BAB III
Efektivitas Hukum dalam studi konsep dan Analisis Lembaga Keuangan
terhadap Pembangunan Ekonomi di Indonesia
A.
Pengaruh Hukum dalam Pembangunan
Kalangan Masyarakat termasuk lapisan
pengusaha industri semestinya menyadari, bahwa masyarakat.[41]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan atau
sarana pembangunan adalah didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti
kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau
sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
dikhendaki oleh pembangunan.[42]
Hukum dilihat dalam kaitannya
dengan kerangka dasar pembangunan nasional menurut Abdurahman, menapakannya
dirinya dalam dua wajah. Disatu pihak hukum memperlihatkan diri sebagai suatu
objek pembangunan nasional. Arti hukum itu dilihat sebagai suatu sektor
pembangunan yang perlu mendapat prioritas dalam usaha penegakan, pengembangan
dan pembinaannya, sedangkan dilain pihak hukum itu harus dipandang sebagi suatu
alat (tool) dan sarana penunjang yang
akan menentukan usaha-usaha pembangunan nasional.[43]
Menurut pandangan ahli hukum,
bahwa dalam suasana pembangunan tersebut hukum berfungsi bukan hanya sekedar “as a tool sociial control” dalam arti sebagai alat yang hanya berfungsi
untuk mempertahankan stabilitas,[44]
tetapi juga sabagai alat pembaharuan masayarakat (as a tool of social engineering).[45]
Ahli hukum lain seperti Sunaryati
Hartono berpandangan bahwa hukum merupakan salah satu “Prasarana mental” untuk
memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara tertib dan teratur tanpa
menghilangkan martabat kemanusiaan anggota-anggota masyarakat. Hukum ini
berfungsi untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat (merupakan bagian dari
pada social education kearah suatu
sikap mental yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita-citakan.[46]
Huubungan antara hukum dan
pembangunan yang secara teoritis terus mendapat perhatian para ahli itu,
mengilhami Michel Hager mengintodusir konsep Development Law atau Hukum
Pembangunan, Konsep Development Law
ini menurut Michael Hager adalah:[47]
Suatu sistem hukum yang
sensitif terhadap pembangunan yang
meliputi keseluruhan hukum subtansif, lembaga-lembaga hukum berikut
keterampilan para sarjana hukum sacara aktif mendukung proses pembangunan.
Konsepsi Development Law meliputi
tindakan dan kegiatan yang memperkuat infarsturktur hukum seperti
lembaga-lembaga hukum, profesi-profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum
dan lainnya, serta segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian
problema-problema khusus pembangunan
Hukum dalam fungsinya sebagai
sarana pembangunan menurut Michel Hager dapat mengabdi dalam tiga sektor yaitu:[48]
1.
Hukum sebagai alat penertib (ordering). Rangka penertiban hukum dapat
menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan
sengketa yang mungkin timbul melaluui suatu hhukum acara yang baik. Ia pun
dapat meletakan dasar hukum (legitimacy)
bagi penggunaan kekuasaan.
2.
Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing). Fungsi hukum dapat menjaga
keseimbangan dan keharmonisan an tara kepentingan perorangan
3.
Hukum sebagai katalisator. Sebagai katalisatoor.
Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan terjadinya proses
perubahan melalui pembaharuan hukum (law
refrom) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi huukum.
Konsep Depelovment Law tersebut adalah selaras pula dengan orientasi baru
mengenai konsep tentang hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rustend, bahwa
hukum merupakan legal machinery in
action, yaitu sebagai suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti keppolisian,
kejaksaan, pengadilan, para advokat dan keadaan diri pribadi penegak hukum,
juga fakultas-fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum.[49]
Merujuk pandangan ahli hukum
dalam uraian di atas, Hukum Pembangunan setidaknya menggambarkan bahwa hukum
berperan sebagai alat penertib (ordening),
penjaga keseimbangan (balancing)
dan katalisator (law refrom) dalam
aktivitas pembangunan nasional.
Hukum menampilkan jati dirinya
dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang mengatur
berbagai bidang kehidupan, seperti persaingan sehat antara pelaku ekonomi,
perlindungan keselamatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup dan lainnya.
B.
Konsep-Konsep
Hukum terhadap Ekonomi
Analisis ekonomi terhadap hukum
pada awalnya merupakan hasil karya para ilmuwan hukum dengan menggunakan
pendekatan ekonomi yang bertolak dari keyakinan bahwa masalah manusia adalah
bagaimana memilih yang terbaik dari berbagai pilihan yang ada.jawaban atas
pertanyaan ini sebenarnya merupakan salah satu isu utama dari apa yang
dipelajari dalam ilmu ekonomi. Secara umum analisis ekonomi terhadap hukum
bekerja dengan menggunakan metode ilmu ekonomi sebagai kerangka teoritis guna
menganalisis aturan dan hukum yang digunakan dalam masyarakat tertentu.
Pemanfaatan metode ilmu ekonomi memungkinkan para pengagas analisis ekonomi
terhadap hukum untuk menarik kesimpulan tentang keinginan manusia dan segala
konsekuensi dari segi hukum dan pengaturannya.
Analisis ekonomi terhadap hukum
dibangun atas dasar beberapa konsep dalam ilmu ekonomi, antara lain :[50]
1. Pemanfaatan
secara maksimal (utility maximization)
2. Rasiional
(rationality)
3. Stabilitas
pilihan dan biaya peluang (the stability
of preferences and opportunity cost).
Atas dasar tersebut, analisis
ekonomi terhadap hukum membangun asumsi baru, yakni manusia secara rasional
akan berusaha mencapai kepuasan maksimum bagi dirinya. Dasar penalarannya
adalah bahwa dalam setiap aspek hidupnya, manusia harus membuat keputusan
tertentu karena sifat manusia yang memiliki kenginan tanpa batas sementara
berbagai sumber daya yang ada sangat terbatas ketersediaannya terhadap
kebutuhan manusia. Jika terhadap satu pilihan ia dapat memperoleh keinginannya
melebiihi pilihan lain maka ia akan menjatuhkan pilihan terbaik efisien bagi
dirinya dan konsisten denngan pilihannya itu. Masalah bagaimana membuat pilihan
untuk mewujudkan efisiensi dalam penggunaan berbagai sumber daya guna mencapai
kepuasan maksimum, pada dasarnya merupakan titik berat (focus) analisis mikro ekonomi.[51]
Selama ini kelemahan pemikiran
aliran utilitariannisme adalah
ketidakmampuannya untuk menentukan apa keinginan seseorang dengan tepat. Sementara
itu, pemikiran analisis ekonomi terhadap hukum menemukan jawabannya, yaitu
keinginan sesorang terhadap sesuatu ditentukan dengan melihat beberapa besar
keseediannya dapat terpuaskan. Ukurannya dapat dalam bentuk uang atau
penggunaan sumber daya lain yang dimilikinya, seperti kesediaannya untuk
bekerja (labour). Singkatnya,
analisis ekonomi terhadap hukum menyimpulkan bahwa segala sesuatu dapat
direduksi dalam ungkapan singkat, berapa yang harus dibayar untuk memperoleh
sesuatu atau tidak memperoleh sesuatu atau tidak memperoleh sesuatu.
Konsep tentang pilihan dan
rasionalitas mengakibatkan seseorang harus mengeluarkan biaya atas peluang (oportunity cost), yaitu biaya yang
terjadi karena meninggalkan satu pilihan untuk mengupayakan pilihan lain yang
lebih baik. Jika utilitarianisme menitikberatkan pada unsur kebahagiaan
terbesar (gratest happines), maka
analisis ekonomi terhadap hukum melihatnya dari segi efisiensi atas pilihan
terhadap aturan hukumnya. Pendekatan dari segi efisiensi dalam memandang hukum
itu adalah dalam usaha meminimalkan biaya sosial (social cost) terhadap suatu aktivitas tertentu. Dalam hubungan
dengan kelalaian misalnya tujuan hukum adalah untuk mencegah untuk mencegah
kecelakaan sebagai suatu peristiwa yang tidak ekonomis sehingga diberlakukannya
pertanggungjawaban seseorang terhadap akibat kecelakaan itu justru diadakan
untuk mencegah kecenderungan berbuat ceroboh.[52]
Perekonomian negara-negara Barat
yang berlandaskan prinsip-prinsip pasar bebas bertujuan untuk memaksimumkan
perolehan kekayaan melalui efisiensi ekonomi. Ini direfleksikan oleh sistem
hukum (common law) yang mendukung
prinsip pasar bebas sebagaimanana yang dikhendaki oleh masyarakatnya. Menurut
Posner, common law menyediakan banyak
sarana untuk memaksimumkan perolehan kekayaan, diantaranya adalah mengakui
adanya hak-hak kepemilikan. Ini tentu melewati suatu proses pertukaran. Common law juaga memberi perlindungan terhadap hak milik
melalui perangkat hukum pidana dan hukum perdata, sedangkan hukum kontrak (contrac law) dibuat untuk melindungi
berlangsungnya proses pertukaran yang memuaskan para pihak terkait. Semua itu
mendukung sistem ekonomi kapitalis (capitalist
economy) yang dipengaruhi oleh falsafah laizes
faire. Dengan demikian, peran ganda yang diharapkan datang dari analisis
ekonomi terhadap hukum, yakni pertama, untuk mereduksi hukum dalam formal
ekonomi dan kedua bersikap kritis terhadap hakim yang gagal memaksimumkan
kekayaan pihak yang berkepentingan secaara utuh. [53]
C.
Analisis
Hukum Terhadap Ekonomi
Perdebatan tentang apakah hukum
sebenarnya memiliki kepedulian untuk ikut mengedepankan pertimbangan efisiensi
ekonoomi dalam suatu keputusan hukum telah lama diperbincangkan. Banyak
pendapat yang menyatakkan bahwa pertimbangan efisiensi ekonomi telah
melatarbelakangi berbagai keputusan hukum dalam common law system dengan mengacu kasus-kasus penting (land mark
decisions). Munculnya aliran pemikiran di Amerika Serikat (American realisme) yang bertumpu pada
pengamatan terhadap apa yang diputuskkan hakim di pengadilan antara lain menjelaskan bahwa banyak faktor
non hukum (non legal factor) seperti
ilmu ekonomi[54] yang
ikut memengaruhi pertimbangan para hakim dalam memutuskan perkara.
Tegasnya dalam versi realisme
Amerika harus ada banyak faktor non hukum yang mempengaruhi hukum itu. Akan
tetapi, ada pendekatan baru yang dilakukan terhadap hukum dengan
menitikberatkan pada satu faktor non hukum saja, yaitu melalui pendekatan
ekonomi terhadap hukum dengan kata-kata, it
is true that anthropolgists, sociologists,
psychologisc,political sicientist and other social scientist besides economist
also do positive analyis of the legal system but their work is thus far is
sufficiently rich in theoretocal and empircal content to affrod serious
competition to the economist....these fields have produced neither systematic,
empirical research on legal system, nor plausible, coherent and empirically
verifiable. (adalah benar bahwa para ahli antropologi, ilmu kemasyarakatan,
psikolog, ilmu politik, dan para ahli ilmu sosial lainnya (selain para ahli
hukum ekonomi) juga melakukan analisis positif terhadap sistem hukum. Akan
tetapi, pekerjaan mereka jauh dari memadai dari segi kandungan teoritis dan
empiris, untuk mampu menyayangi ahli ekonomi ... bidang-bidang ini tidak mampu
menghasilkan penelitian yang sistematis dan empiris yang patut dibanggakan,
koheren, serta dapat diverifikasi secara empiris).[55]
Pendapat Posner tersebut
tampaknya merupakan puncak dari apa yang diutarakan oleh para ilmuwan hukum
sebelum dia, antara lain Brandeis yang mengatakan :A lawyer who has not studied economics....is very apt to become a
public enemy (seseorang pengemban hukum yang tidak mempelajari ilmu ekonomi
... sangat mudah untuk menjadi musuh masyarakat ).[56]
Juga dikatakan oleh Holmes; But the man
of the future is the man of statistics and the master of economics” (manusia
masa depan adalah mereka yang memahami statistik dan menguasai ilmu ekonomi).[57]
Pernyataan-pernyataan ini
bertambah semarak dengan pernyataan Ackerman....
law and economics has the power to construct a new discourse in law (ilmu
hukum dan ilmu hukum ekonomi memiliki kemampuan untuk membangun suatu wacana
baru dibidang hukum).[58]
Tidak mengherankan bila muncul nama-nama besar seperti Ronald Coase, Guido
Calabresi, Mitchell Polinsky. Dan Richard A.Pesoner tampil dengan
argumentasi-argumentasi memikat yang menggunakan pendekatan ekonomi guna
mencari jalan keluar terhadap berbagai isu hukum yang dihadapi masyarakat
modern.
Pengamatan yang lebih khusus
dilakukan oleh Cooter dan Ulen bahkan menegaskan bahwa interaksi antara para
ahli hukum dan ahli ekonomi telah melahirkan kebijakan pengaturan pengaturan
hukum persaingan (antitrust) dan
pengaturan berbagai kebijakan ekonomi negara. Lebih lanjut, keduanya
berpendapat bahwa analisis ekonomi terhadap hukum adalah suatu mata pelajaran
interdisipliner yang bukan saja menarik bagi para peminat hukum dan ekonomi,
tetapi juga bagi para peminat kebijakan publik (public policy).[59]
Akan tetapi, ada juga pendapat berbeda dari Easterbook yang mengatakan bahwa
dunia sarjana ekonomi dimulai dari perdagangan bebas, sementara dunia sarjana
hukum dimulai dari peraturan, dengan demikian dua disiplin ilmu tersebut selalu
melahirkan different prescriptions mengenai
interaksi sosial.[60]
D. Hukum
Perbankan dalam Pembangunan Nasional
Sebagaimana dimaksud bahwa
pembangunan nasional merupakan upya pembangunan berkesinambungan dalam rangka
mewujudkan masyarakat Inndonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional
yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintregasi dengan tantangan
yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian
kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan.[61]
Berkaitan dengan pelaksanaan
pembangunan nasional tersebut dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No.1998
tentang Perbankan ditentukan bahwa “perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak”. Dari ketentuan ini jelas bahwa lembaga perbankan mempunyai
peranan penting dan strategis tidak saja dalam menggerakan roda perekonomian
nasiional, tetapi juga diarahkan agar mampu menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional. Ini berarti bahwa lembaga perbankan haruslah mampu berperan sebagai agent of development dalam upaya mencapai tujuan nasional itu, dan
tidak menjadi beban dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan nasional .[62]
Peranan penting dan setrategis
dari lembaga perbankan yang diuraikan di atas merupakan bukti bahwa lembaga
perbankan adalah salah satu pilar utama bagi pembangunan ekonomi dan sebagai agent of development dalam menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam peranannya yang demikian itu, jelaslah
bahwa lembaga perbankan nasional dituntut dan berkewajiban untuk mewujudkan
tujuan perbankan nasional yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.10 Tahun
1998 tentang Perbankan sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar