BABI
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mengamati
kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa
yang terjadi selalu menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat. Makin banyak
dan luas kegiatan perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Ini
berarti makin banyak sengketa harus diselsaikan.
Membiarkan
sengketa dagang terlambat diselsaikan akan mengakibatkan perkembangan
pembangunan tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami
kemandulan dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling
dirugikan, disamping itu peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan sosial
kaum pekerja juga terhambat
Kalaupun
akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa di antara para pihak
yang terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelsaikan sengketa itu
dihadapkan pada alternatif
Secara
konvensional, penyelsaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau
penyelsaian senngketa dimuka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para
pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain).
Penyelsaian sengketa bisnis model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya
ditempuh, penyelesaian itu semata-matasebagai jalan terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif
lain diniali tidak membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa yang
membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang
bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara penyelsaian seperti itu tidak
diterima dunia binis melalui lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan
secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sehubungan
dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa
yang cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu
sistem penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju
perkembangan perekonomian dan perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi
liberalisasi perdagangan harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan
memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.
Di
samping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui
litigasi sistem peradilan, dalam praktik di Indonesia dikenalkan pula model
yang relatif baru. Model ini cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang
dikenal dengan nama ADR (alternative
dispute resolution) yang diantaranya meliputi negoisasi, mediasi dan
arbitrase. Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi
tidak menutup peluang penyelesaian makalahadedidiikirawan deperkara tersebut secara litigasi.
Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan manakala penyelesaian
secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi penggunaan ADR adalah sebagai salah satu
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan mepertimbangkan segala
bentuk efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus
menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.
B.
Identifikasi
Masalah
Adapun yang menjadi
latar belakang permasalahan makalah ini adalah:
1. Apa
saja yang menjadi bentuk-bentuk prosedur
alternatif penyelesian sengketa di Indonesia dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa?
2. Bagaimana
Prosedur tata cara pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia
dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa?
BAB II
PENYELSAIAN SENGKETA DI LUAR
PENGADILAN MELALUI ADR DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN
1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELSAIAN SENGKETA
A. PENGERTIAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Istilah
“alternatif” dalam APS memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah
mekanisme APS pada akhirnya – khususnya dalam sengketa bisnis – akan
menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami
terlebih dahulu bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan
dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya, APS lazimnya
dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Bahkan terkadang makalahadedidiikirawankeduanya saling
berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dapat berjalan saling berdampingan.[1]
Beberapa pendapat mengenai APS atau Alternative
Dispute Resolution (ADR) antara lain:[2]
·
APS adalah
mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini,
mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain.
·
APS adalah
forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat
penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan
dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter)
mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. APS di sini hanya terbatas pada
teknik makalahadedidiikirawanpenyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya
negosiasi,mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa
kooperatif lainnya.
·
APS adalah
seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak
terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang
dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan
Penyelesaian sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
dan sebagainya.
Teknik atau prosedur teknis APS di
luar pengadilan yang sudah lazim dilakukan adalah: negosiasi, konsiliasi,
mediasi, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling dikenal dan paling
banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak sadar masyarakat
Indonesia telah menerapkan mekanisme APS, yakni yang disebut musyawarah untuk
mufakat. Asas musyawarah untuk makalahadedidiikirawanmufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh
pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia.
Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara ( di Mahkamah Agung ) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah berpolitik, persengkokolan (KKN), dan tuduhan bahwa mereka bobrok atau rusak.
Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara ( di Mahkamah Agung ) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah berpolitik, persengkokolan (KKN), dan tuduhan bahwa mereka bobrok atau rusak.
1. Mekanisme penyelsaian nonlitigasi
Penyelesaian sengketa non litigasi
dapat dilakukan dengan cara :[3]
a.
adjudikasi/adversarial/litigasi
ciri-cirinya : para pihak berhadap-hadapan untuk saling mengalahkan, diadakan di pengadilan, hasilnya berupa putusan.
ciri-cirinya : para pihak berhadap-hadapan untuk saling mengalahkan, diadakan di pengadilan, hasilnya berupa putusan.
b.
Non adjudikasi/non litigasi Ciri utamanya keputusanya
berupa kesepakatan /agreement.
Cara penyelesaian sengketa
alternatif menurut UU No.30 tahun 1999 adalah :
a. Arbitrase
arbitrase penyelesaian pertentangan
oleh pihak ketiga yang dipilah oleh kedua belah pihak. Pengertian arbitrase
termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif
penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.”
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30
tahun 1999 disebutkan bahwa:[4]
”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum makalahadedidiikirawandan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak
dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase
hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha,
arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut makalahadedidiikirawanakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut makalahadedidiikirawanakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri,
final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)
sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
1) Pengaturan Mengenai Arbitrase
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya
arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
a)
Klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa (Factum de
compromitendo); atau
b)
Suatu
perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa
(Akta Kompromis).
Sebelum undang-undang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai
arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain
itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang
makalahadedidiikirawanPokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di
luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase)
tetapdiperbolehkan.
2) Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa makalahadedidiikirawansebenarnya sudah lama dikenal meskipun
jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
dipakainya Reglement op de
Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Buiten Govesten
(RBg), karena semula Arbitrase ini diatur
dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de
rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku
lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang
Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan
arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui arbitrase tetapmakalahadedidiikirawan diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
dari Pengadilan.
3) Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa
yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yangmakalahadedidiikirawan menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang
perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal,
industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase
memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketamakalahadedidiikirawan yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
4) Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase
sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi).
Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk
untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan
berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase
Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu
lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan
aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh makalahadedidiikirawanbadan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di
Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase
sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul
dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase
BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai
keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational
Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan
atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan
prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui
arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua
BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau
tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu
sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa
bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
5) Keunggulan
dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan
melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca
beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan
pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
a)
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
b)
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administratif dapat dihindari ;
c)
para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman,
memiliki makalahadedidiikirawanlatar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil ;
d) para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
penyelesaian masalahnya ;
e)
para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan
arbitrase ;
f)
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para
pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase
seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari
praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya
upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi
putusan arbitrase nasional maupun makalahadedidiikirawaninternasional sudah cukup jelas.
6) Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan
a) Hubungan
Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki
ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase.
Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal
ini menunjukkan bahwa lembaga makalahadedidiikirawanarbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap
para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam
penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai
penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada
kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional
maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu
makalahadedidiikirawanpendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi
arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
b)
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
(1) Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam
Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan
putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya,
putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan
negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik
putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke makalahadedidiikirawanpanitera pengadilan
negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan
mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan makalahadedidiikirawanarbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan ,
Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat makalahadedidiikirawanmenolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu
tidak ada upaya hukum apapun.
(2) Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di
indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah
Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa
Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New
makalahadedidiikirawanYork ditandatangani UN Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1
tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa
diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.
c)
Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah
Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya
Lembaga
Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan
negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak makalahadedidiikirawandan tidak ikut campur
tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited
court involvement.
Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang
menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya.
Seperti dalam kasus berikut :
Kasus I:
Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust
International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan
tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan
menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan
makalahadedidiikirawanMayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST
juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT
bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban
umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut
masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan
PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.
Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana
pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan
makalahadedidiikirawantidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian
arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan
memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam
jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer.
Kasus II:
Kasus II:
Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676, Arrest “Artis
de Laboureur”(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)
Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah
mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu
penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan
oleh Komisi Undang-Undang Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena
menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari
Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa
sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh
Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan makalahadedidiikirawan melimpahkan kewenangan
tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak
membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka
Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka
tergugat membantah makalahadedidiikirawandengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk
mengadili perkaraini.
Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Pengadilan ‘s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan :
Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa
perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi
harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu
penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar
pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad
baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang makalahadedidiikirawansantunan ganti – rugi sampai
sejumlah uang tertentu.
Pihak Asuransi naik banding Hof Amsterdam dalam
keputusannya telah mempertimbangkan :Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan
Polis, para pihak sepakat untuk
menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi
Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan
tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang makalahadedidiikirawandikeluarkan oleh pihak
yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah
membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui
kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum
atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian
itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana
pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan makalahadedidiikirawanmana menurut pendapat Hof,
karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan
Hakim.
Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah
mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad
baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan
Dewan sebagai benar, :………“ bahwa menurut
pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.)
…….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan
dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang
mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan “
atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan
oleh Hakim dan karenanya makalahadedidiikirawanmembatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan
Kuda Jantan naik kasasi.
Catatan :
Catatan :
Pengadilan
menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan
keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan
kasasi ini ternyata adalah, apakahmakalahadedidiikirawan maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338
ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai
dengan patokan, subyektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atau
obyektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan
Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan
Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan
kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini
dipakai ukuran itikad baik yang obyektif. Dalam Arrest Artist de Labourer ini
pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok
perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah
mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan
makalahadedidiikirawandan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik
objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad
baik yang objektif lah yang dipakai.
Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus
didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang
abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya
melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan
perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus
dilaksanakan dengan menafsirkannya makalahadedidiikirawanagar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan,
sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, ” suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan dan undang-undang”. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik
subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, makalahadedidiikirawanyaitu apakah yang
bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad
baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap
tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.
Kasus III:
Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh
karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN
Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan
kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan
dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu
arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud
ketertiban umum makalahadedidiikirawanoleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di
pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa
dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999,
dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.
Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak
permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi
dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak
mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban
umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan
eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan
arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan
kriteria sederhana sebagai berikut :
(1) putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang
diatur dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untukmakalahadedidiikirawan mendaftarkan
putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak dilaksanakan ;
(2) putusan
arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturan perundang-undangan
negara tersebut mewajibkannya; atau
(3) jika salah satu
pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengar argumentasinya sebelum putusan
arbitrase dijatuhkan.
Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta
Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum
yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan
karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya
saja seperti dalam arrest Artist de Labourer.
Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki
klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara
yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke
pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan makalahadedidiikirawanmelawan hukum, sehingga pihak yang
dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan
hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik.
b.Konsiliasi
Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
Penyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakanmakalahadedidiikirawan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di anatar mereka.
c. Negoisasi
Negoisasi merupakan komunikasi dua
arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak
memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negoisasi merupakan
sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, yangmakalahadedidiikirawan tidak berwenang
mengambil keputusan mediasi maupun pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase
dan litigasi).[5]
1) Teknik Negoisasi
Secara umum terdapat beberapa cara
teknik negoisasi yang dikenal dapat dibagi kedalam:[6]
a)
tahap negoisasi kompetitip
b)
tahap negoisasi koperatif
c)
tahap negoisasi lunak dan keras
d) tahap
negoisasi interest based
a) Teknik Negoisasi Kompetitif
Teknik negoisasi kompetitif
diistilahkan sebagai negoisasi bersifat alot, yang menjadi unsur-unsur
negoisator kompetitif adalah sebagai berikut:[7]
1)
mengajukan permintaan awal yang tinggi di awal negoisasi.
2)
Menjaga tuntutan agar tetap tinggi sepanjang proses
negoisasi dilangsungkan
3)
Secara psikologis, perunding menggunakan teknik ini
menganggap perunding lain sebagai musuh atau lawan.
4)
Menggunakan cara yang berlebihan dan melemparkan
tuduhan-tuduhan dengan tujuan menciptakan ketegangan dan tekanan terhadap pihak
lawan
Penggunaan negoisator tidak memiliki
data-data yang baikmakalahadedidiikirawan dan akurat pada dirinya.
b) Teknik Negoisasi Kooperatif
Teknik negoisasi kooperatif sebagai
kebalikan dari teknik kompetitif yang menganggap pihak negoisator lawan bukan
sebagai musuh, tapi sebagai mitra kerja. Para pihak berkomunikasi satu sama
lain untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama, kerja sama hal yang
dituju oleh seorang negoisator penyelesaian sengketa makalahadedidiikirawanyang adil berdasarkan
analisis yang objektif, dan atas fakta hukum yang jelas.[8]
c) Teknik Negoisasi lunak dan keras
Teknik negoisasi lunak menempatkan
akan pentingnya hubungan baik antar para pihak. Teknik ini menekankan pada
corak negoisasi mengandung risiko lahirnya kesepakatan yang bersifat semu serta
menghasilkan pola menang kalah. Penggunaan teknik ini menang kalah perunding
lunak menghadapi seseorang yang menggunakan teknik keras. Perunding keras dalam
menghadapi perunding-perunding lunak sangat bersifat dominan. Perunding keras
disatu pihak akan berusaha memberikanmakalahadedidiikirawan konsensi dan menggunakan ancaman. Di
pihak lain, perunding lunak akan memberikan konsesi untuk sekedar mencegah
konfrontasi,dan bersikeras untuk mencapai kesepakatan. Apabila keadaan
demikian, proses negoisasi akan menguntungkan pihak perunding yang bersifat
keras serta menghasilkan kesepakatan yang berpola menang-kalah.[9]
Soft (Lunak)
|
Hard (Keras)
|
·
Negoisator adalah teman
·
Tujuan perundingan adalah kesepakatan
·
Memberi konsesi untuk menjaga hubungan baik
·
Mempercayai perunding lawan
·
Mudah mengubah posisi
·
Mengemukakan tawaran
·
Mengalah untuk mencapai kesepakataan
·
Mencari satu jawaban: Suatu yang dapat diterima
secara menyenangkan oleh pihak lawan
·
Bersikeras terhadap perlunya kesepakatan
·
Mencegah untuk berlomba kehendak
·
Menerima untuk ditekan
|
·
Negoisator dipandang sebagai musuh/lawan
·
Tujuan untuk kemenangan
·
Menuntut konsesi sebagai prasyarat dari pembinaan
hubungan
·
Keras terhadap orang maupun masalah
·
Tidak percaya perunding lawan memperkuat posisi
·
Membuat ancaman
·
Menutut perolehan sepihak sebagai harga
·
Mencari satu jawaban: suatu harus diterima perunding
lawan
·
Birsekeras terhadap posisi
·
Sedapat mungkin memenangkan kenginan
·
Menerapkan tekanan
|
d)
Teknik
negoisasi Interest based
Sebagai tanggapan atas kategori
keras-lunak, Harvard Project
mengembangkan teknik yang disebut interest
based negotitaion atau principled negoatiation. Teknik ini
merupakan jalan tengah yang ditawarkan atas pertentangan teknik keras lunak.
Teknik ini dipilih karena pemilihan salah satu dari teknik keras berpotensi
menemui kebuntutan (deadlock) dalam
negoisasi, terlebih apabila perunding keras akan bertemu dengan sesama
perunding yang juga bersifat keras sedangkan perunding lunak berpotensi
sebaagai pecundang (loser). Potensi
risiko lain adalah kesepakatan yang dicapai (bila ada) bersifat semu, sehingga
sangat mungkin salah satu pihak dikemudian makalahadedidiikirawanhari menyadari akan ketidakwajaaran
dalam proses negoisasi dan tidak mau melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati.[10]
Teknik negoisasi interest based memiliki empat komponen
dasar yaitu orang, kepentingan, solusi, kriteria objek, yang diuraikan sebagai
berikut:[11]
(1) komponen
orang, dibagi: (a) pisahkan antara oraang dengan masalah (b) konsentrasi
serangan pada masalah bukan orangnya ; (c) para pihak harus menempatkan diri sebagai
mitra kerja.
(2) Komponen
kepentingan memfokuskan pada kepentingan mempertahankan posisi
(3) Komponen
opsi bermaksud: (a) memperbesar bagian sebelum dibagi dengan memperbanyak
pilihan-pilihan kesepakatan/solusimakalahadedidiikirawan yang mencerminkan kepentingan bersama ;(b)
jangan terpaku pada satu jawaban (c) hindari pola pikir bahwa pemecahan problem
mereka adalah urusan mereka.
(4) Komponen
kriteria: (a) menyepakati kriteria, standar objektif indpenden bagi pemacahan
masalah (b) bernilai pasar (market value)
(c) standar profesi (d) bersandar pada hukum, (e) kebiasaan dalam masyarakat.
2) Tahap-tahap dalam Proses Negoisasi
Howard Raiffa dalam pengamatannya,
membagi tahap-tahap negoisasi menjadi:[12]
a)
tahap persiapan
b)
tahap tawaran awal
c)
tahap pemberian konsesi
d) tahap akhir
permainan
a) tahap
Persiapan
Dalam mempersiapkan perundingan hal pertama
dipersiapkan adalah apa yang kita butuhkan/inginkan. Dengan kata lain, kenali
dulu kepentingan kita sebelum mengenali kepentingan orang lain. Tahap ini
sering diistilahkan know yourself. Hal
kedua adalah know your advirsaries dan
perlu memperkirakan tetang kepentingan danmakalahadedidiikirawan kebutuhan alternatif mereka/orang
lain. Selanjutnya adalah merencanakan hal yang berkaitan dengan negoisasi
seperti halnya setrategi tentang seberapa terbukanya informasi yang harus dapat
kita berikan, seberapa jauh mempercayai perunding lawan. Tahapan perrsiapan
harus menentukan hal-hal yanng bersifat logistik seperti siapa yang hharus
bertindak sebagai perunding.
b) Tahap
Tawaran Awal
Tahap ini,
biasanya seorang perunding mempersiapkan strategi tentang hal-hal yang
berrkaitan dengan terlebih dahulu mmenyiapkan tawaran. Apabila kita
menyampaikan tawaran awal, dan perunding lawan tidak siap, terdapat kemungkinan
tawaran pembuka untuk kedua belah pihak
yangmakalahadedidiikirawan dapat mempengaruhi persepsi dari perunding lawan
Tahap ini disarankan agar mengunci diri dan merasa
buntu terhadap tawaran perunding lawan yang sifatnya eksterm. Strategi yang
baik bila terdapat tawaran eksterm adalah menghentikan negoisasi sampai mereka
memodifikasi tawaran atau segera melakukankontra tawaran dengan mengajukan
tawaran yang dimiliki. Apabila dua tawaran yang dimajukan perundingan biasanya
midmakalahadedidiikirawan point (titik diantara dua tawaranan) merupakan solusi atau kesepakatan
perundingan.
c) Tahap Pemberian Konsensi
Seberapa besar konsensi yang harus dikemukakan
tergantung pada konteks negoisasi dan tergantung konsesi yang diberikan dari
perundingan lawan. Tahap ini seorang perunding harus dengan tepat melakukan
kalkulasi tentang agresivitas serta manipulatif setiap tindakan dan bersikap.
Agresivitas akan sangat tergantung dari makalahadedidiikirawan berbagai faktor seperti menjaga
hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap kebutuhan lawan, kejujuran.
Yang lebih penting, bagaimana negosiator memainkan peran konsesi dan menjaga
agar penawaran sampai pada tingkat yang diinginkan.
e)
Tahap akhir
penyelesaian
Tahap akhir ini
meliputi pembuatan komitmen atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan
sebelumnya.
3)Prasyarat negoisasi yang efektif
Negoisasi dapat berlangsung secara efektif dan
mencapai kesepakatan yang bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi
yang mempengaruhinya diantaranya sebagai berikut:[13]
a)
Pihak-pihak
bersedia secara sukarela bernegoisasi makalahadedidiikirawansecara sukarela berdasarkan kesadaran
penuh
b)
Pihak-pihak siap
melakukan negoisasi
c)
Mempunyai
wewenang mengambil keputusan
d)
Memiiliki
kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling
ketergantungan.
e)
Mempunyai kemuan
menyelsaikan masalah
4)Berbagai kendala utama negoisasi dalam pemecahan
masalah bersama
Wiliam Ury dan Roger Fisher mengedepankan pling tidak
lima kendala utama, menuju kerja sama yang sering dihadapi para perunding,
serta cara mengatasinya, sebagimakalahadedidiikirawan berikut:[14]
a)
Reaksi para
pihak
Apabila keadaan salah satu pihak tertekan, secara
manusiawi terdapat kecenderungan berreaksi emosional/membalas serangan. Siklus
aksi-reaksi ini cenderung para pihak tidak mendapatkan apa-apa. Untuk mencegah
siklus aksi-reaksi ini, memiliki kekuatan untuk mematahkan siklus tersebut
setiap waktu dengan kekuatan diri sendiri. Tidak melakukan reaksi dapat
dilakukan dengan cara yang diformulasikan dengan metafor go to the balcony- untuk sikap mental terhadap pemisahan antara
diri sendiri dengan emosi, go to the
balcony menyarankan, bila terdapat siklusmakalahadedidiikirawan aksi reaksi maka harus
seolah-olah atau membayangkan keluar dari panggung negoisasi yang ada
dibawahnya. Diatas balkon kita secara jernih dapat mengevaluasi sengketa
seperti halnya pihak ketiga netral.
b)
Emosi Mereka
Kendala ini terletak pada pihak lawan, yaitu emosi yaitu bersifat negatif.
Dibalik sikap mereka yang tidak koperatif dan sikap bertahan pada posisi dapat
dilatarbelakangi oleh sikap marah, takut dan curiga, dan seringkali untuk
mendengar kita saja mereka menolak. Prinsip mereka ini didasarkan pada asumsi
bahwamakalahadedidiikirawan dunia hrus dilihat konteksnya “memakan atau dimakan”, sehingga mereka
merasa perlu menggunakan taktik yang tidak bersahabat.
Sebelum melakukan negoisasi, perlu menciptakan atmosfir yang bersahabat.
Kita butuh menetralisir kemarahan, khekawatiran, kecurigaan serta ketidak
percayaan dari pihak lawan dengan cara bertindaak sebaliknya. Dengan kata lain
jangan makalahadedidiikirawanmelakukan “kontra serangan”. Dengarkan mereka pahami dan formulasikan
kembali poin-poin yang mereka kemukakan singkatnya, cara mengatasi emosi mereka
adalah dengan cara jangan berrargumentasi dan dilakukan taktik step to their side.
c)
Posisi mereka
Apabila pihak lawan bersikukuh pada posisinya, seringkali tergoda untuk
serta merta menolak posisi mereka. Akan tetapi sikap demikian dapat
mengakibatkan pihak lawan lebih dalam lagi mempertahankan posisinya. Jalan
keluarnya, pahami apa yang mereka kemukakan dan atasi persoalan dengan
cara menjebak terhadap apa yang telah
dikemukakan oleh mereka dengan cara makalahadedidiikirawanmengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat pemecahan masalah, seperti mengapa anda menginginkan atau bertahan
pada posisi tersebut, atau apa yang kalian lakukan apabila kalian dalam posisi
seperrti saya
d) Ketidakpuasan mereka
Tujuan dari kepentingan dengan model pemecahan masalah bersama tidak hanya
bertujuan mencapai kesepakatan, akan tetapi kesepakatan yang memenuhi kepuasan
bersama. Akan tetapi sering kali pihak lawan tidak tertarik terhadap
kesepakatan ini. Pihak lawan seringkali melihat kemanfaatan dari kesepakatan tersebut,
dan gagasan kesepakatan dari kita sering kali ditolak pihak lawan, karena smakalahadedidiikirawanemata-mata
gagasannya bukan berasal dari mereka.
Apabila pihak lawan belum yakin akan kemanfaatan dari kesepaktan, jangan
paksakan dan bertahan pada argumen kita. Paksaan akan mengakibatkan tingkat
resistensi mereka semakin tinggi. Perlakukan diri kita sebagai penengah yang
memudahkan mereka berkata ya. Libatkan mereka dalam proses dan inkorporasikan
gagasan mereka dengan gagasan kita. Terdapat dua hal penting untuk mengatasi
ketidakpuasan mereka :
(1) Identifikasi dan penuhi kepentingan dan kebutuhan
mereka, terutama kebutuhan dasar mereka sebagai manusia. Kebutuhan dasar
manusia tercermin dalam teori segitiga kepuasan yang terdiri dari kebutuhan
substantif, psikologis, dan prosedural)
(2) Bantu selamatkan muka pihak lawan dan ciptakan hasil
yang juga dapat mencerminkan keberhasilanmakalahadedidiikirawan dan kemenangan mereka strategi ini
disebut dengan alternatif terhadap upaya memaksa lawan untuk sampai pada
ksepakatan.
e)
Kekuatan mereka
Sering kali pihak lawan melihat negoisasi sebagai suatu proses yang
bertujuan menciptakan win lose,
sehingga mereka berkepentingan mengalahkan kita. Seringkali perundingan
demikian berprinsip what’s mine is minemakalahadedidiikirawan
what’s your negotiable. Dengan kata lain, perunding keras semacam itu
berprinsip apabila mereka bisa mendapatkan yang diinginkan dengan power plays.
Apabila pihak lawan bertahan dan berpikir bahwa tanpa negoisasipun ia dapat
menang, sebaiknya mendidik mereka. Caranya adalah dengan meyakinkan mereka
bahwa (costs) yang dipikul mereka
apabila tidak tercapai kesepaktan adalah lebih besar, makalahadedidiikirawandibandingkan apabila para
pihak berhasil mencapai kesepakatan.
Perbandingan Teknik
Negoisasi Lunak-Keras-Interest Based
Soft (lunak)
|
Hard (Keras)
|
Interest Based
|
Perunding adalah teman
|
Perunding dipandang sebagai musuh
|
Perunding adalah pemecah masalah
|
Tujuan kesepaktan
|
Tujuan semata mencapai kemenangan
|
Tujuan untuk mencapai hasil bijaksana
|
Memberi konsesi untuk membina hubungan
|
Menutut konsesi sebagai prasyarat
|
Pisahkan orang dengan masalah
|
Percaya pada perunding lawan
|
Tidak terpercaya
|
Kepercayaan dibangun berdasarkan situasi dan kondisi
|
Mudah untuk merubah posisi
|
Memperkuat posisi
|
Fokus pada kepentingan
|
Mengemukakan tawaran
|
Membuat ancaman
|
Menelusuri kepentingan
|
Mengalah untuk kesepakatan
|
Perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan
|
Hasil sedapat mungkin diterima para pihak
|
Mencari satu jawaban sesuatu yang menyenangkan lawan
|
Mencari satu jawaban suatu harus diterima perunding
lawan
|
Mengembangkan pilihan dahulu, sebelum memutuskan
|
Bersikeras atas perlunya kesepakatan
|
Bersikeras atas posisi
|
Bersikukuh pada kriteria objektif
|
Mencegah
|
Memenangkan perlombaan
|
Mencapai kesepakatan/ atau keinginan bersama
|
Menerima untuk ditekan
|
Menerapkan tekanan
|
Argumentasi dan alasan terhadap lawan
|
d. Lembaga Mediasi
1) Dasar Hukum
Keberadaan Lembaga Mediasi
Penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan tanggal 11 September 2003. Latar belakang diterbitkannya peraturan
Mahkamah Agung ini dijelaskan dalam pertimbangan (konsiderans) pada butir b
bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikanmakalahadedidiikirawan akses kepada para pihak yang
bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas
sengketa yang dihadapi. Jauh sebelum diterbitkannya peraturan Mahkamah Agung
telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan Lembaga damai. Namun, surat Edaran
tersebut oleh Mahkamah Agung dianggap belum lengkap sehingga perlu
disempurnakan.[15]
2) Beberapa Pengertian Istilah dalam Lembaga Mediasi
a) Mediasi
hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 sebagai
berikut:[16]
“Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu mediator.”
b) Mediator
hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 5:[17]
“mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa”.
c) Para pihak
hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7:[18]
“para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang
bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk
memperoleh penyelesaian.”
3) Sengketa Perdata di Pengadilan Diawali dengan
proses Mediasi
Pasal 2 Ayat 1 disebutkan:
“Semua perkara perdata
yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu
diselsaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.”
Selanjutnya, dalam Pasal 8 disebutkan:
“Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja kerja
setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan foto
kopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan,
dan hal-hal yang terkait dengan sengketa makalahadedidiikirawankepada mediator dan para pihak.
Pasal 11 dijelaskan:
(1)jika mediasi menghasilkan kesepaktan, para pihak dengan bantuan mediator
wajib merumuskan secara tertulis kesepaktan yang dicapai dan ditandatangani
oleh para pihak.
(2)Kesepakatan wajib makalahadedidiikirawanmemuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara
telah selesai.
(3)Sebelum para pihak menandatangani kesepaktan, mediator wajib memeriksa
materi kesepaktan yang bertentangan dengan hukum.
(4)Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya ksepakatan.
(5)Hakim dapat mengukuhkan kesepaktan sebagai suatu akta perdamaian.
4) Peran dan Fungsi Mediator
Raifa melihat peran mediator sebagai sebuah garis
rentang, yakni dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat.
Sisi makalahadedidiikirawanperan terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan perannya, yakni:[19]
a)
penyeleanggara
pertemuan
b)
pemimpin diskusi
netral
c)
pemilihara atau
penjaga atau perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab
d) pengendali emosi para pihak
e)
pendorong
pihak/perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya.
Sisi peran yang kuat oleh mediator bila dalam
perundingan mengerjakan/melakukan hal-hal diantaranya:[20]
a)
mempersiapkan
dan membuat notulen perundingan
b)
merumuskan titik
temu/kesepakatan para pihak;
c)
membantu para
pihak agar menyadari, bahwa sengketa bukan makalahadedidiikirawansebuah pertarungan untuk
dimenangkan, tapi diselsaikan.
d) Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah
e)
Membantu para
pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
Fuller dalam (Riskin dan Westbrook) menyebutkan 7 fungsi mediator yakni
sebagai catalyst, educator, translator,
resource person, bearer of bad news, agent of reality, dan scapegoat[21]
a)
sebagai
“katalisator” mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses
perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
b)
Sebagai
“pendidik” berarti seseorang berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja,
keterbatasan politis kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu ia harus
berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
c)
Sebagai
“penerjemah” berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan
pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik didengar oleh pihak lainnya,makalahadedidiikirawan tanpa
mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
d) Sebagai “narasumber”,berarti seorang mediator harus
mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
e)
Sebagai
penyandang “berita jelek”. Berarti seorang mediator harus menyadari, bahwa para
pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional, maka mediator harus
mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak makalahadedidiikirawanuntuk menampung berbagai
usulan.
f)
Sebagai “agen
realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara terang
kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal untuk
dicapai melalui perundingan.
g)
Sebagai “kambing
hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan
hasil perunddingan.
5) Tipologi
Mediator
Moore membedakan mediaator ke dalam tiga tipologi,
yakni:[22]
a)
Social network mediators
b) Authoritative
mediators
c) Independent
mediators
a) Social
network mediators
Tipologi pertama ini menjalankan peran sebagai mediator dalam sebuah
sengketa atas dasar adanya hubungan sosial antara mediator dengan para pihak.
Misalnya, bila terjadi sengketa antar rekan sekerja, teman usaha, juga mediator
berasal dari tokoh makalahadedidiikirawanagama termasuk dalam tipologi ini.[23]
b)
Authoritative mediators
Tipologi kedua diperuntukan untuk mereka-mereka yang berusaha membantu
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara
mereka, tetapi mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat, sehingga mereka
memiliki potensial atau makalahadedidiikirawankapasitas untuk mempengaruhi hasiil akhir dari sebuah
proses mediasi.[24]
Akan tetapi, mediator authoritative ini
selama ia menjalankan perannya tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya
itu, karena didasarkan pada keyakinan atau pandangan bahwa pemecahan yang
terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku pihak
yang berpengaruh, tetapi makalahadedidiikirawanharus dihasilkan oleh upaya pihak-pihak yang
bersengketa sendiri.[25]
Authoritative mediator ini dapat
dibagi dalam tiga tipe, yakni:[26]
(1) Benovalent
mediators
(2) Administrative
managerial mediator, dan
(3) Vested
interest mediators
Tipe benovalent mediators
mempunyai ciri, yaitu:[27]
(1) Dapat memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan
para pihak
(2) Mencari penyelesaian yang baik bagi pihak
(3) Tidak berpihak dalam hal substantif; dan
(4) Mungkin memiliki sumber daya untuk membantu pemantauan
dan implementasi kesepaktan
Tipe Administrative managerial
mediator mempunyai ciri, yaitu:[28]
(1) Memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak sebelum
dan sesudah sengketa berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar