DESKRIPSI SINGKAT TENTANG KEBERADAAN
ILMU HUKUM, TEORI HUKUUM, DAN FILSAFAT HUKUM
Setiap sarjana hukum, ketika
masih menjadi mahasiswa hukum, untuk kali pertama dalam pembelajaran tentang
hukum, sudah pasti diharuskan menempuh mata kuliah pengantar ilmu hukum (yang
didalamnya dikaji pula teori hukum) dan mata kuliah filsafat hukum ( yang
kadang-kadang dalam pembahasannya direlasitaskan pula dengan teori hukum). Pada
tataran intelektual lebih tinggi atau pada jenjang akademik magister hukum (s2)
atau doktor ilmu hukum s3 kedua varian mata kuliah tadi, yakni teori hukum dan
filsafat hukum tetap masih diberikan. Namun, dalam pembelajaran terhadap kedua
mata kuliah tadi kerap kali tidak di relasitaskan dengan kelimuan hukumnya itu
sendiri, yakni ilmu hukum padahal antara ketiganya itu krbradannya erat
bertemali karena suatu realitas pengetahuan hukum, baru dapat dinilai sebagai
ilmu jika memenuhi syarat-syarat suatu ilmu, jika memenuhi syarat-syarat suatu
ilmu, sehingga menjadilah ia ilmu hukum.
Selanjunya apa yang menjadi
ontologi dari ilmu hukukm ini, pembelajarannya tidak dapat dilepaskan dari 3
sisi yang mengintari ontologi dimaksud :
Pertama, adalah sisi normatifvitas hukum, dipelajari oleh hukum
normatif
Kedua, adalah sisi teoritis dipelajari teori hukum
Ketiga, sisi empirikal dari hukum dipelajari oleh oleh ilmu hukum
empirik
Pembelajaran pada sisipertama,
menggunakan metode normatif pengetahuan hukum itu menjadi ilmu hukum yang
mempelajari kaidah atau norma (rectswissen-schft) pada sisi kedua (teori hukum)
ilmu hukum sebagai pengetahuan teoritikal, dilingkupi oleh 4 lapisan utama
yakni:
1. Dogmatik
hukum
2. Teori
hukum (dalam arti sempit)
3. Filsafat
hukum
4. Logika
hukum
Yang masing-masing bisa memberi
dukungan pada pengembanan hukum pratikal (maupun teoritikal) serta memiliki
metoda-metoda tersendiri. Sedangkan pada posisi ketiga (ilmu hukum empirik )
pembelajarannya menggunakan metode-metode:
1. antropologikal
2. sosiologikal
3. historikal
4. komparatif
5. psikologikal
sehingga menjadilah (pengetahuan
hukum ) itu ilmu pengetahuan hukum tentang kesunyatan hukum (tatsachenwissenchft) yang melahirkan
cabang-cabang ilmu hukum empirik tersendiri yakni antropologi hukum, sosiologi
hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, dan psikologi hukum
II. MENGKAJI ILMU HUKUM DARI
OPTIK KEILMUAN
A. KONSTRUKSI
ILMU
Mengkaji ilmu hukum dari optik
keilmuan, sebenarnya sudah berada diluar bidang ilmu hukum itu sendiri. Kajian
mengenai hal ini sebenarnya menjadi tugas disiplin ilmu lain, yakni filsafat
ilmu. Filsafat ilmu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal
mengelaborasi sudut ksudut keilmuan dari ilmu hukum itu sendiri. Dengan
menggunakan telaah filsafat ilmu ini lah akan diketahui apakah ilmu hukum itu
sesungguhnya merupakan suautu ilmu ? menurut Lasiyo untuk menjawab pertanyaan
tersebut tidak sekedar membuat pernyataan, tetapi harus dikaji dan dianalisis
berdasarkan landasan pijak yang kuat dan jelas dari aspek keilmuan (Lasiyo
dalam titik triwulan rurik at all (2007:3)) jika di jawabnya ilmu hukum itu
adalah benar suatu ilmu muncul lagi pertannyaan-pertanyaan ikutannya yakni
termasuk cabang ilmu apakah ilmu hukum itu, apakah karakteristik ilmu hukum
sama dengan karakteristik-karakteristik ilmu lainnya apakah metode yang
digunakan oleh ilmu hukum sama dengan metode-metode kajian ilmu-ilmu lainnya,
apakah manfaat kegunaan ilmu hukum hukum itu bagi kehidupan umat manusia,
itulah pertanyaan-partanyaan radikal yang perlu diekplorasi dan kemudiann di
analisis secara kritis dari optik filsafat ilmu.
Dilakukannya telaah demikian ini
adalah sangat wajar dalam dunia ilmu pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan
tertentu yang oleh para ahlinya telah diproklamasikan sebagai suatu ilmu
pengetahuan akan dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya, karena telah
memenuhi syarat-syarat suatu ilmu. Selain itu tujuannya adalah supaya jangan
timbul kecurigaan atau keraguan para ahli atau ilmuwan lain terhadap suatu ilmu
pengetahuan tertentu yang dinilainnya bukan sebagai suatu ilmu pengetahuan.
Tujuan ini sengaja diketengahkan sehubungan dengan adanya keraguan dari ilmuan
lain, termasuk dari ilmu hukum itu sendiri yang juga menyangsikan ilmu hukum
sebagai ilmu. Para ilmuan itu menilai , bahwa ilmu hukum sesungguhnya bukan
merupakan suatu ilmu. Sesungguhnya keraguan demikian muncul adalah sebagai
akibat ketidakpahamnnya terhadap karakteristik yang khas yng dimiliki ileh ilmu
hukum yakni normatif praktis dan presfektif (philipus MH Hajon dan Tatiek
Djamiati 2005:1) mengingat karakterisyiknya yang demikian inilah kemudian para
ahli ilmu sosial diragukan bahwa ilmu hukum bukan merupakan ilmu emperikal atau
bukan ilmu pengetahuan yang bersifat a posteriori. Demikian pula penilaian dari
para ahli ilmu alam, dinilai bahwa ilmu hukum bukan merupakan ilmu nonemperikal
atau bukan ilmu pengetahuan yang bersifat a priori
Kembali pada persolan semula
apakah ilmu hukum ilmu menjawab persoalan tersebut mau tidak mau kkita hrus
menggunakan kontruksi ilmu ilmu secara sederhana dapat dirumuskan sebagai suatu
sekumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang merupakan satu
kesatuan yang tersusun secara sistematis, serta memberikan penjelasan yang
dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukan sebab-sebabnya. (W.Poespoprodjo
2006: 14). Dengan demikian, sesungguhnya ilmu sangat terkait erat dengan suatu
pengetahuan tertentu, dan jika suatu pengetahuan tertentu telah memenuhi syarat
keilmuan, maka disebutlah ia ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan itu adalah
suatu pengetahuan yang mempunyai ciri tanda dan syarat tertentu yaitu:
sistematik, rasional, empiris umum dan kumulatif (bersusun timbun) serta ilmu
pengetahuan itu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten
mengnai hal-hal yang distudinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkuan pemikiran
dan pengindraan manusia (endang saiffudi ashari 1987;49)
Terminologi ilmu sebenarnya
mengandung makna ganda sebagai produk dan sebagai proses sebagai produk ilmu
adalah pengetahuan yang sudah terkaji dan teruji kebenarannya mengenai
pengetahuan yang suadah tersusun secara sistemik. Berkaitan dengan konteks ini
B. Arief Sidahrta (2000;104) dengan menyetujjui pendapat Win van Dooren
mengatakan bahwa ilmu adalah :
Suatu pengetahuanyang sah secara
intersubyektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau
lebih titik tolak dan ditata secara sistematis
Sedangkan sebagai proses istilah
ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan
dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig) atau sistematis dengan
menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk
mengamati gejala-gejala yang relevan (gegevens) pada bidang tersebut, yang
hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh
orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang
dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan
berkaitan dengan makna ilmu demikian arief sidharta dengan menistasi pendapat
CA. Van Pursen mengatakan ilmu adalah:
Sebuah kebijakan sebuah setrategi untuk
memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan yang dijalankan
orang terhadap (yang berkenaan) dengan kenyataannya (arief sidharta 2000;104)
Dimaksud strategi dalam
pengertian ilmu di atas adalah merujuk pada cara kerja metodis sistematis
dengan bersarankan seperangkat lamabng dalam pengelolaan dan penjelasan
gejala-gejala tersebut kedalam sebuah sistem
Secara ilmiah suatu pengetahuan
barru dapat disebut sebagai suatu ilmu jika memenuhi seperangkat kriteria
demikian dikemukakan oleh Harolad Berman kriteria dimaksud adalah:
1. Kriteria metodologikal, dalam
peristilahan metodologi ilmu dalam arti modern adalah seperangkat pengetahuan
yang terintegrasi yang lahir dalam konteks dedukto hipotiko verifikatif
2. Kriteria
nilai yaitu substansi yang mengacu pada premis-premis nilai obyektifitas bebas
pamrih (disinterestedness). Skeptis toleransi dan keterbukaan
3. Kriteria
sosiologikal yang meliputi pembentukan komunitas ilmuwan penautan berbagai
disiplin ilmiah dan status sosial
Dengan demikian keberadaan ilmu
merujuk pada intelektual yang memiliki struktur yang unsur-unsurnya meliputi:
1. Peranggapan
sebagai guiding principles
2. Bangunan
sistematis yakni metode dan substansi (konsep dan teori )
3. Keberlakuan
intersubyektif
4. Tanggung
jawab etis
(Disitasi B. Arief Sidharta 2000:
104)
B. KLASIFIKASI
ILMU
Banyak metode yang
mengklasifikasi ilmu-ilmu ke dalam beberapa kelompok dan sekelompok bergantung
pada aspek (patokan kriteria) yang digunakan dalam uraian ini konstelasi
ilmu-ilmu dilihat dari sudut substansinya dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu
ilmu formal dan ilmu empiris (ilmu positif)
Ilmu formal merujuk pada ilmu yang tidak tertumpu
pada gejala-gejala faktual sebagai obyek kajiannya. Jadi ilmu ini tidak
bersifat emperikal tau merupakan disiplin ilmu non empirikal (pengetahuan a
priori ) obyek kajiannya bertumpu pada struktur murni yang analisis aturan
operasional dan struktur logika misalnya: logika dan matamatika serta teori
sistem. Namun demikian ilmu-ilmu formal dapat digunakan sebgai sarana untuk
membantu menganalisis permasalahan yang terdapat didalam ilmu empirik.
Contohnya statistik yang pada dasarnya bertumpu pada matematika, merupakan
sarana yang paling banyak digunakan untuk keperluan analisis ilmu-ilmu empirik.
Pusat perhatian ilmu-ilmu formsl adalah sistem penalaran dan perhitungan.
Mengingat perhatiannya lebih
kepada sistem penalaran dan perhitungan maka pendekatan yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran dalam ilmu-ilmu formal (nonempirikal) adalah dengan cara
formal pula yakni, memerlukan pembuktian (verifikasi) secara rasional dan konstensional. Kebenaran demikian itu
disebut dengan kebenaran koherensi yaitu suatu pernyataan dinilai benar jika
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
Ini berarti langkah-langkah
penalaran merupakan ukuran kebenaran atas pengetahuan yang dihasilkan (hal ini
berbeda dengan ilmu-ilmu empirik yang lebih mengetumakan kebenaran materiil,
maka metodologi yang digunakan pun dapat saja berbeda antara satu penelitian
dengan penilitian lainnya.
Sedangkan ilmu empirikal merujuk
pada pengetahuan faktual tentang kenyataan yang bersifat faktual (pengetahuan a
posteriori) oleh karena itu ilmu ini bersumber dari empiri pengalaman dan
eksperimental. Kata empirik (emperical) berasal dari bahasa yunani yang berarti
meraba-raba atau a posteriori (dari kata latin post yang berarti sesudah) jadi
ilmu empirik mementingkan pengamatan dan penelitian
Ilmu empirik disebut juga ilmu
positif yang terdiri atas ilmu-ilmu alam ( naturwissenchaft) dan ilmu-ilmu
manusia(giestes wissenchften) kegiatan dari ilmu-ilmu ini merupakan kegiatan
manusia sebagai subyek. Hubungan antara subyek dan obyek yang diteliti
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pemilahan ilmu-ilmu alam dengan
ilmu-ilmu kemanusiaan.
Subyek yang melakukan
penyelidikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah manusia sebagai sasaran obyek
penyelidikan adalah juga manusia (tidak sekedar fisik melainkan kompleksitas
keseluruhannya) sedangkan obyek ilmu-ilmu alam adalah manusia sebagai realitas fisik
dari alam semesta sejauh realitas tersebut dapat diobservasi secara inderawi
kebenaran pengetahuannya dapat divalidasi melalui rangkaian eksperimen yang
terukur
Sehubungan dengan kklasifikasi
ilmu diatas jika dikaitiakn dengan ilmu hukum maka ilmu hukum okhususnya ilmu
ilmu hukum normatif tidak dapat digolongkan kedalam dua klasifikasi ilmu
diatas, karena ilmuhukum merupakan ilmu sui generis dan karakteristik
keilmuannya bersifat normatif, ilmu hukum normatif termasuk dalam klasifikasi ilmu
normatif . kebenaran pengetahuan ilmu hukum normatif ini memerlukan pembuktian
(verifikasi) secara pragmatikal kebenaran pragmatikal adalah sesuatu pernyataan
dinilai benra jika materi pengatuhan yang
terkandung dalam pengatahuan itu oleh komunitas ilmuwannya disepakati
fungsional dalam kehidupan praktis dan atau berguna untuk mengatur kehidupan
masyarakat
Namun menyangkut ilmu hukum yang
berkaitan dengan sisi empiris yang oleh soerjono soekanto disebut denngan ilmu
tentang kesunyataan hukum (tatscahenwissenschft) dalam klasifikasi ilmu di atas
termasuk ke dalam ilmu empirik, karena merujuk pada pengetahuan faktual tentang
kenyataan hukum yang bersifat faktual (pengetahuan a posteriori) seperti
sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan
sejarah hukum ilmu-ilmu tersebut yang ileh Gustav Radbruch disebut sebagai
ilmu-ilmu hukum merupakan (geistes wissenchften) ilmu-ilmu manusia karena kegiatan dari ilmu-ilmu ini lebih
menekankan pada kegiatan manusia sebagai subyek. Ilmu-ilmu hukum tersebut
bersifat teoritis empiris sehingga metode pengungkapannya terikat pada metode
indulktif logis
Ilmu formal dan ilmu empirik
merupakan genus dari kelompok ilmu teoritik, yaitu ilmu yang ditujukan untuk
memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan menembah pengetahuan. Adapun
sebagai vis a vis ilmu teoritik adalah ilmu praktis (praktis) yaitu ilmu yang
mempelajari aktivitas-aktivitas peberapan itu sebndiri sebagai obyeknya ilmu
ini bertujuan untuk mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap
permasalahan konkrit, ilmu praktik dapat dibagi kedalam 2 kelompok besar yaitu:
ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis
Ilmu praktis normologis berusaha
menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (
menautkan tenggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi
kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit namun dalam kenyataannya apa
yang seharusnya terjadi tidak niscaya dengan sendirinya terjadi. Sedangkan ilmu
praktis normologis berusaha memperoleh pengetahuan empiris yaitu pengetahuan
tentang hubunyang ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asas kausalitas
deterministik ilmu ini disebut juga ilmu normatif atau dogmatik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar