Perbincangan tentang HAM terus berlanjut seiring dengan perkembangannya,
tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia
adalah lahirnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi 11 bab
106 Pasal.[1]
Maka dengan lahirnya undang-undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui
secara konstitusional sehingga pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran
atas konstitusi.[2]
Untuk mendukung terwujudnya kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka
pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM.
Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah politik, namun dalam
praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat
tergantung kepada political will dan political action dari
penyelenggara negara.
Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap
menjadi isu aktual dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah
wacana perkawinan beda agama.[3]
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Untuk memenuhi tuntutan bunyi Pasal tersebut,adedidikirawan maka
bagi umat Islam di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya
disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama
yaitu Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44. Hanya saja materi yang termuat dalam Pasal
tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.
Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa
hal yaitu, pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen
hukum berupa Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara
menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya dalam membentuk sebuah
keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus
diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dalam
undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk
suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas
kehendak yang bebas Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua,
Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam
pembentukan hukum nasional, pemerintah harus adedidikirawanbisa menjamin kepastian hukum
kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang
dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan beda agama. Ketiga,
perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk
Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan
beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan
terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya
membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan
mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka hal
adedidikirawantersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi
persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama “rela”
melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau
salah satu pihak pura-pura pindah agama
1.
Pengertian dan
sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 telah merumuskan bahwa
pengertian perkawinan sebagai sebuah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Pasal 2 ayat (2) perkawinan tersebut dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari rumusan pengertian perkawinan di atas dapat ditarik beberapa poin
pemahaman sebagai berikut :
- Perkawinan itu merupakan sebuah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat lahir dan batin sebagai suami-istri.
- Tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia untuk selama lamanya.
- Perkawinan itu dilaksanakan berdasarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
Poin-poin pemahaman tentang perkawinan ini semakin memperjelas substansi
perkawinan menurut Undang-undang di atas yang membedakannya dari bentuk bentuk perikatan
lain yang pada umumnya hanya bersifat lahiriyah belaka dan bertujuan sesaat
serta tidak adedidikirawanmemiliki nuansa Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Perkawinan
Antaragama Menurut UU Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang perkawinan
antaragama. Dalam rincian syarat-syarat perkawinan yang dinyatakan dalam Pasal
6 dan Pasal 7 dari Undang-undang ini tidak ditemukan syarat persamaan agama di
antara kedua orang yang akan kawin. Yang disyaratkan hanyalah adanya
persetujuan dari kedua calon mempelai, adanya idzin dari kedua orangtua bagi
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan kedua calon mempelai harus
mencapai usia minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Demikian juga dalam adedidikirawanpelarangan dan pencegahan perkawinan Undang-undang ini
tidak menyebut perbedaan agama sebagai faktor penghalang perkawinan. Pasal
8 sampai dengan Pasal 13 dari Undang-undang Perkawinan meyebutkan bahwa yang
menjadi faktor penghalang perkawinan hanyalah hubungan darah dalam garis
keturunan lurus kebawah maupun keatas, hubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, hubungan semenda dan susuan, adanya keterikatan tali perkawinan
dengan orang lain, serta telah terjadinya adedidikirawanperceraian tiga kali di antara
suami istri, sepanjang hukum masing-masing agamanya tidak menentukan lain.
Jadi, Undang-undang Perkawinan tidak mensyaratkan persamaan agama
bagi sahnya sebuah perkawinan. Atau dengan kata lain, Undang-undang ini
tidak memandang perbedaan agama sebagai penghalang perkawinan. Namun
demikian, Pasal 2 ayat (1) dari Undang-undang tersebut menegaskan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, sahnya adedidikirawanperkawinan termasuk perkawinan
antaragama sangat ditentukan oleh hukum masing-masing agama kedua belah pihak
yang akan kawin.
Selanjutnya yang menjadi problematik dalam konteks ini adalah ketika
terjadi perbedaan pandangan hukum tentang perkawinan itu dari masing-masing
agama kedua calon mempelai itu. Sebagai contoh, Kompilasi Hukum Islam, yang
dijadikan rujukan yuridis dalam penyelesaian perkara di lingkungan Peradilan
Agama dan yang hanya berlaku bagi orang adedidikirawanIslam, dalam Pasal 40 menyatakan bahwa
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu:
1. Karena
wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang
wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain.
3. Seorang
wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 44 juga menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Berdasarkan Pasal-Pasal
di atas dapatlah dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam menutup sama sekali
kemungkinan terjadinya perkawinan antaragama antara orang Islam dan orang yang
bukan Islam walaupun Hukum Islam (Fiqh) sendiri tidak demikian pandangannya.
Dalam Hukum Islam terdapat banyak persepsi dari para ahlinya adedidikirawan(fuqaha’) tentang
perkawinan antaragama itu sehingga tidak dapat diambil sebuah keputusan hukum
yang final.
3.
Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Sebelum berlakunya Undang-Undang No.
1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang
mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud adalahadedidikirawan peraturan
yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling
op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran
sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.
Pada Pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran
adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum
yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk
perkawinan antar agama dan antar tempat yakni :
1. Kelompok yang
berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan
antar tempat termasuk di dalam GHR;
2. Kelompok yang
berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan
antar tempat tidak termasuk di dalam GHR;
3. Kelompok yang
berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya
perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar
tempat tidak termasuk di dalam GHR.
Soedargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada Pasal 1
GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat
disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,
golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian
yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut
O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No.
31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara
WNI dan WNA sehingga adedidikirawandi Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran
antar tempat dan antar golongan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan
perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan
yakni
1. Pertama, dengan
mengingat adedidikirawankembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1974, terutama
perdebatan yang berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena
kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan
keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat
perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di
Indonesia.[4]
2. Kedua, ada beberapa Pasal
yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 haruf (f).
Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian
dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak
ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.
Bila Pasal ini
diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang menyerahkan
kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat
pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak,
atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka
disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuanadedidikirawan yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum
agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka
perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum
agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh Pasal 8
huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin”.[5]
3. Ketiga, merujuk
kepada Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan Pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB.
1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat
diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang
bertentangan dengan asas keseimbangan adedidikirawanhukum antara suami istri sebagaimana yang
dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai
perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam Pasal 57
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga
negara Indonesia adedidikirawanyang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan
antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang
ini.
4.
Pengaturan perkawinan
beda agama di Indonesia ditinjau dari perspektif HAM khususnya lewat instrumen
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Hal yang signifikan di dalam memahami
persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal perbedaan agama itu sendiri,
tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak
warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan
antara negara dan warga negara (citizen), bukan soal relasi horisontal
yang menyangkut hubungan di antara adedidikirawanwarga negara yang beragam agama, kepercayaan
dan beragam penafsirannya.[6]
Hal ini penting untuk diperhatikan
karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah
persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan beda agama
adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia
bukan negara agama, maka yang adedidikirawanmenjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun
hukum nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan
diri pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat
pada dasar filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui
keragaman bangsa dan kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan
dan pembuatan suatu hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional.
Dalam konteks nation state, tidak boleh ada satu produk hukum pun
yang sektarian yang hanya menguntungkan kelompok agama tertentu dan adedidikirawanmengabaikan
suara komunitas agama lainnya. Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama
dan sederajat, apa pun latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaannya.
Setiap pertimbangan dan alasan untuk membuat perundang-undangan haruslah
memperhitungkan kesamaan dan kesederajatan warga negara dalam pemenuhan hak-hak
mereka, tanpa membedakan antara satu kelompok warga negara dengan yang lainnya
atas dasaradedidikirawan perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam perspektif HAM, setiap
pembuatan undang-undang harus mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban negara
untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), dan
memenuhi (to fulfill) hak-hak mendasar warga negara.
Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di
Indonesia diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU
ini terdiri dari 14 bab dan 67 Pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi
dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya
dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan
perkawinan beda agama, maka Pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan
ini adalah Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”
dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan Pasal tersebut bahwa “Tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai
dengan Undang-undang Dasar 1945”.
Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia
muncul dalam kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) UU
No. 1 tahun 1974 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun adedidikirawan1975
tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan.
Problem HAM yang muncul adalah:
a. Mengenai Sahnya
Perkawinan.
Dalam Pasal 2
ayat (1) diatas terlihat bahwa sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya
dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki agama yang sama. Kalau
keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat cara yang
lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama,
meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah
pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak
bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua,
perkawinan dilangsungkan menurut adedidikirawanhukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih
dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru
disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya
perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua
(terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga,
kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk
pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah
agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan
hukum dimana salah satu pihak secara adedidikirawanpura-pura beralih agama. Keempat,
yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya
kawin beda agama di Indonesia. Masalahnya, apakah kawin beda agama di luar
negeri sah menurut hukum Indonesia? Jika ingin dipertajam lagi, mengapa warga
negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya
sendiri, tetapi justru ingin mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain?
Bukankah hal tersebut sungguh ironis?
b. Mengenai
pencatatan perkawinan.
Dalam Pasal 2
ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah hanya sebatas melakukan
pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur aspek
administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam Pasal 2
tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi
persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi
dari sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang
menjadi bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.[7] Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah
berdasarkan aturan agama tertentu, tetapi kalau belum dicatatkan pada kantor
pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan Agama/KUA adedidikirawanuntuk yang beragama
Islam ataupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar Islam), maka
perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara. Dalam berbagai kasus, sahnya
suatu perkawinan secara yuridis memang harus dibuktikan melalui buku nikah yang
diperoleh dari KUA dan KCS. Hal ini tentu saja menimbulkan implikasi hukum dan
sosial yang beragam bagi pasangan yang berbeda agama seperti misalnya anak-anak
yang lahir tidak akan dianggap sebagai keturunan yang sah dan suami-istri pun
mengalami kesulitan adedidikirawanmemperoleh hak-hak keperdataan yang timbul dari perkawinan
tersebut. Padahal dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum”.
Problem lain
yang muncul dari sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan adalah bahwa
pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara
sebagaimana yang tertuang dalam UU No 1/PNPS/1965 dimana agama-agama yang
diakui di Indonesia hanya ada lima yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Buddha dan Kong Hu Chuadedidikirawan. Di luar itu hak sipilnya tidak diakui negara sehingga
orang yang di luar enam agama tersebut jika menikah dan ingin diakui negara
maka dia harus membohongi negara dan diri sendiri.[8]
Definisi agama yang dibuat oleh pemerintah ternyata sangat diskriminatif.
Defenisi agama versi pemerintah menyebutkan bahwa agama adalah sistem
kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, memuat ajaran yang jelas,
mempunyai nabi dan kitab suci. Definisi ini berimplikasi negatif karena
menimbulkan diskriminasi terhadap agama-agamaadedidikirawan bumi yang tidak memenuhi syarat
sebagai agama sesuai definisi pemerintah. Selain itu, diskriminasi tersebut
merembet pada diskriminasi terhadap hak sipil. Mereka terancam tidak memiliki
KTP karena komputer pemerintah hanya bisa menuliskan satu dari 5 agama atau
mereka harus memilih pencantuman sebagai salah satu pemeluk agama yang 5 untuk
dapat dibuatkan KTPnya. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah pencatatan
perkawinan yang seringkali ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena bukan
pemeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Perkawinan yang tidak
mendapatkan pengakuan negara akan mendapatkan adedidikirawankesulitan untuk mendapatkan Kartu
Keluarga (KK), akta kelahiran anak, KTP, surat nikah dan hak pendidikan. Ini
artinya keluarga tersebut kehilangan hak sipilnya sebagai warga negara.
Diskriminasi jelas merupakan tindakan yang melanggar HAM. Dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya, dan spek kehidupan lainnya”.
Pertanyaannya,
atas dasar apa negara seakan mempunyai otoritas untuk menentukan diakui atau
tidaknya sebuah agama padahal agama telah lahir dan eksis terlebih dahulu
dibandingkan dengan kelahiran sebuah negara?
Problem-problem
di atas tentu tidak harus terjadi jika saja pemerintah lebih memahami bahwa hak
asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang
bukan merupakan pemberian siapapun juga termasuk adedidikirawannegara, sedangkan hak sipil
adalah hak warga negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara untuk
melindungi, mengakui dan memproteksinya. Hak beragama, berkeyakinan, dan
berkeluarga termasuk dalam rumpun hak sipil. Beragama dan beraliran
kepercayaan adalah hak sipil dalam arti bahwa hak itu sudah ada, tumbuh dan
berkembang dalam lembaga sosial dan keagamaan sebelum lahirnya organisasi
negara. Dasar kebebasan agama dan beragama adalah kodrat atau martabat manusia
itu sendiri. Kodrat atau martabat adalah kenyataan bahwa manusia sebagai
pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak. Akal budi dan kehendak adedidikirawanbebas
tersebut merupakan inti kodrat (martabat) manusia. Berkaitan dengan adanya
kedua hal tersebut dalam diri manusia, maka dikatakan manusia mempunyai
tanggung jawab pribadi dalam bidang apa saja, termasuk dalam tindakan percaya
dan beragama itu sendiri. Tanggung jawab pribadi yang mengandaikan akal budi
dan kehendak bebas itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh siapa-siapa dan
oleh karena itu tidak dapat diambil oleh siapapun.
Berbicara
tentang pilihan terhadap agama, berarti berbicara tentang sesuatu yang paling
asasi pada diri manusia. Dikatakan demikian karena proses manusia dalam
beragama merupakan pengejawantahan kesadaran ilahiyah yang terpatri dalam diri
manusia. Kesadaran ini kemudian memperoleh afirmasi simbolik melalui agama formal
yang disebarkan melalui utusan adedidikirawanTuhan yang jumlahnya tak terbilang. Dari kajian
sejarah agama-agama diperoleh suatu gambaran, banyaknya utusan Tuhan
berpengaruh juga terhadap banyaknya agama yang dipeluk oleh manusia. Maka kalau
kemudian muncul kebijakan yang hanya mengakui keberadaan agama dengan jumlah
yang amat terbatas, maka hal ini merupakan pengingkaran terhadap kemerdekaan
eksistensial manusia untuk melakukan ziarah spiritual yang bisa jadi melintasi
agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Oleh karena
itu, setiap orang mempunyai kewajiban dan hak untuk mencari kebenaran terutama
dalam bidang agama, sesuai dengan tuntutan suara hatinya. Orang harus dapat
menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya dalam suasana bebas tanpa ketakutan
dan tekanan dari pihak manapun dan dalam bentuk apa pun. Dalam suasana itulah,
manusia dapat bertindak secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan
adalah hak asasi manusia dan termasuk dalam martabat manusia. adedidikirawanMerusak kebebasan
seseorang berarti menghina citra martabat orang itu sebagai manusia.
Adapun hak
sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena
hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur,
membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait
dengan nilai-nilai agama dan diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit
dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk adedidikirawanmemilih
pasangan hidup misalnya, haruslah merupakan kebebasan yang harus diakui
keberadaannya oleh pemerintah. Namun kenyataannya, negara tidak membiarkan
begitu saja kebebasan memilih pasangan yang bersamaan jenis atau berbeda agama.
Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang
sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari
kebebasan memilih calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda
agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku,
ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda
agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas adedidikirawankemajemukan
tadi. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum
positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia
membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan
pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna. Oleh
karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran
antar agama, namun pemerintah secara tidakadedidikirawan langsung menolak hak asasi tersebut
melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan
bahwa pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata
hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan.
Oleh karena
itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi
pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut
jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM
terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang. Alasannya
adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum
yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada Pasal
22 ayat (1) bahwa “ Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1)
lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pelarangan kawin
beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan
merupakan tindakan adedidikirawandiskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik,
yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.
Oleh karena
itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti
dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan
kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada Pasal 3 ayat (3) yang
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga
ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab
menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab
negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran,
pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan adedidikirawanuntuk
berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran
terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.
Dari segi
pencatatan perkawinan, setiap warga negara yang memeluk agama apa pun yang
secara universal diakui oleh umat manusia, maka berhak mendapat pelayanan
administrasi dari negara. Tidak bisa dibenarkan Kantor Catatan Sipil menolak
pencatatan perkawinan hanya adedidikirawankarena suatu agama tidak tercatat pada lembaran
negara atau karena masing-masing pasangan yang ingin menikah berbeda agamanya.
Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping
sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan
sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal.
Di samping perkawinan adalah sebagai sebuah peristiwa hukum, perkawinan jugaadedidikirawan
merupakan bagian dari proses sosial yang memerlukan adanya pengakuan secara
sosial. Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan
preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan
dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran
rumah tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan
adanya akte perkawinan.
Pencatatan
perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi
karena berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum”.
5.
Masa Depan Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting
tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari
proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam
lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian bahwa
negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi hukum. Oleh adedidikirawankarena itu,
jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan
ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Soemantri
sebagai berikut:
Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti
bahwa setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak
sewenang-wenang kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga
mempunyai arti adanya keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbanganadedidikirawan antara
kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.[9]
Dari pernyataan diatas terlihat bahwa konstitusi merupakan napas kehidupan
ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia.
Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat
memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh
karena itu, jaminan konstitusi adedidikirawanatas HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan
dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, dalam perspektif HAM, membentuk
keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan
istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan
adedidikirawanmenerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya sebagaimana analisa penulis di
atas, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi
tempat bagi perkawinan beda agama. Akibatnya, banyak warga negara yang
kebetulan “mampu” secara ekonomi menyiasati pembatasan undang-undang tersebut
dengan mencatatkan perkawinannya di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke
Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia
tidak mendapatkan adedidikirawanperlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru
mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain. Untuk yang tidak mungkin ke
luar negeri, ada yang terpaksa “mengalah” dengan jalan pindah agama sejenak
agar peristiwa pernikahannya dicatat oleh Kantor Catatan Sipil atau Kantor
Urusan Agama.
Pertanyaannya kemudian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga hak
seseorang untuk melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan
tidak akan tejadi lagi tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu
yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentangadedidikirawan
perkawinan khususnya Pasal 2 ayat 1. Pembaruan tersebut secara teoritis dilatari dengan alasan :
1. Bahwa
perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak
seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia;
2. Sebagai sebuah
negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di
dasarkan pada asas nasionalitas;
3. Dalam konteks
negara demokrasi, maka beberapa prasyarat yang dibutuhkan antara lain jaminan
membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas political
society, adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan
warga negara dan kehidupan organisasi yang independent, birokrasi yang
mendukung pemerintahan baru yang adedidikirawandemokratis, dan masyarakat ekonomi yang institutionalized;
4. Indonesia
merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut
etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama sehingga setiap kebijakan
yang dilakukan oleh negara haruslah mengakomodir semua warga negaranya tanpa
membedakanadedidikirawan latar belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut
tidak lain agar semua warga negara mendapat sebuah kepastian hukum;
5. Negara
mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil
tanpa diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan
secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, adedidikirawannegara harus memenuhi hak-hak sipil
warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut;
6. Perkawinan
antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia
memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang ada di Indonesia menjamin
kemerdekaan beragama bagi setiap adedidikirawanpenduduknya sehingga tentu saja terbuka
kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada
akhirnya membentuk sebuah keluarga.
Adapun secara praktis, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah berusia lebih
dari 32 tahun, sebuah usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya karena
undang-undang merupakan satu “sistem yang terbuka” yang tidak hanya melihat
kebelakang kepada perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang kedepan
adedidikirawandengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat
yang diaturnya.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar