HUKUM HAM DAN HUMANITER
SENGKETA BERSENJATA DAN PEMBERLAKUAN HUMANITER
Penyelsaian sengketa bersenjata dan pemberlakuan humaniter oleh badan
peradilan Internasional berdasarkan yuridiksi universal
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Hak-hak
asasi manusia yang sudah diakui secara universal idealnya haruslah dihormati
dan dilindungi oleh semua pihak, baik negara, organisasi internasional antar
pemerinntah (internal governmental organisations) maupun non pemerintah (non
governmental organisations),orang-perorangan baik secara individual ataupun
kolektif. Hanya dengan penghormatan dan perlindungan yang optimal maka hak-hak
asasi manusia benar-benar dapat ditegakan dalam kehidupan nyata masyarakat baik
nasional maupun internasional.[1]
Akan
tetapi hal yang ideal itu tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyaata
masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas
hak asasi manusia dalammakalah adedidikirawan segala bentuk dan macamnya, dari tingkatan yang
paling ringan hingga yang paling berat, hampir selalu terjadi dimuka bumi ini.
Meskipun secara kuantitatif mungkin peristiwa pelanggaran-pelanggaran itu hanya
sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan pristiwa penghormatan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia, artinya masih lebih banyak yang menghormati
dan melindungi hak-hak asasi manusia dibandiingkan dengan yang
melanggarnya,namun peristiwa pelanggaran hukum pada umumnya, pelanggaran hak
asasi manusia pada khususnya, selalu menimbulkan rasa khawatir bahkan rasa cemas di kaangan masyarakat.[2]
IDENTIFIASI MASAALAH
Adapun identifikasi masalah yang akan disajikan penulis dalam karya tulis ini adalah sebagai
berikut :
1.bagaiman
syarat-syarat yang dilakukan bagi para
pihak bersengketa bersenjata dan pemberlakuan humaniter oleh badan peradilan
Internasional berdasarkan yuridiksi universal
2.
bagaimana prosedur pelaksanaan penyelsaian sengketa bersenjata dan pemberlakuan
humaniter oleh badan peradilan Internasional berdasarkan yuridiksi universal
PEMBAHASAN
A.
Kejahatan Perang
1.
Arti Kejahatan Perang
Menurut salah satu definisi kejahatan perang adalah tindakan-tindakan
bermusuhan dan tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh orang-orang
militer atau sipil yang jika pelakunya tertangkap oleh pihak musuh dapat
dihukum. Tindakan-tindakan ini meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengn huukum internasional dan dilaksanakan dengan melanggaar hukum nasional di
negara si pelaku sendiri seperti, membunuh, merampok demi keuntungan atau
makalah adedidikirawanuuntuk memuaskan nafsu pribadi dan perbuatan-perbuatan pidana yang bertentangan
dengan hukum perang yang dilakukan atas
perintah dan demi kepentingan negara musuh.[3]
2. Jenis-jenis kejahatan perang
Ada 4 jenis perbuatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang,
yaitu:
a) Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perang yang
berlaku (diakui) yang dilakukan oleh anggota anngkatan bersenjata
b) Permusuhan bersenjata yang dilakukan individu yang bukan merupakan
anggota pasukan musuh
c) Spionase dan pengkhianatan perang
a. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan perang
Yang di maksud dengan pelanggaran ketentuan perang yang diakui antara
lain adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut:
·
Menggunakan senjaata beracun atau
senjata-senjata lain yang dilarang
·
Membunuh atau melukai
serdadu-serdadu yang tak bedanya akibat penyakit atau luka, atau yang telah
melletakan senjata dan menyerah
·
Memperlakukan tawanan perang
dengan sewenang-wenang
·
Membunuh ataumakalah adedidikirawan menyerang penduduk
sipil musuh yang tak bersenjata
·
Memperlakukan secaara hina zenazah
di medan perang
·
Memiliki dan merusak barang-barang
musium, rumah sakit, gereja , sekolah dan badan-badan serupa.
·
Penyerangan, peengepungan dan
pemboman terhadap kota terbuuka yang tak dipertahankan. Pemboman atas kota-kota
dengan maksud hanya untuk membunuh penduduk sipil
·
Pemboman atas monumen-monumen
sejarah
·
Pelanggaran-pelanggaran lain terhadap
ketentuan kkonvensi Den Haag (Hague Convention) dan konvensi jenewa (Geneva
Convention)
b. Permusuhan Bersenjata orang-orang Sipil
Orang-orang sipil yang mengangkat senjata dan melakukkan permusuhan
terhadap pihak musuh tidak akan memiliki hak-hak yang diberikan kepadamakalah adedidikirawan anggota
angkatan bersenjata. Sesuai dengan Huukum Kebiasaan Internasional, pihak musuh
dapat memperlaakukan orang-orang in sebgai penjahat perang. Akan tetapi mereka
tidak lagi berstatus penduduk sipil jika mereka menorganisasikan diri
sedemikian rupa yang menurut konvensi Den Haag, memberikan kepada mereka status
sebagai pasukan reguler.
Misalnya pada bulan Januari 1944 kelompok-kelompok perlawanan perancis
dinyatakan sebagai pasukan kombatan yang di kepalai dan diperinttah langsung
oleh seorangmakalah adedidikirawan perwira tinggi militer perancis. Mereka diakuui oleh komando
tertinggi pasukan sekutu sebagai bagian integral dari pasukan tersebut.
c. Spionase dan Pengkhianatan Perang
Peperangan tidak dapat dilakukan tanpa diperolehnya segala macam
informasi tentang kekuatan dan maksud-maksud pihak lawan, dan tentang
karakteristik negara yang berbeda dalam daerah operasi militer. Untuk
mendapatkan informasi ini, makamakalah adedidikirawan pihak-pihak selalu menganggap sah penggunaan
tenaga mata-mata, atau memanfaatkan pengkhiantan dari serdadu atau orang-orang
sipil dipihak musuh, baik lewat penyuapan ataupun tanpa imbalan apa-apa karena
timbul dari kesadaran sendiri.
Pasal 24 dari “Huge Regulatiion 1907” telah memberlakukan suatu
peraturan kebiasaan lama bahwa penggunaan metoda-metoda yang diperlakukan guna
mendapatkan makalah adedidikirawanketerangan tentang musuh adalah dibenaarkan. Akan tetapi sekalipun
pihak-pihak bersengketa diperbolehkan memakai metoda ini tidak berarti bahwa
individu-individu yang melaksanakan perbuatan tersebut bebas dari huukuman.
Jadi sekalipun salah satu pihak yangmakalah adedidikirawan bersengketa dibenarkan memanfaatkan
mata-mata, pihak lain pun dibenarkan menghukum orang-orang ini.
Menurut Pasal 29 Hague Regulation spionase adalah perbuatan yang
dilakukan seorang serdadu aatau individu lainnya yang secara sembunyi-sembunyi
atau berpura-pura berusaha makalah adedidikirawanmencari informasi mengenai keadaan saalah satu pihak
di zona sengketa dengan maksud mengkomunikasikannya kepada pihak lainnya. Oleh
karena itu serdadu –serdadu yang menembus kedaerah lawan tanpa penyamaran
bukanlah mata-mata. Mereka adalah pandu-pandu (Scoutus) dan mempunyai hak untuk
diperlukan sebagai anggota angkatan bersenjata, dan jika tertangkap harus
diperlukan sebagai makalah adedidikirawantawanan perang. Demikian juga serdadu-serdadu atau
orang-orang sipil yang ditugaskan untuk mengirimkan berita bagi pasukannya
sendiri ataupun pasukan musuh, dan menjalankan misalnya secara terang-terangan,
tidak termasuk kedalam kategori mata-mata.
Hukuman yang bisa dijatuhkan kepada mata-mata adalah hukuman mati
dengan cara digantung atau ditembak. Namun demikian menurut Pasal 30 Huge
regulation seorang mata-mata tidak boleh dihukum terlebih dahulu dihadapkan
kemuka pengadilan (court-martial). Dalam berbagai pengadilan kejahatan perang
diadakan sesuai perang Dunia II sejumlah
orang telah dijatuhi hukuman karena memerintahkan atau turut serta dalam
menghukum mati orang-makalah adedidikirawanorang yang dicurigai sebagai mata-mata tanpa peradilan.
Menurut Pasal 31 peraturan yang sama seorang mata-mata yang tidak
tertangkap sewaktu melakkukan perbuatannya akan tetapi kemudian bergabung
kembali dengan pasukannya tidak dapat dihukum karena perbuatannya yang lalu,
akan tetapi jika tertangkap harus diperlakukan sebagai tawaanan perang. Akan
tetapi Pasal 31 ini hanya berlaku bagi mata-mata yang makalah adedidikirawanmerupakan anggota pasukan
musuh, sedangkan orang sipil yang melakukan perbuatan mata-mata dan tertangkap
kemudian, dapat dihukum. Dalam kasus mata-mata dan tertangkap kemudian, dapat
dihukum. Dalam kasus mata-mata tidak terdapat pertimbangan mengenai status,
pangkat, kedudukkan makalah adedidikirawanatau motivasi. Mungkin dia militer atau sipil, perwira atau
prajurit.
Apa
yang disebut sebagai pengkhianatan perang (war treason) agak berbeda dengan
spionase. Perbuatan demikian dapat terjadi misalnya kalau seseorang atau
beberapamakalah adedidikirawan orang anggota pasukan dikirim ke garis belakang pasukan musuh, akan
tetapi kemudian mereka menanggalkan pakian eragam dan bersikap seolah-olah
sebagai penduduk sipil. Pada masa damai sekarang ini nampaknya praktek-praktek
spionase masih umum dilakukan oleh negara-negara yang bertentangan terutama
oleh negara-negara blok barat dan blok timur. Sekalipun cara-caranya sudah
sangat berbeda dan mempergunkan metoda yang sophisticated akan tetapi tujuannya
tidak banyak berubbah yakni memperlemah pihak lawan.
Kegiatan
mata-mata pernah didominasi oleh agen-agen dari dua dinas rahasia negara
adikuasa yakni Central Inteligence agency (CIA) dari Amerika Serikat dan
Komitet Gosudarstvennoymakalah adedidikirawan Bezopasnoti (KGB) atau komite keamanan negara dari
pihak Uni Soviet. Dengan berbagai cara dan sarana mutakhir agen-agen rahasia
kedua negara adikuasa ini beserta sekutunya masing-masing senantiasa berupaya
melemahkan kekuatan pihhakk lain lewt operasi-operasi rahasianya.
Berikut
iini dikemukakan definisi-definisi kejahatan perang yang ada didalam konstitusi
Numberg, statuta ICTY, dan statuta ICTR, definisi menurut Statuta Roma 1998
akan diuraikan dalam bagian tersendiri.
a.
Konstitusi Nuremberg
Menurut
konstitusi nuremberg, kejahatan perang identik dengan violation of the law or customs of war mencakup, namun tidak terbatas pada
perbuatan-perbuatan :
Murder, ill treatment or
deportation to slave labor or for any other purpose of civilian population of
or in occupied territory, murder or ill-treatment of prisioners of war or
persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private
property, wanton destruction of cities towns or villages, or devastation not justified
by military necessity
Satu
hal yang penting untuk digaris bawahi adalah bahwa definisi ini dibuat sebelum
masa konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang secara cukup sistematis telah
mengkodifikasikan hukum dan kebiasaan perang. Sebagai akibatnya, definisi yang
diberikan oleh konstitusi Numremberg ini tidak sistematik definisi-definisi
didalam statuta ICTY, statuta ICTR, dan statuta Roma 1998 makalah adedidikirawanyang dibuat pasca
konvensi –konvensi Jenewa 1949.
Selain
itu, defiinisi kejahtan perang didalam konstitusi Nuremberg juga kurang
memiliki karakteristik dalam hal ia bersifat nonlimitatif didalam mencantumkan
tindakan-tindakan yang dapatmakalah adedidikirawan digolongkan sebagai hukum perang . kata-kata ...’but not limited to ....’ didalam
definisi tersebut bisa membuka kemungkinan terjadinya penafsiran yang bersifat
arbiter.
b.
Statuta ICTY
Berbeda
dari konstitusi Nuremberg, statuta ICTY
tidak secara khusus menggunakan istilah kejahatan perang (war crime) sebagai suatu kategori
kejahatan internasional. Meski demikian, secara substansial tindakan-tindakan
yang dapat dikategorikan sebagai kejahatanmakalah adedidikirawan perang terdapat didalam statuta
ICTY, tepatnya didalam artikel2 dan artikel3. Artikel 2 statua ICTY menyebutkan
bahwa ICTY memiliki kewenangan untuk menghuukum mereka yang melakukan atau
memerintahkan pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa 1949 (grave breachhes of genewa conventions of
1949), yang mencakup tindakan-tindakan berikut yang ditujukan kepada orang
atau benda yang dilindungi oleh konvensi Jenewa yang relevan.
(a)
Pembenuhan secara sengaja
(b)
Penyiksaan atau perlakuan secara
tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologis
(c)
Secara sengaja menyebabkan
penderitaan yang berat atau luka-luka serius bagi tuubuh atau kesehatan
(d)
Penghancuran dan perampasan
barang-barang dalam skala yang luas tanpa pertimbanganmakalah adedidikirawan keperluan militer, serta
dilakukan secara tidak sah dan secara sembarangan.
(e)
Memaksa tawanan perang atau
penduduk sipil untuk melakukan tugas didalam angkatan bersenjata pihak musuh
(f)
Secara sengaja menyangkal hak
untuk diadili secara jujur dalam pengadilan biasa yang dimiliki oleh tawanan
perang atau penduduk sipil
(g)
Deportasi, pemindahan atau
penahanan penduduk sipil secara tidak sah
(h)
Menyandra penduduk sipil.
Sementara
itu, artikel 3 statuta ICTY mengatur tentang pelanggaran hukum dan kebiasaan
perang, yang antara lain mencakup hal berikut:
(a)
Penggunaan senjata beracun atau
senjata lain yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.
(b)
Penghancuran kota-kota atau
desa-desa secara sembarangan, atau penghancuran yang tidak didukkung kepentingan
militer.
(c)
Penyerangan atau pemboman dengan
sarana apapun terhadap kota, desa, tempat pemukiman atau bangunan yang tidak
dipertahankan(Iundefended)
(d)
Perampasan, penghancuran atau
perusakan secara sengaja terhadapmakalah adedidikirawan lembaga-lembaga keagamaan, amal dan pendidikan
seni dan ilmu pengetahuan, monumen-monumen bersejarah, dan hasil karya
senimaupun iilmu pengetahuan.
(e)
Perampokan hak publik atau
pribadi.
c.
Statuta ICTR
sama
dengan statuta ICTY statuta ICTR
juga tidak secara khusus menggunakan istilah kejahatan perang sebagai salah
satu bentuk kejahatan yang menjadi yuridiksi ICTR namun berbeda dari makalah adedidikirawanstatuta
ICTY, statuta ICTR hanya memuat satu kategori tindakan yang bisa digolongkan
sebagai kejahatan perang, yakni pelanggaran beratmakalah adedidikirawan terhadap konvensi-konvensi
Jenewa 1949 (Grave Breaches of Geneva
Conventiion of 1949) dan protokol tambahan 1977. Meski kategori inijuga ada
didalam statuta ICTY, namun rincian tindakan-tindakan yang ada didalam statuta
ICTY dan didalam ICTR berbbeda.
Artikel
4 statuta ICTR menegaskan, bahwa ICTR memiliki kewenangan untuk menghukum
pelaku atau orang yang menyuruh dilakukannya satu kategori tindakan yang bisa
digolongkan sebagai kejahatan perang, yakni pelanggaran berat terhadap konvensi
–konvensi Jenewa 1949 makalah adedidikirawan(Grave Breaches of
Geneva Conventiion of 1949) dan
protokol tambahan 1977, yang antara lain berupa tindakan berikut.
(a)
Kekerasan terhadap nyawa,
kesehatan, tubuh, dan jiwa manusia, khususnya makalah adedidikirawanpembunuhan dan perlakuan tidak
manusiawi seperti penyiksaan, mutilasi atau segala bentuk hukuman badan
(b)
Penghukuman secara kolektif
(c)
Penyanderaan
(d)
Penyerangan terhadap martabat
pribadi, khususnya dalam bentuk perlakuan yang merendahkan martabat, perkosaan,
prostitusi paksa, dan segala bentuk serangan asusila.
(e)
Perampokan
(f)
Terorisme
(g)
Penjatuhan hukuman dan
pelaksanaaan hukuman mti tanpa melalui putusan pengadilan biasa yang memberikan
jaminan hukum yang dianggap penting bagi masyarakat beradab
(h)
Ancaman untuk melakukan
tindakan-tindakan diatas
3.
Perang dan Hukum tentang Perang
Manusia
pada dasarnya adalah mahluk yang cenderung memerlukan wilayah tertentu (territorial creature). Oleh karena itu,
dapat dipahami apabila manusia, baik sebagai pribadi, klompok masyarakat
ataupun sebagai entitas makalah adedidikirawanpolitik, seringkali berupaya memperoleh, memperluas,
dan mempertahankan wilayah beserta kepentingan-kepentingan yang terkait
didalamnya. Tidak jarang, ketika kepentingan-kepentingan itu saling
berbenturan, kekerasan (violence) pun
dipergunakan. Dilihat dari sisi ini, perkelahian antar individu, antar kelompok
ataupun koonflik anatar negara yang melibatkankekerasan bukanlah merupakan hal
yang luar biasa.
Tentang
kekerasan dalam tingkah laku manusia ini wiliam
nester mencatat adanya dua pendekatan. Pendekatan yang pertama mengatakan,
bahwa our miseries are ineluctably the
product of our natures. The root of all evil is man, and thus he is him self
the root of the specific evil war.
Pendekatan
yang kedua mengatakan bahwa sifat agresif yang ada pada mmanusia bukan merupakan
sifat bawaannya, melainkan sesuatu yang dibentuk dari luar, yakni dari
lingkungannya. Menurut pendekatan ini, perang dilancarkan oleh negara, sehingga
makalah adedidikirawanmerupakan produk politik dan kultural pemerintah dan bukan merupakan kebutuhan
alam individu.
Umumnya,
ketika mendengar istilah penggunaan kekerasan dalam lingkup hubungan antar
negara, yang akan tergambaarkan adalah perang.seseungguhnya perang hanyalah
merupakan salah satu bentuk penggunaan kekerasan senjata. Dalam pengertian yang
umum memang perang identik dengan konflik bersenjat. Dengan demikian untuk
disebut sebagai perang. Namun, didalam hukum internsional, perang merupakan
istilah teknis untuk menunjuk kategori penggunaan kekerasan senjata dengan
karakteristik tertentu. Oleh sebab itu, tidak semua konflik bersenjata bisa
digolongkan sebagai perang menurut makalah adedidikirawanpengertian hukum internasional. Dengan
begitu, didalam hukum internasional, selain perang dikenal pula bentuk-bentuk
penggunaan kekerasan non perang lainnya.
Secara
sederhana perang adalah tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan
negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelsaian secara paksa. Konsepsi
seperti ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa
perangmakalah adedidikirawan adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu
pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhhi kehendaaknya.
Meskipun
mengakui adanya kesulitan didalam membuat pembedaan antara perang dengan
konflik bersenjata bukan perang, Starke mencoba mengemukakan
indikator-indikator untuk membedakkan perang dari konflik bersenjata bukan
perang. Menurut starke, ada tidaknya perang tergantung pada tiga hal yaitu:
a)
Dimensi dari konflik
b)
Maksud-maksud para kontestan
c)
Sikap dan reaksi pihak yang bukan
kontestan
Meskipun
bisa dibedakan, namun perang maupun knflik senjata bukan perang tetap memiliki
kesamaan. Keduanya sama-sama melibatkan penggunaan kekuatan senjata, sehingga
berpotensi untuk menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan. Oleh karena itulah,
didalam diskursus makalah adedidikirawantentang filsafat moral (etika) hukum telah timbul upaya-upaya
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penggunaan kekerasan dan untuk
mengurangi timbulnya korban dan kerugian (casualties)
kalau pun penggunaan kekerasan harus terjadi. Upaya- upaya untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya penggunaan kekerasan (terutama dalam bentuk perang)
terlihat dari berkembangnya konsep-konsep yang membuat kategori antara perang
yang adil (just war) dan perang tidak
adil (unjust war). Penggolongan
perang menjadi dua kategori itu diharapkan akan memberikan standar tentang
dalammakalah adedidikirawan keadaaan apa perang boleh dilancarkan. Standar ini diharapkan akan
dipertimbangkan oleh negara-negara sebelum melancarkan perang , sehingga negara
tidak gegabah memulai perang. Keseluruhan aturan hukum internasiional yang
mengatur tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan
disebut sebagai jus ad bellum.
Sementara
itu upaya untuk mengurangi timbulnya korban dan kerugian kalaupun perang
terjadi tampak dari berkembangnya konsep (dan praktik kebiasaan) tentang apa yang
boleh dan tidak boleh diilakukan didalam perang. Aturan-aturan tentang
bagaimana melakukan perang makalah adedidikirawanini disebut sebagai jus in bello ini secara ringkas dikemukakan oleh Roberrt Kolb yang
mengatakan bahwa :
Jus ad bellum refers to the
conditiions under which one may resort to war or to froce in general; jus in
bello governs the conduct of belligerents during a war , and in a broader sense
comprises the rights and obligations of neutral parties as well.
a.
Jus ad bellum
Gagasan
awal tentang jus ad bellum sebenarnya
telah muncul sejak masa berabad-abad yang lalu melallui konsep “perang yang
adil” (just war/bellum justum). St.
Agustinus misalnya, meskipun tidak secara sistematik membicarakan tentang
perang yang adil, telah mulai menyinggung gagasan tentang dalam keadaan
bagaimana orang boleh menggunakan kekerasan. Belakangan gagasan St. Agustinus
makalah adedidikirawanitu dikembangkan oleh St. Thomas aquinus, Vittoria dan juga Grotius.
Dalam
llapangan hukum internasional pun sempat muncul aturan-aturan tentang kapan dan
dalam keadaan bagaimana perang boleh dilancarkan. Bahkan lebih jauhmakalah adedidikirawan dari itu,
didalam hukum internasional pernah dikenal adanya konvensi-konvensi yang tidak
sekedar membatasi perang, melainkan berusaha menghapuskan perang. Upaya-upaya
untuk menghapuskan perang makalah adedidikirawanantara lain terdapat
didalam preamble konvenan Liga
Bangsa-Bangsa yang antara lain menyatakan, bahwa “untuk menjamin perdamaian dan
keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan
perang. Upaya yang sama tamapak pula dari ditandatanganinya kellog-Briand (paris fact) tahun 1928. Namun upaya untuk menghapuskan perang
secara de facto ternyata gagal, karena setelah itu Perang
Dunia II meletus. Pada masa pasca Perang Dunia II negara-naegara melalui piagam
PBB juga kembali menolak perang, bahkan melarang setiap penggunan kekerasan.
Namun kenyataannya beberapa penggunaan kekerasan anatr negara dalam skala yang
cukup besar pun tetap terjadi, seperti makalah adedidikirawanperang
Vietnam, Perang Irak-Iran, perang flaksalnd, perang teluk I, perang balkan, perang afghanistasn,
dan perang teluk II. Kesepakatan untuk menolak perang secara umum pun tidak
berarti menghapuskan hak negara untuk berperang. Dalam keadaan tertentuhak
negara untuk mellancarkan perang masih tetap diakui.
Selain
melalui praktiknegara-negra konvensi-konvensi dan resolusi-resulusi PBB,
persoalan tentang keabsahan penggunaan kekerasan pun juga dibahas oleh lembaga
yudisial internasional. Sebagai misal, menyusul serangan NATO terhadap
yyugoslavia yang dianggap melakukan pembantaian etnik kosovo, yugoslavia
mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional terhadap negara-negara anggota
NATO yang terlibat dalam serangan itu
Bjus in bello
Sementara itu, aturan-aturan tentang bagaimana
perang harus dilakkukan juga telah berkembang dalam waktu yang cukup lama. Jus in bello inilah yang secara
tradisiional dikenal sebagaI hukum perang (the
law in war) , yang dimaksudkan untuk
memanusiawikan perang melalui pengaturan cara berperang dan sarana yang
diperbolehkan dalam peperangan (conduct
of war and permissible means of war), serta menjamin kondisi korban perang (conditions of war victims) belakangan, jus in bello ini semakin memiliki
karakteristik humanisasi perang, sehingga kemudian dikenal dengan nama hukum
humaniter internasinal (international
humanitarian law). Istilahmakalah adedidikirawan hukum humaniter ini secara praktis lni lebih
menguntungkan ketimmbang istilah hukum perang, karena ia dapat dibuat untuk
mencakup baik kondisi perang (dalam arti teknis hukum internasional) maupun
pengggunaan kekerasan bukan perang yang keduanya lantas dimasukan dalam
kategori konflik bersenjata (armed
conflict).
2.
Sumber-sumber Hukum Perang
Meskipun
aturan-aturan yang dimaksudkan untuk memanusiawikan perangg telah memiliki akar
sejarah yang panjang, hukum humaniter internasional sebagai suatu sistem yang
modern muncul pada abad ke 19. Apabila ditelusuri berdasarkan sentrum
perkembangannya, akan didapatimakalah adedidikirawan bahwa hukum humaniter internasional selama ini
telah menempuh tiga jalur yang semuanya bermuara pada tujuan humanization of war. Jalur yang pertama
adalah melalui uapaya mengatur cara berperang dan sarana yang diperbolehkan
dalam peperangan (conduct of war and
permissible means of war), yang
dalam diskursus tentang hukum humaniter
internasional kemudian lazim dikenal dengan nama hukum Den Haag (the law of the hague). Jalur kedua, yang dikenal dengan nama huukum jenewa
(the law of geneva) merupakan upaya
yang lebih dititik beratkan pada pengaturan kondisi korban perang (condition of war victim) jalur ketiga
yang oleh Kalshoven dan Zegveld disebut sebagai the current of New York merupakan upaya yang terutama dilakukan oleh
PBB sejak dasawarsa 1960an dan 1970an, untuk meletakanmakalah adedidikirawan norma-norma yang
menitikberatkan pada sisi HAM dari konflik bersenjata.
Meski
berdasarkan sentrum perkembangannya huukum humaniter internasional bisa
dibedakan menjadi tiga kategori, layak
dicatat bahwa kategorisasi itu tidaklah bersifat kaku. Bagaimanapun
juaga, aspek-aspek yang ada didalam ketiga kategori itu saling berkaitan erat
dan tidak dapat dipisahkan.
a.
Hukum Den Haag
Perkembangan
cabang humaniter internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai hukum Den Haag dimulai pada tahun 1863, ketika presiden
Amerika Serikat mengeluarkan Instruksi
Lieber sebagai panduan lapangan bagi pasukan Amerika Serikat yang ketika itu
sedang terlibat dalam perang saudara (the
civil war). Instruksimakalah adedidikirawan ini antara lain berisi tentang perilaku berperang
serta juga standar perlakuan bagi
tawanan perang, mereka yang mengalami luka-luka dalam peperangan serta penduduk
sipil. Meski intruksi Lieber semata-mata
merupakan dokumen domestik, ia memiliki arti penting dalam perkembangan
hukum humaniter internasional, karena dokumen itu kemudian menjadi model bagi
upaya internasional untuk mengkkodifikasikan hukum dan kebiasaan perang.
Tahap
kedua perkembangan hukum Den Haag terjadi pada tahun 1868, ketika di St.
Petersbrug (Rusia) dikeluarkan Declaration
Renouncing the Use, in Time of War, of Explosive Projectiles Under 400 Grammes
Weight. Perkembanngan penting berikutnya mengambil tempat di Den Haag,
ketika pada tahun 1899 diselenggarakan konferensi Den makalah adedidikirawanHaag I yang membicarakan
persoalan perang dan damai. Salah satu hasil dari konfrensi ini adalah
diterimanya convention with respect to
the laws and customs of war on land. Annex konvensi ini memuat aturan-aturan
tentang aspek-aspek perang didarat, termasuk perlindungan tawanan perang ,
pembantasan penggunaan sarana perang, serta beberapa aturan dasar tentang
perlindungan penduduk sipil. Konfrensi Den Haag II yang diselenggarakan pada
tahun 1907 juga membawa hasil yang cukup berarti dalam perkembangan hukum Den
Haag .selain memperbaiki konvensi tentang perang didarat, konfrensi ini juga
konvensi-konvensi tentang pelaksanaan perang dilaut. Hukum Den Haag mengalami
perkembangan yang semakin makalah adedidikirawanintens melalui koonfrensi jenewa 1925, yang
menghasilkan protocol for the prohibition
of the use in war of ashpyxiating. Poisonous or other gases, and
bacteriological methods of warfare. Pada masa PBB, konvensi Den Haag 1954
tentang perlindungan benda-benda budaya dalam konflik bersenjata juga dapat
dianggap sebagai bagian dariperkembangan hukum Den Haag yang sekali lagi
memberi tekanan pada conduct of war. Belakangan huukum Den Haag iini juga
dikodifikasikan di dalam protokol I dan II tahun 1977, yang bersifat melengkapi
konvensi-konvensi jenewa1949.
b. Hukum Jenewa
Perkembangan
hukum jenewa yang lebih menitikberatkan pada kondisi para korban perang (conditions of war victims) tidak dapat
dilepaskan dari. J.Henry Dunant seorang
pengusaha jenewa dan karyanya yang diberi judul Un Souvenir de Selferino yang diterbitkan pada tahun 1862. Pada
masanya, Un Souvenir de selferino
yang memuat kesaksian Dunant atas kondisi buruk yang dialami oleh makalah adedidikirawanribuan korban
perang antara prancis –austria di solferino (Italia utara) segera menyadarkan
banyak kalangan untuk mengubah kondisi buruk tersebut. Gagasan yang dikemukakan
didalam karaya Dunant mengenai perlunya dibuat perjanjian internasional untuk
memperbaiki kondisi korban perang pada akhirnya menampilkan wujud yang nyata,
ketika pada tahun 1864 di Jenewa diselenggarakan Konfrensi internasional, yang
kemudian menghasilkan convention on the
amelioration of the condition of the wounded in armies in the field.
Perkembannggan
hukum jenewa berikutnya terjadi pada tahun 1899, saat disepakatinya konvensi
dengan prinsip-prinsip yang sama dengan konvensi 1864, namunmakalah adedidikirawan yang berlaku untuk
mereka yang luka, sakit, dan karam dilaut.
Selanjutnya
pada tahun 1929 di jenewa diselenggarakan lagi konfrensi diplomatik yang
membahas naskah kkonvensi tentang perlakuan terhadap mereka yang luka dan sakit
di darat,makalah adedidikirawan serta tentang tawanan perang (prisoners
of war /PoW).
Konvensi-konvensi
Jenewa tahun 1949 tampaknya dapat dianggap sebagai pilar utama hukum Jenewa.
Tiga dari konvensi-konvensi jenewwa 1949 merupakan pegganti dari kkonvensi yang
telah ada sebelumnya, yaitu tentang perlakuan terhadap mereka yang luka,
sakiit, dan korbanmakalah adedidikirawan karam dalam pertempuran dilaut, serta tentang perlakuan terhadap tawanan
perang.selain itu, diantara konvensi-konvensi Jenewa 1949 itu juga diintoduser
satu konvensi yang sama sekali baru mengenai perlindungan penduduk sipil dimasa
perang. Kalshoven & Zegveld mencatat pula bahwa konvensi-konvensi jenewa
1949 makalah adedidikirawanmembawa dua inovasi baru. Pertama, perlakuan cakupan konvensi sehingga
mencakup pula sengketa bersenjata yang bersifat non internasional, makalah adedidikirawansebagaimana
tercermin dari common article 3 yang
menyatakan bahwa konvensi-konvensi Jenewa juga applicable in the case of armed conflict not of an international
character occuring in the territory of one of the high contracting parties.
Kedua konvensi-konvensi ini juga mulai meletakan kewajiban yang tegas diantara
negara-negara pihaknya untuk mengambil tindakan organisasional disipliner dan
penghukuman bagi pelanggaran berat dan pelanggaran lain yang bersifat serius
terhadap konvensi.
c.
Aliran New York
Sebagain
besar penulis pada umumnya hanya membuat ktegori hukum Den Haag dan hukum
Jenewa terhadap substansi hukum humaniter internasional. Namun, selain dua
kategori makalah adedidikirawandiatas Kalshoven & Zegveld mengintroduksi satu kategori norma lagi
yang mereka sebut sebagai Aliran New York (the
current of new york) yang menitikberatkan pada aspek HAM dalam pertikaian
bersenjata.
Pada
awalnya, PBB selaku organisasi internasional yang mentabukan perang tidak
terlalu banyak menaruh perhatian pada pengembangan huukum humanitermakalah adedidikirawan
internasional. Hal ini antara lain tampak jelas dari tidak dimuatnya hukum
perang didalam agenda ILC (international
Law Commission). Meski demikian,
Kalshoven & zegveld mencatat bahwa ada dua isu yang menarik perhatian PBB,
yang kemudian meletakan dasar bagi perkembangan Aliran New York. Isu yang
pertama menyangkut penghukuman penjahat-penjahat perang Dunia II, sedangkan isu
yang kedua menyangkut persoalan senjata atom.
Perhatian
PBB terhadap isu pemidanaan penjahat perang kemudian diwujudkan dalam resolusi
MU (Majelis Umum) PBB Nomor 95 (1) Tahun 1946, yang menegaskan prinsip-prinsip
yang telah diletakan oleh Mahkamah Numberg (the
Nuremberg principles). Sementara itu, concern
PBB terhadap ancaman senjata atom antara lain tercermin dari resolusi MU PBB
No. 1635 (XVI) tahun makalah adedidikirawan1961 tentang penggunaan senjata nuklir.
Perhatian
PBB terhadap persoalan hukum perang menemukan momen yang penting ketika pada
tahun 1968 dikeluarkan deklarasi teheran yang meminta MU PBB memerintahkan
sekjen PBB melakukan studi untuk menjamin penerapan yang lebih baik dari
konvensi-konvensi hukum humaniter yang telah ada, serta penerapan aturan-aturan
hukum perang . melalui resolusi MU PBB No 2444 (XXIII) tahun makalah adedidikirawan1968 yang berjudul
respect for human right in armed
conflict, MU meminta sekjen PBB
dalam konsultasi dengan ICRC untuk melakukan studi sebagaimana diminta oleh
deklarasi teheren. Belakangan the current
of New York ini melahirkan mekanisme pertanggungjawaban pidana pelaku
pelanggaran hukum perang serta pelanggaran HAM melalui pembentukan ICTY (international criminal tribunal for the
former Yugoslavia) ICTR (international criminal tribunal for rwanda) serta ICC (international criminal Court).
4. Pengaturan kejahatan perang
di dalam Statuta Roma 1998
Didalam
statuta Roma 1998, kejahatan perang sudah dicantumkan secara lebih sistematik.
Menurut artikel 8 Statuta Roma 1998, tindakan-tindakan yang makalah adedidikirawanmerupakan kejahatan
perang dikelompokan menjadi empat kategori, yaitu sebagai berikut:
(a)
Pelanggaran-pelanggaran berat (grove breaches) terhadap
konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang mencakup tindakan-tindakan yang ditujukan
terhadap orang-orang atau benda-benda yang dilindungi konvensi-konvensi Jenewa
1949
(b)
Pelanggaran-pelanggaran serius
lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata.
(c)
Pelanggaran-pelanggaran terhadap
artikel 3 yang makalah adedidikirawansecara sama didapati didalam bab keempat konvensi Jenewa 1949 (article 3 common to the four geneva
convention of 1949), dalam terjadi hal konflik bersenjata yang tidak
bersifat internasional.
(d)
Pelanggaran-pelanggaran serius
lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata
non-internasional sesuai dengan kerangka hukum internasional.
a. Pelanggaran-pelanggaran berat
terhadap konvensi-konvensi Jenewa 1949
Didalam
statuta Roma 1998, tindakan-tindakan yang dapat digolongkanmakalah adedidikirawan sebagai
pelanggaran-pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa 1949 mencakup
tindakan-tindakan berikut, yang ditujukan terhadap orang-orang atau benda-benda
yang dilindungi konvensi-konvensi Jennewa 1949.
(i)
Pembunuhan secara sengaja.
(ii) penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk
eksperimen biologis
(iii) secara sengaja menyebabkan penderitaan yang berat atau luka-luka
serius bagi tubuh atau kesehatan
(iv) penghancuran dan perampasan barang-barangmakalah adedidikirawan dalam skala yang luas
tanpa pertimbangan keperluan militer, serta dilakukkan secara tidak sah dan
secara sembarangan.
(v) memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk melakukan tugas
didalam angkatan bersenjata pihak musuh.
(vi) secara sengaja menyangkal hak untuk diadili secara jujur dalam
pengadilan biasa yang dimiliki oleh tawanan perang atau penduduk sipil.
(viii) menyandra penduduk sipil
Apabila diperbandingkan, akan tampak bahwa uraian mengenai
tindakan-tindakan yang digolongkan sebagai grave
breaches of the geneva convention didalam statuta roma 1998 ini sama persis
dengan uraian kategori kejahatan yang sama didalam statuta ICTY.
b. Pelanggaran-pelanggaran
serius terhadap hukum dan kebiasaan dalm konflik bersenjata
Diluar pelanggaran berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa, Statuta
Roma 1998 juga mengenal kategori pelanggaran serius terhadap hukum dan
kebiasaan dalam konflik versenjata. Perluasan makna istilah perang tampak
sekali didalam kategori ini. makalah adedidikirawanMeski dimuat dibawah kategori kejahatan perang,
tampak bahwa statuta Roma 1998 memberi arti yang luas terhadap istilah perang, sehingga mencakup pula setiap konflik
bersenjata. Tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori ini adalah sebagai
berikut
(I)
Secara sengaja mengarahkan
serangan pada penduduk sipil atau seorang sipil yang tidak terlibatt permusuhan
(II)
Secara sengaja mengarahkan
serangan pada sasaran sipil yakni objek yang bukan merupakan sasaran militer.
(III)
Secara sengaja mengarahkan
seranngan pada personel, instalasi, bahan-bahan, unit atau kendaraan yang
terlibat dalam tugas bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai
dengan piagam PBB, sepanjang mereka mendapatmakalah adedidikirawan perlindungan selayaknya objek
sipil atau penduduksipil berdasarkan hukum internasional yang mengatur tentang
konflik bersenjata.
(IV)
Secara sengaja melancarkan
serangan dengan pengetahuan bahwa serangan tersebut akibat menyebabkan
hilangnya nyawa atau melukai penduduk sipil, menimbulkan kerusakan terhadap
objek sipil, ataupun menimbulkan kerusakanmakalah adedidikirawan lingkungan yang berat berjangka
panjang, yang bersifat berlebihan apabila diilihat dari tujuan keuntungan
militer yang ingin dicapai
(V)
Dengan sarana apapun menyerang
atau melakukan pemboman terhadap kota-kota, desa-desa, pemukiman-pemukiman atau
gedung-gedung yang tidak memiliki makalah adedidikirawanpertahanan dan juga bukan merupakan sasaran
militer
(VI)
Membunuh atau melukai combatant (peserta tempur) yang
memutuskan untuk menyerah setelah meletakan senjata dan denganmakalah adedidikirawan demmikian tidak
bisa mempertahankan diri.
(VII)
Menyalahgunakan tanda gencatan
senjata (flag of truce ), bendera,
seragam, dan tanda-tanda militer musuh, seragam danmakalah adedidikirawan tanda-tanda PBB, dan
lambang-lambang khusus konvensi Jenewa, sehingga menyebabkan kematian atau
luka-luka serius.
(VIII)
Pemindahan secra langsung maupun
tidak langsung oleh penguasa pendudukan (occupying
power) terhadap penduduk sipilnya sendiri kewilayah yang diduduki atau
deportasi (pengusiran) maupun pemindahan sebgian atau seluruh penduduk makalah adedidikirawansipil
diwilayah pendudukan dari satu tempat ke tempat lain didalam wilayah atau
keluar wilayah wilayah pendudukan
(IX)
Secara sengaja mengarahkan
serangan pada bangunan-bangunan yang dipergunkan untuk keperluan keagamaan,
pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, amal, monumen, bersejarah, ataupun rumah
sakit dan tempat dimana mereka yang luka dan sakit makalah adedidikirawandikumpulkan, sepanjang objek
dan tempat-tempat itu bukan merupakan sasaran militer
(X)
Menyerahkan orang-orang yang
berada dimusuh untuk menjalani mutilasi fisik atau untuk menjalani segala jenis
percobaan medis maupun ilmiah yang tidak dilakukan dalam kerangka perawatan
rumahsakit, kesehatan atau gigi yang tidak pula dilakukan demi kepentingan
orang tersebut yang makalah adedidikirawanmengakibatkan kematian atau secra serius mengancam
kesehatan orang-orang tersebut.
(XI)
Membunuh atau melukai individu
warga negara musuh atau angkatan bersenjata musuh secara kejam
(XII)
Menyatakan bahwa pengampunan tidak
akan diberikan
(XIII)
Menghancurkan atau merampas milik
musush, kecuali kalau enghancuran atau perampasan itu dibenarkan atas dasar
kepentingan perang
(XIV)
Menyatakan bahwa hak-hak dan
tindakan warga negara musuh dihapuskan, ditangguhkan atau tidak terima oleh
pengadilan.
(XV)
Memaksa waraga negara yang menjadi
pihak musuh untuk mengambil bagian dalam operasi pertempuran yang ditujukan
terhadap makalah adedidikirawannegara mereka, bahkan kalau warga negara itu bekerja pada peserta
tempur perang belum dimulai.
(XVI)
Merampok kota atau suatu tempat
meskipun kota atau tempat itu direbut melalui serngan
(XVII) Menggunakan racun atau senjata yang diberi racun
(XVIII) Menggunakan gas pencekik (asphyxiating
gas), gas beracun atau jenis gas lain, serta cairan bahan atau peralatan
yang sejenis dengan itu
(XIX)
Menggunakan peluru yang dengan
mudah dapat menyebar atau memampat (flatten)
didalam tubuh manusia, seperti peluru dengan selongsong keras yang tidak
sepenuhnya menutup inti peluru atau juga peluru yang dikerat
(XX)
Menggunakan senjata, projektil
serta bahan dan cara berperang yang menurut sifatnya dapat menyebabkan
luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, atau secara inhern
melanggar hukum tentang konflik bersenjata secara tidak makalah adedidikirawanpandang bulu, sepanjang
senjata, projektil, serta bahan dan cara berperang itu dilarang secara
komferhensif dan dicantumkan didalam annex statuta...
(XXI)
Melakukan kebiadaban terhadap
kehormatan pribadi, khususnya yang berupa perlakuan yang bersifat merendahkan
dan menghina martabat .
(XXII) Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, penghamilan
paksa, sebagaimana didefinisikan didalam artikel 7 paragraf 2 (f),, pemandulan
makalah adedidikirawanpaksa, dan segala bentuk kekerasan seksual yang yang juga merupakan pelanggaran
berat terhadap konvensi-konvensi Jenewa.
(XXIII) Memenfaatkan kehadiran penduduk sipil atau orang-orang laiin yang
dilindungi makalah adedidikirawansedemikian rupa sehingga menyebabkan titik tertentu, area atau
kekuatan militer menjadi imun dari serangan militer.
(XXIV) Secara sengaja melancarkan serangan terhadap bangunan bahan, unit
medis, transportasi medis, dan makalah adedidikirawanorang-orang yyang sesuai dengan hukum
internasional menggunakan lambang pembeda (palang merah atau lambang lain yang diakui ) yang diatur dalam
konvensi-konvensi jenewa.
(XXV) Secara sengaja memanfaatkan keadaan kelaparan penduduk sipil sebagai
suatu cara berperang. Dengan cara menjauhkan mereka dari barang-barang yang
penting bagi kelangsungan hidup, termasuk tindakan sengaja makalah adedidikirawanmenghambat bahan-bahan
bantuan yang semestinya disediakan menurut konvendi-konvensi Jenewa
(XXVI)
Mewajibmiliterkan atau
mendaftarkan anak-anak dibawah usia lima belas tahun kedalam angkatan
bersenjata nasional atau memanfaatkan merekamakalah adedidikirawan untuk ikut secara aktif di dalam
permusuhan.
c.
pelanggaran terhadap common article3
dalam hal terjadi konflik bersenjata
yang tidak bersifat internasional
keempat
konvensi Jenewa 1949 memuat substansi yang sama didalam artikel 3 masing-masing
konvensi. Artikel 3 yang secara sama bisa ditemukan didalam kkonvensi-konvensi
Jenewa (article 3 common to geneva
conventions) itu dianggap memiliki posisi yang unik karena dua hal.
Peratama karena posisinya itu ia anggap sebagai miini –convention atau convention
within the convention. Kedua ia juga merupakan satu-satunya artikel didalam
konvensi-konvensi Jenewa yang ditujukanmakalah adedidikirawan bagi sengketa bersenjata
non-internasional. Dalam kondisi dimana ada lebih banyak konflik bersenjata
non-internasional ketimbang konflik bersenjata yang bersifat internasional,
artikel3 ini lantas memainkan peranan penting, yang barang kali belum pernah
terbayangkan oleh para penyusun konvensi-konvensi Jenewa.
Dengan
dasar peran penting itulah substansi common
article3 juga dimasukan sebagai
salah satu kategori kejahatan perang didalam Statuta Roma 1998. Berkaitan degan
itu, artikel 8.2. (c) Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa dalam hal terjadi
sengketa bersenjata non internasional, pelanggaran serius terhadap common article 3 dari keempat konvensi
Jenewa 1949 juga termasuk sebagai kejahatan perang, apabila ditujukan terhadap
mereka yang tidak lagi mengambil peran aktif didalam permusuhan, termasuk
anggota angkatan bersenjata yang telah meletakan senjata dan mereka makalah adedidikirawanyang
menjadi hors de combat karena sakit, luka-luka penahanan atau sebab lain.
Artikel 8.2. (c) Statuta Roma 1998 kemudian menyebutkan bahwa tindakan
pelanggaran itu meliputi hal berikut:
(I)
Kekerasan terhadap jiwa dan raga,
terutama segala benttuk pembunuhan, mutasi, perlakuan kejam, dan penyiksaan
(II)
Kebiadaban atas kehormatan pribadi,
khusus nya berupa tindakan yang merendahkan dan menghina martabat
(III)
Penyandraan
(IV)
Penjatuhan hukuman dan pelaksanaan
hukuman mati tanpa melalui putusan pengadilan biasa yang memberikan jaminan
huukum yang dianggap penting bagi masarakat yang beradab.
Artikel 8.2 (d) selanjutnya menegaskan bahwa ketentuan diatas berlaku
bagi sengketa bersennjata non-internasional, nanmun tidak berlaku dalam situasi
gangguan keamananmakalah adedidikirawan internal dan ketegangan didalam negeri, seperti kerusuhan,
tindak kekerasan yang bersifat sporadis dan terbatas, serta tindakan lain yang
serupa dengan itu.
d. Pelanggaran-pelanggaran
serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata
non-internasional
sellain
mengadopsi substansi common article 3 dan
menerapkannya dalam kondisi sengketa bersenjata noninternasional, stuta Roma
1998 juga mengatur bahwa tindakan-tindakan melanggar hukum dan kebiasaan yang
berlaku dalam sengketa bersenjata noninternasional juga merupakan kejahatan
perang. Tindakan tersebut mencakup berikut ini:
(I)
Secara sengaja mengarahkan
serangan pada penduduk sipil atau seorang sipil yang tidak terlibat permusuhan
(II)
Secara sengaja mengarahkan
serangan pada bangunan, bahan, unit, medis, transportasi medis, dan personel
yang sejalan dengan hukum internasional mengenakan lambang pembeda (palang
merah atau lambang lain yang diakui)makalah adedidikirawan yang diatur dalam konvensi Jenewa.
(III)
Secara sengaja mengarahkan
serangan pada personal, instalasi, bahan-bahan unit atau kendaran yang terlibat
dalam tugas bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan
piagam PBB, sepanajng mereka mendapat perlindungan selayaknyamakalah adedidikirawan objek sipil atau
penduduk sipil berdasarkan hukum
internasional yang tentang konflik bersenjata
(IV)
Seccara sengaja mengarahkan
serangan pada bangunan-bangunan yang dipegunakan untuk keperluan keagamaan
pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, amal, monummen, bersejarah, ataupun rumah
sakit dan tempat dimana mereka yang luka dan sakit dikumpulkan, sepanjang objek
dan tempat-tempat itu bukan merupakan sasaran militer
(V)
Kelompok kota atau suatu tempat,
meskipun kota atau tempat itu direbut melalui serangan.
(VI)
Melakukan perkosaan, perbudaakan
seksual, prostitusi paksa, penghamilan paksa, sebagaimana didefinisikan di
dalam artikel 7 paragarf 2 (f) pemandulaan paksa dan segala bentuk kekerasan
seksual yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa.
(VII)
Mewajib militerkan atau
mmendaftarkan anak-anak dibawah usia lima belas tahun kedalam angkatan
bersenjata nasional atau memanfaatkan mereka untuk ikut serta secara aktif di
dalam permusuhan
(VIII)
Memerintahkan pemindahan penduduk
sipil berdasarkan alasan yang berkaitan dengan sengketa, kecuali apabila
tindakan itu dilakukan berdasarkan keharusan militer atau dilakukan demi
keamanan penduduk sipil
(IX)
Membunuh atau melukai secara kejam
(X)
Menyatakan bahwa pengampunan tidak
akan diberikan
(XI)
Menyerahkan orang-orang yang
berada ditangan musuh untuk menjalani mutilasi fisik atau untuk menjalani
segala jenis percobaan mediasi maupun ilmiah yang tidak dilakukan dalam
kerangka perawatan rumah sakit, kesehatanmakalah adedidikirawan atau gigi yang tidak pula dilakkukan
demi kepentingan orang tersebut, yang mengakibatkan kematian atau serius
mengancam kesehatan orang-orang tersebut
(XII)
Menghancurkan atau merampas milik
musuh, kecuali kalau penghancuran atau perampasan itu dibenarkan atas dasar
kepentingan perang.
Sama seperti didaam kategori sebelumnya (pelanggaran common article 3 dalam sengketa bersenjata non internasional),
kategori ini juga menegaskan bahwa ketentuan di atas berlaku bagi sengketa
bersenjata non internasional, namun tidak berlaku dalam situasi gangguan
keamanan internal dan ketegangan didalam negeri, seperti kerusuhan, tindakan
kekerasanmakalah adedidikirawan yang bersifat sporadis dan terbatas, serta tindakan lain yang serupa
dengan itu. Selain itu, dinyatakan pula bahwa ketentuantersebut berlaku didalam
sengketa bersenjata yang terjadi diwilayah suatu negara, di mana terdapat
sengketa bersenjata makalah adedidikirawanyang terjadi diwilayah suatu negara, dimana terdapat
sengketa bersenjata yang berkepanjangan antara aparat pemerintahan dengan kelompok
bersenjata yang terorganisir atau diantara sesama kelompok bersenjata yang
terorganisir.
Klausula diatas tampaknya sengaja dibuat untuk meyakinkan supaya
negara-negara yang ingin menjadi pihak Statuta Roma 1998 tidak kuatir bahwa
urusan dalam negeri mereka akan secara ekstentif dicampuri oleh ICC. Klausula
penegasan yang senada makalah adedidikirawandengan itu juga dicantumkan dalam artikel 8.3 yang
mengatakan bahwa aturan mengenai kejahatan perang dalam sengketa bersenjata non
internasional tidak mempengaruhi kewajiban pemerintah negara untuk menjaga dan
menegakan hukum serta ketertiban atau kewajiban pemerintah negara untuk
mempertahankan kesatuan dan keutuhan wilayahnya dengan sarana-sarana yang sah.
D. kejahatan agresi
Diantara keempat tindak kejahatan yang secara ekplisit dinyatakan
dicakup oleh yuridiksi ICC, kejahatan agresi mendapat perlakuan yang agak
berbeda. Berlainan dari genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang yang masing-masing didefinisikan kejahatan agresi merupakan jenis
kejahatan yang belum didefinisikan di dalam Statuta Roma 1998. Hal ini terliaht
darimakalah adedidikirawan artikel 5.2 Statuta Roma 1998, yang menyebutkan bahwa :
The court shall exrecise
jurisdiction over the crime of aggression, once a provision is
adopted...defening the crime and setting out the conditions under which the
court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provisiion
shall be consistent with the relevant provisions of the charter of the united
natioans
Sebagaimana dicatat oleh singh pendefiniisian
kejahatan agresi tampaknya sengaja ditunda agar Statuta Roma 1998 makalah adedidikirawantidak
mengalami kemacetan. Menurut Singh upaya mendefinisikan kejahatan agresi akan
sarat oleh persoalan-persoalan politik sehingga akan cukup sulit untuk membuat
suatu definisi yang dapat dierima negara-negara yang di harapkan menjadi pihak
dalam Statuta Roma.
5.
Pengertian Kejahatan agresi
Kejahatan agresi sebenarnya juga diatur oleh ketentuan-ketentuan
mengenai perang. Hanya saja, berbeda dari kejahatan perang yang berkaitan
dengan tindakan-tindakan didalam perang /konflik bersenjata (jus in bello) , kejahatanmakalah adedidikirawan agresi lebih
berkaitan dengan tindakan yang melanggar aturan menganai keabsahan perang.
Sebagaimana telah disinggung didepan, gagasan mengenai keabsahan penggunaan
kekerasan dalam hubungan antar negara akhirnya memunculkan diktomoi antar
peperangan/kekerasan yang diperbolehkan (justified)
dan peperangan/kekerasan yang tidak dibenarkan (unjustified) pembelaan diri (self
defense) lantas menjadi ikon dari perang/ penggunaan kekerasan yang dapat
dibenarkan, sedangkan dikutub yang lain, agresi (aggresiion) menjadi kategori paling nyata dari perang kekerasan
yang tidak dibenarkan
Pada tanggal 14 Desember tahun 1947 majelis umum PBB berhasil menerima
resolusi Nomor 3314 (XXIX) yang bertujuk Resulation
on the Definition of Aggression 1974. Sebelumnya, persoalan mengenai
definisi agresi telah diperdebatkan selama lebih makalah adedidikirawandari dua puluh tahun tanpa
membawa hasil yang berarti. Selama waktu tersebut, pada dasarnya ada dua
pendekatan yang berbeda didalam upaya mendefinisikan agresi yakni pendekatan
enumararif (enumerative approach) dan
defenisi pendekatan umum (general
defiinition approach). Pendekatan yang pertama menghendaki agar definisi
agresi secara limitatif mencantumkan semua tindakan-tindakan yang masuk dalam
kategori agresi. Sebaliknya pendekatan
Yang kedua menghendaki agar definisi tentang agresimakalah adedidikirawan cukup dibuat dalam
kategori umum, tanpa mencantumkan secara rinci semua tindakan yang masuk dalam
kualifikasi agrsi.
Apabila diperhatikan akan tampak bahwa definisi agresi di dalam
Resolusi Majelis Umum Nomor 3314 (XXIX) tersebut mengadopsi kedua pendekatan.
Pendekatan definisi umum diakomodasikan di dalam artikel I resolusi
menyebutkan:
Aggression is the use of armed
force by a state against the sovereignty territorial integrity or political
independence of another state or in any other manner inconsistent with the
Charter of the United Nations as set out in this Definition.
Sementara itu, pendekatan enumeratif
diakomodasikan di dalam artikel 3
resolusi yang berbunyi sebagai berikut:
Any of the following acts, regardless of a
declaration of war, shall. Subject to and in accordance with the provision of
article 2, qualify as an act of aggression:
(a) The invasion or attack by the
armed forces a state of the territory of another state, or any military
occuption, however temporary resulting from such invasion or attack, or an
annexation by the use of force of the territory of another state or part
thereof.
(b) Bombradment by the armed
forces of a state against the territory of another state or the use of any
weapons by a state against the territory
of another state.
(c) The blocked of the ports or
coasts of a state by the armed forces of another state
2.Pengaturan Agresi di dalam
Statuta Roma 1998
Seperti yang telah disebutkan, tindakan yang
merupakan kejahatan agresi hingga tulisan ini disusun belum didefinisikan.
Hambatan utamanya terletak pada muatan politik yang syarat didalam upaya
mendefinisikan kejahatan agresi. Sebagai akibat dari kondisi ini, secara
faktual ICC belum memiliki yuridiksi atas kejahatan agresi sepanjang belum ada
definisi yang jelas tentang kejahatan itu. Beberapa penulis berpendapat bahwa
untuk dapat berfungsi efektif sebaiknya memang ICC tidak perlu diberi yuridiksi
atas kejahatan agresi alasannya begitu agresimakalah adedidikirawan didefinisikan dalam
kerangka Statuta Roma 1998, akan terbuka peluang bagi ICC untuk bertentangan dengan Dewan Keamanan PBB yang
secara tradisional telah memiliki kekuasaan untuk mengutuk dan menindak agresi.
Kewenangan ini tampak dari artikel 39 piagam PBB yang berbunyi seperti berikut:
The Security council shall
determine the existence of any threat to the peace, breach of the feace , or
act aggression and shall make recomendation or decide what measures sallbe
taken.
Sebagai
suatu institusi politik, tentu saja Dewan Keamanan akan selalu memandang agresi
dari sisi kepentingan-kepentingan politik negara-negara. Sedangkan sebagai
lembaga yudisial, ICC akan melihat agresi dari sudut pandang hukum, dengan
harapan bahwa pendapatnya mengenai hal itu bisa menjadi preseden bagi
keputusanyudisial berikutnya. makalah adedidikirawanKarena ICC adalah organ yudisial internasional
yang pada waktunya akan memiliki yuridiksi fktual atas kejahatan agresi,
semestinya Dewan Keamnanan PBB menyerahkan kewenangannya yang menyangkut
tindakan agresi. Ada cukup alasan untuk memperkirakan bahwa Dewan Keamanan,
tempat neagara-negara menggunakan hard power guna memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya secara sangat fleksibel, akan enggan untuk
menyerahkan kewenangan strategis yang dimiliki anggota-anggotanya.
E. Unsur-Unsur Kejahatan (elements of crime)
Artikel
9 Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa dalam menerapkan dan menafsirkan
artikel-artikel yang mengatur tentang kejahatan yang dicakup yuridiksinya,
ICC akan menggunakan dokumen element of crime (unsur-unsur tindak
pidana)
Secara umum sebagaimana dinyatakan dalam artikel 30 Statuta Roma 1998,
seseorang akan dianggap bertanggungjawab serta dapat dipidana karena melakukan
kejahatanmakalah adedidikirawan yang diatur didalam Statuta Roma 1998 unsur-unsur material kejahatan
itu dilakukan dengan kesengajaan (intent)
dan pengetahuan (knowledge) yang
merupakan mental element atau unsursubyektif yang harus ada pada diri
pelaku. Unsur subyektif ini harus disimpulkan dari fakta-fakta dan situasi relevan.
Didalam dokumen elements of
crimes, unsur-unsur kejahatan biasanya dirumuskan menurut aturan sebagai
berikut:
·
Unsur-unsur kejahatan biasanya
dirumuskan dengan menggambarkan tindakan (conduct),
akibat tindakan (consequence ), serta
keadaan/situasi yang berkaitan dengan setiap kejahatan
·
Dalam beberapa hal kalau
disebutkan adanya unsur kejiwaan (mental
element), unsur tersebut akan dicantumkan dibelakang unsur-unsur tindakan,
akibat tindakan, dan situasi yang dipersyaratkan
·
Kondisi-kondisilain, biasanya
dicantumkan pada bagian akhir.
Sebagai gambaran, element of
crimes untuk kejahatan genosida yang dilakukan dengan pembunuhan (genocide by killing, artikel 6.(a)
Statuta Roma 1998) dirumuskan seperti berikut ini
·
The prepator killed one or more persons
·
Unsur ini merupakan unsur yang
menggambarkan tindakan (conduct), yakni
tindakan “membunuh”, dengan akibat (consequence)
matinya seorang atau lebih
·
Such persons belonged to a particular national ethnical, racial or religious groups ,
unsur ini menggambarkan keadaan/situasi (circumstance)
yang berkaitan dengan makalah adedidikirawantindak kejahatan, yakni keharusan bahwa (para) korban
merupakan anggota kelompok bangsa, etnis rasial, atau keagamaan tertentu
·
The perpetor intended to destory in whole or in part that national
ethnical, racial or religious groups as such , unsur
ini merupakan unsur subjektif (mental
element) yang menysyaratkan adanya kehendak untuk menghancurkan kelompok
bangsa, etnis, rasial atau keagamaan tertentu itu.
·
The conduct took place in the context of a manifelst pattern of similar
conduct directed against that group or was conduct that could itself effect
such destruction. Unsur ini merupakan unsur
kondisional lain, yakni bahwa tindak kejahatan
itu dilakukan dalam konteks pola tindakan-tindakan yang jelas, yang
ditujukan untuk menghancurkan kelompok yang dimaksud.
Sengketa dan Hubungan
Permusuhan (termasuk perang, konflik bersenjata dan netralitas)
1. Sengketa-sengketa
Internasional
Istilah sengketa-sengkketa internasional (international disputes) mencoba mencakup bukan saja
sengketa-sengketa antar negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang
berada dalam lingkup pengaturann internasional. Yakni beberapa kategori
sengketa tertentu anntara negara makalah adedidikirawandisatu pihak dan individu-individu,
badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara dipihak lain.
Namun bbab ini terutama akan membahas sengketaa-sengjeta antar
negaara-negara dan hal ini akan menjangkau mulai dari perbedaan –perbedaan
kecil yang hampir tidak menimbulkan gelombang dipermukaan internasional sampai
dengan situasi-situasi eksterim makalah adedidikirawandari friksi dan ketegangan yang berkepanjangan
antara negara-negara yang berpuncak pada ancaman terhadap perdamaian dan kemanan.
Upaya untuk menyelsaikan sengketa-sengketa internasinal sedini mungkin,
dengan cara yang seadil-adilnya bbagi para pihak yang terlibat merupakan makalah adedidikirawantujuan
hukum internasional sejak lama, dan kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang
terkait sebagaian merupakan kebiasaan
dan sebagianlagi berupa sejumlah konvensi yang membuat hukum yang sangat
penting seperti konvensi The Hague 1899
dan 1907 untuk penyelsaian secaara damai sengketa-sengketa internasional dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di
Fransisco tahun 1945. Salah satu dari tujuan pokok Charter tersebut adalah
membentuk Organisasi Persetujuan Perserikatan bangsa-Bangsa untuk mempermudah
penyelsaian secara damaii perselisihan-perselisihan antara negara-negara hal ini pun merupakan tujuan dari Liga Bangsa-Bangsa selama periode
aktivitasnya di antara perang Dunia.
Pada umumnya, metode-metode penyelsaian sengketa digolongkan dalam dua
kategori:
1.
Cara-cara penyyelsaian damai,
yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi
yang bersahabat
2.
Cara-cara penyelsaian secara paksa
atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yanng dipakai atau dikenakan
adalah melalui kekerasan, makalah adedidikirawandibawah ini akan makalah adedidikirawandibahas masing-masing golongan
tersebut diatas.
2. CARA-CARA PENYELSAIAN DAMAI ATAU BERSAHABAT
Metode-metode penyelsaian ssengketa-sengketa internasional secara damai
atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini:
a.
Arbitrasi (arbitration)
b. Penyelsaian yudisial (judicial
settlement)
c. Negosiasi, jasa-jasa baik (good
office) , mediasi, konsiliasi dan penyelidikan.
d.
Penyelsaian dibawah naungan
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Klasfikasi ini tidak berarti bahwa proses-proses inni secara kaku
terpisah sama sekali, yang masing-masing hanya sesuai untuk memcahkan saatu
kelompok sengketa tertentu. Posisi makalah adedidikirawanini tidak demikian dalam praktek. Misalnya
perangkat kkerja yang fleksibel yang dibentuk oleh kkonvensi 18 Maret 1965
untuk menyelsaikan sengketa-sengketa antar negara-negara dan warga negara dari
negara lain memuat ketentuan yang membentuk International
Center for the settlement of investment Disputes (ICSID), di Washington,
dengan sarana-sarana untuk arbitrasi dan konsiliasi-konsiliasi sengketa
penanaman modal,, dan ketentuan-ketentuan untuk penels of arbitration and conciliators. Demikian pula perangkat
kaidah model yang disusun pada bulan Februari 1962 oleh Bureau of Permanent Court of arbitration, The Hague , untuk kasus
dimana biro itu menyyediakan gedung-gedung dan fasilitas-fasilitasnya guna
menyelsaikan sengketa-sengketa, hanya salah satu dari pihak yang terlibat
adalah negara, yang memperkenan sengketa-sengketa diajukan secaraa bertahap,
pertama kepada makalah adedidikirawankonsiliasi dan kemudian kepada arbitrasi, dalam hal komisi
konsiliasi tersebut melaporkan bahwa konsiliasi telah menemui kegagalan.
(a)arbitrase
Biasanya, arbitrase menunjukan prosedur yang persis sama sebagaimana
dalam hukum nasionanl, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentu
yang dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, mereka
itulah yang memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbanngan-pertimbangan
hukum. Namun , pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional
menunjukan bahwa beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukum yang
diserahkan kepada para arbitrator untuk diselsaikan berdasarkan hukum. Lebih
llanjut, dalam berbagai macam taktatmakalah adedidikirawan yang menyepakati bahwa sengketa-sengketa
harus diajukan kepada arbitrase, seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk
memutuskan menurut dasar keadilan atau ex
aequo et bono, pengadilan-pengadilan arbitrasi secara khusus diinstruksikan
untuk menerapkan hukum internasional.
Suatu rumusn yang lazim pada abad kkesembilan belas adalah perintah
untuk memberikan keputusan-keputusan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
internasional dan praktek serta
yurisprudensi dari pengadillan-pengadilan yang sama dengan otoritas tetinggi.
Arbitrasi adalah suatu institusi yang sudah cukup tua tetapi sejarah
arbitrasi modern yang diakui adalah sejak Jay
Treaty 1794 anatara Amerika Serikat dan Inggris, yang mengatur pembentukan
tiga joint mixed commision untuk
meenyelsaikan beberapa perselisihan makalah adedidikirawantertentu yanng tidak dapat diselsaikan
selama perundingan traktat tersebut. Meskipun komisi-komisi ini tidak bisa
dikatakan sebagai organ-organ penyelsaian pihak ketiga, dua dari ketiga komisi
iini berhasiil dan hasilnya itu telah membangkitkan lagi minat baru terhadap
proses arbitrasi yang telah mengalami kelesuan sejak sekkitar dua abad yang
lalu. Suatu dorongan lainnya terhadap arbitrasi diberikan oleh albana claims award 1872 antara Amerika Serikat dan inggris. Menurut
Hakim Manly O Hudson:
Kkeberhasilan alabama claims
arbitration mendorong suatu aktivitas luar biasa dibidang arbitrasi
internasional. Dalam tiga dekade sejak tahun 1872, pengadilan arbitrase
berjalan dengan sngat berhasil dalam ratusan perkara ; inggris ambil bagian
dalam sekitar tiga puluh arbitrasemakalah adedidikirawan dan Amerika Serikat dua puluh ;negara-negara
Eropa menjadi pihak pada sekitar enam puluh arbitrasi dan negara-negara Amerika
Latin sekitar enam puluh perkara.
Kalusula-klusula yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada
arbitrase juga sering dimasukan kedalam traktat-traktat, khususnya konvensi
yang membuat hukum (law making) dan
sekkali lagi kita mengutip pernyataan Hakim Manly
O. Hudson. Arbitrasi karenanya menjadi tanganmakalah adedidikirawan utama legislasi international
karena sengketa-sengketa mengenai penafsiran konvensi-konvensi atau penerapan
ketentuan-ketentuan konvensi dapat diajukan kepadanya untuk memperoleh jalan
pemecahan. Juga sejumlah traktat arbitrasi untuk penyelsaian kelompok sengketa
tertentu anntara negara-negara peserta telah dibentuk.
Suatu langkah sangat penting telah diambil pada tahun 1899 ketikka
konfrensi the hague tidak hanya mengkodifikasi hukum tentang
arbitrase tetapi juga meletakan landasan bagi pembentukan permanent court of arbitration. Konfrensi the huage tahun 1907 menyempurnakan pekerjaan konfrensi 1899. Permanent court of arbitration merupakan
sebuah lembaga yang istimewa . Lembaga ini bersipat tetap pun bukan sebuah pengadilan.
Anggota-anggota makalah adedidikirawanMahkamah diangkat oleh negara-negara peserta salah satu atau
kedua konvensi yang disahkan oleh konferensi The huage tersebut. Setiap
negara boleh mengangkat empat orang yang memenuhi syarat dibidang hukum
internasional dan semua orang yang ditunujuk tersebut merupakan sebuah para
panel ahli hukum yang kompeten yang dari mereka itulah diangkat para arbitor
apabila diperlukan. Karena itu negara-negara anggota permanent court of arbitration tidak pernah merupakan sebuah
pengadilan.
“Tugas mereka satu-satunya.... adalah untuk bertindak sebagai
anggota-anggota pengadilan yang dapat dibentuk begitu mereka diminta untuk
menjalankan tugas tersebut”
Apabila timbul suatu sengketa dimana dua negara menghendaki untuk
mengajukannya kepada arbitrase dari permanent
court of arbitration, maka akan berlaku prosedur berikut: “setiap negara
menunjuk dua orang arbitrator, salah seorang diantaranyya boleh warga negaranya
sendiri atau dipilih dari orang-orang yanng didominasikan oleh negara itu sebagai
anggota panel Mahkamah. Para arbitor ini kemudian memilih seorang wasit yang
bertindak sebagai anggota ketua dari pengadilan arbitrasi tersebut. Putusan
diberikan melalui suara terbanyak. Setiap pengadilan yang dibentuk dengan cara
demikian akan bertindak sesuai dengan compromis
khusus atau perjanjian arbitrasi, yang menentukan secara rinci pokok masalah
dari sengketa itu dan waktu yang diberikan untuk mengangkat anggota-anggotamakalah adedidikirawan
pengadilan dan menentukan yuridiksi pengadilan, prosedur tersebut harus ditaati
dan kaidah-kaidah hukum serta prinsip-prinsip menurut mana keputusannya harus
dilaksankan permanent court arbitration
sendiri tidak memiliki yuridiksi yang spesifik. Kurang lebih 20 pengadilan
arbitrase telah diangkat berdasarkan sistem ini sejak mulai terbentuknya
Mahkamah dan beberapa putusan penting telah dikeluarkan, termasuk putusan dalam
pious Fund case 1902 antara Amerika dan Meksiko, muuscat Dhowe Case 1905 antara Inggris
dan Perancis, North atlantic Coast
Fisheries case 1910 antara Amerika
Serikat dan Inggris, serta Savarkan Case antara
Inggris dan Prancis. Dalam praktik, sejumlah kecil anggota yang berpengalaman
khusus telah berulang kali dipilih sebagai anggota arbitor, suatu praktek yang
benar-benar menguntungkan.
Meskipun ada beberapa kekeruangan yang nyata seperti diakatakan oleh
Hakim Manly O. Hudson, Permanent Court of
Arbitration tidak lebih dari padamakalah adedidikirawan “suatu metode dan suatu prosedur” permanent Court arbitration cukup
berhasil dan pada tahun-tahun awal abad ini telah mempengaruhi praktek pemakian
jalan arbitrasi sebagai metode penyelsaian sengketa-sengketa internasional,
sementara itu dapat dikatakan bahwa Mhakamah ini telah membentuk hukum dan
praktek arbitrasi modern. Hal ini tercermin, juga dalam sejumah besar traktat-traktat
arbitrasi, baik multilateral maupun bilateral,serta perjanjian-perjannjian
pengajuan ad hoc tertentu, yang dibentuk sebelum dan sesudah perang dunia
kesatu.
Setelah perang dunia kesatu, beberapa pengadilan arbitrasi penting
telah berfungsi. Diantaranya dapat disebutkan beberapa komisi kali Meksiko (Mexcian Claims Commision) yang
menyelsaikan klaim-klaim negara luar yang bersengketa denganmakalah adedidikirawan Meksiko atau atas
nama warga negara mereka dan Mexcian Arbitral Tribunal yang dibentuk di Eropa
untuk menangani berbagai kalim yang timbul dari pembagian kembali wilayah
sebagai akibat terbentuknya Treaty of
Versailes 1919.
Arbitrasi pada hakikatnya adalah
suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa kemuka
arbitrasi, kecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik
secara umum dan sebbelumnya maupun adhoc berkenan dengan suatu makalah adedidikirawansengketa
tertentu. Kesepakatan negara-negara itupun mencakup penentuan karakter dari
pengadilan yang akan dibentuk.
Struktur pengadilan-pengadilan arbitrasi karenanya dalam praktek
memperlihatkan beberapa kejanggalan. Kadang-kadang arbitator tunggal yang
menyelsaikan suatu sengketa, pada kesemppatan lain yang menjadi arbitrator
adalah suatu komisi dengan anggota-anggotanya diangkat oleh negara-negaramakalah adedidikirawan
bersengketa, dan yang terjadi adalah dibentuk sebuah komisi gabungan, yang
terdiri dari calon-calon yang diajukan suatu negara biasanya adalah warga
negaranya sendiri ; kadang-kadang mereka dianggap sebagai mewakili negara yang
mengangkatnya dan berada dibawah kendali dari negara tersebut- suatu praktek
yang dalam beberapa hal dapat menimbulkan keberatan.
Sengketa-sengketa yang diajukan kepada arbitrasi beraneka ragam
sifatnya. Pengadilan-pengadilan arbitrasi terutama menangani sengketa-sengketa
yang menyangkut baik masalah hukum maupun sengketa yang mengenai faktamakalah adedidikirawan dan yang
memerlukan beberapa pemahaman yang mendalam mengenai isi materi
kontroversi tersebut. Pada dasarnya
pengadilan-pengadilan tersebut tidak boleh menolak atau mmenangani suatu
persoalan baik karena alasan tidak ada kaidah hukum yang diakui yang dapat
diberlakukan. Atau dengan alasan bhwa dalam masalah itu terkait banyak aspek
politik. Karena alasan inilah seringkali dibuat pembedaan oleh para penulis
hukum internasional yaitu anatara sengketa-sengketa yang justiciable dan yang non
justiciabel , pembedaan mana agak sulit dipahami dan tidak memperlihatkan
nilai praktisnya. Namun karena adanya klausula-klausula dalam traktat-traktat
arbitrasi, negara-negara sering menolak arbitrasi-arbitrasi terhadap makalah adedidikirawansengketa
yang mempengaruhi kepentingan-kepentingan vital mereka,atau yang semata-mata
bersangkutan dengan masalah yuridiksi domestik, sengketa-sengketa demikian
dapat dimasukan kedalam pengertian yang non
justiciable dan hanya terbuka untuk diselsaikan dengan prosedur konsiliasi.
Sebuah contoh adalah klausula dalam Anglo
French arbitration Treaty 1963, dimana kedua negra mengikatkan diri untuk
tidak mengarbitrasikan sengketa-sengketa yang “mempengaruhi
kepentingan-kepentingan vital, kemerdekaan atau kehormataan” dari peserta
perjanjian. Suatu perbedaan yang paling jelas adalah pembedaan antara
sengketa-sengketa hukum dan nn hukum (lihat misalnya Pasal 36 Character
Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Senantiasa akan ada tempat bagi arbitrasi dalam hubungan-hubungan
antara negara-negara. Prosedur arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan
penyelsaian yudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan
apabila deanggap perlu arbitrasi dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan
sampai tingkat tertenntu para pihak boleh mnyepakti bahwa makalah adedidikirawanputusan-putusan tidak
akan dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek
dan wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal . yang terakhir,
prosedur arbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses
pencarian fakta yang disediakan dalam kasus negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi
konsiliasi dan penyelidikan.
(b) penyelsaian Yudisial
Penyelsaian yudisial berarti suatu penyelsaian dihasilkan melalui suatu
pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya dengan
memberlakukan kaidah-kaidah hukum.
Satu-satunya organ umum untuk penyelsaian yudisial yang pada saat ini
tersedia dalam masyarakat internasional adalah International Court of Justice di The Hague
, yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas permanent court of
international Justice. Pengukuhan kedudukan dilaksanakan pada tanggal 18 April
1946, dan pada tanggal itu juga pendahulunya yaitu permanent Court of international Justice, di bubarkan oleh Majelis
Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang terakhirnya.makalah adedidikirawan Perbedaan pokok antara
mhkamah, disatu pihak, dan suatu pengadilan arbitrasi, dilain pihak, dapat
dilihat dengan merujuk kepada hal-hal berikut ini :
1.
Mahkamah secara permanen merupakan
sebuah pengadiilan, yang diatur dengan statuta dan serangkaian ketentuan
prosedurnya yang mengikat terhadap semua pihak yang berhubungan dengan
Mahkamah.
2. Mahkamah memiliki panitera (register) tetap, yang menjalankan semua
fungsi yang diperlukan dalam menerima dokumen-dpkumen untuk arsip, dilakukan
pencatatan dan pengesahan, pelayanan umum mahkamah dan bertindak sebagai
saluran komunikasi tetap dengan pemerintah dan badan-badan lain.
3. Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sementara,
pembelaan-pembelaan dan catatan-catatan dengar pendapat serta
keputusan-keputusannya dipublikasikan.
4. Pada prinsipnya mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara untuk proses
penyelsaian yudisial segala kasus yang dapat diserahkan oleh negara-negara itu
makalah adedidikirawankepadanya dan semua masalah khususnya yang diatur dalam traktat dan konvensi
yang berlaku.
5. Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus mnetapkan bentuk hukum yang
berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah dalam perkara-perkara dan
masalah-masalah yang diajukan kehadapannya, tanpa menyampingkan kewenangan
Mahkamah untuk memutuskan suatu perkara ex
aequo et bono apabila para pihak setuju terhadap cara tersebut (meskipun
bukan ex aequo et bonomakalah adedidikirawan dalam
pengertian yang kaku, prinsip-prinsip kepantasan diterapkan oleh Mahkamah dalam
sejumlah besar perkara beberapa waktu iini yang diajukan kepadanya yang
berkenaan dengan penetapan batas-batas maritim dan teritorial).
6. Keanggotaan Mahkamah adalah berupa wakil-wakil dari bagian terbesar
masyarakat internasional dan mewakili sistem hukum utama, sejauh hal itu tidak
bertentangan dengan pengadilan lain (saat ini makalah adedidikirawanenam orang hakim Mahkamah berasal
dari negara-negara Afrika dan Asia, sedangkan semula hanya dua orang hakim dari
bagian dunia itu).
7.
Yang terakhir, dimungkinkan bagi
mahkamah untuk mengembangkan suatu praktek yang kkonsisten dalam proses-proses
makalah adedidikirawanperadilannya dan memelihara kesinambungan wawsan terhadap suatu hal yang tidak
sesuai jika dilakuakn pengadilan-pengadilan ad hoc .
International court of justice
dibentuk berdasarkan Bab IV (Pasal 92-96) Character
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945.
Pasal 92 Charater menyatakan bahwa Mahkamah akan bekerja menurut suatu Statuta,
yang merupakan “bagian integral” . dari Charter. Sebaliknya, Mahkamah
terdahulu, makalah adedidikirawanpermanent Court of
international justice, bukan merupakan suatu organ dari Liga Bangsa-Bangsa,
meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengzn liga. Karena International Court of Justice berakar
kuat dalam perserikatan Bangsa-Bangsa, maka negara-negara anggota terikat
kepada Mahkamah sebagaimana halnya kepada organ-organ utama Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan memangmakalah adedidikirawan pada tahun 1986 saat memperingatai hari jadi Mahkamah
ke-40, ketua Mahkamah (Hakim Nagendra Singh) menyatakan bahwa dalam bidang
penyelsaian sengketa-sengketa secara damai Mahkamah dan Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bngsa , merupakan organ-organ yang saling melengkapi . juga
mahkamah terkait oleh tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
prinsip-prinsip yang dinyyatakan makalah adedidikirawandalam Pasal 1 dan 2 Charter dan karena Statuta
Mahkamh dilampirkan pada Charter serta merupakan suatu bagian integral dari
Charter, maka konteks Charter tersebut merupakan suatu faktor pengendali dalam
penafsiran ketentuan-ketentuan dari statuta.
Sebagai
contoh fakta bahwa Mahkamah telah melaksanakan yurisdisi terhadap seluruh
bidang hukum internasional, berikut ini bermacam-macam masalah hukum
internasional yang telah ditanganinya sengketa-sengketa penetapan batas
teritorial dan maritim, penghindaran penggunaan kekerasan, non intervensi,
dekolonisasi, hukum traktat dan penafsiran traktat, pengujian nuklir, hukum
diplomatik dan konsuler, tanggungmakalah adedidikirawan jawab negara, perlakuan terhadap orang-orang
asing, status penanaman modal asing, suaka, nasionalitas dan perwalian.
Statuta
memuat kaidah dasar mengenai kontruksi, yuridiksi dan prosedur Mahkamah serta
ditambah dengan dua perangkat kaidah yang makalah adedidikirawandikeluarkan oleh Mahkamah sesuai
dengan kewenangan untuk perumusan peraturan yang dimiilikinya menurut Pasal 30
Statuta, yaitu:
a.
Rules of Court yang disahkan pada tanggal 14
April 1978 yang merupakan suatu upaya revisi atas peraturan sebelumnya yang
disahkan pada tanggal 6 Mei 1946, yang didasarkan pada aturan-aturan yang sama
pada tahun 1936, yang diberlakukan oleh Permanent Court of International Justice dan yang telah diubah pada tahun
1972 ketentuan-ketentuan itu mulai berlaku tanggal 1 Juli 1978 dan sejak saat
itu menggantikan atuarn-aturan sebelumnya, yang telah diubah, makalah adedidikirawanberkaitan dengan
setiap perkara yang diajukan kepada Mahkamah sebelum tanggal 1 Juli 1978, atau
suatu tahap perkara tersebut yang seharusnya diatur oleh aturan-aturan
terdahulu. Aturan-aturan revisi yang baru tersebut bukan saja memuat
ketentuan-ketentuan acara, melainkan juga kaidah-kaidah yang mengatur struktur
dan tugas Mahkamah serta tugas pekerjaan Panitera.
b.
Resolusi tanggal 12 April 1978,
mengenai praktek yudisial intern Mahkamh, yang merupakan sebuah versi revisi
dari Resolusi yang dikeluarkan tanggal 5 Juni 1968. Resolusi ini menetapkanmakalah adedidikirawan
praktek yang harus diikuti oleh Mahkamah berkaitan dengan pertukaran pandangan
antar para hakim dalam kaitannya denngan masalah-masalah khusus, setelah
selesainya proses perkara tertulis dan sebelum diselenggarakan dengan pendapat
lisan, serta berkenaan dengan pertimbangan mahkamah secara terpisah setelah
penyimpulan dengar pendapat lisan, tentang suatu pendapat untuk mencapai suatu
keputusan, pemungutan suarau oleh para hakim, persepian keputusan dan
opini-opini terpisah dan opini-opini yang menyaggah. Sebagaimana dikatakan
didalam pembukaan Resolusi, Mahkamah “tetap sepenuhnya bebas untuk menyimpangi
resulusi ini, atau suatu bagianmakalah adedidikirawan daripadanya, dalam kaitan suatu perkara yang
sedang ditangani, apabila mahkamah menganggap bahwa keadaan-keadaan membenarkan
langkah-langkah demikian”.
Tampak
bahwa aturan-aturan prosedural dijumpai dalam Statuta dan dalam Rules of Court. Pada umunya, perbedaan
hakiki antara muatan kedua instrumen itu adalahmakalah adedidikirawan bahwa Statuta terutama sangat
penting bagi Mahkamah itu sendiri, sedanngkan Rules of Court utamanya sangat
penting bagi para pihak yang tampil di hadapanmakalah adedidikirawan Mhkamah. Lebih lanjut, Stuta
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding denngan Rules of Court ; karena
merupakan suatu bagian integral dari Charter, Statuta tidak dapat diubah secara
langsung oleh hakim-hakim sendiri, tidak seperti Rules of court, karena
dikatakan sebagai hhukum lebih tinggi, maka Rules of Courttidak dapat
dikesampingkan atau diubah sedemikian rupa sehingga secra tegas maupun implisit
menjadi bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dasar Statuta.
Semua
anggota perserikatan Bangsa-Bangsa Ipso
Facto adalah pesertamakalah adedidikirawan Statuta, tetapi negara-negara lain dapat menjadi
peserta, berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam setiap perkara oleh
mmajelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atas rekomendasi dari Dewan Keamanan
(Pasal 93 Charter). Syarat-syarat yang ditetapkan dalam kaitan ini, yang hingga
saat ini sama untuk setiap kasus, yaitu, penerimaan mereka atas Statuta,
penerimaan kewajiban-kewajiban berdasarkan Pasal 94 Charter Persernasikatan Bangsa-Bangsa
dan melaksanakan suatu pemberian makalah adedidikirawansumbangan kepada anggaran Mahkamah yang dimuat
dalam Resolusi Majelis Umum 11 Desember 1946.
Mahkamah
terdiri dari lima belas hakim. Orang-orang itu merupakan sebuah panel para
calon anggota Mahkamah yang dinominasikan oleh kelompok nasional panel permanent court of arbitration. Dari
daftar calon ini,makalah adedidikirawan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, yang secara independen
melakukan pemungutan suara, memilih anggota-anggota Mahkamah untuk pemilihan
tersebut disyaratkan suara terbanyak mutlak baik dalam Majelis maupun Dewan.
Prosedur untuk pemilihan yang bersamaan waktunya oleh Majelis Umum dan Dewan
Keamanan berlaku juga pada kasus pengisisan lowongan-lowongan tidak tetap
misalnya karena meninggalnya atau pensiunnya seorang hakim. Bukan cuma
kualifikasi-kualifikasi hukum tertinggi (yakni dalam kapasitas untuk diangkat
pada jabatan-jabatan yudisial tertinggi di negara-negara mereka, maupun untuk
menjadi konsultan-konsultan hukum yang
diakui kompetensinya dalam hukum
makalah adedidikirawaninternasional ; lihat Pasal 2 Statuta) yang diwajibkan berdasarkan Statuta
untuk kriteria untuk pemilihan pada mahkamah melainkan juga pengangkatan itu
harus dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa para hakim yang dipilih tersebut
benar-benar mewakili “bentuk-bentuk peradaban utama” dan” ..... sistem-sistem
hukum utama dunia (Pasal 9 Stuta).
Pemilihan
itu untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1946, berdasarkan semacam gentlemen’s Agreement, yang sekarang ini berlaku, pembagian
regionalmakalah adedidikirawan para hakim yang dipilih adalah: Afrika 3;Amerika Latin 3; Asia3; Eropa
Barat dan negara-negara lain 5; dan Eropa
Timur 2 hakim.
Yuridiksi International Court
of Justice
Mahkamah
Terbuka:
a.
Bagi negara-negara
(anggota-anggota atau bukan anggota Perserikatan Bangsa-bangsa) peserta
Statuta, dan
b. Bagi negara-negara lain dengan syarat-syarat yang ditentukan Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tunduk pada ketentuan-ketentuan khusus
yang dimuat dalam makalah adedidikirawantraktat-traktat yang berlaku dan syarat-syarat itu tidak
untuk menempatkan paara pihak dalam
kedudukan yang tidak sama dihadapan mahkamah (Pasal35 Statuta).
Yuridiksi mahkamah ada
dua macam:
a.
Untuk memutuskan prkara-prkara
pertikaian (contentius case)
b.
Untuk memberi opini-opini nasihat
(advisory opinion)
Kedua
fungsi terseb ut merrupakan fungsi-fungsi yudisial.
Yuridiksi pertikaian
Pada prinsiipnya, dalam kasus-kasus pertikaian pelaksanaan yuridiksi
mahkamah mensyaratkan adanya persetujuan para pihak ddalam sengketa. Menurut
Pasal 36 Ayat 1 Statuta Mahkamah memiliki yuridiksi terhadap semua perkara yang
diajukan oleh para pihak; pengajuan tersebut biasanya dilakukan dengan
memberitahhukan suatu perjanjian bilateral yang dinamakan compormis. namun, seperti akan terlihat nanti dari yearbook yang dikeluarkan Mahkamah tahun
1986-1987 (1987) suatu dokumen dakwaan
yang dibuat makalah adedidikirawanoleh para pihak sebagai suatu “perjanjian khusus”, yang
sifatnya lebih dari sekedaar suatu compormis
ditahun 1980-an menjadi bentuk yang paling lazim dipakai untuk membawa
suatu perkara kehadapan mahkammah . Ketentuan dalam Pasal 36 ayat 1, tidak
boleh diartikan bahwa Mahkamah hanya memiliki yuridiksi apabila proses
peradilan diawali dengan suatau penyerahan sengkketa secara bersama oleh
negaara-negara yang bertikai. Suatu penyerahan sepihak dari sengketa demikaian
kepada Mahkamah oleh salah satu pihak, tanpa didahului dengan suatu perjanjian
khusus, sudah dianggap mencukupi apabila pihak atau pihak-pihak yang lain dalam
senggketa tersebut menyetujui penyerahan demikian, atau kemudian,
menyetujuinya. Adalah cukup apabila ada suatu pengajuan makalah adedidikirawansukarela pada yuridiksi
(yaitu prinsip forum pororogatum) dan
persetujuan itu tidak disyaratkan ada sebelum dilakukan proses peradilan atau
dinyatakan dalam bentuk khusus apapun . suatu rekomendasi oleh Dewan Keamanan
Perserikatan Banngsa-Bangsa bahwa para pihak harus menyelsaikan suatu sengketa
hukum dengan cara menyerhkannya kepada Mahkamah (lihat Pasal 36 ayat 3 Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa) tidak dengan sendirinya mencukupi untuk memberikan
yuridiksi kepdamakalah adedidikirawan mahkamah atas sengketa tersebut. Namun, dengan tidak adanya
persetujuan dan tidak ada pengajuan oleh pihak lain dalam perkara tersebut,
maka perkara itu harus dikeluarkan dari daftar kepanitraan mahakamah. Juga
mahkamah tidak dapat memutuskan materi suatu perkara dalam hal tidak hadirnya
negara yang berkepentingan secara materil.
Hanya negara-negara yang dapat menjadi pihak dalam perkara dimuka
Mahkamah, akan tetapi mahkamah diberi kewenagn untuk memperoleh atau meminta
informasi dari organisasi internasional publik yag ada perkaitannya dengan
perkara-perkara itu, atau organisasi-organisasi tersebut dapat memberikan
informasi atas inisiatifnya makalah adedidikirawansendiri (lihat Pasal 34 Statuta Mahkamah). Lebih lanjut,
mahakamah telah diberi yuridiksi berdsarkan Statuta-statuta dari
pengadilan-pengadilan administrasi perserikatan Bangsa-Bangsa dan dari
organisasi buruh internasional (ILO) untuk menetapkan melalui opini nasihat
mengenai apakah keputusan-keputusan dari pengadilan-pengadilan ini telah
dilemahkan oleh kesalahan makalah adedidikirawan– kesalahan fundamental dalam prosedur, dan lain-lain
serta dalam kaitan hal tersebut atas permintaan untuk memberikan suatu opini
nasihat oleh organisasi-organisasi intetrnasional yang bersangkutan, dapat
mempertimbangkan observasi-observasi dan informasi-informasi tertulis yang
dikemukakan atas nama individu-individu, yaitu pejabat-pejabat terhadap siapa
keputusan tersebut ditujukan. Organisai-organisasi tersebut tidak dapat menjadi
pihak dalam proses peradilan pertikaian dihadapan mahkamah, namun mungkin dapat
melakukan hal tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang relevan dari
konvensi Wina 1986 tentang Hukum Traktat antara negara-negara dan
organisasi-organisasi internasional atau antara organisasi internasional satu
sama lain bahwa mahkamah boleh diminta untuk memutuskan dengan segala jalan
dalam apa yang disebut sengketa hybrid dari
fenafsiran antara suatu negara danmakalah adedidikirawan sebuah organisasi internasiional. Sudah
barang tentu, suatu negara dalam lingkup kebijaksanaan mutlaknya boleeh
mendukung perkara salah seorang dari warga negaranya, dengan alasan adanya
suatu pelanggaran hukum internasional yang dianggap telah merugikan warga
negaranya tersebbut tetapi sengketa dan proses perkara yang berkaitan akan
terus berjalan diantara negara-negara terkait. Selanjutnya suatu permintaan
untuk memberi opini melihat dapat dikemukakan sedemikian rupa sehingga
memungkinkan mahkamah untuk menyatakan hak-hak individumakalah adedidikirawan atu kelompok-kelompok
yang bukan negara. Haruskan individu-individu mengajukan kepada mahkamah
dengan maksud untuk memperoleh keputusan
atas persoalan-persoalan diantara mereka dan pemerintah mereka sendiri atau
pemerintah negara lain, dalam praktek adalah tugas Panitera Mahkamah untuk
menginformasikan kepada pihak pemohon tersebut bahwa menurut Statuta Pasal 36
hanya negara yang dapat menjadi pihak didalam perkara-perkara dihadapan
Mahkamah sedangkan apabila badan-badan selain individu berusaha untuk
mengajukan proses peradilan, maka panitera dapat menyerahkan hal itu kepada
mahkamah dalam pertemuan tersendiri,
apabila ia tidak yakin tentang status dari badan yang mengajukan makalah adedidikirawanpengaduan.
Usulan-usulan telah diajukan dari waktu-kewaktu untuk mengubah keadaan berdasarkan
Statuta Mahkamah agar dapat memungkinkan akses individu-individu pribadi,
korparasi-korporasi dan organisai-organisasi non-pemerintah. Salah satu dari
proposal tersebut, yang tampaknya mustahil yaitu bahwa Mahkamah seyogyannya
memiliki yuridiksi untuk menanganimakalah adedidikirawan sengketa-sengketa mengenai
penafsiran-penafsiran kontra-kontrak
transnasional antara pemerintah-pemerinta, disatu pihak, dan
perusahaan-perusahaan multinasional, dipihak lain.
Mahkamah memiliki yuridiksi wajib apabila:
1.
Para pihak bersangkutan terkait
oleh traktat-traktat atau konvensi-konvensi dimana menyepakti bahwa mahkamah
akan memiliki yuridiksi terhadap kattegori sengketa-makalah adedidikirawansengketa tertentu. Di
antara instrumen-instrumen yang mengatur penyerahan persoalan atau
sengketa-sengketa kepada Mahkamah adallah sejumlah perjanjian Pengangkutan
Udara Bilateral, traktat perdagangan dan kerjasama ekonomi, konvensi-konvensi
konsuler, traktat perdamaian dengan Jepang yang ditandatangani di San Fransisco
pada tanggal 8 September 1951makalah adedidikirawan (lihat Pasal 22 ) dan konvensi Eropa untuk
penyelsaian sengketa-sengketa secara damai yang dibentuk di Straassbourg pada
tanggal 29 April 1957. Untuk menjaga adanya kesinambungan dengan pekerjaan Permanent Court of International Justice,
Statuta Mahkamah menyatakanmakalah adedidikirawan lebihila
lanjut (Pasal 37) bahwa apabila suatu traktat atau konvensi yang berlaku
mengatur pelimpahan suatu masalah kepada permanent
Court of international Justice, maka permasalahan itu harus dilimpahkan
kepada international Court of Justice.mahkamah
harus benar-benar yakin bahwa traktat atau persetujuan yang dipakai sebagai
sandaran oleh penggugat untuk meminta yuridiksi Mahkamah adalah traktat yang
secara tegas memberi yuridiksi pada saat mahkamh menerima permintaan unilateral
untuk melaksanakan yuridiksi itu dengan demikian suatu makalah adedidikirawanpersetujuan yang menyatakan
pengajjuan bersama baik oleh negara yang mengajukan gugatan maupun oleh negara
yang digugat tidak menjadi suatu komitmen bagi negara tergugat untuk menerima
yuridiksi wajib mahkamah berdasarkan persetujuan tersebut.
2. Para pihak yang terkait oleh deklarasi yang dibuat menurut apa yang
disebut “klausula opsional (optional
clause) ayat 2 Pasal 36 Statuta, klausula ini muncul dalam Statuta lama,
yang secara subsantial samamakalah adedidikirawan dengan yang ada dalam Statuta sekarang. Saat ini
ditentukan bahwa para peserta statuta setiap saat dapat menyatakan bahwa mereka
mengakui sebagai kewajiban ipso facto dan tanpa perjanjian khusus dalam
hubungannya dengan negara lain ya ng menerima kewajiban yang sama, yuridiksi
Mahkamah dalam semua sengketa hukum mengenai:
a. Penafsiran suatu traktat
b. Setiap persoalan hukum internasional
c. Keberadaan suatu fakta yang, apabila ada, akan merupakan suatu
pelanggaran kewajiban internasional.
d.
Sifat hakikat dan besarnya jumlah
ganti rugi yang harus diberikan bagi pelanggaran suatu kewajiban internasional.
Deklarassi-deklarasi
ini dapat dibuat:
a.
Tanpa syarat; atau
b.
Dengan syarat resiprositas dipihak
beberapa atau negara-negara tertentu; atau
c.
Hanya waktu tertentu
Menurut
deklarasi yang dibuat tersebut dan yang menentukan bahwa sengketa itu berkarakter
hukum serta bahwa sengketa itu tergolong dalam kategori khusus, maka yuridiksi
mahkamah menjadi wajib. Mahkamah diberi wewenang untuk memeutuskan apakah suatumakalah adedidikirawan
sengketa tertentu termasuk salah satu dari yang disebutkan dalam “klausula
Opsional” atau bukan.
Seperti
dikemukakan untuk menjaga kesinambungan dengan permanent Court of international justice, pasal 36 ayat 5
menentukan bahwa deklerasi-deklarasi yang dibuat berdasarkan “klausula
Opsional” dalam Statuta lama, diantara para pihak peserta dari statuta, harus
dipandang sebagai penerimaan atas yuridiksi wajib dari Mahkamah Sekarang untuk
jangka waktu yang harus mereka makalah adedidikirawantempuh dan sesuai dengan syarat-syaratnya.
Ketentuan-ketentuan ini telah menjadi pokok bahasan penafsiran oleh Mahkamah
sekarang menurut keputusannya dalam Case
concerning Aerial Incident of July
27, 1955 (preliminary Objection)
dekllarsi-deklarasi terdahulu tersebut hanya dapat ditransfer apabila dibuat
oleh negara-negara peserta Statuta sekarang yang menghadiri konfrensi San
Fransisco sewaktu merumuskan Statuta tersebut dan suatu deklarasi terdahulu
yang dibuat oleh negara lainnya peserta Statutamakalah adedidikirawan yang masa berlakunya berakhir
tahun 1946 saat Permanent Court Of
international Justice berakhir keberadaannya. Namun, menurut keputusan
Mahkamah dalam Preah Vihear Temple Case
(Preminilary Objections) suatu deklarasi yang dibuat setelah tahun 1946
oleh negara lain itu untuk mem perbaharui deklarsi yang berdasarkan Klausula
makalah adedidikirawanOpsional dalam statuta lama, bagaimanapun berlaku sah seperti halnya deklarasi
berdasarkan Statuta sekarang, karena dengan pembubaran Permanent Court of International Justice, deklarasi itu tidak
berlaku kecuali berkaitan dengan Mahkamah sekarang.
Pada
waktu berlangsung konfrensi San Fransisco, beberapa delegasi telah mengemukakan
bahwa statuta harus mengatur yuridiksi wajib mahkamah terhadap
sengketa-sengketa hukum, tetapi negara-negara lain mengharapkan bahwa hasil
seperti itu secara praktis dapat diperoleh melaluimakalah adedidikirawan penerimaan luas atas
Klausula Opsional, harapan ini sampai sekarang belum terlaksana.
Sebagian
besar deklarasi yang sekarang berlaku adalah tunduk kepada syarat resiprositas.
Banyak dari deklarasi itu juga mencakup reservasi-reservasi, yang membebaskan
diri dari berbagai macam sengketa dari yuridiksi wajib. Reservasi-reservasi
mengenai yuridiksi makalah adedidikirawansampai begitu jauh perlu distandarisasi, yang mencakup
antara lain pembebasan dari:
I.
sengketa-sengketa masa lampau, atau
sengketa-sengketa yang berkenaan dengan situasi atau fakta terdahulu.
II.
Sengketa-sengketa untuk mana
berlaku metode-metode penyelsaian lain.
III.
Sengketa-sengketa mengenai
persoalan-persoalan didalam yuridiksi domestik atau nasionaldari negara yang
membuat deklarasi.
IV.
Sengketa-sengketa yang timbul dari
perang atau permusuhan-permusuhan,dan
V.
Senngketa-sengketa antara negara-negara
anggota persemamuran inggris.
Namun
demikian, kebanyakan dari reservasi tersebut hanyalah klausula-klausula
penghindaran diri atau klusaula yang secara sengaja dimaksudkan untuk menjadi
cara pelarian. Sistemmakalah adedidikirawan yuridiksi wajib opsional tersebut hampir merupakan hal
yang absurd.
Suatu
kasus tentang reservasi yang punya maksud khusus adalah apa yang disebut bentuk
reservasi otomatis atau menghakimi sendiri yang dimuat pada ketentuan (b) dalam
deklarasi Amerika tanggal 14 Agustus 1946, yang meresarvasi sengketa-sengketa
berkenaan dengan masalah-masalah yng benar –benar berada dalam yuridiksi
domestik Amerika Serikat sebagaimana yang ditentukan oleh Amerika Serikat
Validitas dari reservasi ini, yang ada pada umumnya disebut sebagai amandemen
Conally telah dipertanyakan.
Sejumlah
hal yang mempengaruhi berlakunya Klausulamakalah adedidikirawan Opsional telah ditetapkan oleh
Mahkamah sekarang :
a.
Apabila suatu deklarasi, tunduk
kepada syarat resiprositas yang dibuat oleh suatu neggara, dan negara-negara lain berusaha untuk mengupayakan
yuridiksi wajib tetap berlaku terhadap deklarasi itu, maka negara yang dituntut
itu berhakuntuk menolak pelaksanaaan yuridiksi oleh Mahkamah dengan mengambil
keuntungan dari reservasi yang lebih
luas, termasuk bentuk-bentuk resvarasimakalah adedidikirawan otomatis atau menghakimi sendiri, yang
dibuat oleh negara yang mengajukan klaim dalam deklarsinya, yuridiksi yang
dilimpahkan kepada mahkamah hanya sebatas titik temu kedua deklarasi itu, yaitu
yuridiksi dibatasi kepada golongan-golongan sengketa tertentu yang tidak makalah adedidikirawandikecualikan
oleh negara manapun. Akan tetapi akibat bilateral inibtidak berlaku secara
menguntungkan negara yang dituntut kecuali atas dasar reservasi yang lebih
besar yang benar-benar dimuat dalam deklarasi negara yang mengajukan klaim
fakta bahwa negara yang mengajukan klaim apabila proses perkara telah berjalan
di Mahkamah terhadap negara yang dituntut, dapat tetap berhak untuk menolak
yuridiksi, atas dasar resvarasi yang lebih luas dalam deklarasi negara yang
dituntut, adalah belum cukup untuk menjalankan prinsip bilateral. Juga secara
logika, hal itu tidak berlaku makalah adedidikirawanapabila negara yang dituntut memilih untuk secara
tegas menghapuskan setiap penolakan terhadap yuridiksiatas dasar akibat
bilateralini.
b.
Apabila suatu sengketa antara
negara-negara berkaitan denngan masalha-masalah yang secara ekslusif berada
dalam yuridiksi domestik dari negara yang dituntut, hal ini tidak termasuk
dalam kategori sengketa-sengketa hukum yang disebutkan didalam Pasal 36
ayat (2).
c.
Suatu deklarasi yang dibuat hampir
tepat sebelumnya dan dengan tujuan permohonan kepada Mahkamah adalah sah juga
merupakan suatu penyalahgunaan proses Mhkamah
d.
Apabila suatu masallah secara
semestinya diajukan kkehadapan Mahkamah bberdasarkan Pasal 36 ayat (36) ayat
(2), maka yuridiksi Mahkamah tidak hapus dengan makalah adedidikirawantindakan sepihak negra yanng
dituntut dengan berakhirnya deklarsi negara itu secara keseluruhan atau
sebagian
Sebelum
mahkamah dalam Courfu Channel Case (perliminary Objection), ada pendapat
bahwa terhadap kategori ketiga dari yuridiksi wajib, yaitu dimana menurut Pasal
36 Charter Perseriktan Bangsa-bangsa, Dewan Keamanan merekomendasikan para
pihak dalam sengketa untuk menyerahkan perkara mereka kepada Mahkamh, khususnya
ayat (3) dari pasal tersebut yang menyatakanmakalah adedidikirawan bahwa dewan harus memerintahkan,
apabila sengketa itu itu sifatnya sengketa hukum, untuk merekomendasikan
pengajuan kepada mahkamah. Namun dalam keputusan international Court of Justice, tujuh hakim menegaskan pendapat
mereka bahwa pasal ini tidak menciptakan
suatu golongan yuridiksi wajib yang baru dan fenafsiran itu tampaknya berlaku
padamakalah adedidikirawan suatu keputusan Dewan Keamanan menurut Pasal 33 menyerukan para pihak
untuk menyellsaikan sengketa-sengketa mereka melalui penyelsaian yudisial.
Apabila
mahkamah telah memiliki yuridiksi wajib, maka metode biasa melalui proses
peradilan diijalankan dengan melalui suatu permohonan tertuliis sepihak yang
ditujukan kepada panitera, dengan menyatakan pokok sengkekta serta pihak atau
pihak-pihak lain dalam sengketa makalah adedidikirawanitu. Panitera kemudian menyampaikan permohonan
tersebut kepada pihak atau para pihak lain dan memberitahu seluruh anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara lain yang berhak tampi dihadapan
Mahkamah (Pasal 40). Mahakamah tidak dapat melaksankan yuridiksi atas
kehendaknya sendiri, karena salah satu pihak paling tidak harus memilih untuk
membawa perkara itu kehadapannya, maka pihak lain kemudian terikat untuk
menerima Yuridiksi mahkamah. Ada suatu unsur keluwesan yang penting dalam
sistem tersebut, kedua pihak tetap bebas dalam setiap tahap untuk menyelsaikan
makalah adedidikirawansengketa terkait melalui perjanjian, tanpa perlu persetujuan oleh Mahkamah,
yang dapaat diumumkan begitu saja sebagai pernyataan perkara itu dihapus dari
daftar (lihat juga Pasal 88 Rules of
Court1978). Atau salah satu pihak boleh saja hanya memberikan pemberitahuan
tertullis tentang penghentian proses perkara, seperti yang dilakukan oleh
Nircagura baru-baru ini yaitu pada tanggal 12 Agustus 1987 untuk perkara yang
diajukannya pada bulan Juli 1986 melawan Costa Riica, kemudian Ketua Mahkamah
mengeluarkan perintah, secara berturut-turut, untuk mencatat penghentian proses
perkara ttersebut dan mencoret perkara itu dari register (bandingkan Pasal 89
Rules of Court).
Akibat
dari pelaksanaan yuridiksi wajib oleh mahakamah dijelaskan oleh
ketentuan-ketentuan Pasal 94 Charter Perserikatan bangsa-Bangsa harus mematuhi
keputusan Mahkamah dalam setiap kasus dimana ia menjadi pihak, lebih lanjut,
apabila salah satu pihak dalam perkara lalai melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya olehmakalah adedidikirawan mahkamah, maka pihak lain dapat meminta bantuan
Dewan Kweamanan yang akan membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan
tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memberlakukan keputusan mahkamah
tersebut dan hal-hal ini dapat dinyatakan melalui pertimbangan-pertimbanngan
yang berlainan dengan pertimbangan yang menjadi syarat proses eksekusi dalam
sistem hukum domestik. Tidak ada ketentuan-ketentuan yang memungkinkan mahkamah
memaksakan keputusan-keputusannya dan hal makalah adedidikirawanini tentunya merupakan suatu
kelemahan yang serius.
Prosedur
dalam kasus-kasus pertikaian sebagian dilakukan secara tertulis, sebagian lagi
secara lisan, proses pmmeriksaan tertulis dari mahkamah mencakup penyampaian
alasan kepada maahkamah melalui nota-nota, nota-nota balasan, jawaban dan
balasan (balasan dan jawaban balasan dapat disampaikan hanya apabila diizinkan
oleh Mahkamah) dan makalah serta dokumen-dookumen penunjang.makalah adedidikirawan Proses pemeriksaan
lisan meliputi dengar pendapat saksi-saksi, ahli-ahli, agen, pengacara, atau
pemmbela-pembela yang dapat mewakili negara yang bersangkutan. Pemeriksaan
tersebut terbuka untuk umum kecuali jika mahkamah memutuskan sebalinya atau
para pihak meminta untuk tidak dilakukan dengar pendapat secara terbuka. South West Africa Case makalah adedidikirawanmenegaskan bahwa
pihak-pihak pentut yang memiliki kepentingan sama dapat digabungkan, bahwa para
pihak dapat memanggil saksi-saksi atau saksi ahli untuk memberikan kesaksian
sendiri dan bahwa mahkamah sendiri dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada para pihak dan para saksi, namun mahkamah memiliki kebijaksanaan yang
luas dalam hal memutuskan apakah pihaknya akan mengajukan permintaan peninjauan
atau inspeksi in loco (juga apabila
peninjauan itu diminta dengan persetujuan semua pihak).
Menurut
Pasal 41 Statuta, mahkamah dapat mengusulkan suatu tindakan sementara yang
diperlukan untuk melindungi hak-hak dari masing-masing pihak, pemberitahuan
mengenai hal inii harus segera disampikan kepada para pihak dan kepada Dewan
keamanan. Dalam pasal 73 Rules Of Court 1978
ditentukan bahwa tindakan-tindakkan sementara tersebut dapat makalah adedidikirawandiusulkan
berdasarkan permohonan tertulis setiap saat oleh salah satu pihak dalam proses
pemeriksaan, sedangkan mennurut Pasal 75, sebaliknya, mahkamah setiap saat
boleh memutuskan untuk memeriksa atas kehendaknya sendiri tentang apakah
keadaan-keadaan dari perkara itu makalah adedidikirawanmemerlukan usulan tindakan sementara atau
tidak. Menurut keputusan Mahkamah tanggal 11 Spetember 1976, dalam Aegean Sea Continental Shelf Case (Greece v Turkey), tindakan-tindakan
sementara tidak akan diusulkan apabila tidak ada risiko pelanggaran hak yang
tidak dapat diperbaiki dari pihak negara yang meminta tindakan-tindakan
tersebut, atau tidak dianggap bahwa salah satu pihak akan melalaikan kewajiban
yang harus ditaatinya menurut Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana pokok
persoalannya berkisar pada pelaksanaan yang semestinya dari kewajiban-kewajiban
tersebut. Mahkamah tidak menutup kemungkinan untuk mengabulkan permintaan dari
salah satu pihak untuk mengusulkan tindakan-tindakan sementara, semata-mata
karena apa yang diupayakan oleh pihak tersebut merupakan tindakan-tindakanmakalah adedidikirawan
sepihak yang harus dilakukan oleh negara yang dituntut. Tindakan-tindakan
sementara dapat bersifat perintah, juga keputusan atau larangan, tujuannya
terutama untuk melindungi hak-hak dari masing-masing pihak dalam arti
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14 Statuta Mahkamah.
Keberatan-kebaratan
pendahuluan (perliminary objection) dapat
dikemukakan misalnya terhadap yuridiksi Mahkamah, atau dengan mengemukakan
dalih bahwa pokok permasalahan tersebut
secara eksklusif termasuk dalam yuridiksi negara yang dituntut, atau bahwa
tahap-tahap sengketa para pihak tidak terjadi. Apabila keberatan-keberatan pendahuluan
itu menimbulkan masalah yang meminta dilakukannya penyelidikan lebih sksama,
atau yang terselubung dalam masalah-masalah dan makalah adedidikirawanbuukti-bukti yang dapat
diajukan bersama pokok persoalan perkara, maka mahkamah berdasarkan praktek
sebelum tahun 1972 tidak memutuskannya
dalam tahap pertama, melainkan dengan menggabungkannya dengan putusan perkara
tersebut. Dalam South West Africa Cases
Second Phase (1966) pendapat mayoritas dalam mahkamah adalah bahwa suatu
keputusan tentang keberatan pendahuluan tidak pernah akan mengikat Mahkamah
apabila persoalan-persoalan itu dengan sendirinya berubah menjadi ssalah satu
yang berdasar pada pokok perkara, setelah argumen dikemukakan. Namun, menurut
ketentuan-ketentuan Pasal 79 Rules of
Court 1978, yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam revisi
Parsial tahun 11972 atas Rules of Court yang
berlaku sebelumnya, mahkamah akan memberikan putusan dalam makalah adedidikirawanbentuk keputusan (judgement) yang menguatkan keberatan
pendahuluan, atau menolaknya, atau yang menyatakan bahwa keberatan itu tidak
memiliki dalam kaitan perkara itu, suatu karakter eksklusif dari keberatan
pendahuulluan, dalam perkara yang dikemukakan belakangan itu negara yang
dituntut harus mengajukan suatu pembelaan terhadap pokok perkara yang mencakup
alasan itu apabila negara tersebut hendak menyandarkan diri padanya. Dengan
perkataan lain, tidak mahkamah menutup kemungkinan untuk memerintahkan dalam
putusannya bahwa suatu perkara keberatan pendahuluan harus digabungkanmakalah adedidikirawan kedalam
pokok perkara, kecuali bahwa menurut Pasal 79 Ayyat 8 Rules of court 1978 ada suatu perjanjian anatara para pihak bahwa
suatu keberatan pendahulauan harus didengar dan ditentukan dalam kerangka pokok
perkara maka perlu hal itu dilaksanakan oleh mehkamah.
Semua
persoalan diputuskan melaluisuara terbanyak dari hakim yang hadir dan jika
diperoleh imbang, maka ketua membrikan suara yang menentukan. Akibat hukum dari
keputusan mahkamah ditentukan dalam Pasal 56-61. Keputusan Mahkamah tidak
memiliki kekuatan mengikat kecuali di antara para pihak dan berkenan dengan
kasus tertentu(Pasal 59) keputusan teersebut adalah final makalah adedidikirawandan tanpa banding
(Pasal 60) tetapi suatu revisi boleh dilakukan atas dasar penemuan suatu faktor
yang menguntungkan yang baru, dengan ketentuan bahwa pelaksanaan hal itu dibuat
dalam jangka waktu enam bulan dari penemuan itu seerta tidak lebih dari 10
tahun dari tanggal keluarnya keputusan (Pasal 61).kecuali jika diputuskan lain
oleh mahkamah, maka para pihak memikul biaya perkaranya sendiri.
Mahkamah
memberikan persetujuan diam-diam (tacit
sanction) atas teknik yang berguna dengan mana negara-negara, melalui
perjanian khusus boleh meminta mahkamah untuk menyatakan prinsip-prinsip hukum
internasional berlaku trhadap sengketa tertentu diantara mereka, demi
makalah adedidikirawanmelicinkan jalan bagi penyelsaian traktat atas dasar prinsip-prinsip tersebut.
Dengan perkataan lain, yang dicari bukan suatu keputusan atau ketetapan yang
bertipe pertentangan, melainkan semata-mata suatu penjelasan pendahuluan
mengenai prinsip-prinsip atau kriteriia-kriteria yang mana negara-negara yang
bersengketa itu dapat memakainya dalam mencapai suatu permufakatan untuk
memecahkan perbedaan pandangan tertentu. Suatu contoh terdahulu mengenai
berhasilnya makalah adedidikirawanteknik ini adalah North Sea
Continental Shelf Case, dimana mahkamah diminta untuk menyatakan
prinsip-prinsip yang berlaku untuk membagi landasan kontinen yang dimiliki
bersama oleh Republik Federal Jerman, Neterlhands dan Denmark . dalam perkara
yang lebih baru anatara Tunisia dan Libia, sesuai dengan suatu perjaniankhusus
antara kedua negara ini, mahkamah diminta untuk menyatakan prinsip-prinsipmakalah adedidikirawan dan
kaidah-kaidah hukum internasional yang harus diberlakukan untuk
menetapkan batas landas kontinen yang dimiliki bersama oleh negara-negara ini
diwilayah yang disebut sebagai Pelagian Block atau Pelagian Basin, dan dalam
keputusannya tanggal 24 Februari 1982, Mahkamah telah mmerumuskan
prinsip-prinsip yang dapat diberlakukan serta menjelaskan metode-metode praktis
untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut.
Menurut
mahkamah, sesungguhnya ada makalah adedidikirawanbeberapa
pembatasan penting atas pelaksanaan fungsi-fungsi yudisialnya dalam kaitan
yuridiksi pertikaian dan terhadap hak-hak dari negara-negara untuk mengajukan
kalim dalam lingkup yuridiksi ini .
Yang
pertama sebagaimana diperlihatkan dalam Nothern
Cameroons Case. Suatu keputusan oleh Mahkamah harus memuat secara konkret
suatu kontroversi aktual yang mencakup konflik hak-hak atau
kepentingan-kepentingan di anatara para pihak; mahakamah tidak boleh memberikan
putusan abstrak , inteer partes,
untuk memberikan suatu dasar bagi keputusan makalah adedidikirawanpolitis, apabila keyakinannya tidak
berhubungan dengan hubungan-hubbungan huukum yang aktual. Sebaliknya, mahkamah
boleh benar-benar bertindak sebagai suatu mahakamah yang didebat. Aspek yang
erat kaitannya yaitu bahawa para pihak tidak dapat diperlakukan sebagai pihak
yang dirugikan satu sama lain dalam suatu sengketa apabila hanya ada suatu
ketidaksesuaian konkret atas masalah-masalah yang secara substantif
mempenngaruhi hak-hak dan kepentingan-kepentingan hukum mereka. Dalam Nuclear Test Cases, Mahkamah menyatakan
bahwa adanya suatu sengketa merupakan syarat utama (primary Condition) untuk melaksanakan fungsi-fungsi yudisial
mahkamah,makalah adedidikirawan sejauh sengketa tersebut harus tetap ada sampai pada saat mahkamah
memutuskannya; dan jika karena tindakan yang dilakukan oleh negara yang
dituntut yang menyebabkan tujuan kalim atau sengketa itu tidak ada lagi, maka
mahkamah tidak perlu membuat keputusan atau penetapan, yang hanya memebatasi
diri pada suatu penemuan bahwa tidak diminta untuk memberikan keputusan.
Yang
kedua, dan banyak meenimbulkan kontroversi, mahkamah memutuskan dengan suara
mayoritas dalam South West Africa Case
Second Phase bahwa negara-negara mengajukan klaim, yaitu Ethopia dan
Liberia, telah gagal telah menetapkan hak hukum mereka atau kepentingan yangmakalah adedidikirawan
berkaitan dengan mereka didalam pokok sengketa dari kalim-klaimnya sehingga
menyebabkan klaim itu harus ditolak. Persoalan ini telah dianggap sebagai salah
satu persoalan dari persoalan permulaan meski demikian ada kaitannya dengan
materi perkara.
Bagaimanapun
akan cukup alsan untuk menandaskan bahwa
mahkamah secara tegas telah menyatakan bahwa kedua pembatasan yang diusulkan
mengenai peelaksanaan yuridiksii perdebatannya tidak dapat diterapkan untuk
bidang tersebut. Pertama, mahkamah tidak boleh menolak untuk mencarikan
penyelsaian suatu persoalan atau masalah hukum, dimana ia memiliki yuridiksi
lain, apabila persoalan aatau masalh itu hanya akan merupaka n salahmakalah adedidikirawan satu aspek
dari sengketa politik semata-mata. Kedua, apabila dewan keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa menjalankan fungsinya berkaitan dengan suatu sengketa atau
situasi tertentu, maka mehkamah, tidak seperti majelis umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa menurut Pasal 12 Charter Perikatan Bangsa-bangsa, tidak terhalang
untuk memecahkan suatu masalah hukum diantaara para pihak dengan alasan bahwa
makalah adedidikirawandewan keamanan memiliki, atau mungkin berhak untuk mengambil tanggung jawab
atas senngketa atu situasi tersebut.
Opini-Opini Nasehat
Mengenai opini-opini nasihat (advisory opnion), majelis umum dan Dewan
Keamanan PBB boleh memintanya dari mahkamah. Organ-organ lain dari keluarga PBB
apabilamakalah adedidikirawan di izinkan oleh majelis umum, boleh meminta mahkamah untuk memberikan
opini-opini nasihat tentang persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam lingkup
aktivitas mereka. Opini-opini nasihat hanya dapat diupayakan atas persoalan
hukum. Konkret maupun abstrak, dan dalam memberi opini-opini nasihat itu
mahkamaah tentunya akan melaksanakan fungsi yudisial. Mahakamah sesungguhnya
tidak akan memberikan opini-opini nasihat tentang masalah-masalah yang murni
akademis, tetapi sepanjang nasihat diminta tersebut pada akhirnya akan membantu
organisasi internasional terkait dalam menyelenggarakan fungsi-fungsinya maka,
persoalan tersebut tidak dianggap lagi akademis murni.
Suatu
opini nasihat tidak melebihi tujuannya opini tersebut kurang memiliki kekuatan
mengikat dibanding ssuatu keputusan dalam kasus-kasus perdebatan,demikian pula
untuk organisasi atau organ tersebut dapat memilih untuk menganggapnya sebagai
suatu keputusan yang bersifat wajib.juga mahkamah tidak memiliki kekuasaan
peninjauan yudisial (yudicial riview)
atau bandingmakalah adedidikirawan berkaitan dengan setiap keputusan organisasi atau organ tersebut,
misalnya dengan jalan mengesampingkan keputusan-keputusan itu , meskipun secara
insidental dalam kaitan dengan opini-opini nasihat mahakamah dapat menyatakan
terikat oleh opini naihat tentang persoalan validitas dari suatu keputusan
tertentu. Sejauh menyangkut negara-negara mereka, dapat menyatakan makalah adedidikirawanterkait oleh
oopiini nasihat tentang beberapa persoalan tertentu melalui traktat atau
perjanjian (lihat, misalnya section 30 dari
convention on Privelege and Immunities of
the United Nations 1946 , dan section 32 dari convention on the privileges and Immunities of the specialised Agencies
1947), juga dalam hal tidak adanya suatu ketentuan demikian, opini-opini
nasihat akan memilikki otoritas persuasif yang kuat .
Prosedur
dalam kasus opini nasihat adalah suatu permintaan tertulis harus disampaikan
kehadaapan mahkamah yang berisi suatu pernyataan pasti tentang persoalan untukmakalah adedidikirawan
mana opini tersebut dimintakan. Yang disertai dengan dokumen-dokumen yang
mungkin akan memberikan penjellasan tentang persoalan yang harus disampaikan
kepada mahkamah dalam waktu yang bersamaan dengan penyampaian permohonan tersebut,
atau segera sesudah itu, dengan jumlah salinan yang telah ditentukan oleh
Panitera kemudian memberitahukan semua negara yang berhak muncul dihadapan
mahkamah. Ia juga memberitahukan setiap negara atau organisasi internasional,
makalah adedidikirawanyang kemungkinan dapat memberikan informasi tentang pokok perkara tersebut,
bahwa mahkamah akan menerima, pernyataan-pernyataan tertulis atau lisan. Negara
–negara dan organisasi-organisasi internasional yang mengajukan pernyataan
tertulis maupun lisan boleh dikkomentari oleh negara atau organisasi
internasional lain (Pasal 67 Statuta). Baik menurut Pasal 68 Statuta maupun
dalam praktek prosedur mahkamah memiliki hubungan yang erat dengan prosedur dan
yuridiksimakalah adedidikirawan pertikaian. Apabila suatu jawaban awal terhadap permintaan suatu oopini
nasihat itu dikhendaki ( Pasal 103 rules
of court) mahkamah boleh mempercepat prosedurnya dengan memperpendek batas
waktu dan sebagainya, sperti yang dilakukan nya pada tahap permulaan sebelum
penyerahhan tanggal 26 makalah adedidikirawanApril 1988 dalam advisory
opinion on the applicability of the obligation to arbitrate under UN
headquarters agreement 1947.
Mahkamah
juga menganggap dirinya memiliki tugas untuk mematuhi pembatasan-pembatasan
yudisial yang esensial dalam prosedur opini nasihatnya, sehingga mmahkamah
tidak akan menjalankan yuridiksi hal yang utama atas dasar mana suatu opini
yang makalah adedidikirawandiminta itu menentukan suatu kontroversi antara negara-negara tertentu
serta tidak ada satu negara yang tampil dimuka mahkamah. Karena untuk
memberikan suatu opni nasihat dalam keadaan-keadaan demikian tidak akan selesai
tanpa persetujuan dari satu pihak. Penafssiran ketentuan-ketentuan traktat
sesungguhnya merupakan suatu tugas yudisial dan mahkamah tidak boleh menolak
suatu permintaan opini nasihat tentang persoalan demikian, meskipun diklaim
bahwa persoalan tersebut dan permintaannya m emiliki sifat politis. Dalam
setiap peristiwa, mahkamah tidak akan menolak untuk memberikan suatu opini
nasihat, karena makalah adedidikirawandikatakan bahwa berkaitan dengan opini tersebut mahkamah telah
atau boleh jadi akan tunduk kepada tekanan politis.
Sesunggunya,
mahkamah juga memiliki kebijaksanaan untuk menolak memberikan suatu opini
nasihat dengan alasan lain, misalnya bahwa persoalan yang diajukan itu
menyangkut aspek selain aspek huukum, atu bahwa hal itu akan menyulitkan. Namun
, mahkamah telah menyatakan bahwa Badan Eksekutif dari Organisasi Pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaaan perserikatan bangsa-bangsa (UNESCO) sendiri
berhak untuk meminta suatu opini nasihat mengenai hal apakah suatu keputusan
Administrative Tribunal dari organisasi Buruh sedunia (ILO) atas tuntutan staf
makalah adedidikirawantelah dilemahkan oleh kesalahan prosedur, dan sebagainya, dan bahwa tidak
adanya hak yang sama yang diberikan untuk menentang bagi pejabat yang
mengajukan tuntutan, bukan merupakan alasan untuk tidak mengabulkan permohonan
opini nasihat mengenai suatu persoalan demikian.
Sebagaimana
kita lihat diatas, mahkamah memberlakukan hukum internasional, akan tetapi
Pasal 38 Statutanya secara tegas memungkinkan mahkamah untuk memutus suatu
perkara ex aequo et bono apabila para
pihak setuju dengan cara ini . hal ini bahwa mahkamah dapat memberikan
keputusan atas dasar-dasar obyektif kepatutan dan keadilan tanpa secara
eksklusif terikat oleh kaidah-makalah adedidikirawankaidah hukum.
Mahkamah akan memakai cara ini apabila diminta demikian oleh para pihak
melalui pernyataan yang tegas. Agaknaya mahkamah tidak dapat diminta untuk
melakukan ,ex aequo et bono, fungsi-fungsi
yang benar-benar dapat disebut sebagai bersifat legislatif. makalah adedidikirawanNamun yuridiksi
konsensula ex eaquo et bono ini harus
dibedakan kewenangan yang melekat pada mahkamah, sebagai mahkamah keadilan,
untuk menerapkan prinsip keadilan.
Masih
ada hal-hal lain yang penting berkenaan dengan mahkamah sembilan orang hakim
membentuk suatu kuorum. Apabila diminta oleh para pihka, mahkamah dapat
mebentuk kamar-kamar (chambers)
menurut pasal 26 ayat 2 Statuta, mahkamah setiap saat dapat membentuk sebuah
kamar untuk menangani suatu perkara khasus dan jumlah hakim yang menyusun kamar
tersebut akan ditentukan oleh mahkamah dengan persetujaun para pihak. Pada
bulan januari 1982, untuk makalah adedidikirawanpertama kali dalam sejarahnya, mahkamah membentuk
kamar khusus (special Chamber) untuk
mennyelasikan sengketa anatara Amerika Serikat dan kanada mengenai penetapan
batasmakalah adedidikirawan perbatasan maritm dikawasan teluk Maine dan prosedur ini telah diikuti
dalam masalah-masalah berikutnya dengan pembentuk kamar-kamar khusus, khususnya
pada tahun 1985 dan 1987. Menurut pasal 27 Statutamakalah adedidikirawan Mmahkamah, setiap keputsan
yang dikeluarkan oleh kamar-kamar tersebut dianggap sebagai keputusan yang
dikeluarkan oleh mahkamh, kamar-kamar dengan tiga orang hakim atau lebih dapat
dibentukmakalah adedidikirawan untuk menangani kategori-kategori perkara tertentu, misalnya, untuk
kasus-kasus perburuhan dan yang berkaitan dengan dengan transit dan komunikasi,
dan setiap tahunnya sebuah kamar dibentuk untuk makalah adedidikirawan
mendengar dan menentukan perkara-perkara dengan prosedur sumir,
sedangkan kamar-kamar adhoc juga dapat dibentuk atas permintaan dari para
pihak. Prinsip-prinsiip hakim-hakim nasional diterapkan berdasarkan Statuta
sekarang (Pasal31). Hakim-hakim berkebangsaan negara-negara yang menjadi pihak
dihadapan Mahkamh dapat tetap memegang hak untuk duduk dalam perkara; apabila
mahkamah melibatkanmakalah adedidikirawan hakim yang berkebangsaan salah satu dari pihak-pihak, maka
masing-masing pihak boleh menunjuk hakim adhoc seseorang yang berkebangsaan
negara mereka. Seorang hakim adhoc juga boleh makalah adedidikirawandiangkat sebagai anggota kamar
khusus, sepert, misalnya dalam kasus yang dikemukakan diatas kamar khusus
dibentuktahun 1962 untuk menangani perbatsan maritim dikawasan Telu Maine. Jika
suatu opini nasihat dimintakan untuk suatu persoalan hukum yang sesungguhnya
tertangguh antar dua negara atau lebih, maka mahkamah dapat memberikan izin
pengangkatan seorang hakim ad hoc dari salah satu negara; bandingkan pengangkatan
hakim adhoc oleh maroko dalam proses perkara untuk memperoleh opini nasihat
mengenai Western Sahara pada tahun 1975, pengangkatan tersebut dilakukan dengan
perintah mahkamah tanggal 22 mei 1975.
Suatu
negara ketiga dapat meminta untuk diizinkan melakukan intervensi apabila negara
itu menganggap bahwa pihaknya memiliki suatu kepentingan hukum yang dapat
terpengaruh oleh keputusan mahkamah (Pasal 62 Statuta). Mahkamah memutuskan
apakah akan memberikan izin atau tidak.
Harus
diakui bahwa meskipun baik permanent
Court Of international Justice maupun international
Court Of Justice telah menyelsaikan sejumlah besar persoalan pertikaian dan
permintaan opini nasihat, namun negara-negara pada umumnya memperlihatkan
tanda-tanda keengganan untuk membawa masalah yang penting kehadapan mahkamah,
atau untuk menerima penyelsaian wajib atas maslahmakalah adedidikirawan-masalah tersebut. Juga perlu
diketahui bahwa negara-negara tidak berkenaan untuk mempergunakan
klausula-klausula dalam sejumlah besar traktat bilateral dan multilateral. Yang
menentukan penyerahan-penyerahan sengketa kepada mahkamah lama maupun mahkamah
baru.
Pesimisme
terhadap masalah ini, mengenai terbatasnya lingkup penyelsaian yudisial pada
masyarakat internasional, sebegitu jauh dikurangi oleh fakta bahwa kedua mahkamah
itu telah berhasil menyelsaikan banyak persoalanmakalah adedidikirawan yang menimbulkan masalah hukum
yang penting, atau persoalan kesulitan penafsiran traktat. Beberapa dari
keputusan atau opini ini timbbul dari sengketa-sengketa politik yang penting
dibawa ke muka Council Liga Bangsa-Bangsa, atau dibawa ke Dewan Keaamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa ; misalnya opini nasihat Mahkamah Permanen tentang Forniter betwen Turkey and Irak, tentang
Customs Regime between Germany and
Austria dan tentang Nationality
Decree in Tunis and Maroco. Dan keputusan Mahkamah Internasional dalam Corfu Channel Case (Merits). Juga tidak dapat disangkal bahwa kedua mahkamah telah
memberikan sumbangan kepada perkembangan dan metodologi hukum internasional
sejauh makalah adedidikirawanmenyangkut mahkamah yang sekarang, yang perlu dikemukakan hanyalah
opini-opini nasihat pada Condition of the
membership of the United Nations dan pada Reparation for Injuries Sufferd in the service of the United Nations, dan
keputusan-keputusan dalam Fisheries Case,
United States Diplomatic and Consular Staff in Tehren Case dan kasus-kasus
penting lainnya, seperti misalnya Nicaragua
v United States (1986) . peranan yang diberikan untuk menyelsaikan massalah
internasional mungkin merupakan suatu hal yang sederhana, tetapi pada saat ini
sangat diperlukan, terutama untuk menjelaskan pada tingkat yudisial
masalah-masalah yang dapat diselsaikan menurut hukum internasional.
Selanjutnya
perlu dikemukakan, seperti yang digambarkan dalam Case Concerning the Arbitral Award of teh king of Spain, penggunaan
Court of Justice untuk peninjauan
kembali atau revisi atas putusan-putusan arbitrasi internasional dengan alasan
bahwa pengadilan arbitrasimakalah adedidikirawan itu melebihi yuridiksinya, atau melakukan keksalahan
fundamental dalam prosedur dan sebagainya. Komisis Hukum Internasional
mendukung penyerahan kepada mahkamah untuk revisi suatu putusan atas
ditemukannya beberapa fakta yang sifatnya merupakan faktor yang menentukan .
namun, saat ini keberatan terhadap suatu keputusan hanya dimungkinkan melalui
perjanian khusus antara para pihak, atau apabiila hal itu dapat dibawa kebawah
yuridiksi wajib dari mahkamah.
Yang
terakhir yang tidak boleh diabaikan adalah peranan kunciyang dimainkan oleh
ketua mahkamah (President of the Court)
sejauh ia diminta untuk mengangkat para arbitrator,makalah adedidikirawan wakil-wakil dan
anggota-anggota komisi, atau pemegang-pemegang jabatan lainnya sampai tingkat
ini, ia menjalankan tugas-tugas yang amat penting dalam bidang penyelsaian
damai sengketa-sengketa.
(c)Negoisa Jasa-Jasa Baik,
Mediasi, Konsilidasi, atau Penyelidikan
Negoisasi,
jasa-jasa baik, konsiliasi dan penyelidikan adalah metode-metode penyelsaian
yng kurang begitu formal dibanding dengan penyelsaian yudisial atau arbitrasi
Sedikit
yang perlu dikemukakan mengenai negoisasi selain bahwa metode ini sering
diadakan dalam hubungan jasa-jasa baiak (good
office) atau mediasi,makalah adedidikirawan meskipun perlu dikemukakan juga mengenai
kecendurungan yang berkembang dewasa ini pada pengaturan, dengan instrumen atau
persetujuan internasional, kerangka kerja hukum untuk dua proses yaitu kkonsultasi, baik
kkonsultasi sebelum atau sessudah terjadinya peristiwa, daan komunikasi tanpa
kedua media ini dalam hal beberapa negoisasi tidak dapat berjalan. Contoh dari
konsultasi adalah ketentuanmakalah adedidikirawan-ketentuan untuk melakukan konsultasi dalam Australia-New Zealand Free Trade Agreement 31
Desember 1965, dan untuk komunikasi, dalam United
State-Soviet Memorandum of Understanding, Jenewa tanggal 20 Juni 1961 untuk
hubungan komunikasi langsung –yaitu apa yangg dinamakan hot line antara Washington dan Maskwa dalam terjadi hal krisis.
Nilai dari suatu negoisasimakalah adedidikirawan yang berkesinambungan diperlihatkan oleh pembentukan
United States-Soviet Intermediate Range
Nucelar Agreement (INF) pada bulan Desember 1987 menyusul
perundingan-perundingan yang gagal yang dilakukan sebelumnya anatara kedua
negara itu di Reykjavik, Eslandia; perundingan-perundingan selanjutnya meskipun
mengalami kegagalan namun telah dapat menjernihkan beberapa masalah yang masih
menggantung.
Baik
jasa-jasa maupun mediasi merupakan metode-metode penyelsaian dengan mana,
biasanya, negara ketiga yang bersahabat memberikan bantuannya untuk mengadakan
penyelsaian sengketa secara damai. Tetapi pihak yang menawarkan jasa-jasa baik
atau mediasi dapat juga, dalam beberapa kasus, individu atau suatu organisasi
internasional. Perbedaan antara jasa-jasa baik, pihak ketiga makalah adedidikirawanmenawarkan jasa
untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam
bentuk syarat umum) dilakukannya
penyelsaian, tanpa ia sendiri secara
nyata ikut serta dalam negoisasi-negoisasi atau melakukan suatu penyelidikan
secara seksama atas beberapa aspek dari sengketta tersebut. Karena itu,
sekalinya parapihak telah dipertemukan untuk mencari penyelsaian atas
perselisihan-perselisihan mereka maka, sesungguhnya negara atau pihak yang
menyelenggarakan jasa-jasa baiknya tidak lagi mempunyaimakalah adedidikirawan tugas aktif untuk
menyelsaikan (lihat Pasal X Pact of Bogota, yaitu, Inter-American Treaty on Pacific Settlement 30 April 1948) dalam
kasus mediasi, sebaliknay pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran
yang lebih aktif dan ikut serta dalam negoisasi-negoisasi serta mengarahkan
pihak-pihak yang bersengketa sedimikian rupa sehingga jalan penyelsaian dapat
tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku mengikat terhadap
pihak. Prakarsa pemerintah unisoviet dipengujung tahun 1965 danmakalah adedidikirawan awal tahun 1966
untuk mempertemukan wakil-wakil India dan Pakistan di Tashkent untuk
menyelsaikan konflik antara mereka dan menciptakan suasana yang baik untuk
penyelsaiannya, tampaknya berada diantara jasa-jasa baik dan mediasi.
Tampaknyya
sulit untuk mencocokan peran tradisional pihak ketiga dalam penyelsaian
sengketa yang dilakukan oleh Republik demokrasi Rakyat Aljazair untuk
penyelsaian sengketa antara Amerika Serikat dan Iran padabulan Januari 1981
yang barangkali lebih tepat dilukiskan sebagai suatu krisis dalam hubungan
Amerika Serikat dan Iran akibat penahanan warga Amerika (terutama staf
diplomatik dan konsuler) di Iran. Dalam dokumen-dokumen yang relevan dikatakan
bahwa pemerintah Aljazair telah diminta oleh para pihak yang bersengketa untuk
bertindak sebagai penengah (intermediary)
dalam mengupayakan suatu pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak dan
bahwa ia telah berkonsultasi secara ekstensif dengan kedua pemerintah mengenai
komitmen-komitmen ynag dikhendaki untukmakalah adedidikirawan dilakukan oleh masing-masing pihak guna
menyelsaikan krisis. Lebih lanjut pemerintah Aljazair membuat dua deklarasi,
yang memperlihatkan komitmen-komitmen dan perjanjian-perjanjian para pihak yang
bersengketa, termasuk suatuu perjaanjian untuk membentuk pengadilan arbitrasi
internasional yang disebut sebagai Iran-United States Arbitral Tribunal, untuk
memutuskan klaim-klaim warga Iran terhadap Amerika Serikat. Meskipun peranan
pemerintah Aljazair itu tidak dapat dikategorikan sebagai konsiliasi, atau jasa-jasa baik, atau mediasi, namun efektif
dalam menguppayakan suatu penyelsaian yang menyangkut antara lain pembebasan
warga amerika ditahan.
Ruang
lingkup jasa-jasa baik dan mediasi a gak terbatas ada kekurangan prosedur
daalam kedua metode untuk melakukkan penyelidikan atas fakta hukum secara
mendalam. Oleh karena itu, dimasa mendatang, kemungkinan besar kedua metode ini
akan menjadi semacam langkah pendahuluan atau makalah adedidikirawansebagi bantuan bagi teknik-teknik
penyelsaian khusus seperti konsiliasi, penyelidikan (inquiry) dan penyelsaian melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Istilah
konsiliasi (conciliation) mempunyai
arti yang luas dan sempit. Vdalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai
ragam metode dimana suatu sengketa diselsaikan secara damai dengan bantuan
negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite nasihat yang
tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu
sengketa makalah adedidikirawankepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta
usul-usul kepada para pihak bagi penyelsaian sengketa tersebut, usulan itu
tidak bersifat mengikat. Menurut pendapat Hakim Manly O. Hudson:
“konsiliasi.....adalah
suatu proses penyusunan usulan-usulan penyelsaian setelah diadakan suatu penyelidikan
mengenai fakta dan suatu upaya untuk mencari titik temu dari
pendirian-pendirian yang Saling bertentangan, para pihak dalam sengketa itu
tetap bebas untuk menerima atau menolak proposal-proposal yang dirumuskan
tersebut”.
Fakta
bahwa para pihak sama sekali memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan
menerima atau menolak syarat-syarat penyelsaian yang diusulkan itu membedakan
konsiliasi dri arbitrsi dan sebagai konsekuensinya konsiliasi dapat dipakai
untuk penyelsaian segala jenis sengketa atau keadaan.
Komisi-komisi
konsiliasi diatur dalam konvensi-konvensi the Hague 1899 dan 1907 untuk
penyelsaian damai Sengketa-Sengketa Internasional (lihat masing-masing Titel II
dan Bagian III dari konvensi-konvensi tersebut). Komisi tersebut dapat dibentuk
melalui perjanjian khusus antaramakalah adedidikirawan para pihak dan tugasnya harus menyelidiki
serta melaporkan tentang situasi fakta dengan ketentuan bahwa isi laporan itu
bagaimanapun tidak mengikat para pihak dalam sengketa. Ketentuan-ketentuan
yangg aktual dalam konvensi-konvensi itu menghindari kata-kata yang dianggap
sebagai mewajjibkan para pihak untuk menerima suatu laporan komisi. Komisi
serupa itu juga ditetapkan berdasarkan serangkaian traktat yang dirundingkan
oleh Amerika Serikat pada tahun 1913 dan di tahun-tahun berikutnya, yang
dikenal sebagai “Traktat Bryan” (Bryan
Treaties). Traktat-traktat yang lebih baru yang mengatur konsiliasi adalah
Traktat Brussels 17 Maret 1948 dan pakta Bogota 1948, yang telah dikemukakan di
atas.
Nilai
penting komisi-komisi konsiliasi itu sndiri banyak diragukan oleh para penulis,
akan tetapi prosedur konsiliasinya sendiri terbukti sangat bermanfaat dan
penting pada saat dipakai oleh Dewan Liga Bangsa-Bangsa guna menyelsaikan
sengketa-sengketa internasional. Penggunaan konsiliasi oleh dewan Liga
Bangsa-Bangsa sangat fleksibel, secara umum makalah adedidikirawanditunjuk sebuah panitia kecil atau
seseorang yang disebut sebagai pelapor (rapporteur),
untuk melakukan penyelidikan dengan bijaksana dan mengusulkan suatu metode
penyelsaian pertikaian-pertikaian antara para pihak. Negara-negara sangat
menghargai prosedur konsiliasi, seperti tercermin dalam ketentuan yang dibuat untuk konsiliasi dalam konvensi 18
Maret 1965, tentang penyelsaian sengketa-sengketa penanaman modal antara
negara—negara dan warga dari negara lain.
Tujuan
dari suatu penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang sepesifik,
adalah untuk menetapkan fakta, yang mungkin diselsaikan, dan dengan cara
demikian memperlancar suatu penyelssaian yang dirundingkan. Dengan demikian ,
seringkali dalam kasus-kasus sengketa perbatasan akan diangkat suatu komisi
untuk menyelidiki fakta historis dan
geografis yang menjadi pokok perselisihan dan dengan hal itu menjelaskan
masalah-masalh untuk pembentukan suatu makalah adedidikirawanpeerjanjian perbatasan. Juuga, kadang-kadang
diperlukan komite ahli pencari fakta untuk menyelidiki fakta khusus tertentu
untuk tujuan-tujuan penjelasan pendahuluan.
Jelas
salah satu metode atau lebih yang dikemukakan diatas (negoisasi, jasa-jasa
baik, mediasi, konsiliasi, penyelidikan dan pencarian fakta) boleh digunakan
secara kombinasi dengan metode yang lain atau yang lain-lain.
Berbagai
macam upaya telah dilakukan untuk mengembangkan proses-proses penyelsaian dan
membuat metode-mmetode itu lebih flekssibel. Proposal-proposal yang diajukan
mencakup perluasan metode-metode pencarian fakta dan pembentukan organ pencari
fakta atau pusat pencari fakta. Pada tahun 18 Desember 1967, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan tentang
pentingnya metode pencarian fakta yang tidak memihak sebagai cara penyelsaianmakalah adedidikirawan
damai dan meminta negara-negara anggota untuk lebih mengefektifkan
metode-metode pencarian fakta, serta meminta sekertaris Jendral untuk
mempersiapkan suatu daftar para ahli yang jasanya dapat dimanfaatkan melalui
perjanjian untuk pencarian fakta dalam hubungannya dengan suatu sengketa.
Selanjutnya sesuai dengan resolusi itu, pencalonan-pencalonan para ahli telah
diterima untuk didaftar (lihat Nota Sekretaris Jendral, Dokumen A/7240) dan
setiap tahun sekretaris jendral telah mengedarkan daftar nama para ahli yan g
dicalonkan kepada negara-negara anggota. Sarana-sarana yang ada untuk pencarian
fakta juga termasuk yang diberikan oleh panel
for inquiry and Conciliation yang dibentuk oleh Majelis Umum pada bulan April
1949.
Demikian
pula prakarsa-prakarsa yang lebih luas telah didukung oleh Inggris, Amerika
Serikat dan negara-negara lain di majelis umum. Apabila hal-hal ini
menghasilkan proses yang lebih efektif, maka usul-usul tersebut harus diterima,
tetapi perlu diingat bahwa pelipat gandaan organ-organ dapat mengurangi
niali dan arti pentingnya organ-organ
yang telah ada sampai saat ini. Dalam kaitan ini, perlu dikemukakan tentang
rresolusi desakan tentang penyelsaian secaramakalah adedidikirawan damai sengketa-sengketa
intternasional yang dikeluarkan oleh Majelis Umum pada tanggal 12 Desember
1974, dengan mana diminta perhatian negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa terhadap perangkat kerja untuk penyelsaian sengketa yang telah
ada dan Majelis meminta mereka untuk seepenuhnnya menggunakan dan mengupayakan
pelaksaanaan yang dikembangkan sarana tersebut. Resolusi ini, yang memuat suatu
penyerahan penting terhadap jasa-jasa baik dari Sekretaris Jendarl Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dari satu sisi boleh dipandang sebagai suatu piagam tentang
masalah penyelsaian sengketa anttar negara-negara.
Nammun
tampak bahwa resolusi tahun 1974 ini, yang dipandang sebagai sebuah program,
telah digantikan oleh Deklarasi Maniila 1982 dan dapat dianggap sebagian sebgai
suatu himpunan kaidah-kaidah mengenai permasalahan tersebut, sebagian sebagai
suatu himpunan kaidah-kaidah mengenai permasalahan tersebut, sebagian sebagai
suatu manifesto pedoman-pedoman dan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, serta
sebagian sebagai suatu instrumen rinci yang bersifat desakan. Dalam makalah adedidikirawanbahasa yang
lebih tegas, banyak prinsiip yang dimuat dalam kaitan dengan Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa diperkuat kembali,negara-negara diminta untuk
melaksanakan teknik-teknik tradisional bagi penyelsaian sengketa sebagaimana
telah dikemukakan diatas menarik minat mereka terhadap semua pilihan yang
tersedia untuk penyelsaian secara damai semua pertikaian mereka. Hal-hal khusus
yang ditetapkan dalam Deklarasi Manila, adalah sebagai berikut:
a.
Negara-negara harus tetap
mengingat bahwa negoisasi-negoisasi langsung merupakan suatu cara yang
fleksibel dan efektif untuk menyelsaikan sengketa-sengketa secara damai dan
apabila mmemilih untuk melakukan negoisasi-negoisasi langsung, maka mereka
harus bernegoisasi sepenuh hati.
b.
Negara-negara diingatkan untukmakalah adedidikirawan
mempertimbangkan penggunaan lebih besar kapasitas pencarian fakta dari Dewan
Keamanan sesuai dengan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa
c.
Penyerahan kepada penyelsaian
yudisial atas sengketa-sengketa hukum terutama dengan cara menyerahkan kepada
international Court of Justice, tidak boleh dianggap sebagaisuatu tindakan
tidak bersahabat diantara negara-negara.
d.
Sekretaris Jendral Perserikatan
Bangsa-Bangsa harus menggunakan sepenuhnya ketentuan-ketentuan Charter mengenai
tanggung jawab khusus, misalnya meminta perhatian Dewan Keamanan atas setiap
masalah yang menurut pendapatnya dapat mengancam pemeliharaan perdammaian dan
keamanan internasional.
Meskipun
dapat dirasakan bahwa hanya sedikit yang merupakan hal baru dari Deklarasi
Manila tersebut, pengukuhan aturan-aturan yang telah ada makalah adedidikirawandalam bahasa yang
lebih rinci dan lebih positif kiranya dapat menjadi suatu nilai tersendiri.
(d) Penyelsaian dibawah naungan
organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sebagai
pegganti Liga Bangsa-Bangsa, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
dibentuk tahun 1945, yang telah mengambil alih sebagian besar tanggung jawab
makalah adedidikirawanuntuk menyelsaikan sengketa-sengketa
internasional. Salah satu dari tujuan-tujuan organisasi itu adalah penyelsaian
perselisihan antara negara-negara, dan melalui Pasal 2 Charter Perserikatan
Bangsa-Bangsa, anggota-anggota organisasi harus berusaha untuk menyelsaikan
sengketa-sengketa mereka melalui cara damai dan vuntuk menghindarkan
ancaman-ancaman perang atau penggunaan kekerasan.
Dalam
kaitan ini, tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan
Keamanan, sesuai dengan wewenang luas yang dipercayakan kepada kedua badan
tersebut. Majelis Umum diberi wewenang, tunduk pada wewenang penyelenggaraanmakalah adedidikirawan
perdamaian dari Dewan Keamanan, untuk merekomendasi tindakan-tindakan untuk
penyelsaian damaai atas suatu keadaan yang kemungkinan mengganggu kesejahteraan
umum atau hubungan-hubungan bersahabat antar bangsa-bangsa (lihat Pasal 14
Charter).
Namun
kekuasaan yang lebih luas telah diserahkan kepada Dewan Keamanan sehingga badan
ini akan menyelenggarakan kebijaksanaan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara cepat
dan tegas. Dewan pada umumnya bertindak terhadap dua jenis sengketa : (i)
sengketa-sengkeeta yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional,
(ii) kasus-kasus yangmakalah adedidikirawan mengancam perdamaian, atau melanggar perdamaian, atau
tindakan-tindakan agresi. Dallam kasus-kasus yang disebut pertama, mahkamah
jika dipandang perlu boleh meminta para pihak untuk menyelsaikan
sengketa-sengketa mereka dengan metode-metode yang disebutkan diatas yaitu,
arbitrasi, penyelsaian yudisial, negoisasi, penyelidikan, mediasi dan
konsilias. Juga dewan pada setiap tahap boleh merekomendasikan
prosedur-prosedur atau metode-metode penyelsaian yang tepat untuk menyelsaikan
sengketa-sengketa demikian. Dalam kasus-kasus yang disebut belakangan, (ii)
diatas, Dewan diberi wewenang untuk membuat rekomendasi-rekomendasi atau
memutuskan tindakan-tindakan apa yang harus diambil untuk memelihara dan
memperbaiaki perdamaian dan keamanan internasional dan badan ini dapat meminta
para pihak yang terikat untuk mematuuhi beberapa ketentuanmakalah adedidikirawan tertentu. Tidak ada
pembatasan atau kualifikasi tentang rekomendasi-rekomendasi yang boleh dibuat
oleh dewan, atau mengenai tindakan-tindakan, baik yang sifatnya final maupun
sementara, yang boleh diputuskaan apabila diperlukan. Dewan dapat mengajukan
suatu dasar penyelsaian, dapat mengangkat sebuah komisi penyelidik, dapat
memberikan izin penyerahan perkara kepada International Court of Justice dan
makalah adedidikirawansebagainya. Menurut Pasal 21 sampai 47 Charter, Dewan Keamanan dapat memiliki
hak untuk memberlakukan keputusan-keputusannya tidak saja melalui
tindakan-tindakan pemaksaan seperti sanksi-sanksi ekonomi, melainkan juga
dengan penggunaan kekuatan senjata terhadap negara-negara yang menolak untuk
terikat oleh keputusan-keputusan ini.
Dengan
kekecualian sengketa-sengketa yang benar-benar memiliki karakter hukum yang
biasanya diajuukan kepada arbitrasi atau penyelsaian sengketa, maka hal itu
semata-mata merupakan masalah kebijaksanaan dengan metode-metode yang berbeda
diatas untuk dipakai bagi pemecahan suatu perselisihan tertentu antara
negara-negara. Beberapa traktat telah berusaha untuk menentukan jenis-jenis
sengketa yang harus diajukan kepada arbitrasi, penyelsaian yudisial atau
konsiliasi,makalah adedidikirawan atau perintah untuk metode-metode ini, tetapi pengalaman
memperlihatkan diragukannya manfaat dari suatu definisi atau prosedur yang
belum mapan demikian. Setiap metode
kemungkinan sesuai dan semakin besar fleksibilitas yang diberikan maka semakin
besar pula kesempatan untuk dilakukan penyelsaian secara bersahabat.
General Act for Pacific
Settlement of International Disputes yang disahkan
oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 meupakan suatu bentuk instrumen
diama suatu flesibilitas dan kebebasan memilih yang maksimum diusahakan untuk
dapat dicapai. Ketentuan itu mengatur prosedur-prosedur tersendiri, suatu
prosedur konsiliasi (dihadapan komisi-komisi konsiliasi) untuk segala sengketa
, suatu prosedur penyelsaian yudisial atau arbitrasi untuk segala sengketa yang
berkarakter hukum dan suatu prosedur arbitrasi untuk sengketa-sengketa lainnya.
Negara-negara dapat mengaksesi General Act tersebut dengan menerima semua atau
beberapa prosedur dan juga dibolehkan untuk membuat beberapa reservasi tertentu
(misalnya mengenai sengketa-sengketa terdahulu, mengenai persoalan-persoalan
yang tunduk pada yuridiksi domestik dan laian-lain). General Act tersebut telah
diaksesi oleh 23 negara, hanya dua dari mereka yang mengaksesi sebagian dari
instrumen itu, tetapi syangnya aksesi pada General act secara keseluruhan
dengan tunduk pada reservasi-reservasi penting. Sebagai akibatnya, pengaruh
prraktis instrumen makalah adedidikirawantersebut menjadi tidak berarti. Sebuah General Act yang
telah direvisi telah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 28 April 1949, tetapi tidak pernah diaksesi oleh banyak negara
sebagaimana yang iharapkan.
Dalam
kaitan ini, perlu diperhatikan persoalan perubahan atau revisi traktat-traktat
secara damai dan status quo yang menylitkan para penulis kebanyakan
sesudah perang dunia kedua. Banyak penulis menyatakan bhawa tidak ada satupun
dari metode-metode diatas yang sesuai
untuk menyelsaikan sengketa-sengketa revisionis dan diusulkan pembentukan suatu
international equity tribunal yang akan memutus klaim-klaim untuk perubahan
secara damai atas dasar kepatutan makalah adedidikirawandan keadilan. Wewenang yang akan diberikan
kepada pengadilan tersebut sekarang tampaknya ditetapkan, meskipun tidak dengan
cara spesifik atau konkret, di Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan demikian
Pasal 14 Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang peninjauan kembali
traktat-traktat, yang memberi kuasa kepada Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk merekomendasikanmakalah adedidikirawan tindakan-tindakan penyelsaian secaara
damai terhadap suatu keadaan yang kemungkinan mengganggu kesejahteraan umum
atau hubungan-hubungan bersahabat diantara bangsa-bangsa, termasuk
keadaan-keadaan yang timbbul dari pelanggaran Charter.
Karena pertimbangan ruangan dalam buku ini, hanya dapat dikemukakan
secara singkat mengenai penyelsaaian sengketa-sengketa internasional oleh
badan-badan atau kelompok-kelompok regional. Hal ini merujuk kepada ayat 2
Pasal52 Charter makalah adedidikirawanPerserikatan Bangsa-Bangsa. Pokok permasalahan itu telah
dibahas secara rinci dalam literatur-literatur yang relevan. Pada tahun
1983-1988, upaya-upaya dari tiiga kelompok regional di Amerika Tengah dan
Amerika Selatan ditujukan untuk mencapai penyelsaian-penyelsaian secara damai
di bagian dunia yang banyak menarik perhatian ini. Kelompok-kelompok regional
tersebut adalah kelompok Contadora (Mentri-Mentri Luar Negeri dari kolambia,
meksiko, Panama dan Venazuela), kelompok Amerika Tengah (mentri-mentri luar
negeri Costa Rica, Honduras, Guate, ala, El Salvador dan Nikaragua) danmakalah adedidikirawan apa
yang disebut sebagai kelompok pendukung (support
Grup) (menteri-menteri luar negeri Argantina, Uruguay, Brazill dan Peru).
3.
Cara-Cara Penyelsaian Paksa atau Kekerasan
Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelsaikan
sengketa-sengketa mereka secara persahabatan maka cara pemecahan yang mungkin
adalah dengan melalui cara-cara kekerasan, prinsip-prinsip dari cara
penyelsaian melalui kekerasan adalah:
A.
Perang dan tindakan bersenjata non
perang
B. Retorasi
C. Tindakan-tindakan pembalsan
D. Blokade secara damai
E.
Intervensi
(a)
Perang Dn tindakan bersenjata non
perang
Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan
untuk membebankan syarat-syarat penyelsaian dimana negara yang ditaklukan itu
tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata, yang
tidak dapat disebut perang, juga makalah adedidikirawanbannyak diupayakan dalam tahun-tahun terakhir
ini.
(b)
Retorasi
Retorasi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu
negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara
lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah
yanng tidak bersahabat didalam konferensi negara kehormaatannya
dihina; makalah adedidikirawanmisalnya merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabuutan
privilege-privilege diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal
dan bea.
Demikian banyaknya praktek mengenai retorsi sehingga tidak mungkin
untuk menentukan secara tepat syarat-syarat menurut mana tindakan-tindakan itu
dibenarkan. Bagaimanapun retorsi tidak perlu merupakan suatu balas dendam.
Penggunaan retorsi secara sah oleh negara-negara anggota perserikatan
Bangsa-Bangsa mungkin dipengaruhi oleh satu atau dua ketentuan dalam Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Misalnya menurut, Pasal 3 Ayat 2,makalah adedidikirawan negara-negara
anggota harus menyelsaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai
sedemikian rupa sehingga tidak “membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional, serta keadilaan”. Kemungkinan bahwa suatu tindakan bahwa suatu
tindakan retorsi yang sah dalam keadaan-keadaan tertentu menjadi sesuatu yang
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, serta keadiilan, dalam hal
demikian retorsi tampaknya tidak dibenarkanmenurut Charter.
(c)
Tindakan –tindakan pembalasan
Pembalsan adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk
mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan
tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Dahulu istilah tersebut dibatasi
pada penyitaan harta benda atau penahanan orang-orang, tetapi dalam konotasi
modern istilah ini menunjuk kepada tindakan pemaksaan makalah adedidikirawanyang dilakukan suatu negara
terhadap negara lain bertujuan untuk menyelsaikan sengketa yang disebabkan oleh
tindakan ilegal atau tindakan yang tdak sah oleh negara lain tersebut.
Perbedaan antara tindakan pembalsan dan retorsi adalah bahwa pembalasan
mencakup tindakan, yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan ilegal
sedangkan retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dibenarkan
oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya,
pemboikotan makalah adedidikirawanbarang-barang terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo, suatu
demonstrasi angkatan laut, atau pemboman. Beberapa topik praktek
internasional adalah lebih kontroversial
dibanding tindakan pembalasan dan hal inni secara tepat diperlihatkan pada
tahun 1973-1974 ketika negara-negara
arab penghasil minyak memperkenalkan suatu embargo ekspor minyaknya terhadap
negara-negara tujuan tertentu,makalah adedidikirawan pendapat-pendapat yang dikemukakan tentang sah
atau tidak sahnya embargo ini tidak mencapai titik temu dan merupakan indikasi
tidak dapat, ditentukannya keluasaan hukumnya dalam kaitan masalah ini.
Saat ini pada umumnya ditetapkan oleh praktek internasional bahwa suatu
pembalasan hanya dibenarkan, apabila negara yang menjadi lawan yang dituju oleh
pembalasan ini bersalah mmelakukan tindakan yang sifatnya merupakan suatu
pelanggaran internasional. Lebih lanjut, suatu pembalasan tidak akan dibenarkan
apabila negaara pelanggar itu tanpa diminta memberikan ganti rugi akibat
kesalahannya, atau apabila tindakan pembalsan itu melebihi proporsinya dalam
kaitan makalah adedidikirawandengan kerugian yang diderita. Telah ada beberapa contoh nyata tindakan
pembalasan oleh negara-negara misalnya, pengusiran orang-orang Hungaria dari
Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas dendam terhadap tuduhan
tanggungjawab Hungaria untuk pembenuhan Raja Alexander dari Yugoslavia di
Marsailes dan peristiwa pembeman terhadap pelabuhan Almeria, Spanyol, oleh
kapal—kapal perang Jerman pada tahun 1937, sebagai pembalasan terhadap
bombardemen atas kapal perang Deuthschland oleh pesawat-pesawat udaara Spanyol
yang dimiliki oleh angkatan udara republik sepanyol. Barangkali contoh yang
paling dramatis pristiwa yang terjadi baru-baru ini, yaitu prakarsa Amerika
Serikat melakukan pemboman udara atas sasaran-sasaran didalam wilayah Libia
pada tanggal 15 April 1986 dengan klaimmakalah adedidikirawan pembalasan yang sah terhadap apa yang
terhadap apa yang dikatakan sebagai kekejaman yang tidak pandang bulu oleh
negara tersebut terhadap orang-orang Amerika selama waktu belakangan ini,
termasuk peledakan bom pada tanggal 5 April 1986 disebuah dikostik Jerman Barat
yang sering dikunjungi oleh anggota angkatan bersenjata Amerika, yang
menyebabkan lebih dari 50 orang Amerika menderita luka-luka.
Beberapa penulis berpendapat bahwa pembalasan hanya dapat dibenarkan
apabila tujuannya untuk menghasilkan penyelsaian yang memuaskan atas suatu
sengketa. Oleh karena itu prinsip yang dikemukakan diatas menyatakan bahwa
pembalasan tidak boleh dilakkukan kecuali jika dan sampai negoisasi-negoisasi
untuk memperoleh ganti rugi dari negara melanggar telah gagal.
Sesungguhnya, tindakan-tindakan yang sifatnya balas dendam antara
negara-negara yang berperang selama berlangsungnya pperang merupakan hal yang
berbeda sama seklai dari pembalasan, meskipun tindakan-tindakan itu juga
dinamakan pembalasan. Tujuan dari tindakan-tindakan tersebut pada umumnya untuk
memaksa negara lawan untuk menghentikanmakalah adedidikirawan pelanggaran hukum perang seperti
misalnya pada tahun 1939-1940, ketika inggris memulai menyita barang-barang
ekspor Jerman diatas kapal-kapal netral sebagai balas dendam atas penenggelamansecara
tidak sah kapal-kapal dagang oleh ranjau-ranjau laut magnetis yang disebarkan
Jerman. Hampir sama dengan pembalsan pada masa damai, topik pembalasan diantara
pihak-pihak berperang telah menjadi kontroversi yang mendalam, seperti
tercermin dalam perbedaan pendapat yang tajam tentang masalah ini pada sidang
tahun 1974- 1977 konfrensi Diplomatik di Jenewa tentang pengukuhan kembali danmakalah adedidikirawan
pengembangan huukum humaniter internasional yang berllaku dalam konflik-konflik
bersenjata
Sebagaimana halnya dalam retorsi, penggunaan pembalasan oleh
negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa diatur dalam Charter. Bukan
saja ada Pasal 2 ayat 3 yang telah disebut diatas yang berkaitan dengan
retorsi, tetapi juga ketentuan dalam Pasal 2 ayat 4 yaitu bahwa negara-negara
anggota harus menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
integritas wilayah atau kemerdekaan politik dari suatu negara, dengan cara lain
yang tidak selaras dengan makalah adedidikirawantujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Juga deklarasi,
tentang prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan-hubungan bersahabat dan
kerja sama antara negara-negara sesuai dengan Charter Perserikatan
bangsa-bangsa, yang disahkan oleh Majelis Umum pada tanggal 24 Oktober 1970
secara tegas menyatakan: negara-negara berkewajiban untuk menghindarkan
tindakan pembalsan yang melibatkan kekerasank-kekerasan. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tahun 1964, dengan suara terbanyak, mengutuk pembalasan sebagai tindakan
yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Karena itu pembalsan yang merupakan tindakan lain selain untuk
tujuan pertahanan diri yang sah, berdasarkan Pasal 51makalah adedidikirawan Charter Perserikatan
Bangsa-Bangsa, terhadap serangan bersenjata dan yang termasuk dalam bentuk
pengancaman atau melakukan kekuatan militer terhadap negara lain sedemikian
rupa sehingga merupakn pelanggaran integritas wilayah negara tersebut, atau
kemerdekaan politik akan dipandang sebagai tindakan ilegal. Selanjutnya Pasal
33 negara-negara yang menjadi pihak dalam sengketa yang berlarut-larut yang
kemungkinan membahayakan perdamaian dan keamanan pertama-tama harus mencari
penyelsaian dengan jalan negoisasi dan cara-cara damai lainnya. Dengan demikian
suatu upaya untuk memaksa dengan cara makalah adedidikirawanpembalasan dendam tampaknya dianggap
ilegal. Pemboman oleh Amerika terhadap sasaran- sasaran di Libia pada tanggal
15 April 1986, yang telah dikemukakan diatas, dibenarkan, dengan alasan bahwa
tindakan itu merupakan pembelaan diri yang sah terhadap serangan-serangan
bersenjata yang dituduhkan telah dilakukan oleh Libia.
Juga masih banyak kasus pembalasan international atau yang sifatnya
kolektif
(d)
Blokade secara damai (pacific
Blockade)
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negaara yang terlibat perang sangat lazim
dilakukan oleh angkatan laut. Namuun, blokade ssecarar damai adalah suatu
tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai
suatu pemmbalsan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang
pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang
diderita oleh negara yang memblokade. Beberapa penulis telah meragukan
legalitas dari tindakan ini. Selain tindakan blokade ini sudah usang, juga
diperboleehkannya tindakan sepihak ini masih dipertanyakan dipandang dari segi
Charter makalah adedidikirawanPerserikatan Bangsa-Bangsa.
Blokade secara damai untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1872,
karena pada tahun itu telah dilakukan sekitar 20 tindakan demikian. Blokade
secara damai pada umumnya digunakan oleh negara-negara lemah. Meskipun karena
itumakalah adedidikirawan besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan, dalam sebagian besar kasus
blokade secara damai dipakai oleh negara-negara besar yang bertindak secara
bebrsama-sama untuk tujuan yang barangkali merupakan kepentingan negara-negara
yang bersangkutan misalnya, untuk mengakhiri kerusuhan, atau untuk menjaminmakalah adedidikirawan
pelaksanaan yang semestinya atas traktat-traaktat, atau mencegah perang seperti
dalam kasus blokade atas yunani pada tahun 1886 untuk menjamin dilucutinya
senjata pasukan-pasukan yunani yang dihimpun didekat perbatasan dan dengan cara
demikian menghilangkan kemungkinan konflik dengan turki. Dari sudut pandang ini
blokade secara damai boleh dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang
diakui untuk memperlancar penyelsaian sengketa-sengketa antra negara-negara.
Memang blokade secara tegas disebut dalam Pasal 42 Charter Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebbagai suatu tindakan yang boleh diprakarsai oleh Dewan
Keamanan demi untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan.
Ada beberapa manfaat nyata dalam penggunaan blokade secara damai.
Tindakan merupakan caraa tindakan yang jauh dari kekerasan dibandingkan perang
dan blokade juga sifatnya fleksibel. Di lain pihak, blokade lebih dari sekedar
pembalasan biasa, serta terhadap negara-negara lemah yang biasanya harus tunduk
kepada blokade, mungkin dianggap sebagai tindakan perang. Barangkali merupakan
suatu pendapat yang benar mengenai lembaga blokade secara damai yaitu bahwa
negara maritim kuat melakukan tindakan itu untuk menghindari beban perang dan
kesulitan-kesulitan akibat perang.
Sebagian penulis setuju, dan keseluruhan praktek inggis pun mendukung
pendapat bahwa suatu negara yang memblokade tidak memiliki hak untuuk merampas
kapal-kapal negara ketiga berusaha menorobos blokade damai. Juga bahwa
negara-negara ketiga tidak berkewajiban terikat kepada suatu blokade demikian.
Prinsipnya adalah bahwa suatu negara yang memblokade hanya dapat melakukannya
terhadaap kapal-kapal negara ketiga apabila dinyatakan suatu blokade makalah adedidikirawanperang
yaitu, apabila perang yang sebenarnya berlangsung antar negara yang memblokade
dan negara yang diblokade, dan negara yang memblokade berhak untuk memeriksa
kapal negara netral. Tetapi dengan hanya melakukan blokade damai semata-mata,
negara yang memblokade secara diam-diam mmembenarkan bahwa kepentingan-kepentingan
yang dipertaruhkan tidak memadai untuk menjamin beban dan risiko perang, karena
itu, pada prinsipnya bila tidak terjadi perang yang aktual, negara yang
memblokade tidak boleh membebankan kewajiban-kewajiban terhadap negara-negara
ketiga dan mengganggu status kenetralan. Dengan perkataan lain, suatu negara
yang memblokade tidak dapat pada waktu yang bersamaan menutut keuntungan dan
perdamaian
Blokade selektif atau karantina atas kuba oleh amerika serikat pada
bulan Oktober 1962, meskipun dilakukan pada masa damai, tidak dimassukan dalam
pola blokade damai tradisional pada abad
ke-19. Pertama, blokade itu lebhih dari sekedar terhadap pantai suatu negara.
Tujuannya dinyatakan secara tegas untuk menghalangi pemasokan senjata-senjata
dan peralatan-peralatan tertentu ke kuba, untuk mencegah didirikannya atau
diperkuatnya basis-basis peluru kendali diwilayahmakalah adedidikirawan kuba, akan tetapi tidak
melarang pemasokan dan pengeluaran barang-barang lain dan dari kuba. Kedua,
kapal-kapal negara lain selain kuuba, yang menuju kuba , tunduk kepda
pemeriksaan dan, apabila perlu, diawasi secara ketat, serta boleh diperintahkan
untuk mengikuti rute-rute yang telah ditentukan atau menghindari zona-zona
terlarang, tetapi blokade itu tidak dimaksudkan untuk merampas kapal-kapal yang
menyangkut senjata atau muatan-muatannya dapat disita karena melanggar
pencegatan. Ketiga, diantara alasan-alasan lainnya, presiden amerika serikat
bermaksud memproklamasikan karantina sesuai dengan suatu rekomendasi dari
sebuah organisasi internasional, yaitu Organisasi Negara-negara Amerika (OAS).
Keempat, karantina itu damai misalnya berdasarkan suatu pola Clearcet, para
pemilik kapal tidak dapat memproleh suatu sertifikat ijin sebelumnya untuk
mengirim muatan-muatan melalui zona yang tunduk pada karntina.
Katakanlah bahwa suatu blokade demikian, dalam segala keadaan,
diizinkan oleh Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun karena keadaan
geografis yang sangat khusus dan keadaan-keadaan lainnya, maka tidak dapat
ditarik konklusi-konklusi darimakalah adedidikirawan blokade itu sebagai suatu presiden. Apabila
tidak diijinkan oleh Charter, maka akibat dari karantina itu yang mengganggu
kebebsan laut lepas menimbulkan masalah-masalah serius mengenai pembenarannya
berdasarkan hukum kebiasaan internasional .
Kasus khasus yang lainnya, yang lebih baru darikarantina kuba tahun
1962, dan mungkin berbeda dari blokade damai tersebut, diperlihatkan oleh
pengumuman resmi tanggal 28 April 1962 oleh pemerintah inggris mengenai Total Exclusion Zone (TEZ) 200 mil
sekitar kepulauan Fal kland, yang diperluas pada tanggal 7 Mei 1982 menjadi 12
mil dari pantai Argentina tindakan ini mendahului langkah yang diambil oleh
angkatan bersenjata Inggris untuk merebut kembali wilayah kepulauan itu yang
didudukioleh Gransiun Argenntina dan dengan demikian menjadi suatu tindakan
perang yang membentuk suatu bagian integral dari kampanye udara, laut dan
militer gabungan. Hal itu sesungguhnya dibenarkan sebagai suatu pelaksanaan hak
mempertahankan diri terhadap suatu serangan bersenjata berdasarkan Pasal 51
makalah adedidikirawanCharter Perserikatan Bangsa-bangsa. Kata-kata dari pengumuman resmi tentang TEZ
itu, sebegitu jauh materinya sangat berbeda dari suatu blokade secara damai:
Exclusion zone akan berlaku tidak saja terhadap kapal perang argentina dan angkatan
laut bantuan, akan tetapi juga terhadap kapal lain, baik kapal angkatan laut
maupun kapal dagang, yang beroperasi untuk mendukung pendudukan ilegal
kepualauan Flakland oleh nagkatan bersenjata argentina. Zona tersebut juga akan
berlaku terhadap setiap pesawaat udara, baik militer maupun sipil, yang
beroprasi untuk mendukung pendudukan argentina. Setiap kapal dan setiap peswat
udara baik militer maupun sipil, yang ditemukan didalam zona ini tanpa izin
dari Mentri Pertahanan di London akan dianggap sebagai beroperasi untuk
mendukung pendudukan ilegal dan karenanya akan dianggap sebagai bermusuhan
makalah adedidikirawanserta menanggung risiko diserang oleh angkatan bersenjata inggris.
Dengan mengesampingkan perbedaan antara TEZ ini dari suatu blokade
secara damai, legalitasnya, sebagaimana halnya dengan karantina kuba, menurut
Charter dan huukum kebiasaan internasional telah dipertanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar