal,
Pasal2
tersebut dapat dikelompokan menjadi : Buku (jika merupakan kodifikasi),
bab,
bagian, dan paragraf. Dilakukan atas dasar kesamaan materi.
9.
Urutan
pengelompokkan adalah sbb :
a. Bab dengan
pasal tanpa bagian dan paragraf;
b. Bab denggan
Bagian dan pasal, tanpa paragraf;
c. Bab dengan
bagian dan paragraf yang berisi
pasal-pasal.
10.
Buku
diberi nomor urut bilangan tingkat dan
judul seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh :
BUKU
KETIGA
PERIKATAN
11.
Bab diberi
nomor urut dengan angka Romawi,
dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh :
BAB I
KETENTUAN UMUM
12.
Bagian
diberi nomor urut dengan bilangan
tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul
13.
Huruf awal
kata bagian, urutan
bilangan, dan
setiap kata pada judul
bagian ditulis dengan
huruf kapital, kecuali huruf
awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh :
Bagian Kelima
Persyaratan Teknis Kendaraan
Bermotor,
Kereta Gandengan, dan Kereta
Tempelan
14.
Paragraf
diberi nomor urut dengan angka
Arab dan diberi judul. Huruf awal Paragraf termasuk judulnya ditulis
dengan
huruf kapital, kecuali awal kata partikel yang tidak terletak pada awal
frase
Contoh :
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim
15.
Pasal
memuat satu norma dan dirumuskan
dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Pasal
diberi
nomor urut dengan angka Arab.
16.
Materi
Peraturan perundang-undangan lebih
baik dirumuskan dalam banyak pasal yag singkat dan jelas daripada ke
dalam
beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika
materi
yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
17.
Huruf awal
pasal yang
digunakan sebagai acuan ditulis dengan uruf kapital.
Contoh :
Pasal
34
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar
ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
18.
Pasal
dapat
dirinci dalam beberapa ayat.
19.
Ayat
diberi
nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri
tanda baca titik.
20.
Suatu
ayat
hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat
utuh.
21.
Huruf
awal
kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis
dengan huruf kecil.
Contoh :
Pasal 8
(1) Satu permintaan
pendaftaran merk hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
(2) Permintaan
pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyebutkan jenis barang atau jasa termasuk ke dalam kelas yang
bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
22.
Jika satu
pasal atau ayat memuat rincian
unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian,
dapat
pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi.
Contoh :
Pasal 17
Yang diberi hak pilih ialah
warga negara
Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin dan
telah
terdaftar pada daftar pemilih.
Isi pasal tersebut dapat lebih
mudah
dipahami jika drumuskan sebagai berikut :
Contoh rumusan tabulasi :
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih
ialah warga
negara Indonesia yang :
a.
Telah
berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah
kawin; dan
b.
Telah
terdaftar pada daftar pemilih.
23.
Dalam
membuat rumusan pasal atau ayat
dengan bentuk tabulasi, hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
setiap
rincian harus dapat dibaca sebagai
slah satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka;
b.
setiap
rincian diawali dengan huruf (abjad)
kecil dan diberi tanda baca titik;
c.
setiap
frase dalam rincian diawali dengan
huruf kecil;
d.
setiap
rincian diakhiri dengan tanda baca
titik koma.
e.
Jika suatu
rincian dibagi lagi ke dalam
unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam.
f.
di
belakang rincian yang masih mempunyai
rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
g.
pembagian
rincian (dengan urutan makin
kecil) ditulis dengan abjad kecil yang diikuti tanda baca titik; angka
arab
diikuti tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup;
angka
Arab diberi tanda baca kurung tutup;
h.
pembagian
rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat, perlu
dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau
ayat
lain.
24. Jika unsur
atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai
rincian kumulatif, ditambah kata dan
yang diletakan di belakang rincian kedua
dri rincian terakhir.
25. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif
ditambahkan kata atau yang diletakkan diletakan di
belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
26. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumilatif dan
alternatif
ditambahkan kata dan/atau yang
diletakkan diletakan di belakang
rincian kedua dari rincian terakhir.
27. Kata dan,
atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian
Conton lebih lengkap :
Pasal 22
(1) ........
(2) ........;
a.......;
b........; dan,
atau, dan/atau)
c........;
a).......;
b).......;
(dan, atau, dan/atau)
c)........
1).........;
2)..........;
(dan, atau, dan/atau)
3)..........
a.
Ketentuan Umum;
2.
Ketentuan
umum diletakkan dalam bab kesatu.
Jika Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokkan bab,
ketentuan
umum diletakkan dalam pasal-pasal awal.
3.
Ketentuan
umum dapat memuat lebih dari satu
pasal
4.
Ketentuan
umum berisi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar