Asas,
fungsi dan tujuan perbankan yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Perbankan menyatakan bahwa:
“Perbankan
Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.
Pasal
tersebut merupakan suatu tujuan perbankan dalam melaksanakan kegiatan
operasional perbankan untuk mewujudkan kesejahteraan pembangunan ekonomi di
Indonesia. Tujuan perbankan tersebut tidak akan ada apabila landasan filosofis
dalam perbannkan yakni konsideran tidak mendasari dan merefleksikannya sebagai
metayuridis hubungan-hubungan antara pasal yang satu dengan yang adedidikirawanlainnya saling
mempengaruhi dan melengkapi. Landasan filosofis dalam melakukan hubungan hukun
tersebut yang tercantum dalam salah satu
huruf a konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah:
“Bahwa
pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam
rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945”.
Atas
dasar filosofis pertimbangan tersebut peneliti menggaris bawahi, bahwa
“pembangunan nasional harus diwujudkan secara berkesinambungan dan adil, makmur
berdasarkan Pancasila.....”. Dengan demikian, untuk mewujudkan kesejahteraan
pembangunan ekonomi di Indonesia dalam hubungan kegiatan operasional harus
berlandaskan filosofis pancasila sebagaimana diuraikan dalam adedidikirawansalah satu
konsideran huruf a pembukaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perbankan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perbankan. Landasan
filosofis pancasila tersebut antara lain :
1. “Ketuhanan Yang
Maha Esa;
2. Kemanusiaan Yang
Adil Dan Beradab;
3. Persatuan
Indonesia;
4. Kerakyatan Yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan;
5. Keadilan Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”.
Landasan
filosofis pancasila di atas, dalam praktik hubungan nasabah dan bank pada
kenyataannya tidak sesuai dengan pelaksanaan
kegiatan operasional perbankan. Hal ini dapat di analisis oleh peneliti
melalui kajian nilai-nilai makna yang terkandung filosofis pancasila yang sesuai adedidikirawandengan
konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perbankan, kemudian
dibandingkan dengan praktik perbankan di Indonesia.
Nilai-nilai
makna yang hidup di masyarakat tersebut, harus menciptakan itikad baik kedua belah pihak atau
lebih yang mewujudkan keharmonisan demi tercapainya kesejahteraan menurut
peneliti harus berlandaskan pada etika kebangsaan bangsa Indonesia yakni Pancasila
yang sudah tercantum dalam konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
adedidikirawantentang Perbankan perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang terinci melalui butir
–butir nya akan dijelaskan di bawah ini antara lain:
a. Ketuhanan Yang Maha
Esa
Pertama, pada
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, disingkap
tentang bagaimana hubungan yang harmonis antara ciptaan dengan
Penciptaanya. Beranjak dari situ Pancasila telah memberikan suara kepada jiwa
bangsa Indonesia untuk menghormati hubungan yang harmonis antara pencipta dan
ciptaannya itu. Oleh karena itu, manusia adedidikirawanIndonesia haruslah tahu diri dalam
setiap mengambil keputusan, sikap ataupun tindakan untuk tidak merusak hukum
keharmonisan antara Pencipta dengan segala ciptaannya, dalam artian harus
menjaga hubungan yang harmonis dengan tuhan, manusia lain, negara dan
lingkungan sekitarnya (hewan, hutan, sungai, laut, goa dan segala ciptaannya),
termasuk juga hubungan antara nasabah dengan bank harus ada jaminan dalam klausula perjanjian
untuk melindungi pihak nasabah, apabila bank dinyatakan bermasalah dan atau ada
klausul keseimbangan antara nasabah dengan bank yang sering kali pada praktik,
adanya klausul keberpihakan pada bank untuk menjadi konsumen nasabahnya.
Begitupun dalam pembuatan dan penerapanadedidikirawan hukum perbankan, pihak-pihak yang
memegang jabatan di dunia perbankan maupun nasbah sebagai konsumen bank yang
terlibat hendaknya memandang dalam hati sanubari yang ada di benaknya bahwa saya ini bertuhan. Dengan kedua belah pihak
meyakini manusia Indonesia adalah manusia yang bertuhan, maka dalam setiap
cipta, karsa, rasa senantiasa tidak melupakan Tuhan, sehingga keduanya dapat
menjumpai sinar keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
b. Kemanusiaan Yang
Adil Dan Beradab
Kedua, Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
menunjukan hubungan antara pihak nasabah dengan bank yang adil dan beradab.
Jabatan yang melekat pada profesi seoarang
bekerja di bank adalah tuntutan akan penerapan konsep tanggung jawab
merupakan pembatas dari kewenangannya sebagai penguasa. Tanggung jawab yang
diberikan pada profesi perbankan dijadikan legitimasi dari tindakan/rangkaian
tindakan dari pemerintah terhadap seluruh yang dikuasai (apapun bentuknya).
Tanggung jawab itu, sekaligus juga akan
membimbing para nasabah dalam menggunakan produk perbankan baik dari
segi perjanjian maupun bentuk dan/atau jenis simpanan maupun penyaluran kredit.
Lalu adedidikirawanpara pihak disebut pula
sebagai mahluk paling yang sempurna,
atau setidak-tidaknya lebih sempurna
dari mahluk yang lain. Sebagai para pihak yang sempurna, harus menampakan diri
dalam kesempurnaan itu melalui tindakan maupun kebijakan-kebijakan dan/atau keputusan-keputusannya yang adil dan
beradab. Kemanusiaan yang adil menurut peneliti terletak pada, tidak keberpihakan
pemerintah dalam menangani permasalahan bank (pemagang saham) dengan pihak
nasabah, yang dalam praktiknya lebih mementingkan pihak bank terutama pihak
bank membuat kalusul baku, yang harus ditaati pihak nasabah terhadap
produk-produk perbankan yang menyebabkan risiko konsumen atau nasbah dan
keadilan pun masih belum terwujud. Apabila tidak ada itikad baik bagi pihak
pemerintah dan bank tersebut untuk mengubah klausula perjanjian menjadi
seimbang dan proporsional untuk mewujudkan kesejahteraan bagi negara Indonesia
kepercayaan nasabah pun berkurang dan lembaga perbankan mengalami permasalahan
yang utama. Sementara kemanusiaan yang beradab terletak pada ketidaksamaan (sebagai akibat dari aktualisasi potensi
kebebasan) harus memberikan keuntungan (kemanfaatan) yang sebesar-besarnya bagi
mereka yang tidak beruntung (berada pada lapisan yang lebih bawah dalam suatu stratifikasi sosial). Kedua hal
ini merupakan ukuran dari humanisme. Nilai-nilai yang adedidikirawansedemikian ini merupakan
ajang pergulatan kemanusiaan. Bertolak dari filosofi itu Pancasila mengharapkan
kepada bangsa Indonesia untuk membuat menerpakaan hukum yang memanusiakan
manusia. Begitupun kasus BLBI tahun 1997 Rinciannya adalah 16 Bank Dalam
Likuidasi (BDL), 10 Bank Beku Operasional (BBO), 38 Bank Beku Kegiatan Usaha
(BBKU), 11 Bank Take Over (BTO) dan 5
bank rekap, untuk kemudian disebut program penyehatan perbankan nasional.[1]
Biaya
yang dikeluarkan dalam dalam rangka
menyehatkan perbankan nasional konon mencapai Rp. 650 triliun lebih dalam
bentuk penerbitan obligasi pemerintah, dengan jumlah Rp. 144,5 triliun
diantaranya obligasi dalam rangka BLBI. Dana tersebut menurut Ketua BPK Anwar
Nasution merekomendasikan 80 pejabat dan mantan pejabat BI yang layak diperiksa
terkait penyaluran dana BLBI. Mereka tersebar dalam tugas-tugas penyehatan
individual bank, sehingga satu bank bisa empat, lima, bahkan sepuluh pejabat
maka menurut peneliti merekomendasi, paling tidak ada 100 pejabat dan mantan
pejabat Bank Indonesia Keterlibatan mereka baik artian memproses kebijakan dan
menghasilkan dana BLBI tersebut, hingga tanggung jawab adedidikirawanpelaksana praktis. Ada
satu pejabat yang ikut serta dalam proses pengambilan keputusan hingga
penyaluran di dua hingga lima bank. Ada yang hanya terlibat di satu bank, makin
besar suatu bank yang akan diputuskan untuk menerima BLBI, maka makin besar
jumlah pejabat yang memutuskan dan makin tinggi
jabatannya. Artinya, peran itu tersebar sesuai dengan jabatan dan
tanggung jawab masing-masing pejabat pada
bank yang diawasinya.[2]
Kalau
di level pejabat BI saja yang terlibat dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan
serta menyalurkan dana BLBI melibatkan 100 orang maka dalam hal
penggunaannya di 80 bank maka di dapati
sekurangnya 500-an pejabat bank. Formasi pejabat bank tersebut pada saat
kebijakan pengucuran BLBI disalurkan, ada yang berstatus adedidikirawancekal dan lebih
banyak yang tak dicekal. Status
pencekalan terkait dengan keterlibatannya dan posisi kredit macet masing-masing
bank penerima BLBI. Sekitar 500-an pejabat bank penerima dana BLBI tersebut,
203 pejabat di antaranya pada 1999 dicekal oleh imigrasi. Formasi jabatan
mereka tersebar mulai dari pemilik, komisaris hingga direksi bank. 203 pejabat
bank penerima yang dicekal itu pun kini ada yang masa pencekalannya telah
dicabut seiring selesainya penyelesaian masalah BLBI. Yang paling tidak beradab adalah, diantara
mereka yang dipenjara kini ada yang
sudah keluar dari penjara, ada yang jadi pejabat publik, ada yang jadi anggota
DPR, ada yang menjadi pengamat, bahkan ada yang menjadi menteri. Kini diantara
pejabat BI maupun pejabat bank yang telah lewat masa cekalnya, tetapi ada juga
yang menghilang entah dimana keberadaannya. Bahkan ada pula yang sedang dalam
proses hukum oleh Kejaksaan Agung, namun tak sedikit adedidikirawanyang tidak masuk dalam
kepastian hukum. Proses penyelesaian masalah BLBI yang tak tuntas dan
terpenggal-penggal oleh kepentingan,
membuat pejabat-pejabat tersebut muncul dan tenggelam tanpa ada kejelasan
penyelesaian hukum. Diantara mereka pasti ada yang bersalah dan tetapi ada juga
yang tak berasalah.[3]
Selain itu tindakan yang tidak beradab menurut peneliti adalah salah
satunya kasus bank bermasalah yakni Bank
Century yang mempunyai hak dan
kewajiban oleh pihak pemegang saham pengendali melalui Surat-Surat Berharga,
terhadap pemegang saham pengendali yakni Hesham Al- Warraq dan Rafat Ali Rizvi
atas Bank Century melalui Chinkara
Capital/FGAH menggunakan Surat-surat Berharga untuk memperoleh keuntungan dan
menimbulkan kerugian bagi nasabah Bank Century.
Kerugian Surat-Surat Berharga akibat permainan Rafat dan Hesham versi putusan pengadilan antara lain:
Jenis SSB
|
Sub Jumlah
|
Jumlah USD
|
Rate
|
Jumlah IDR
|
US
Treasury Strip
|
USD 41.000.000
|
|
10.723
|
439.625.000.000
|
|
USD 13.000.000
|
|
10.900
|
141.700.000.000
|
|
|
USD 54.000.000
|
|
|
US Treasury
Strip
|
USD 58.370.000
|
|
10.900
|
636.239.000.000
|
MTN Rabbo
Bank (kerugian penjualan)
|
USD 6.800.000
|
|
10.900
|
74.120.000.000
|
US
Treasury Strip (pencairan jaminan)
|
USD 4.000.000
|
|
10.900
|
43.600.000.000
|
|
|
USD 69.170.000
|
|
|
|
|
|
|
|
AMA
|
USD 163. 480.000
|
|
10.892
|
1.780.605.000.000
|
|
|
USD 163.480.000
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Kerugian
|
|
USD 286.650.000
|
|
3.115.889.000.000
|
Uraian
di atas dapat disimpulkan dari kerugian surat-surat berharga akibat permainan
pihak pengelola saham pengendali menurut versi putusan pengadilan yaitu jumlah
kerugian bentuk mata uang asing sebesar USD 286.650.000 dan kerugian sejumlah
rupiah Rp. 3.115.889.000.000.[4]
Oleh
karena itu, dapat disimpulkan menurut peneliti maka untuk menimalisir risiko
yang terjadi terhadap nasabah dalam menggunakan produk perbankan maka para
pejabat bank maupun pemerintah dalam mengambil kebijakan ataupun keputusan
harus berlandaskan pada kemanusiaan yang adil dan beradab yang telah diuraikan
di atas oleh peneliti.
c.
Persatuan Indonesia
Ketiga, Sila
Persatuan Indonesia, yang telah mengajarkan hukum Bhineka Tunggal Ika dan hukum nasionalisme bagi bangsa Indonesia.
Hukum Bhineka Tunggal Ika telah
mengajarkan untuk mencintai menghargai
orang-orang Indonesia, tidak peduli dari ras mana, etnis mana, suku
mana, agama apa, sama dengan mencintai dirinya sendiri. adedidikirawanKemudian Pancasila
melalui hukum nasionalismenya memerintahkan kepada segenap orang –orang
Indonesia untuk senantiasa berupaya untuk menempatkan bangsa dan negara
Indonesia ini secara adil di kancah Internasional, dalam artian tidak
menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang lemah dan memalukan atau
dijajah/dipermainkan negara lain. Bertolak dari filosofi kedua hukum dalam sila
ketiga ini Pancasila mengharapkan dalam setiap pembuatan ataupun penerapan
hukum hendaknya senantiasa dalam paradigma untuk keutuhan dan kejayaan bangsa
Indonesia. Begitupun dalam kenyataan permasalahan perbankan melalui kebijakan
pemerintah Indonesia dengan program-program penjaminan tersebut ternyata belum
dapat memulihkan kepercayaan masyarakat Internasioanal, terbukti pada masa
kebijakan yang di ambil pemerintah melalui BPPN, dengan adanya embargo
perbankan luar negeri terhadap perbankan Indonesia. Embargo tersebut berupa
tidak adanya bank luar negeri yang bersedia menginformasi L/C adedidikirawanyang dikeluarkan
oleh perbankan Indonesia. Kondisi ini berdamapak pada lengkanya pasokan bahan
masakan, obat-obatan, dan bahan keperluan sehari-hari lainnya yang sangat
vital. Program-program pemerintah tersebut yang tidak diakui bank Indonesia di dunia
Internasional (tidak sesuai sila ke 3
melemahkan kepercayaan perbankan Indonesia ) diantaranya:
1) Pada
tanggal 1 Nopember 1997 Pemerintah Indonesia atas rekomendasi IMF yang
dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) memutuskan
untuk melikuidasi 16 bank yang insolvent (tidak
sehat). Likuidasi 16 bank tersebut juga merupakan permulaan pelaksanaan program
reformasi ekonomi yang dituangkan dalam Momerandum
Of Economic And Financial Policies, yang ditandatangani oleh pemerintah RI
dan IMF pada awal Nopember 1997, namun akibat dari penandatanganan tersebut penarikan dana
secara besar-besaran oleh masyarakat dan pemindahan dana dari bank yang
dianggap kurang sehat ke bank yang sehat oelh masyarakat, sehingga sejumlah bank menghadapi kesulitan
likuiditas yang semakin berat dan terus menghadapi saldo giro negatif ( saldo
debet) di Bank Indonesia.
2) Pada
akhir Desember 1997 Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) melalui surat Nomor
R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 27 Desember 1997, meminta kepadaBank Indonesia
agar mengganti saldo debet bank yang mempunyai harapan sehat dengan Surat
Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Kebijakan ini ditempuh setelah memperoleh
persetujuan presiden agar pada akhir 1997 tidak ada lagi bank yang terpaksa dan
dinyatakan bangkrut. Fasilitas SBPUK ini hanya diberikan satu kali dan
merupakan pengalihan dari Fasdis I Repo Fasdis II dan Saldo Giro Negatif. Namun
fasilitas ini berdampak krisis semakin meluas, yang tercermin dari terulangnya
saldo debet pada beberapa bank.
3) Pada
21 Januari 1998 pemerintah membentuk
Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang diketuai
presiden. Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh pejabat tinggi IMF sebagai
penasihat.
4) Program
terakhir pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan penjaminan untuk memperbaiki kondisi
perbankan beserta memulihkan kepercayaan masyarakat nasional maupun
Internasioanal dengan menerbitkab Keputusan
Presiden Nomor 26 Januari 1998 tentang Penjaminan Pembayaran Kewajiban
Bank Umum dan Keputusan Presiden
Nomor 193 Tahun 1998 Tanggal 13 Nopember
1998 mengenai program Penjaminan BPR. [5]
Namun dengan empat program di atas masyarakat Internasional tidak
mempercayai dan mengakibatkan, embargo yang telah diterangkan sebelumnya di
atas berupa tidak adanya bank luar negeri
yang bersedia mengkonfirmasi L/C yang
dikeluarkan oleh perbankan Indonesia.
Oleh karena itu peniliti berkesimpulan bahwa
pemerintah Indonesia dalam hal ini berpondasi pada paham Pancasila namun
dengan bergabungnya dalam anggota IMF Indonesia harus masuk pada anggota
negara-negara neoliberalisme. Pengertian neoliberalisme adalah paham yang lebih
mengutamakan kebebasan pasar dan
mengurangi peran negara dan mementingkan kesejahteraan individu;[6]
sedangkan Pancasila adalah faham yang lebih mengutamakan peran pengaturan
negara dan mementingkan kesejaahteraan sosial.[7]
Akibat
dari faham tersebut menurut peneliti akan terlihat dalam bentuk negara dan
hukum, yakni menurut faham liberlisme lebih cocok kepada bentuk negara
demokrasi liberal dan hukum bersifat individulaistik, sedangkan faham Pancasila
lebih cocok kepada bentuk negara kesejahteraan
(wafare state) dan hukum yang bersifat sosialis. .
Selanjutnya, setelah kebijakan BPPN tidak
di berlakukan kembali permasalahan perbankan ditangani oleh LPS. Peneliti dalam
hal bertentangan dengan sila ke tiga yang pada intinya tidak sesuai dengan,
Hukum Bhineka Tunggal Ika telah
mengajarkan untuk mencintai menghargai
orang-orang Indonesia. Mengambil
permasalahan Bank Century yang pada awal pembentukannya mengalami
problem. Bentuk Bank Century merupakan adedidikirawangabungan (merger) antar tiga bank, yaitu: Bank CIC,
Bank Danpac, dan Bank Piko. Sebelum merger. Pemegang Saham Pengendali (PSP)
dari ketiga bank tersebut adalah Chinkara Capital yang dimiliki oleh Rafat Ali
Rizvi. Pada tanggal 22 Oktober 2004,
melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) disetujui penggabungan usaha (merger) Bank Pikko, dan
Bank Danpac ke dalam Bank CIC.
Selanjutnya, Bank CIC berubah nama menjadi PT Bank Century, Tbk.
Sebelum merger menjadi Bank Century ketiga bank tersebut
telah memiliki catatan yang bermasalah dalam kegiatan operasional perbankan.
Permasalahan yang terjadi Bank CIC, sempat menjadi ganjalan bagi pihak Chinkara
Capital untuk mengakuisisi Bank Danpac
dan Bank Pikko. Sebab kredibilitas dari pemilik sedang dipermasalahan oleh Bank
Indonesia. [8]
Pada
tanggal 6 Desember 2004, secara resmi BI
memberikan persetujuan merger atas ketiga bank tersebut. Pemberian persetujuan
merger itu dipermudah adedidikirawanberdasarkan catatan Direktorat Pengawasan Bank 1 kepada Deputi
Gubernur Senior dan Deputi Gubernur, pada tanggal 22 Juli 2004. Bentuk
kemudahan tersebut adalah :
1)
Surat-surat Berharga pada Bank CIC
yang semula dinilai macet oleh BI menjadi dinilai lancar, sehingga kewajiban
pemenuhan setoran kekurangan modal oleh Pemegang Saham Pengendali (PSP) menjadi
lebih kecil. Akihrnya CAR-nya
seolah-olah memenuhi persyaratan merger, padahal tidak,
2) hasil
fit and proper test sementara atas pemegang saham dinyatakan tidak lulus,
ditunda penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut.
Uraian
di atas yang terdapat dalam sila ke tiga dengan studi kasus permasalahan
perbanakan antara kebijakan yang pada masa oleh BPPN dan LPS menurut peneliti bertententangan dengan sila
ke tiga yakni BPPN dengan perbedaan paham antara negara Indonesia dengan paham
Pancasila yang menjadi anggota IMF melalui paham neoliberalismenya, oleh karena
menurut peniliti pemerintah tidak menghargai Hukum Bhineka Tunggal Ika telah mengajarkan untuk mencintai
menghargai orang-orang Indonesia. Cara
menyelesaikan masalah ini menurut peneliti perlu adanya harmonisasi hukum,
meskipun Ideologi Pancasila yang seharusnya meresapi semua perundangan di
negeri ini harus di korbankan dan diganti oleh ideologi neoliberal. Melalui
harmonisasi hukum perbankan nasional dengan prinsip di dalam GATS, tata kelola
perbankan hamya menguntungkan hanya menguntungkan negara-negara anggota WTO
lain, negara-negara maju. Akibatnya bagi negara berkembang seperti Indonesia,
keadilan sosial yang berarti kesejahteraan umum yang merupakan cita-cita luhur
dari Pancasila menjadi sesuatu yang jauh
untuk dicapai. Hal ini, lagi-lagi menunjukan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan
dari ideologi, adedidikirawanpersisnya pertaruangan ideologi. Dalam undang-undang perbankan
jelas menunjukan bahwa dalam pertarungan tersebut, ideologi pancasila
dipecudangi oleh ideolgi neoliberal. dan
Pada masa LPS, awal mula pendirian Bank Century
melalui merger maupun akuisisi melalui tiga bank yang memiliki permasalahan
baik dari segi kredibiilitas dan kegiatan operasional, namun penilaian BI tidak
sesuai dengan kenyataan dan transparansi untuk nasabah tentang keadaan
permasalahan awal mula pendirian Bank Century terhadap konsumen yakni nasabah
yang menikmati produk Bank Century oleh
karena itu menurut peneliti harus ada transparansi dan intregritas dalam
menentukan kegiatan oprasional bank kepada nasabah.
d.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan.
Keempat, sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan telah mengatur hubungan hukum
kekuasaan antara segenap rakyat Indonesia
dengan orang-orang Indonesia yang mewakili adedidikirawan(legislatif, eksekutif,
yudikatif) rakyat Indonesia itu memang digunakan untuk menumbuh kembangkan
bangsa Indonesia dan negara Indonesia secara demokratis, sehingga dapat menemui
sinar keadilan yang didambakan oleh hukum. Apabila dihubungkan dengan pengemban
rakyat dalam mengatasi permasalahan perbankan, baik pengemban pada masa
kebijakan yang dilakukan BPPN maupun LPS, masih ada kekurangan dalam soal
kredibilitas kinerja masing-masing pihak . Misalnya permasalahan bank dalam hal
penyaluran dana BLBI yang dilakukan oleh pejabat BI sebagai pengemban suara
rakyat sebesar Rp. 144, 5 triliun yang disalurkan bank sentral ke bank-bank
penerima 16 Bank dalam Likuidasi (BDL),
10 Bank Beku Operasional (BBO), 38 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), 11 Bank Take Over (BTO), Menurut Ketua BPK
Anwar Nasution merekomendasi paling
tidak 80 nama pejabat dan mantan pejabat BI yang layak diperiksa terkait
penyaluranadedidikirawan dana BLBI.[9]
Akan tetapi, menurut peneliti, paling tidak ada 100 pejabat dan mantan pejabat
Bank Indonesia yang terlibat dalam urusan penyaluran dana BLBI. Mereka tersebar
dalam tugas-tugas penyehatan individual
bank, sehingga satu bank bisa melibatkan empat, lima, bahkan sepuluh pejabat
BI. Pada masa LPS peran Bank Indonesia seharusnya membangun karakter sikap dan
tindakan yang berbasis pada objektivitas dan profesionalitas. Para pemangku
wewenang disana seharusnya mendasarkan keputusannya berdasarkan analisis yang
objektif. Tujuannya adedidikirawanagar tidak ada bias
dalam keputusan tersebut, yang potensial
digunakan sebagai keuntungan oleh pihak tertentu. Karena keberadaan BI sendiri
adalah sebagai pemegang kekuasaan keuangann rakyat Indonesia. Sikap serta
mekanisme pengambilan keputusan yang telah di ambil terhadap Bank Century juga berlaku bagi bagi
berbagai institusi moneter dan fiskal yang ada di Indonesia.
Independensi dan objektivitas, dalam pengertian bersih dari kepentingan
politik, pengaruh atau tekanan pihak tertentu, harus benar-benar dikedepankan.
Namun
dalam kasus Bank Century kuta
indikasi bahwa beberapa lembaga moneter dan fiskal tidak mampu menjaga independensinya. Hal ini terlihat
dalam latar belakang permasalahan berikut ini :
1) Bank
Indonesia di indikasikan ada pengaruh atau tekanan dari luar lembaga tersebut yang memaksa diambilnya sebuah
keputusan adedidikirawanatau regulasi tertentu.
Tujuannya demi pencapaian kepentingan pihak tertentu. Efeknya, ada kelompok
masyarakat dalam jumlah yang besar, yang kemudian dirugiakan oleh penerapan
keputusan atau regulasi tersebut. Bahkan konteks yang lebih luas. hal itu
merugiakan negara.
2) Pengambilan
beberapa keputusan kursial dilakukan dengan tidak melibatkan pihak yang
sebenarnya memiliki wewenang terkait soal tersebut. Selain bisa diperdebatkan
legitimasi dari keputusan tersebut, hal ini juga berkaitan dengan
komprehensifitas prespektif yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Kasus Bank Century memperlihatkan
kecenderungan seperti ini. Karenanya, ada kesan saling lempar tanggungjawab
antar beberapa pihak.
3) Pembedahan
kasus Bank Century mempunyai
adanya ketertutupan informasi. Ketertutupan informasi akan berakibat fatal pada
akses dari sebuah keputusan. Sebab transparansi
akan menjadi dasar untuk mempersiapkan langkah antisipatif. Adanya
ketertutupan informasi terhadap pembedahan kasus Bank Century. Hanya pihak-pihak tertentu yang dapat mengaksesnya, untuk
kemudian dijadikan dasar pertimbangan pengambilan keputusan. Konsekuensinya,
ada kemungkinan keputusan tersebut tidak tepat dan memiliki efek negatif.
4) Ketidaktegasan
terhadap berbagai bentuk pelanggaran. Ketidaktegasan dalam menjatuhkan sanksi,
terutama dalam dunia keuangan, merupakan permasalahan terbesar sebuah sistem
keuangan. Sikap toleran terhadap berbagai bentuk pelanggaran yang dilakukan
akan memberikan pengaruh yang berkelanjutan
terhadap masalah yang lainnya. Misalnya dalam kasus Bank Century, terlihat adanya ketidaktegasan ini. Bank Century telah melakuakan pelanggaran
dalam kurun waktu yang cukup lama, namun pihak BI tidak mengambil tindakan
tegas atau memberikan sanksi. Perlahan-lahan, berbagai pelanggaran yang
dilakukan Bank Century tersebut menjadi bola salju yang berekses semakin besar.[10]
Uraian
di atas yang terdapat dalam sila ke empat beserta kondisi kennyataan
permasalahan perbankan pada masa Indonesia masukadedidikirawan anggota IMF peneliti berpendapat, untuk
menimalisir risiko ketidak percayaan masyarakat Indonesia sendiri maupun Internasional terhadap dunia perbankan, maka
harus ada harmonisasi hukum antara ideologi pancasila sebagai pondasi sistem
negara Indonesia dan ideologi neoliberalisme sebagai pondasi sistem
anggota-anggota IMF, meskipun kedudukan Pancasila (Pengaturan Negara) akan
tersingkirkan melalui paham neoliberalisme (Mekanisme Pasar).
Kondisi ini sangat membatasi ruang gerak pemerintah dalam
menjalankan peranannya sebagai agen pembangunan. dan untuk mempertahankan
legitimasi dan stabilitas yang berhasil dicapainya, pemerintah terpaksa
mengkaji kembali kebijakan ekonomi, yang tadinya menjalanakan kebijakan terpusat menjadi mengambil ekonomi baru yang
liberal.
Perubahan
kebijakan ekonomi baru yang liberal diadopsi oleh pemerintah Indonesia, bukan
sesuatu yang sepenuhnya dikehendaki pemerintah Indonesia, bukan sesuatu
sepenuhnya dikehendaki pemerintah, tetapi merupakan tuntutan dari International Monetary Fund (IMF) yang
telah memberi pinjaman kepada Indonesia, yang harus menjalanakan “structural adjusment programme”, sebuah
ptogram yang ditimpakan pada negara penghutang untuk menjalankan tiga hal, Pertama liberalisasi Perdagangan, Kedua Privatisasi, Ketiga deregulasi.[11]
e. Keadilan Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia
Kelima, sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang memiliki cita hukum (rechtsidee) bahwa keadilan yang
dihadirkan oleh hukum Indonesia itu hendaknya dapat diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat Indonesia termasuk anak-anak, perempuan, penyandang cacat,
masyarakat suku terasing, pembela HAM dan para pengungsi. Bila di hubungkan
dengan praktik kegiatan operasional
permasalahan perbanakan, peneliti akan membagi dua adedidikirawanpermasalahan
perbankan yakni, Pertama permasalahan penyaluran dana BLBI yang tidak sesuai dengan
peruntukannya sesuai dengan kebijakan ditetapkan Bank Indonesia yang berakibat ketidakadilan
kerugian negara maupun kerugian nasabah bank yang dinyatakan bermasalah.
Penyimpangan penggunaan jenis ini terjadi pada 23 (dua puluh tiga) bank dengan
total penyimpangan diperkirakan Rp. 10 triliun. Modus penyimpangan ini antara lain:
1) Jaminan
kredit modal kerja tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga kredit
tersebut telah melampui Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau Legal
Lending Limit (3L);
2) Perolehan/penarikan
dana tunai dari giro bank di BI;
3) Pembayaran
Pajak;
4) Pembayaran
kepada pihak ketiaga yang masih
mempunyai kewajiban pada bank;
5) Penjualan
jaminan talangan trade finance;
6) Pengisian
kas kantor pusat dan cabang bank;
7) Pelunasan
kewajiban antar bank;
8) Pembayaran
talangan BI atas hutang bank yang disadari oleh dokumen yang sudah tidak
berlaku lagi;
9) Pemanfaatan
rekening giro nasabah oleh bank untuk menarik dana tunai guna keperluan
operasional bank.[12]
Kedua Permasalahan Bank Century, misalnya tindakan yang diambil
oleh pejabat Bank Indonesia, pejabat Komisi Stabilitas Sektor Keuangan maupun
Pejabat Lembaga Penjamin Simpanan, seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip
keadilan yang tercantum sila ke lima bagi setiap pihak. Tidak boleh ada
perbedaan dalam hal menerapkan prinsip keadilan dan kesetaraan di dalam
memenuhi hak-hak para pemangku kepentingan. Tapi fadedidikirawanaktanya, prinsip ini tidak
diimplementasikan dengan baik. Ada kecenderungan perlakuan yang tidak setara, yaitu melalui
pengistimewaan perlaakuan terhadap perusahaan-perusahaan tertentu untuk
pencapaian kepentinga kelompok tertentu. Akibatnya, yang menjadi pihak yang
dirugikan adalah rakyat secara keseluruhan. Tidak adanya implementasi prinsip
keadilan ini telah berdampak pada hajat
hidup orang banyak.
Misalnya
kasus Bank Century ini, mendapatkan
perlakuan yang sangat istimewa. Perlakuan istimewa tersebut terimplementasikan
dalam dua bentuk, Pertama, pemberian
fasilitas-fasilitas khusus yang seharusnya tidak diberikan karena bank tersebut
tidak memenuhi syarat kualifikasi, Kedua,
terjadinya pembiaran-pembiaran terhadap Bank Century yang sebenarnya sudah melakukan berbagai bentuk
pelanggaran. Idealnya, bank ini sudah dijatuhi sanksi, tapi hal itu tidak
dilakukan.
Kedua
permasalahan perbankan di atas yang
telah di uraikan oleh peneliti, menurut peneliti bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila terutama sila ke adedidikirawanlima sebagai pondasi pemerintah negara
Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat Indonesia. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan kedua
permasalahan perbankan yang berdampak pada risiko berkurangnya kepercayaan
nasabah . Menurut peneliti akan diuraikan di bawah ini:
1) Segi
operasional kegiatan perbankan, setiap perbankan yang dinyatakan bermasalah
harus taat pada pembinaan yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia, tidak
melanggar prosedur tata cara penyelesaian bank bermasalah, misalnya mengenai
jumlah penjaminan uang nasabah oleh Bank Indonesia kepada bank bermasalah tepat pada nasabah
yang bermasalah.
2) Integritas
pejabat-pejabat perbankan dari tingkat pengambilan keputusan dari tingkat pusat
maupun tingakat pelaksanaan di bawah, yang meliputi tidak menyalahgunakan
wewenang untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya;
Menurut Sunaryati Hartono untuk memmperoleh atau menjaga integritas setiap
penegakan keputusan hukum dapat di dilaksanakan melalui :
a) Dimensi
Budaya Hukum
Budaya hukum diartikan
sebagai sikap masyarakat terhadap hukum
dan sistem hukum yang mencakup kepercayaan, nilai, ide, dan harapan-harapan
masyarakat terhadap hukum. Dimensi budaya dimasukan sebagai subsistem dari pembangunan
hukum dengan tujuan sebagai berikut:
· Pembangunan
dan pengembangan budaya hukum diarahkan
untuk membentuk sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para
penyelenggara adedidikirawannegara sesuai dengan nilai norma Pncasila agar budaya hukum lebih
dihayati dalam kehidupan masyarakat sehingga kesadaran, ketaatan, serta
kepatuhan hukum makin meningkat dan hak asasi manusia makin dihormati dan
dijunjung tinggi;
· Kesadaran
untuk makin menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai
pengalaman Pancasila dan UUD 1945 diarahkan pada pencerahan harkat dan martabat
manusia serta untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskn kehidupan
bangsa;
· Pembanguanan
dan pengembangan budaya hukum ditujukan untuk terciptanya ketentraman serta
ketertiban dan tegaknya hukum yang berintikan kejujuran, kebenaran, dan
keadilan untuk mewujudkan kepastian hukumdalam rangka menumbuhkan disiplin
nasional;
· Kesadaran
hukum penyelenggaraan negara dan masyarakat perlu ditingkatkan dan dikembangkan
secara terus-menerus melalui pendidikan, penyuluhan, sosialisasi, keteladanan,
dan penegakan hukum untuk menghormati suatu bangsa yang berbudaya hukum.[13]
b) Dimensi
Cita Hukum Pancasila
· Pengertian
cita hukum sendiri adalah gagasan, karsa, cipta, dan pikiran berkenaan dengan
hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga
unsur, yaitu keadilan, kehasilgunaan, dan kepastian hukum. Dalam dinamika
kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi
sebagai asas umum yang mempedomani, norma kritik (kaidah evaluasi), serta
faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum, dan perilaku hukum). Cita
hukum bangsa Indonesia berakar dalam
Pancasila yang oleh para pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai
landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi
negara sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian
Pancasila sendiri adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan
pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia
dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta, yang berintikan keyakinan
tentang tempat manusia individual di dalam
masyarakat dan alam semesta. Dalam dinamika kehidupan, pandangan yang
dianut akan memberikan koherensi dan diskresi (arah) pada pikiran dan tindakan.
Cita hukum Pancasila yang berakar dalam pandangan adedidikirawanhidup Pancasila dengan
sendirinya akan mencerminkan tujuan bernegara dan nilai-nilai dasar yang
tercantum dalam Pembukaan, Batang Tubuh, serta Penjelasan Undang-Undang Dasar
1945.[14]
3) Pembuatan keputusan peraturan hukum harus
sesuai terhadap bank dinyatakan bermasalah oleh pemerintah maupun Bank
Indonesia dalam adedidikirawanproses penerapan prosedur tata cara penyelesaian bank yang
dinyatakan bermasalah. Menurut Sunaryati Hartono, asas-asas pemebentukan hukum
yang baik adalah :
a) Kejelasan
tujuan
Bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b) Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat
Bahwa setiap jenis
peraturan adedidikirawanperundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang;
c) Kesesuaian
antara jenis dan materi muatan
Bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang
tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan;
d) Dapat
dilaksanakan
Bahwa setiap rencana
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memerhatikan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut di masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis, maupun sosiologis;
e) Kedayagunaan
dan kehasilgunaan
Bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk harus benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan baermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
f) Kejelasan
rumusan
Bahwa peraturan
perundang-undangan yang harus memenuhi persyaratan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
g) Keterbukaan
Bahwa proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan harus transparan dan terbuka.[15]
Dapat
disimpulkan bahwa dalam praktik perbankan yang bertentangan dengan makna
nilai-nilai sila kelima, sebagaimana
diuraikan adedidikirawan di atas yang merupakan sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
dan berikut penyelesaiannya, sebagai sarana
mewujudkan kesejahteraan pembangunan kegiatan perekonomian di Indonesia.
Butir
nilai-nilai pancasila yang telah bertentangan dengan hubungan kegiatan
opersional perbankan dengan nasbah, yang telah peneliti diuraikan di atas
peneliti bermaksud bagi setiap pelaku usaha yang menawarkan produk-produk jasa
perbankan harus mencerminkan makna nilai-nilai pancasila sebagai landasan hukum
dalam melakukan hubungan dengan nasabah agar tercipta kesejahteraan dalam
pembangunan kegiatan ekonomi makalah adedidikirawan di Indonesia sebagaimana tercantum dalam
konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain itu
pengawasan terhadap perbankan juga perlu ditegaskan dalam amanat nilai makna pancasila
yang saling melengkapi agar tercipta kegiatan opersional yang sehat dan dapat
menimalisir risiko perbankan dikemudian hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar